IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DALAM PENDIDIKAN POLITIK

  

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI

ETIKA POLITIK DALAM PENDIDIKAN POLITIK

Bambang Yuniarto & Winarno Narmoatmojo

  BAB I PENDAHULUAN Sebagai suatu sistem filsafat, Pancasila mempunyai kedudukan dan peran utama sebagai dasar filsafat negara. Dengan kedudukannya seperti, Pancasila mendasari dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang serta menjadi rujukan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari. Pancasila memberikan suatu arah dan kriteria yang jelas mengenai layak atau tidaknya suatu sikap dan tindakan yang dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  Proses kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari dimensi kehidupan politik Akan tetapi, kehidupan politik di setiap negara tentu saja berbeda. Salah satu penyebabnya adalah faktor perbedaan ideologi. Kehidupan politik orang hidup di negara yang menganut paham liberal, tentu saja berbeda dengan yang hidup di negara sosialis atau komunis. Begitu juga dengan kehidupan politik rakyat Indonesia, pasti berbeda dengan rakyat bangsa lainnya.

  Kehidupan politik rakyat Indonesia selalu didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan landasan dan tujuan kehidupan politik bangsa kita. Berkaitan dengan hal tersebut, proses pembangunan politik yang sedang berlangsung di negara kita sekarang ini harus diarahkan pada proses implementasi sistem politik demokrasi Pancasila yang handal, yaitu sistem politik yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki kualitas kemandirian yang tinggi yang memungkinkannya untuk membangun atau mengembangkan dirinya secara terus-menerus sesuai dengan tuntutan aspirasi masyarakatnya dan perubahan zaman. Dengan demikian, sistem politik demokrasi Pancasila akan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan jati dirinya, sehingga senantiasa mempertahankan, memelihara dan memperkuat relevansinya dalam kehidupan politik. Nilai-nilanya bukan saja dihayati dan dibudayakan, tetapi diamalkan dalam kehidupan politik bangsa dan negara kita yang terus berkembang. Oleh karena, secara langsung Pancasila telah dijadikan etika politik seluruh seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia.

  Proses reformasi yang sedang berjalan di Indonesia merupakan bukti kedinamisan kehidupan politik masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kedinamisan itu jangan sampai menanggalkan nilai-nilai Pancasila. Kehidupan politik yang semakin demokratis dengan ditandai olehnya terbukanya saluran aspirasi politik masyarakat, seperti adanya kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan berpendapat, pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif serta kepala daerah secara langsung, harus selalu didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Sehingga pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut selalu mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang ber-Pancasila.

  Apabila dikaitkan dengan pendidikan politik, pemahaman terhadap Pancasila sebagai etika politik merupakan salah satu bagian dari tujuan diberikannya pendidikan politik, sebagaimana dikemukakan oleh Pojman (2003:1) yang memandang kajian dan pemikiran tentang falsafah negara menjadi keharusan dalam rangka memahami pertanyaan besar “why I should be obey the state? (mengapa kita mesti menaati negara?). Oleh karena Pendidikan Politik yang diberikan kepada warga negara harus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara sekaligus sebagai etika politik, sehingga nilai-nilai Pancasila akan selalu hidup dalam berbagai dimensi kehidupan setiap warga negara.

  BAB II PERMASALAHAN Eksistensi sebuah negara salah satunya tergantung pada keberadaan ideologinya. Eksistensi negara dalam berbagai urusan baik urusan ke dalam maupun keluar sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dimilikinya. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh setiap negara dalam hal ini pemerintahannya selalu berdasarkan kepada ideologi nasional negara yang bersangkutan. Tidak hanya itu, ideologi negara menjadi pandangan dan pedoman hidup aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangga dan bernegara dari setiap warga negaranya.

  Dalam konteks kehidupan politik, Pancasila harus dijadikan sebagai etika politik oleh setiap warga negara Indonesia. Kebebasan yang diperoleh setiap warga negara dalam aspek, hendaknya selalu diimplementasikan dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila, sehingga setiap tindakan politik warga negara selalu mencerminkan tindakan politik yang Pancasilais, yaitu tindakan politik yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial.

