UEU Undergraduate 10444 BAB 1.Image.Marked
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian
yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Ketika seorang ibu sedang mengandung, ia
mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat dan
sempurna. Selain itu, sejak anak masih dalam kandungan para orang tua mencoba
membayangkan
dan
menggambarkan
anaknya
secara
fisik
dan
mulai
merencanakan apa yang dapat mereka lakukan untuk memberikan yang terbaik
bagi anak mereka.
Pada dasarnya setiap orang tua berharap untuk memiliki anak yang sehat
dan tumbuh secara normal. Seorang anak dikatakan normal apabila mampu
berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan seperti anak
lain pada umumnya (Hurlock, 1980). Namun, ada juga anak yang dilahirkan
sebagai anak berkebutuhan khusus, salah satunya dengan diagnosis autisme.
Prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO
pada tahun 2011 adalah 6 diantara 1000 orang menghidap autisme. Data
UNESCO pada tahun 2011 mencatat sekitar 35 juta orang penyandang autisme di
dunia. Itu berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia menghidap autisme. Begitu
2
juga dengan penelitian Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat pada
tahun 2008, menyatakan bahwa perbandingan autisme pada anak usia 8 tahun
yang terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80. Di Amerika serikat, kelainan
autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak
perempuan dan lebih sering banyak di derita anak-anak keturunan Eropa Amerika
dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat
lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Penderita
autis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Di Indonesia tahun 2015
diperkirakan satu per 250 anak mengalami gangguan spektrum autis. Tahun 2015
diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000
penyandang spektrum autis di Indonesia (Judarwanto, 2015).
Autism Spectrum Disorders (ASD) adalah nama yang diberikan kepada
sekelompok gangguan neurobiologis yang dapat diidentifikasi pada anak usia dini.
Gangguan ini dibagi ke dalam lima spektrum: 1. gangguan autistik (biasanya
disebut autisme), 2. perpasive developmental disorder not otherwise specified
(PDDNOS), 3. Asperger’s disorder; 4. Rett’s disorder; dan 5. Childhood
disintegrative disorder oleh Strock, 2004 (Dalam Ratri Dinie, 2006). Ratri
menambahkan gejala-gejala yang umum pada kelima gangguan diatas adalah :
ketidakmampuan
menjalin
interaksi
sosial,
memiliki
suatu
pola
yang
dipertahankan dan diulang, serta perilaku yang stereotip. Dalam penelitian ini,
peneliti memilih anak dengan diagnosa autism spectrum disorder (ASD) yang
peneliti maksud adalah anak dengan gangguan autisme yang paling banyak
ditemukan ditempat terapi.
3
Anak-anak dengan diagnose Autism Spectrum Disorders (ASD) hadir
dengan kesulitan dalam komunikasi bahasa dan interaksi sosial, perilaku
Stereotip, dan pola perilaku terbatas (American Psychiatric Association, 2013).
Orang tua dan pengasuh anak-anak dengan diagnosa ASD mengalami stres yang
signifikan dan mengalami tantangan dalam pengasuhan (Hayes & Watson dalam
Lai & Oei, 2014). Hal ini disebabkan anak dengan diagnosis ASD berhubungan
dengan masalah perilaku seperti kesulitan dalam beradaptasi, kecemasan,
hiperaktif, dan obsesi terhadap suatu ritual merupakan sumber stres bagi orang tua
dan pengasuh (Peters-Scheffer et al dalam Lai&Oei, 2014). Maka dapat
disimpulkan bahwa penerimaan diri ibu terhadap kekurangan anaknya berkaitan
juga dengan yang dirasakan oleh ibu.
