Konflik dan kekerasan dalam pandangan Pa

Konflik dan Kekerasan dalam Pandangan Talcott Parson
Oleh : M. SYAIFUL

PROLOG
Manusia tentu saja cenderung mengharapkan keseimbangan antara ekspektasi nilai
dan kapabilitas nilai. Tetapi kondisi seperti itu tidak bisa dicapai oleh semua manusia. Dalam
kenyataannya, banyak manusia dihadapkan pada kesenjangan antara keduanya. Pada
akhirnya kesenjangan ini melahirkan konflik dan kekerasan. Kajian yang dilakukan Charles
Y. Glock (dalam Ronald I. Johnstone, 1983) semakin memperjelaskan kaitan konflik dan
kekerasan dengan kondisi deprivasi relatif yang dialami manusia.
Glock membagi deprivasi dalam lima karakteristik. Pertama, deprivasi ekonomi
(economic deprivation), yakni keterbatasan pendapatan dan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi yang dibutuhkan dalam hidup. Kedua, deprivasi sosial (social deprivation).
Deprivasi ini terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki prestasi, kekuatan, status sosial,
dan kesempatan berpartisipasi dalam pelbagai aktivitas dan organisasi. Jenis deprivasi yang
kedua ini menurut Glock merupakan kelanjutan dari deprivasi pertama, meskipun tidak selalu
berhubungan secara ketat. Jelas Glock: “This is frequently a concomitant of economic
deprivation in the sense that low economic status likely means low prestige or respect, little
power or influence over others, and exclusion from much of the social and organizational life
of the community. But social deprivation is not necessarily strictly correlated with economic
deprivation. A person may be socially deprived yet economically solvent, event successful”.

Deprivasi ketiga yang disebut Glock dengan organismic, yakni deprivasi yang disebabkan
oleh keterbatasan fisik, mental, dan kesehatan. Keempat, deprivasi etik (ethically deprived).
Jenis deprivasi ini mengacu pada individu yang mengalami kesulitan memaknai
kehidupannya dan tidak bisa memutuskan arah dan proses yang harus dilalui untuk
menemukan makna tersebut. Kelima, deprivasi fisik (psychic deprivation). Deprivasi yang
terakhir ini, menurut Glock, kemungkinan dialami oleh individu yang tidak pernah puas
terhadap semua penghargaan yang diterima dari masyarakatnya terutama yang berbentuk
pengakuan sosial.

Dari pelbagai perspektif teoritik di atas, kajian ini selanjutnya akan memfokuskan
pada analisis kebudayaan dalam memahami konflik dan kekerasan. Dengan pilihan terhadap
analisis kebudayaan tidak berarti menegasikan perspektif teori lainnya. Pilihan ini sematamata didasarkan pada relevansinya dengan sebuah wacana yang ingin mengkaji konstruksi
budaya nir-kekerasan dalam studi agama yang berbasis multikulturalisme. Dengan demikian,
penelitian ini lebih banyak bekerja di ranah kebudayaan, dari pada di ranah material dan
politik. Kebudayaan memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku manusia seperti perilaku
dalam berhubungan dengan kelompok agama lain.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa kebudayaan manusia terdiri dari nilai,
kepercayaan, norma, rasionalisasi, simbol, dan ideologi (Thompson, Ellis, dan Wildavsky,
1990). Semua unsur kebudayaan ini selanjutnya menjadi faktor determinan terhadap cara
berfikir, perasaan, dan tindakan manusia ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya

(Gollnick dan Chinn, 2002). Namun tetap diakui adanya dialektika antara faktor subyektif
manusia dengan lingkungan sosialnya. Jika dikatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi
oleh dunia maknanya yang berbentuk kebudayaan, tidak boleh dilupakan, kebudayaan
manusia sendiri sebenarnya merupakan hasil internalisasi dari lingkungan sosialnya. Untuk
menjembatani hubungan antara manusia dengan lingkungan sosialnya, Talcott Parson,
mengembangkan teori, The Structure of Social Action.
Melalui teorinya ini, Parson, di satu pihak mengakui adanya kesukarelaan manusia
dalam melakukan tindakan (voluntaristic action), sedangkan di pihak lain, Parson tidak
mengabaikan lingkungan sosial manusia. Berikut ini prinsip-prinsip fundamental tindakan
manusia dari Parson: (1) individu sebagai aktor; (2) aktor memiliki tujuan yang ingin dicapai;
(3) aktor memiliki pelbagai cara yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan tersebut; (4) aktor dihadapkan pada pelbagai kondisi dan situasi yang dapat
mempengaruhi pemilihan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (5)
aktor dipandu oleh nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide dalam menentukan tujuan yang
diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut; (6) perilaku, termasuk bagaimana
aktor mengambil keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan,
dipengaruhi oleh ide-ide dan situasi kondisi sosial yang ada (Jonathan H. Turner, 1982;
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004).
Bagaimana faktor kebudayaan berpengaruh terhadap konflik dan aksi kekerasan
dalam kehidupan masyarakat? Telah dikemukakan bahwa dalam kebudayaan terdapat nilai,