  Berdasarkan uraian yang diatas, maka yang permasalahan utama dalam makalah ini adalah bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai etika politik dalam pendidikan politik? Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka penulis merumuskan beberapa sub-permasalahan yaitu:

  1. Bagaimana materi muatan Pancasila dalam kajian Pendidikan Politik?

  2. Bagaimana proses implementasi Pendidikan Politik yang mencerminkan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara?

  3. Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai Etika Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

  BAB III KAJIAN TEORI A. Pendidikan Politik

  1. Pengertian Pendidikan Politik Pendidikan di Indonesia merupakan upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdasarkan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Selain itu, fungsi pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rumusan pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai berikut:

  Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

  Sesuai dengan hal tersebut upaya pendidikan politik merupakan sarana vital dalam pembentukan warga negara atau individu-individu untuk mendapatkan informasi, wawasan serta memahami sistem politik yang berimplikasi pada persepsi mengenai politik dan peka terhadap gejala-gejala politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif pemecahan masalah dari masalah- masalah politik yang ada disekitarnya. Dengan demikian pendidikan politik memberikan landasan yang kuat bagi proses demokratisasi.

  Berkaitan dengan hal tersebut, Brownhill dan Smart (1989:9) mengemukakan bahwa “Pendidikan politik adalah sebagai suatu cara untuk mempertahankan keadaan yang tetap stabil pada suatu saat tertentu, serta diharapkan dapat memberikan dasar bagi proses demokrasi yang lebih maju”. Dengan demikian, pendidikan politik erat kaitannya dengan mempertahankan keadaan agar tetap stabil pada periode kekuasaan tertentu. Di sini terlihat kentalnya kepentingan kekuasaan melalui pendidikan politik.

  Dari uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang sistematis, berkesinambungan dan menyeluruh bagi setiap warganegara dalam rangka membentuk warganegara yang baik (good citizen) yaitu warganegara yang melek politik (political literacy), memiliki kesadaran politik (political awareness), dan berpartisipasi dalam kehidupan politik (political participation) secara cerdas dan bertanggung jawab.

  2. Tujuan Pendidikan Politik Pada dasarnya, tujuan pendidikan politik di setiap negara berbeda- beda. Hal ini terjadi karena landasan serta tujuan pelaksanaan pendidikan politik disesuaikan dengan dasar dan falsafah bangsa. Indonesia sebagai negara yang demokratis menjalankan proses pendidikan politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan warga negara. Sehingga tujuan pendidikan politik harus sejalan dengan penjabaran tujuan pendidikan nasional. Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:

  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokatis serta bertanggung jawab.

  Upaya untuk mengembangkan pendidikan yang membentuk watak serta peradaban bangsa serta menjadi warga negara adalah bagian penting dari tujuan pendidikan politik. Menurut Wahab (Komarudin, 2005:24), “... pendidikan politik bertujuan membentuk warga negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga negara”. Dengan demikian, terwujudnya warga negara yang baik (good citizen) yaitu warga negara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari pendidikan politik.

  Proses pendidikan politik merupakan suatu proses untuk membina dan mengembangkan warga negara untuk mengenali sistem politik dan reaksi terhadap gejala-gejala politik. Pada dasarnya tujuan pendidikan politik adalah membentuk manusia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam rangka memahami situasi sistem politik menuju kesejahteraan hidup bangsa. Selain itu, pendidikan politik diharapkan mampu menciptakan warga negara yang memiliki jiwa nasionalis dan egaliter serta kualitas pribadi yang kuat sebagai warga negara.

  Dalam hal ini pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan mampu meningkatkan partispasi secara aktif untuk membangun bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas sejalan dengan Sumantri dan Affandi (1986:126) yang menyatakan bahwa:

  Maksud diselenggarakannya pendidikan politik pada dasarnya adalah untuk memberikan pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia.

  Generasi muda sebagai pewaris cita-cita bangsa dituntut untuk berpartipasi secara aktif membangun bangsa. Oleh sebab itu, generasi muda harus memiliki pengetahuan serta keterampilan politik sehingga para generasi muda menggunakan pengetahuannya untuk berpolitik secara bertanggung jawab. Pendapat ini sejalan dengan Brownhill (1989:4) bahwa

  The aim of political education should therefore be to develop the professionals interest and to poin them toward their political responsibilities, while at the some time endeavouring togive them the necessary knowledge and skills to carry out those responsibilities.