Kenyataan melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik
berkebutuhan khusus menjadi “pukulan” tersendiri bagi ibu. Mahoney (1992)
mengatakan bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan orang tua yang
anaknya tidak mengalami kelainan. Kebanyakan orang tua mengalami shock
bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali
mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Selain itu
Budhiman (1997) juga mengatakan bahwa setiap orang tua yang memiliki anak
autisme akan mengalami berbagai macam perasaan pada saat mendengar diagnosa
dokter bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan salah satunya yang
termasuk dalam spektrum autisme. Orang tua tersebut merasa tak percaya, marah,
tak dapat menerima dengan harapan bahwa diagnosis tersebut salah, rasa shock,
4
panik, sedih, bingung dan lain sebagainya. Ibu merupakan orang yang paling
terbebani dengan hal ini dikarenakan seorang ibu mempunyai kelekatan yang
besar dengan anaknya sejak mengandung bayinya. Bowlby (dalam Haditono
dkk,1994) menyatakan bahwa anak memiliki kelekatan atau ikatan emosional
yang kuat melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dan
dalam kehidupannya biasanya orang tua, yang diawali dengan kelekatan anak
pada ibu.
Kondisi ibu dengan perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami
autisme kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk
menyangkal diagnosa dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti
dokter. Pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang obyektif dari berbagai
sumber, maka kebanyakan orang tua pun menjadi tidak percaya (shock) menerima
kenyataan pahit yang menimpa anaknya. Sampai pada tahap dimana orang tua
akan menerima dengan berbagai macam perasaan sebelumnya yang harus diatasi.
Orang tua akan mulai memberikan terapi kepada anak atau memasukkan ke
sekolah khusus (Puspita, 2004).
Ibu yang mempunyai anak autisme akan memiliki pandangan dan
penerimaan diri yang berbeda-beda. Ibu yang mampu menerima dirinya dengan
permasalahan anak autisme yang dilahirkan akan mampu menghadapi kehidupan
sehari-harinya tanpa keterpurukan emosional yang berlebihan. Sikap ibu yang
mampu menerima diri dengan memiliki anak autisme terlihat dari pengalaman ibu
A, berusia 28 tahun, seorang ibu rumah tangga, usia anak 6 tahun, dan sudah
menjalani terapi selama 2 tahun, seperti kutipan wawancara berikut ini :
5
“ya awalnya saya kaget sekali, sedih banget perasaan saya ga percaya, dan
saya sampai pergi ke dokter lain untuk memastikannya. Tapi setelah itu
saya mencoba untuk menerima dan segera memberikan anak terapi atas
usul dari dokter, maka dari itu saya langsung membawa anak saya terapi”
Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada awalnya ibu
A merasa sedih dan tidak percaya atas diagnosa dokter, namun seiring waktu ibu
A mampu menerima dirinya dengan bersikap realistik terhadap kekurangan
anaknya yang autisme dengan membawa anaknya terapi.
Berbeda dengan pengalaman ibu B, berusia 30 tahun, seorang ibu rumah
tangga, usia anak 7 tahun dan sudah menjalani terapi selama 2 tahun. Sampai
sekarang ibu B masih malu terhadap penilaian lingkungan sosial dan orang-orang
di sekitarnya dikarenakan memiliki anak autisme, seperti hasil wawancara
dibawah ini :
“Saya kaget, sedih, sampai stress memikirkannya, saya sampai nangisnangis tidak bisa menerimanya. Karena kita tidak ada yang turunan
autisme. Saya jadi malu, kemana-mana saya juga malu, kalau bisa dirumah
aja deh.. sampai sekarang juga saya belum bisa menerima kondisi anak
saya, sampai saya berfikir kenapa harus terjadi sama saya”
Dengan demikian dari hasil wawancara kedua ibu yang mempunyai anak autis
dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki penerimaan diri yang berbeda-beda
dengan keadaannya yang memiliki anak autisme.
Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) Penerimaan diri adalah suatu
karakter yang lebih dalam yang dapat menjelaskan perilaku seseorang saat dia
bertindak sebagaimana dirinya. Hal itu biasanya ditentukan dari perasaan
seseorang apakah dia berhasil ataupun gagal. Dengan demikian ibu dengan anak
autisme yang memiliki penerimaan diri positif akan mampu bersikap menerima
6
keterbatasan diri, mampu bersikap realistik terhadap situasi yang dihadapinya,
berusaha mengembangkan diri dengan cara-cara yang positif. Sebaliknya ibu yang
memiliki anak autisme yang memiliki penerimaan diri negatif cenderung bersikap
malu, sulit menerima kritik, sulit menerima kekurangan yang terkait dengan
memiliki anak autisme.
Dari hasil penelitian Retno (2015) dengan topik hubungan dukungan
keluarga dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak autis menunjukkan
hasil bahwa semakin baik dukungan keluarga terhadap ibu yang memiliki anak
autis akan semakin positif penerimaan diri ibu yang memiliki anak autis dan
sebaliknya. Selain itu penelitian kuantitatif Ari Saadah (2016) dengan topik Stres
Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Syndrome. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus tersebut
memiliki stres yang rendah atau tidak merasa terbebani berlebihan dengan kondisi
yang dihadapinya. Dari hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa
penerimaan diri ibu terhadap kekurangan anaknya berkaitan juga dengan yang
dirasakan oleh ibu.
Dari uraian latar belakang diatas penulis ingin melihat bagaimana
Gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autism spectrum disorder
(ASD) yang telah terdiagnosis autisme selama 2 tahun.
7
B. Identifikasi Masalah
Setiap ibu mengharapkan bahwa anak yang dilahirkannya memiliki
kondisi yang sehat, cerdas tanpa adanya kekurangan. Ibu selalu memiliki
gambaran yang ideal dan harapan yang positif tentang anak yang dilahirkannya.
Ibu berharap memiliki anak yang tumbuh berkembang tanpa adanya gangguan,
memiliki anak yang lincah, berperilaku sopan, tumbuh bermain bersama dengan
anak-anak lainnya dan dapat mencapai prestasi dalam pendidikannya.
Namun kenyataannya beberapa anak yang dilahirkan memiliki kekurangan
diri, salah satunya adalah anak autisme. Anak-anak dengan diagnosa Autism
Spectrum Disorder (ASD) hadir dengan kesulitan dalam komunikasi bahasa dan
interaksi sosial, perilaku stereotip, dan pola perilaku terbatas. Kenyataan
melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik berkebutuhan khusus
menjadi “pukulan”
tersendiri bagi ibu. Orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan
orang tua yang anaknya tidak mengalami kelainan. Kebanyakan orang tua
mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah
ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Setiap orang tua yang memiliki anak autisme akan mengalami berbagai
macam perasaan pada saat mendengar diagnosa dokter bahwa anaknya mengalami
gangguan perkembangan salah satunya yang termasuk dalam spektrum autisme.
Orang tua tersebut merasa tak percaya, marah, tak dapat menerima dengan
harapan bahwa diagnosis tersebut salah, rasa shock, panik, sedih, bingung dan lain
sebagainya. Namun ada juga ibu yang dapat menerima kondisi anaknya, dengan
8
tidak larut dalam kesedihan namun berusaha untuk menerima dan membesarkan
anaknya dengan penuh kasih sayang, salah satunya adalah dengan merawat
anaknya, menyekolahkan anaknya dan membawa anaknya terapi untuk
perkembangan anaknya. Ibu merupakan orang yang paling terganggu dengan hal
ini dikarenakan seorang ibu mempunyai kelekatan emosional dan hal itu memiliki
makna yang mendalam untuk seorang ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Dari uraian tersebut peneliti ingin melihat gambaran penerimaan diri ibu
yang memiliki anak autism spectrum disorder (ASD) yang telah terdiagnosis
autisme selama 2 (dua) tahun.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autisme.
2. Mengetahui gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autisme
berdasarkan data penunjang.
D. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat teoritis
9
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai Gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak dengan diagnosa
Autism Spectrum Disorder (ASD).
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi Ibu – ibu yang memiliki anak
ASD.
b. Para konselor, dokter, psikolog, guru yang dapat membantu memahami
keadaan psikologis ibu yang memiliki anak autisme
c. Masyarakat agar lebih memahami tentang kondisi ibu yang memiliki anak
autisme.
E. Kerangka berfikir
Seorang ibu umumnya memiliki harapan yang positif mengenai anak yang
dilahirkannya, yaitu anak dilahirkan sehat, lincah, dan mampu berkembang
optimal baik secara fisik, psikologis emosional maupun sosial. Namun
kenyataannya beberapa anak dilahirkan memiliki kekurangan diri, salah satunya
adalah anak dengan diagnosa autisme dengan ciri-ciri antara lain keterlambatan
perkembangan wicara, motorik, anak cenderung menyendiri dan menghindar dari
kontak dengan orang lain.
10
Kenyataan melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik
berkebutuhan khusus bisa menjadi beban bagi ibu yang merawatnya. Ibu dengan
anak berkebutuhan khusus mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang anaknya sehat. Beberapa ibu yang memiliki anak autisme
mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah
ketika pertama kali mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Beberapa ibu yang memiliki anak autisme ada yang terpuruk secara
emosional dan sulit menerima dirinya secara positif, namun ada pula yang bisa
bangkit dan menerima diri secara positif.
Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) penerimaan diri adalah suatu
karakter yang lebih dalam yang dapat menjelaskan perilaku seseorang saat dia
bertindak sebagaimana dirinya. Hal itu biasanya ditentukan dari perasaan
seseorang apakah dia berhasil ataupun gagal. Dengan demikian Ibu yang memiliki
anak autisme dengan penerimaan diri yang positif akan merasa sama dengan ibu
yang lain meskipun memiliki anak yang autisme, tetap merasa berharga meskipun
menjadi orang tua dari anak yang autisme, mampu menerima kenyataan bahwa
anaknya mengalami autisme dan bersedia menerima masukan dari orang lain
untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif. Berbeda dengan ibu
yang memiliki penerimaan diri yang negatif terlihat pada ibu yang merasa diri
tidak berguna, merasa diri memiliki nasib yang buruk, merasa tertekan dengan
memiliki anak autisme, merasa bersalah atas dirinya yang memiliki anak autisme
dan takut akan kritik dari orang lain yang membuat dirinya malu dan terpukul.
Berikut bagan 1.1 dibawah ini adalah bagan kerangka berfikir :
11
Ibu yang memiliki anak Autism
Spectrum Disorder (ASD)
Penerimaan diri positif :
Penerimaan diri negatif :
1. Merasa percaya terhadap
kemampuan diri
2. Merasa diri berharga.
3. Mampu bersosialisasi dengan
lingkungan
4. Mampu bersikap terbuka
terhadap orang lain.
5. Mampu bertanggung jawab.
6. Memiliki pendirian diri
7. Mampu menerima pujian atau
celaan secara obyektif.
8. Mampu menyadari keterbatasan
diri
9. Mampu mengenali emosi diri.
1. Tidak percaya terhadap
kemampuan diri
2. Merasa tidak berharga.
3. Tidak mampu bersosialisasi dengan
lingkungan.
4. Tidak dapat membuka diri terhadap
orang lain.
5. Tidak bertanggung jawab.
6. Tidak memiliki pendirian
7. Tidak mampu menerima pujian
atau celaan secara obyektif.
8. Tidak dapat menerima keterbatasan
diri.
9. Tidak mampu mengenali emosi
diri.
Gambar 1.1 Bagan Kerangka berfikir.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian
yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Ketika seorang ibu sedang mengandung, ia
mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat dan
sempurna. Selain itu, sejak anak masih dalam kandungan para orang tua mencoba
membayangkan
dan
menggambarkan
anaknya
secara
fisik
dan
mulai
merencanakan apa yang dapat mereka lakukan untuk memberikan yang terbaik
bagi anak mereka.