norma, simbol, rasionalisasi, dan ideologi, yang berpengaruh dalam tindakan manusia. Semua
unsur kebudayaan ini tidak diperoleh manusia secara genetik, atau transmisi secara biologis,
tetapi melalui proses belajar (Freedman, et.all, 1952; Ihromi, 1990). Sebagaimana halnya
mekanisme biologis pada makhluk hidup yang digerakkan oleh kebutuhan, manusia juga
demikian. Semua makhluk hidup butuh makanan. Jika makhluk hidup merasa lapar, secara
butuh ingin makan. Kebutuhan terhadap makanan bukan kebudayaan, karena bersifat
instingtif. Konsep kebudayaan baru bisa dipakai pada kasus makanan jika berkaitan dengan
tata cara makan yang diperoleh melalui proses belajar. Sedangkan segala sesuatu yang
bersifat instingtif tidak diperoleh melalui proses belajar. Nilai, norma, simbol, rasionalisasi,
dan ideologi, hanya bisa menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia jika diperoleh
melalui proses belajar. Salah satu proses penting untuk mempelajari pelbagai unsur budaya
tersebut adalah melalui sosialisasi, yakni proses dalam mana individu mempelajari budaya
masyarakatnya (M. Haralambos dan M. Holborn, 1994).
Lewat proses sosialisasi, individu-individu masyarakat belajar mengetahui dan
memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan, dan tingkah pekertitingkah pekerti apa pulakah yang harus tidak dilakukan (terhadap dan berhadapan dengan
orang lain) di dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi ini pula individu-individu belajar
mengetahui dan memahami tingkah pekerti-tingkah pekerti apakah yang harus dilakukan,
atau tidak dilakukan (terhadap dan sewaktu berhadapan dengan dia, atau dengan orang
ketiga) dalam masyarakat. Ringkas kata, lewat sosialisasi warga masyarakat akan saling

mengetahui peranan masing-masing dalam masyarakat, dan karenanya kemudian dapat
bertingkah pekerti sesuai dengan peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana
diharapkan oleh norma-norma sosial yang ada dan selanjutnya mereka-meraka akan dapat
saling menyerasikan serta menyesuaikan tingkah pekerti masing-masing sewaktu melakukan
interaksi-interaksi sosial (Soetantyo Wignjosoebroto dan Bagong Suyanto, 2004).
Melalui sosialisasi, individu bertindak sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya.
Proses semacam ini merupakan hal yang alami terjadi. Proses inilah yang disebut oleh
Soerjono Soekanto (1986) dengan identifikasi. Banyak aspek dalam kehidupan sosial yang
menjadi bagian penting dalam proses identifikasi. Salah satu yang dapat disebut pada bagian
ini adalah agama. Sejak kecil individu diperkenalkan dengan agama yang dipeluk oleh kedua
orang tuanya. Sebagaimana tahapan sosialisasi yang diperkenalkan George Herbert Mead
(1972), yakni play stage, game stage, dan generalized others, agama juga mengalami tahapan
seperti ini. Pada masa anak-anak, individu sekedar menirukan apa yang dikerjakan kedua

orang tuanya. Oleh karena dunia anak-anak adalah bermain, maka peniruan praktik agama,
katakanlah ibadah solat, doa, dan lain sebagainya, dilakukan dengan main-main, tanpa perlu
mengetahui alasan di balik praktik tersebut. Inilah yang disebut dengan play stage. Pada
tahapan berikutnya, game stage, individu mulai mengetahui alasan di balik praktik ibadah itu
meskipun belum begitu mendalam. Pada tahapan ini individu sudah mengerti bahwa praktik
ibadah itu dalam rangka menyembah Tuhan. Individu mulai menemukan pengertian terhadap

peranan yang dilakukan orang lain pada sosialisasi tahap ketiga, generalized others. Pada
tahapan ini pula, individu menemukan media identifikasi. Agama dengan demikian muncul
menjadi bagian dalam apa yang disebut dengan in- group feeling.