  Dengan demikian, pendidikan politik bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta kemampuan untuk bertanggung jawab sebagai warga negara. Selain itu memberikan pemahaman mengenai pengetahuan politik sehingga warga negara berpastisipasi dalam sistem politik yang sedang berjalan. Pelaksanaan pendidikan politik harus dilakukan secara sistematis untuk menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Pendidikan politik menjadi sebuah pemahaman dalam setiap warga negara untuk dihayati sehingga membentuk perilaku politik atau melek politik. Kedudukan dan pelaksanaan pendidikan politik dikemukakan oleh Affandi (1996:6) sebagai berikut:

  Pendidikan politik tidak saja akan menentukan efektifitas sebuah sistem politik karena mampu melibatkan warganya, tetapi juga memberikan corak pada kehidupan bangsa di waktu yang akan dating melalui upaya penerusan nilai-nilai politik yang dianggap relevan dengan pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

  Dari penjelasan di atas, pendidikan politik memegang peranan yang sangat vital untuk mencapai kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Dengan pendidikan politik dibentuk dan dikembangkan warga negara yang memiliki kesadaran politik dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Sehinggga partisipasi aktif warga negara memberikan konstribusi bagi pembangunan demokrasi Indonesia serta sesuai dengan cita-cita bangsa yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  3. Bentuk-bentuk Pendidikan Politik Kehidupan politik yang dialami oleh setiap warga negara senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut idealnya harus merupakan perubahan yang bernilai positif. Untuk mencapai hal tersebut harus dilakukan pembinaan kepada setiap warga negara, supaya dapat bersikap dan berperilaku politik yang cerdas, kritis dan bertangung jawab. Pembinaan tersebut dapat melalui penyelengaran pendidikan politik yang dilakukan dengan pengajaran-pengajaran yang mengacu pada substansi dari pendidikan politik tersebut. Dalam hal ini, subtansi kurikulum pendidikan politik menurut Stradling (Brownhill dan Smart, 1989:104) membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu:

  Pertama , pengetahuan, yang terdiri dari pengetahuan professional, dan pengetahuan praktikal, pemahaman. Kedua, keterampilan yang terdiri dari keterampilan intelektual, keterampilan tindakan, keterampilan komunikasi. Ketiga, sikap dan nilai-nilai prosedural.

  Dari pendapat di atas, secara garis besar kurikulum pendidikan politik menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam aspek kognitif pendidikan politik memberikan pengetahuan dan pemahaman politik terhadap setiap individu. Sedangkan dalam aspek psikomotor kurikulum pendidikan politik hendaknya memberikan kemampuan keterampilan kepada individu untuk memiliki keterampilan intelektual, tindakan dan komunikasi politik secara efektif. Kurikulum pendidikan politik secara afektif harus membuat individu menimbulkan sikap politik sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal senada diungkapkan oleh Brownhill dan Smart (1989:110) yang mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan politik harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Nilai-nilai, tujuan, etika dasar serta sasaran yang dicapai, antara lain: isi kurikulum harus didasarkan kepada suatu etika yang dapat diterima oleh semua jenis dan kalangan masyarakat.

  b. Nilai-nilai tersebut nantinya dipakai sebagai bahan untuk menyusun informasi, pengetahuan teoritis serta hal-hal yang bersifat informatif dan kognitif.

  c. Selain pengetahuan yang bersifat teoritis, kurikulum pendidikan politik harus mengandung seperangkat pengetahuan praktis. Dengan demikian isi dari kurikulum pendidikan politik tidak hanya menanamkan pengetahuan dan keterampilan semata, akan tetapi mengandung bagaimana bersikap secara politik yang disertai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa pendidikan politik merupakan proses pewarisan nilai dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat ke setiap individu, sehingga proses pendidikan politik dapat dilakukan di berbagai lingkungan kehidupan baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini sebagaimana yang telah digariskan dalam Inpres No.

  12 Tahun 1982 bahwa jalur-jalur terlaksananya pendidikan politik meliputi: a) jalur informal, b) jalur formal, dan c) jalur non formal.

  Di Indonesia pendidikan politik yang diberikan di persekolahan dilakukan melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini tercantum dalam misi Pendidikan Kewarganegaraan yang baru yakni sebagai pendidikan politik, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki program pendidikan untuk memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran berpolitik (political awareness), serta kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi. Dalam bentuk pendidikan nonformal, pendidikan politik dapat dilakukan oleh partai politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Sedangkan secara informal pendidikan politik dapat dilakukan dalam keluarga dan lingkungan diantaranya memberikan contoh keteladanan.