Pada dasarnya setiap orang tua berharap untuk memiliki anak yang sehat
dan tumbuh secara normal. Seorang anak dikatakan normal apabila mampu
berkembang dengan baik dan seimbang seiring pertumbuhannya dan seperti anak
lain pada umumnya (Hurlock, 1980). Namun, ada juga anak yang dilahirkan
sebagai anak berkebutuhan khusus, salah satunya dengan diagnosis autisme.
Prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO
pada tahun 2011 adalah 6 diantara 1000 orang menghidap autisme. Data
UNESCO pada tahun 2011 mencatat sekitar 35 juta orang penyandang autisme di
dunia. Itu berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia menghidap autisme. Begitu
2
juga dengan penelitian Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat pada
tahun 2008, menyatakan bahwa perbandingan autisme pada anak usia 8 tahun
yang terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80. Di Amerika serikat, kelainan
autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki dibandingkan anak
perempuan dan lebih sering banyak di derita anak-anak keturunan Eropa Amerika
dibandingkan yang lainnya. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat
lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Penderita
autis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Di Indonesia tahun 2015
diperkirakan satu per 250 anak mengalami gangguan spektrum autis. Tahun 2015
diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000
penyandang spektrum autis di Indonesia (Judarwanto, 2015).
Autism Spectrum Disorders (ASD) adalah nama yang diberikan kepada
sekelompok gangguan neurobiologis yang dapat diidentifikasi pada anak usia dini.
Gangguan ini dibagi ke dalam lima spektrum: 1. gangguan autistik (biasanya
disebut autisme), 2. perpasive developmental disorder not otherwise specified
(PDDNOS), 3. Asperger’s disorder; 4. Rett’s disorder; dan 5. Childhood
disintegrative disorder oleh Strock, 2004 (Dalam Ratri Dinie, 2006). Ratri
menambahkan gejala-gejala yang umum pada kelima gangguan diatas adalah :
ketidakmampuan
menjalin
interaksi
sosial,
memiliki
suatu
pola
yang
dipertahankan dan diulang, serta perilaku yang stereotip. Dalam penelitian ini,
peneliti memilih anak dengan diagnosa autism spectrum disorder (ASD) yang
peneliti maksud adalah anak dengan gangguan autisme yang paling banyak
ditemukan ditempat terapi.
3
Anak-anak dengan diagnose Autism Spectrum Disorders (ASD) hadir
dengan kesulitan dalam komunikasi bahasa dan interaksi sosial, perilaku
Stereotip, dan pola perilaku terbatas (American Psychiatric Association, 2013).
Orang tua dan pengasuh anak-anak dengan diagnosa ASD mengalami stres yang
signifikan dan mengalami tantangan dalam pengasuhan (Hayes & Watson dalam
Lai & Oei, 2014). Hal ini disebabkan anak dengan diagnosis ASD berhubungan
dengan masalah perilaku seperti kesulitan dalam beradaptasi, kecemasan,
hiperaktif, dan obsesi terhadap suatu ritual merupakan sumber stres bagi orang tua
dan pengasuh (Peters-Scheffer et al dalam Lai&Oei, 2014). Maka dapat
disimpulkan bahwa penerimaan diri ibu terhadap kekurangan anaknya berkaitan
juga dengan yang dirasakan oleh ibu.