Ia akan melakukan

tindakan dalam agama sebagaimana yang dilakukan kelompoknya. Maka tidak heran jika
kemudian agama menjadi sebuah kategori atau golongan askriptif, sebagaimana unsur
kebudayaan lainnya.
Dalam posisi yang demikian,
mempunyai

pilihan

lain

kecuali

individu, menurut Parsudi Suparlan (2003) tidak
mengikuti


kebudayaan

(agama)

kelompoknya.

“Keterpaksaan” yang dialami individu ketika berhadapan dengan kebudayaan kelompoknya,
mengingatkan pada konsep fakta sosial yang dikembangkan oleh teoritikus struktural
fungsional, Emile Durkheim. Fakta sosial yang dimaksud Durkheim adalah: “Consists of
ways of acting, thinking and feeling, external to the individual and endowed with the power
of coercion by reason of which they exert control” (Ken Morrison, 1996). Kebudayaan
memiliki “daya memaksa” kepada individu sehingga tidak memiliki pilihan lain kecuali
bertindak sebagaimana kebudayaan kelompoknya. Keberagamaan individu seringkali juga
diperoleh melalui proses yang demikian.
Pembelajaran kebudayaan yang juga “dipaksakan” adalah pelajaran agama dari orang
tua, keluarga, dan komunitas suku bangsa. Agama adalah teks suci yang berisikan petunjukpetunjuk Tuhan tentang sesuatu yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindari, dan yang
dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia. Hal itu
terjewantahkan melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial
masyarakatnya. Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan

dipahami dengan menggunakan acuan kebudayaan, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi
kehiduan yang bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada. Sebaliknya, sebagian besar
nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang diyakini
kebenarannya (Parsudi Suparlan, 2003).

Masalah muncul ketika keberagamaan individu yang telah berkembang menjadi
identitas kelompok berhadapan dengan identitas kelompok lainnya, karena sebagaimana
dikatakan Ronald I. Johnstone (1983): “Group members feel and express a sense of
identification with the group.” Dalam kajian antropologi dikenal konsep bounded system
untuk menggambarkan adanya teritorialisasi masyarakat berdasarkan wilayah geografis dan
nilai-nilai kebudayaannya (Irwan Abdullah, 1999). Masyarakat memiliki kecenderungan
alami mempertahankan batas-batas terioterialnya tersebut, sebagaimana yang juga terjadi
dalam kehidupan agama. Dalam konteks ini, selalu terjadi paradoks antara in-group dan outgroup yang mengambil beberapa bentuk sebagai berikut: pertama, stereotip, yakni pandangan
(image) umum suatu kelompok tentang kelompok lainnya (Paul B. Horton dan Chester L.
Hunt, 1984). Meskipun stereotip ada yang berkonotasi positip, tetapi pada umumnya stereotip
selalu digunakan untuk memberikan pencitraan negatif terhadap kelompok lain. Terhadap
kelompoknya sendiri selalu diberi penilaian sebagai kelompok terpandai dan superior (as
virtuos and superior), yang melahirkan sikap: willingness to fight and die for in- group.
Sedangkan terhadap kelompok luar dipandang sebaliknya, yaitu rendah, immoral, dan
inferior (as contemtible, immoral, and inferior), yang melahirkan sikap: distrust and fear of

the out-group (Robert A. Levine dan Donald T. Campbell, 1972).
SEBUAH KASUS
Dari beberapa penelitian terhadap konflik yang berkembang di Indonesia, konflik
dalam wilayah agama memperoleh perhatian serius. Hal ini karena konflik pada wilayah
agama seringkali terjadi baik dengan eskalasi konflik yang luas maupun terbatas. Konflik di
Ambon dan Poso merupakan contoh yang memiliki eskalasi yang luas. Konflik di Ambon dan
Poso memang tidak bisa hanya dipahami dari perspektif agama. Dari penelusuran terhadap
konflik di Ambon dan Poso diperoleh suatu kesimpulan bahwa konflik di Ambon tidak murni
bersinggungan dengan masalah keagamaan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan
pembangunan yang ternyata membawa ekses disparitas terhadap orang-orang miskin.
Meskipun demikian, nuansa keagamaan dalam konflik di Ambon sulit ditutupi.
Salah satu ciri konflik bernuansakan agama terletak pada eskalasi konflik yang
meluas sampai ke wilayah di luar konflik. Konflik di Ambon dan Poso ternyata mengundang
pihak luar melibatkan diri dengan alasan solidaritas komunal atas nama kesamaan agama
meskipun secara etnis berbeda. Perkembangan konflik di Ambon dan Poso sehingga
mencapai eskalasi yang luas, merupakan fenomena yang wajar dalam setiap munculnya