  Dengan demikian, bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan politik dapat dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun badan non pemerintah melalui partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan politik yang terbagi kedalam ketiga jalur tidak menghilangkan esensi dari tujuan pendidikan politik itu sendiri yakni meningkatkan kemelekan politik, kesadaran berpolitik serta partisipasi politik yang tinggi.

  B. Pengertian Pancasila

  1. Pengertian Pancasila secara Etimologis Dilihat dari asal usul katanya (secara etimologis), istilah Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta. Menurut Mr. Muhammad Yamin, dalam bahasa Sanskerta perkataan Pancasila memiliki dua macam arti.

  a. Panca artinya lima, syila dengan vokal i pendek artinya “batu sendi”, atau “dasar”; b. Panca artinya lima, syiila dengan vokal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh.

  Oleh karena itu secara etimologis kata Pancasila yang dimaksudkan adalah istilah Panca Syila dengan vokal i pendek memiliki makna “berbatu sendi lima” atau “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah Panca Syiila dengan vokal i panjang bermakna lima aturan tingkah laku yang penting. Pancasila yang berlaku sekarang adalah Panca Syila dengan vokal i pendek, yakni dasar yang memiliki lima unsur.

  Sejak zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal istilah Pancasila itu. Sebenarnya, perkataan Pancasila pada awalnya terdapat dalam kepustakaan Budha dan India. Dalam ajaran Budha terdapat ajaran moral yang harus dilaksanakan oleh para penganutnya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Setiap golongan berbeda kewajiban moralnya. Ajaran moral tersebut meliputi Dasasyiila, Saptasyiila dan Pancasyiila. Ajaran Pancasyiila menurut Budha merupakan aturan yang harus ditaati oleh para penganut biasa atau awam. Pancasyiila berisi lima larangan atau pantangan, yang terdiri dari: a. Panatipada veramani sikhapadam samadiyani, artinya jangan mencabut nyawa makhluk hidup, atau dilarang membunuh.

  b. Dinna dana veramani skhapadam samadiyani, artinya jangan mengambil barang yang tidak diberikan, atau dilarang mencuri.

  c. Kameshu micchacara veramani skhapadam samadiyani, artinya janganlah berhubungan kelamin, atau dilarang berzina.

  d. Musawada veramani skhapadam samadiyani, artinya janganlah berkata palsu, atau dilarang berdusta.

  e. Sura meraya masjja pamada tikana veramani, artinya janganlah meminum minuman yang menghilangkan pikiran, atau dilarang meminum minuman keras.

  Dengan masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, maka ajaran Pancasyiila pun masuk ke dalam kepustakaan Jawa, terutama pada masa kerajaan Majapahit di bawah kekuasaan raja Hayam Wuruk dan maha patih Gajah Mada. Pada masa itu, istilah Pancasila dapat ditemukan dalam buku Nagarakertagama karya Empu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular.

  Dalam buku Nagarakertagama terdapat ketentuan bagi raja yang berbunyi yatnaggegwani pancasyiila kertasangkarbhisekaka krama, yang artinya raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila), begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan. Kemudian, dalam buku Sutasoma dikenal istilah Pancasila Krama. Pancasila Krama itu merupakan lima dasar tingkah laku atau perintah kesusilaan yang lima atau sering disingkat Ma Limo, yakni: a. Dilarang Mateni (membunuh).

  b. Dilarang Maling (mencuri).

  c. Dilarang Madon (berjinah).

  d. Dilarang Mabok (minum minuman keras) e. Dilarang Main (berjudi).