Kenyataan melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik
berkebutuhan khusus menjadi “pukulan” tersendiri bagi ibu. Mahoney (1992)
mengatakan bahwa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan orang tua yang
anaknya tidak mengalami kelainan. Kebanyakan orang tua mengalami shock
bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali
mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Selain itu
Budhiman (1997) juga mengatakan bahwa setiap orang tua yang memiliki anak
autisme akan mengalami berbagai macam perasaan pada saat mendengar diagnosa
dokter bahwa anaknya mengalami gangguan perkembangan salah satunya yang
termasuk dalam spektrum autisme. Orang tua tersebut merasa tak percaya, marah,
tak dapat menerima dengan harapan bahwa diagnosis tersebut salah, rasa shock,
4
panik, sedih, bingung dan lain sebagainya. Ibu merupakan orang yang paling
terbebani dengan hal ini dikarenakan seorang ibu mempunyai kelekatan yang
besar dengan anaknya sejak mengandung bayinya. Bowlby (dalam Haditono
dkk,1994) menyatakan bahwa anak memiliki kelekatan atau ikatan emosional
yang kuat melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dan
dalam kehidupannya biasanya orang tua, yang diawali dengan kelekatan anak
pada ibu.
Kondisi ibu dengan perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami
autisme kadang-kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk
menyangkal diagnosa dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti
dokter. Pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang obyektif dari berbagai
sumber, maka kebanyakan orang tua pun menjadi tidak percaya (shock) menerima
kenyataan pahit yang menimpa anaknya. Sampai pada tahap dimana orang tua
akan menerima dengan berbagai macam perasaan sebelumnya yang harus diatasi.
Orang tua akan mulai memberikan terapi kepada anak atau memasukkan ke
sekolah khusus (Puspita, 2004).
Ibu yang mempunyai anak autisme akan memiliki pandangan dan
penerimaan diri yang berbeda-beda. Ibu yang mampu menerima dirinya dengan
permasalahan anak autisme yang dilahirkan akan mampu menghadapi kehidupan
sehari-harinya tanpa keterpurukan emosional yang berlebihan. Sikap ibu yang
mampu menerima diri dengan memiliki anak autisme terlihat dari pengalaman ibu
A, berusia 28 tahun, seorang ibu rumah tangga, usia anak 6 tahun, dan sudah
menjalani terapi selama 2 tahun, seperti kutipan wawancara berikut ini :
5
“ya awalnya saya kaget sekali, sedih banget perasaan saya ga percaya, dan
saya sampai pergi ke dokter lain untuk memastikannya. Tapi setelah itu
saya mencoba untuk menerima dan segera memberikan anak terapi atas
usul dari dokter, maka dari itu saya langsung membawa anak saya terapi”
Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada awalnya ibu
A merasa sedih dan tidak percaya atas diagnosa dokter, namun seiring waktu ibu
A mampu menerima dirinya dengan bersikap realistik terhadap kekurangan
anaknya yang autisme dengan membawa anaknya terapi.
Berbeda dengan pengalaman ibu B, berusia 30 tahun, seorang ibu rumah
tangga, usia anak 7 tahun dan sudah menjalani terapi selama 2 tahun. Sampai
sekarang ibu B masih malu terhadap penilaian lingkungan sosial dan orang-orang
di sekitarnya dikarenakan memiliki anak autisme, seperti hasil wawancara
dibawah ini :
“Saya kaget, sedih, sampai stress memikirkannya, saya sampai nangisnangis tidak bisa menerimanya. Karena kita tidak ada yang turunan
autisme. Saya jadi malu, kemana-mana saya juga malu, kalau bisa dirumah
aja deh.. sampai sekarang juga saya belum bisa menerima kondisi anak
saya, sampai saya berfikir kenapa harus terjadi sama saya”
Dengan demikian dari hasil wawancara kedua ibu yang mempunyai anak autis
dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki penerimaan diri yang berbeda-beda
dengan keadaannya yang memiliki anak autisme.
Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) Penerimaan diri adalah suatu
karakter yang lebih dalam yang dapat menjelaskan perilaku seseorang saat dia
bertindak sebagaimana dirinya. Hal itu biasanya ditentukan dari perasaan
seseorang apakah dia berhasil ataupun gagal. Dengan demikian ibu dengan anak
autisme yang memiliki penerimaan diri positif akan mampu bersikap menerima
6
keterbatasan diri, mampu bersikap realistik terhadap situasi yang dihadapinya,
berusaha mengembangkan diri dengan cara-cara yang positif. Sebaliknya ibu yang
memiliki anak autisme yang memiliki penerimaan diri negatif cenderung bersikap
malu, sulit menerima kritik, sulit menerima kekurangan yang terkait dengan
memiliki anak autisme.
Dari hasil penelitian Retno (2015) dengan topik hubungan dukungan
keluarga dengan penerimaan diri ibu yang mempunyai anak autis menunjukkan
hasil bahwa semakin baik dukungan keluarga terhadap ibu yang memiliki anak
autis akan semakin positif penerimaan diri ibu yang memiliki anak autis dan
sebaliknya. Selain itu penelitian kuantitatif Ari Saadah (2016) dengan topik Stres
Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Syndrome. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus tersebut
memiliki stres yang rendah atau tidak merasa terbebani berlebihan dengan kondisi
yang dihadapinya. Dari hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa
penerimaan diri ibu terhadap kekurangan anaknya berkaitan juga dengan yang
dirasakan oleh ibu.
Dari uraian latar belakang diatas penulis ingin melihat bagaimana
Gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autism spectrum disorder
(ASD) yang telah terdiagnosis autisme selama 2 tahun.
7
B. Identifikasi Masalah
Setiap ibu mengharapkan bahwa anak yang dilahirkannya memiliki
kondisi yang sehat, cerdas tanpa adanya kekurangan. Ibu selalu memiliki
gambaran yang ideal dan harapan yang positif tentang anak yang dilahirkannya.
Ibu berharap memiliki anak yang tumbuh berkembang tanpa adanya gangguan,
memiliki anak yang lincah, berperilaku sopan, tumbuh bermain bersama dengan
anak-anak lainnya dan dapat mencapai prestasi dalam pendidikannya.
Namun kenyataannya beberapa anak yang dilahirkan memiliki kekurangan
diri, salah satunya adalah anak autisme. Anak-anak dengan diagnosa Autism
Spectrum Disorder (ASD) hadir dengan kesulitan dalam komunikasi bahasa dan
interaksi sosial, perilaku stereotip, dan pola perilaku terbatas. Kenyataan
melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik berkebutuhan khusus
menjadi “pukulan”
tersendiri bagi ibu. Orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan
orang tua yang anaknya tidak mengalami kelainan. Kebanyakan orang tua
mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah
ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Setiap orang tua yang memiliki anak autisme akan mengalami berbagai
macam perasaan pada saat mendengar diagnosa dokter bahwa anaknya mengalami
gangguan perkembangan salah satunya yang termasuk dalam spektrum autisme.
Orang tua tersebut merasa tak percaya, marah, tak dapat menerima dengan
harapan bahwa diagnosis tersebut salah, rasa shock, panik, sedih, bingung dan lain
sebagainya. Namun ada juga ibu yang dapat menerima kondisi anaknya, dengan
8
tidak larut dalam kesedihan namun berusaha untuk menerima dan membesarkan
anaknya dengan penuh kasih sayang, salah satunya adalah dengan merawat
anaknya, menyekolahkan anaknya dan membawa anaknya terapi untuk
perkembangan anaknya. Ibu merupakan orang yang paling terganggu dengan hal
ini dikarenakan seorang ibu mempunyai kelekatan emosional dan hal itu memiliki
makna yang mendalam untuk seorang ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Dari uraian tersebut peneliti ingin melihat gambaran penerimaan diri ibu
yang memiliki anak autism spectrum disorder (ASD) yang telah terdiagnosis
autisme selama 2 (dua) tahun.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autisme.
2. Mengetahui gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak autisme
berdasarkan data penunjang.