konflik. Menurut perspektif konflik dalam paradigma fakta sosial, perkembangan konflik
biasanya melewati tiga tahapan, yaitu: latent tension, nascent conflict, dan intensified
conflict. Pada tahapan pertama, latent tension, konflik masih dalam bentuk kesalahpahaman

antara satu dengan lainnya, tetapi antara pihak yang bertentangan belum melibatkan dalam
konflik. Tahapan ini bisa disebut juga dengan konflik autistik. Pada tahapan kedua, nescent
conflict, konflik mulai nampak dalam bentuk pertentangan meskipun belum menyertakan
ungkapan-ungkapan ideologis dan pemetaan terhadap pihak lawan secara terorganisasi.
Sedangkan pada tahapan ketiga, intensified conflict, konflik berkembang dalam bentuk yang
terbuka disertai dengan radikalisasi gerakan di antara pihak yang saling bertentangan, dan
masuknya pihak ketiga ke dalam arena konflik.
Kajian dari paradigma ini bisa digunakan sebagai kerangka teoritik dalam mencermati
konflik di Ambon dan Poso karena memiliki eskalasi yang luas seperti ditunjukkan dengan
pelibatan pihak lain. Solidaritas keagamaan menjadi pendorong utama keterlibatan pihak
ketiga dalam konflik di Ambon dan Poso. Kentalnya warna keagamaan konflik di Ambon
dan Poso menarik perhatian banyak kalangan untuk membuat citra bahwa konflik tersebut
adalah konflik antaragama. Pencitraan ini mengandung maksud, perbedaan agama (Islam dan
Kristen) menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal di Ambon dan Poso.
Pelibatan faktor agama dalam konflik, atau sebut saja konflik antaragama, seperti
dicontohkan di Ambon dan Poso,

mengundang banyak pertanyaan dan sekaligus

keprihatinan karena agama yang sebenarnya memiliki misi menciptakan perdamaian, justru

terlibat dan dilibatkan dalam konflik. Secara normatif-teologis,

semua agama di dunia

sebenarnya dipertemukan dengan misi universal yang sama sehingga meskipun tetap
memiliki partikulartitas, pada agama-agama terdapat aspek universalitas. Dalam artikelnya di
Kompas, Syamsul Arifin (Jumat, 12 September 1997), menyebut dua misi universal yang
dapat mempertemukan pelbagai macam agama, yaitu: pertama, agama memiliki misi
memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spiritual manusia sebagai kelanjutan dari potensi
sensus religiosus yang melekat dalam diri manusia. Kedua, agama menjadi wadah
terimplementasinya amal-amal sosial dan kemanusiaan. Dengan demikian, kedekatan
hubungan manusia dengan Tuhan tidak hanya dilakukan melalui praktik ritual yang ketat,
melainkan juga melalui penciptaan harmoni sosial, pembelaan terhadap keadilan dan
penindasan atau pengentasan manusia dari keterbelakangan. Inilah esensi misi penyelematan
(salvation) agama-agama. Kedua misi tersebut dalam pandangan filsafat perennial merupakan

dimensi esoterik agama-agama yang dapat mengarahkan orientasi keberagamaan kepada
tujuan yang lebih universal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 2003).
Jika agama secara normatif-teologis memiliki misi yang demikian luhur, tetapi
mengapa konflik antaragama mudah terjadi pada beberapa tempat di tanah air seperti di

Ambon dan Poso? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut memerlukan analisis terhadap
dimensi sosiologis agama yang sedikit banyak mempengaruhi corak keberagamaan individu
dan masyarakat. Dari beberapa telaah terhadap agama terutama yang bertitik tolak dari ilmuilmu sosial. Disinilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh para akademisi ilmu
sosial dan para penggiat studi konflik dan kekerasan.