  Pada masa itu orang-orang harus berpegang pada lima aturan kesusilaan tersebut. Jika mencoba-coba melanggarnya, akan mendapatkan sanksi, baik sanksi sosial (yang dilakukan oleh masyarakat sendiri), maupun sanksi hukum (yang dilakukan oleh negara). Dengan demikian, pengertian Pancasila waktu itu adalah merupakan lima dasar tingkah laku atau lima perintah kesusilaan.

  b. Pengertian Pancasila secara Terminologis Pengertian Pancasila secara terminologis berkaitan pengucapan dan penulisan isi rumusan Pancasila yang sah dan benar secara konstitusional. Rumusan Pancasila yang sah dan benar secara konstitusional adalah secara rumusan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenis IV tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa

  2. Kemanusian yang adil dan beradab

  3. Persatuan Indonesia

  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

  Rumusan Pancasila yang tercantum dalam alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia yang disahkan oleh PPKI mewakili seluruh rakyat Indonesia (Kaelan, 2004: 26).

  C. Makna Etika Politik Sebagai salah satu cabang etika, etika politik merupakan salah satu bentuk filsafat praktis. Secara sederhana etika politik dapat diartikan sebagai cabang etika yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam menjalankan kehidupannya. Jadi, etika politik tidak hanya mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai warga negara saja, melainkan seluruh aktivitas hidupnya. Hal ini dikarenakan ruang lingkup kehidupan politik yang mencakup bidang kehidupannya lainnya. Dengan kata lain, etika politik berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia (Magnis-Suseno, 2001:17).

  Secara subtantif, etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek etika, yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral selalu menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Walaupun kedudukan dan sifat manusia selalu berkaitan dengan masyarakat, bangsa dan negara, etika politik tetap meletakan dasar fundamental manusia sebagai manusia, bukan sebagai warga masyarakat atau warga negara. Hal in semakin menegaskan bahwa etika politik mendasarkan suatu kebaikan kepada hakekat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya (Magnis-Suseno, 2001:19).

  Etika politik mempunyai fungsi yang terbatas dalam masyarakat, yaitu hanya berkutat pada peyediaan alat-alat teoritis yang mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Etika politik tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan berdasarkan pada aspek rasionalitas, objektivitas dan argumentasi. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Akan tetapi etika politik membantu agar pembahasan-pembahasan masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan orientasi dan pegangan normatif bagi setiap orang yang mau menilai kualitas tatanan dan kehiduoan politik dengan tolok ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebuah keputusan politik.

  Seperti diungkap sebelumnya, bahwa hukum dan kekuasaan merupakan aspek yang berkaitan langsung dengan etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif dan kekuasaan sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif pada dasarnya sesuai dengan struktur sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hukum tanpa kekuasaan negara hanya akan menjadi aturan normatif yang kosong dan tidak bisa berbuat apa-apa atau tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Sedangkan kekuasaan negara tanpa hukum, akan melahirkan suatu bentuk kekuasaan negara yang absolut, sehingga akan menimbulkan terjadinya penindasan terhadap manusia.

  Oleh karena itu, hukum dan kekuasaan membutuhkan suatu legitimasi atau pengakuan dan pegesahan secara moral dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus menunjukkan bahwa dirinya berasal dari nilai-nilai moral yang berkembang di masyarakat, bukan berasal dari kekuasaan belaka dan merupakan suatu bentuk keputusan bersama. Begitu juga dengan negara, dalam melaksanakan kekuasaannya harus berdasarkan pada tatanan normatif yang meupakan kehendak bersama warga negaranya.

  BAB IV PEMBAHASAN A. Materi Muatan Pancasila dalam Kajian Pendidikan Politik Tantangan era the end of postcolonial society Indonesia adalah bagaimana mendudukkan kembali Pancasila sebagai dasar negara dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam dimensi kehidupan politik. Dalam kerangka itu pengkajian tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi bagian tidak terpisahkan dalam upaya mendudukkan kembali Pancasila pada peran dan fungsinya semula. Soeprapto (2006) mengemukakan bahwa upaya untuk mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan bernegara, pertama-tama harus dipahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang menjadi landasan, pendekatan, paradigma, serta tujuan yang ingin dicapai dalam implementasi Pancasila dimaksud.

  Berdasarkan pendapat di atas, kiranya dapat kita gambarkan materi muatan Pancasila sebagai konten kajian pendidikan politik dalam kedudukannya sebagai etika politik, terdiri dari: 1) konsep, 2) prinsip, dan 3) nilai yang terkandung dalam Pancasila.

  Konsep yang terdapat dalam Pancasila adalah: Konsep tentang hakikat eksistensi manusia, konsep pluralistik, konsep harmoni atau keselarasan, konsep gotong royong dan kekeluargaan, konsep integralistik, konsep kerakyatan, konsep kebangsaan. Konsep-konsep itu merupakan penjabaran dari konsep dasar religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas, dan sosialitas.

  Sedangkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila adalah prinsip Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaa yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu, nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai-nilai keimanan, ketakwaan, keadilan, kebebasan, kesetaraan, loyalitas, tenggang rasa, inklusif, persatuan, kesatuan, kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut diimplementasikan melalui perilaku yang mencerminkan sikap:

  1. Mengakui hakekat Tuhan Hakekat Tuhan Yang Maha Esa adalah: a. Causa Prima, sebab yang pertama dari segala sesuatu.

  b. Pengatur tata tertib alam.

  c. Asal mula segala sesuatu.

  d. Selama-lamanya ada, tidak pernah tidak ada, dan adanya ialah harus (tidak bisa tidak ada).

  e. Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Sempurna, Maha Baik.

  f. Wajib disembah melalui kegiatan ibadah.

  Pengakuan terhadap hakekat Tuhan ini dapat dikembangkan melalui sikap: a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup

  c. Saling menghormati kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain 2. Mengakui hakekat manusia.

  Manusia yang dimaksudkan di sini adalah manusia seutuhnya. Pada hakekat nya terdiri atas susunan kodrati yaitu raga dan jiwa/jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

  Pengakuan terhadap hakekat manusia ini dapat dikembangkan melalui sikap: a. Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara sesama manusia b. Saling mencintai sesama manusia

  c. Tenggang rasa kepada orang lain

  d. Tidak semena-mena kepada orang lain

  e. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian

  f. Berani membela kebenaran dan keadilan

  g. Hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain

  3. Mengakui hakekat persatuan.

  Kata persatuan berasal dari kata satu. Hakekat satu adalah:

  a. utuh, tak dapat dibagi, mempunyai bangun-bentuk tersendiri, berdiri sendiri; b. terpisah dari sesuatu hal yang lain, tidak menjadi bagian dari sesuatu yang lain.

  Maknanya adalah prinsip untuk tetap utuh, pantang untuk terpecah-belah, sebagai bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai negara senantiasa menjadi negara kesatuan yang utuh. Pengakuan terhadap hakekat persatuan ini dapat dikembangkan melalui sikap: a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara

  c. Cinta tanah air dan bangsa

  d. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia

  e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber- Bhineka Tunggal Ika

  4. Mengakui hakekat kerakyatan Perkataan kerakyatan berasal dari kata dasar rakyat. Hakekat rakyat adalah jumlah keseluruhan warga dalam lingkungan daerah/negara. Diwujudkan dalam kehidupan negara, maka negara Republik Indonesia itu bukan negara untuk satu orang, bukan negara satu golongan. Negara didasarkan atas keseluruhan rakyat, tidak didasarkan atas golongan, dan tidak didasarkan atas perseorangan.

  Pengakuan terhadap hakekat kerakyatan ini dapat dikembangkan melalui sikap: a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat

  b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain

  c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama d. Menerima dan melaksanakan setiap keputusan musyawarah

  e. Mempertanggungjawabkan setiap keputusan musyawarah secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa

  5. Mengakui hakekat keadilan Perkataan keadilan berasal dari kata dasar adil. Hakekat adil ialah telah dipenuhinya hak yang ada di dalam hubungan hidup,setelah memenuhi kewajiban. Kita masing-masing mempunyai hubungan hidup yang kodrat sifatnya antara warga negara dengan warga negara dan warga negara dengan pemerintah negara.

  Pengakuan terhadap hakekat keadilan ini dapat dikembangkan melalui sikap: a. Kekeluargaan dan kegotongroyongan

  b. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban

  c. Menghormati hak-hak orang lain

  d. Suka memberi pertolongan kepada orang lain

  e. Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain

  f. Menjauhi sifat boros dan gaya hidup mewah

  g. Rela bekerja keras

  h. Menghargai hasil karya orang lain

  Demikianlah materi muatan Pancasila yang seyogyanya menjadi bagian dari pendidikan politik bangsa dalam rangka meneguhkan kembali komitmen kebangsaan setiap warganegara untuk menjadikan Pancasila sebagai etika dalam kehidupan politik setiap warga negara.