D. Manfaat Penelitian :
1. Manfaat teoritis
9
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai Gambaran penerimaan diri ibu yang memiliki anak dengan diagnosa
Autism Spectrum Disorder (ASD).
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi Ibu – ibu yang memiliki anak
ASD.
b. Para konselor, dokter, psikolog, guru yang dapat membantu memahami
keadaan psikologis ibu yang memiliki anak autisme
c. Masyarakat agar lebih memahami tentang kondisi ibu yang memiliki anak
autisme.
E. Kerangka berfikir
Seorang ibu umumnya memiliki harapan yang positif mengenai anak yang
dilahirkannya, yaitu anak dilahirkan sehat, lincah, dan mampu berkembang
optimal baik secara fisik, psikologis emosional maupun sosial. Namun
kenyataannya beberapa anak dilahirkan memiliki kekurangan diri, salah satunya
adalah anak dengan diagnosa autisme dengan ciri-ciri antara lain keterlambatan
perkembangan wicara, motorik, anak cenderung menyendiri dan menghindar dari
kontak dengan orang lain.
10
Kenyataan melahirkan anak autisme yang termasuk dalam karakteristik
berkebutuhan khusus bisa menjadi beban bagi ibu yang merawatnya. Ibu dengan
anak berkebutuhan khusus mengalami tekanan yang lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang anaknya sehat. Beberapa ibu yang memiliki anak autisme
mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah
ketika pertama kali mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Beberapa ibu yang memiliki anak autisme ada yang terpuruk secara
emosional dan sulit menerima dirinya secara positif, namun ada pula yang bisa
bangkit dan menerima diri secara positif.
Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) penerimaan diri adalah suatu
karakter yang lebih dalam yang dapat menjelaskan perilaku seseorang saat dia
bertindak sebagaimana dirinya. Hal itu biasanya ditentukan dari perasaan
seseorang apakah dia berhasil ataupun gagal. Dengan demikian Ibu yang memiliki
anak autisme dengan penerimaan diri yang positif akan merasa sama dengan ibu
yang lain meskipun memiliki anak yang autisme, tetap merasa berharga meskipun
menjadi orang tua dari anak yang autisme, mampu menerima kenyataan bahwa
anaknya mengalami autisme dan bersedia menerima masukan dari orang lain
untuk mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif. Berbeda dengan ibu
yang memiliki penerimaan diri yang negatif terlihat pada ibu yang merasa diri
tidak berguna, merasa diri memiliki nasib yang buruk, merasa tertekan dengan
memiliki anak autisme, merasa bersalah atas dirinya yang memiliki anak autisme
dan takut akan kritik dari orang lain yang membuat dirinya malu dan terpukul.
Berikut bagan 1.1 dibawah ini adalah bagan kerangka berfikir :
11
Ibu yang memiliki anak Autism
Spectrum Disorder (ASD)
Penerimaan diri positif :
Penerimaan diri negatif :
1. Merasa percaya terhadap
kemampuan diri
2. Merasa diri berharga.
3. Mampu bersosialisasi dengan
lingkungan
4. Mampu bersikap terbuka
terhadap orang lain.
5. Mampu bertanggung jawab.
6. Memiliki pendirian diri
7. Mampu menerima pujian atau
celaan secara obyektif.
8. Mampu menyadari keterbatasan
diri
9. Mampu mengenali emosi diri.
1. Tidak percaya terhadap
kemampuan diri
2. Merasa tidak berharga.
3. Tidak mampu bersosialisasi dengan
lingkungan.
4. Tidak dapat membuka diri terhadap
orang lain.
5. Tidak bertanggung jawab.
6. Tidak memiliki pendirian
7. Tidak mampu menerima pujian
atau celaan secara obyektif.
8. Tidak dapat menerima keterbatasan
diri.
9. Tidak mampu mengenali emosi
diri.
Gambar 1.1 Bagan Kerangka berfikir.