  B. Metode Pembelajaran Pendidikan Politik yang Mencerminkan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Etika Politik

  Materi muatan Pancasila dalam kajian Pendidikan Politik yang disebutkan pada bagian sebelumnya mencerminkan visi dan misi dan Pendidikan Politik yang berbasis nilai-nilai Pancasila yang diberikan kepada setiap warga negara. Selain itu, materi muatan tersebut mencerminkan pula kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh setiap warga negara. Oleh karena, Pendidikan Politik yang berbasis nilai Pancasila harus disampaikan melalui suatu proses pembelajaran yang dapat mencapai visi, misi serta kompetensi Pendidikan Politik yang disebutkan tadi. Proses pembelajaran yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang sesuai dengan konteks kewarganegaraan, kritis, analitis dan dinamis. Dengan demikian, metodologi pembelajaran Pendidikan Politik yang berbasis nilai-nilai Pancasila harus meliputi:

  1. Pendekatan pembelajaran yang digunakan harus menempatkan setiap individu sebagai subjek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran dan sebagai umat beragama,anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.

  2. Metode pembelajaran yang digunakan harus bersifat kritis, analitis, induktif, deduktif dan reflektif serta melalui dialog kreatif yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran subtansi dasar kajian.

  Metode pembelajaran jangan mengarahkan pada terjadi proses pembalajaran indokrinatif yang dapat “mengerdilkan” pemahaman warga negara terhadap nilai-nilai Pancasila.

  3. Proses pembelajaran dilakukan melalui ceramah, dialog interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil dan evaluasi belajar.

  4. Proses pembelajaran dilandasi motivasi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa proses belajar mengembangkan kepribadian merupakan kebutuhan hidup.

  C. Implementasi Nilai-nilai Pancasila sebagai Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

  Pancasila merupakan dasar etika politik bagi bangsa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila menjadi sumber etika politik yang harus selalu mewarnai dan diamalkan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia baik oleh rakyat ataupun oleh penguasa. Oleh karena itu dapat dikatakan kehidupan politik yang meliputi berbagai aktivitas politik dinilai etis, jika selalu berpijak pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta selalu ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku; disahkan dan dijalankan secara demokrastis (legitimasi demokrasi); dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral)

  (Magnis-Suseno, 2001:115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan umum, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan sumber moralitas dalam dalam proses penyelenggaraan negara, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakkan hukum dinilai bermoral jika selalu berdasarkan Pancasila, bukan berdasarkan kepentingan penguasa belaka. Jadi Pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan kekuasaan dan penegakkan hukum.

  Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut secara normatif merupakan artikulasi sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi harus diingat, pernyataan tersebut bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah negara Teokrasi yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara berdasarkan legitimasi religius, dimana kekuasaan kepala negara bersifat absolut atau mutlak. Sila Ketuhanan yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan negara dan kehidupan negara tidak boleh diarahkan pada paham anti-Tuhan dan anti-agama, akan kehidupan dan penyelenggaraan negara harus selalu berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama merupakan legitimasi moral religius bagi bangsa Indonesia.

  Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, negara Indonesia juga harus berkemanusian yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusian yang adil dan beradab memberikan legitimasi moral kemanusian dalam penyelenggaraan negara. Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusian mempunyai kedudukan mutlak dalam kehidupan negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi manusia harus diberikan kepada setiap warga negara. Sila Kemanusian yang adil dan beradab mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimasi moral kemanusian (sila Kemanusian yang adil dan beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan negara, sehingga negara Indonesia terjerumus ke dalam negara kekuasaan (machtsstaats).

  Negara Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari unsur persatuan. Sila persatuan Indonesia memberikan suatu penegasan bahwa negara Indonesia merupakan suatu kesatuan dalam hal ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Proses penyelenggaraan negara harus selalu didasari oleh asas persatuan, di mana setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa tidak ditujukan untuk memecah belah bangsa, tetapi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan Indonesia merupakan perwujudan paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusian yang adil dan beradab. Oleh karena itu paham kebangsaan Indonesia bukanlah paham kebangsaan yang sempit (chauvinistis), tetapi paham kebangsaan yang selalu menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan.

  Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa negara berasal dari rakyat dan segala kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, dalam proses penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta konsep pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat.

  Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan legitimasi hukum (legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan negara. Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan tujuan dalam kehidupan negara, yang menunjukkan setiap warga negara Indonesia mendapatkankan perlakukan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan tersebut, kehidupan dan penyelenggaraan negara harus senantiasa berdasarkan hukum yang berlaku. Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara, yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.

  Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila harus dijadikan patokan bagi setiap penyelenggara negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut harus dimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada akhirnya akan terbentuk suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral pula.

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Materi muatan Pancasila sebagai etika politik dalam kajian pendidikan politik, terdiri dari: 1) konsep, 2) prinsip, dan 3) nilai yang terkandung dalam Pancasila. Konsep yang terdapat dalam Pancasila adalah: Konsep tentang hakikat eksistensi manusia, konsep pluralistik, konsep harmoni atau keselarasan, konsep gotong royong dan kekeluargaan, konsep integralistik, konsep kerakyatan, konsep kebangsaan. Konsep- konsep itu merupakan penjabaran dari konsep dasar religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas, dan sosialitas.Sedangkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Pancasila adalah prinsip ketuhanan yang maha esa, kemanusiaa yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu, nilai yang terdapat dalam Pancasila adalah nilai-nilai keimanan, ketakwaan, keadilan, kebebasan, kesetaraan, loyalitas, tenggang rasa, inklusif, persatuan, kesatuan, kesejahteraan.

  2. Pendidikan Politik yang berbasis nilai Pancasila sebagai etika politik harus disampaikan melalui suatu proses pembelajaran yang dapat mencapai visi, misi serta kompetensi warga negara untuk bersikap dan berperilaku politik secara etis. Proses pembelajaran yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang sesuai dengan konteks kewarganegaraan, kritis, analitis dan dinamis

  3. Pancasila merupakan dasar etika politik bagi bangsa Indonesia. Hal ini mengandung pengertian, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila menjadi sumber etika politik yang harus selalu mewarnai dan diamalkan dalam kehidupan politik bangsa Indonesia baik oleh rakyat ataupun oleh penguasa. Oleh karena itu dapat dikatakan kehidupan politik yang meliputi berbagai aktivitas politik dinilai etis, jika selalu berpijak pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta selalu ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran atau rekomendasi penulis adalah:

  1. Implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai etika politik harus selalu menjadi prioritas dalam melaksanakan program Pendidikan Politik oleh setiap subjek pendidikan politik, seperti oleh lembaga pendidikan, pemerintah dan partai politik.

  2. Pendidikan politik yang berbasis nilai-nilai Pancasila perlu diberikan kepada setiap warga negara agar mereka dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab.

  3. Model pembelajaran yang dikemukakan dalam pembahasan makalah ini dapat diterapkan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran pendidikan politik, khususnya dalam mengantisipasi berbagai permasalahan bangsa yang kian hari semakin kompleks.

  DAFTAR PUSTAKA Affandi, Idrus. (1996). Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik . Disertasi PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

  Brownhill, Robert and Patricia Smart. (1989). Political Education. London: Routledge. Kaelan.(2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Kansil, C.S.T. (1986). Aku Pemuda Indonesia: Pendidikan Politik Generasi Muda . Jakarta: Balai Pustaka. Kantaprawira, Rusadi. (1987). Aplikasi Pendekatan Sistem dalam Ilmu-ilmu Sosial . Jakarta: Bunda Karya.

  • . (2002). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

  Magnis-Suseno, Franz. (2001). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama

  Mas’oed, Mochtar dan Colin Mac Andrews. (1997). Perbandingan Sistem Politik . Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

  Pranarka, A.M.W. (1985). Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies

  Ridha, Abu. (2002). Pengantar Pendidikan Politik Dalam Islam. Bandung: Syaamil Cipta Media. Ruslan Somantri, Gumilar. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial

  Politik Indonesia Modern. Dalam Irfan Nasution dan Ronny Agustinus (eds). Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Jakarta: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (PPD).

  Soeprapto. (2006). “Implementasi Pancasila Dasar Negara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Makalah disampaikan dalam Semiloka Pengembangan Buku Pembudayaan Nilai Dasar Pancasila – UUD 1945. Ditjen Dikdasmen di Cisarua Bogor.

  Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

  Wahab, Abdul Azis. (1996). “Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia menuju Warga Negara Global”. Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar IKIP Bandung: tidak diterbitkan.