Demokrasi dan demokratisasi docx 1

Demokrasi ( A ), Ilmu Politik

UTS Demokrasi Demokratisasi
Novita Ayu Febriana ( 01 ), 070810500

1. Makna dari transisi demokrasi
Dalam Kamus bahasa Latin, “Transisi” berasal dari kata “trans”dan“cendo”. Trans
sendiri berarti di seberang, di sebelah sana, dibalik, menyebrangi, sedangkan cendo
berarti melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Jadi transisi berarti melangkah ke
seberang, berpindah ke sebelah sana. Pengertian “Transisi” dalam kamus umum
Bahasa Inggris karangan John Nt. Echols dan Hasan Shadily adalah peralihan, dari
kata “transition” yang juga bisa diartikan dengan masa peralihan atau pancaroba.
Apabila terminology “transition” ini digabungkan, dengan istilah “power”; maka
padanan kata itu akan menjadi “power transition”yang berarti “peralihan
kekuasaan”. Sedangkan jika dipadukan dengan kata demokrasi menjadi “transition to
democratic” yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi.
apabila

kata “transition” itu

dipadukan


dengan

kata “democraticy” akan

menjadi “transition to democracy ” yang berarti perubahan ke demokrasi atau
peralihan ke demokrasi. Yang berubah dan beralih di sini adalah suatu masa atau
periode sebelum terjadinya transisi. Periode itu adalah periode sebelum beralih ke
demokrasi. Nama dari periode itu adalah periode nondemokrasi, entah itu periode
kekuasaan monarki absolut, kekaiseran sulstanistik, patrimonial, kediktatoran
pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai atau model-model lain dari rezim
otoritarian. Jadi jelas bahwa defenisi transisi di sini adalah suatu masa peralihan
kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratik atau dari sistem otoriter
ke sistem demokratik1.
Menurut Samuel Huntington (1991:44),

demokratisasi

pada


tingkatan

yang

sederhana mencakup (1) sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim
demokrasi, (3) konsolidasi2.
Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”,dan Whitehead yang memfokuskan studi
di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang
dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan
partisipasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan
modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan
stabilitas politik ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu
demokrasi, di mana peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa
1 http://diiantdiana.blogspot.com/2014/05/makalah-transisi-menuju-demokrasi.html, diakses pada 23/4/2015
pada pukul 1.36 AM
2 Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga ( Jakarta : Graffiti, 1995 )

disingkirkan dari proses menurut O’Donnell pembangunan di negara-negara
terbelakang bukannya mendorong politik. O’Donnell menyebut fenomena ini
sebagai Bureaucratic


autliontarianism3.

Sedangkan

makna

dari

Bureaucratic

autliontarianism adalah Elit dinilai penting dalam proses transisi ke rezim demokrasi
tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, ia belum bisa menjelaskan 4.
Dari beberapa pengertian diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa transisi demokrasi
mengacu kepada suatu kondisi dimana sistem kekuasaan yang awalnya berhaluan
otokrasi/otoritarian berproses mengarah pada suatu sistem demokrasi/ bebas dari
kekuasaan mutlak yang dictator. Bentuknya bisa bermacam – macam, yang pada
intinya membiarkan adanya partisipasi dan konsolidasi kekuatan politik untuk
membangun Negara berbasis kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi. Disini
o’donnell menyatakan bahwa peranan elit dan perangkatnya ( birokrasi, militer dlsb )

sangat penting untuk membawa Negara kearah kemajuan sistem politik/ kearah
sistem politik yang sifatnya lebih terbuka. Namun akan sangat sulit dalam membaca
arah sistem demokrasi tersebut apakah benar – benar mewakili kepentingan rakyat
ataukah tidak. Karena dalam kenyataannya elit bisa saja tidak pro demokrasi. Adanya
pernyataan o’ donnell ini berpijak pada kenyataan Negara amerika latin dan eropa
utara ( yang merupakan basis sayap kiri ) yang menganut sistem totalitarian –
otoritarian yang mengalami dinamika transisi rezim. Konteks Negara tersebut
cenderung homogen dan dominasi elit sangat kuat, dibandingkan dengan indonesia
yang menganut neopatrimonial yang cenderung heterogen, walaupun kenyataannya
indonesia pernah mengalami masa – masa Bureaucratic authoritarianism pada masa
pemerintahan soeharto dengan pseudo demokrasinya.
Samuel P Huntington memberikan pemaparan mengenai ciri – ciri proses transisi
demokrasi 5:
a. Penguasa dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang
menentukan dalam mengakhiri rezim tersebut sehingga mengubahnya
menjadi suatu sistem yang demokratis.
b. Para pemimpin rezim otoriter memiliki kekuatan untuk menggerakkan
demokratisasi di negaranya jika mereka memang ingin melakukannya.
3 Guillermo O’ Donnel, Phillipe C Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi ( Jakarta: LP3ES, 1993 ).
4 Guillermo O’ Donnel, Phillipe C Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi ( Jakarta: LP3ES, 1993 ).

5 Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga ( Jakarta : Graffiti, 1995 )

c. Dengan demikian, transformasi mensyaratkan suatu pemerintahan yang lebih
kuat daripada pihak oposisi.
d. Transformasi terjadi dalam rezim militer yang telah mapan di mana
pemerintah mengendalikan alat-alat pemaksa.
e. Para pemimpin otoriter yang kehilangan kekuasaannya dalam proses
transformasi ini biasanya akan meninggalkan dunia politik dan kembali
dengan tenang ke barak atau ke kehidupan pribadi mereka secara terhormat.
2. Problematika transisi demokrasi di indonesia dewasa ini dalam hal ; pembentukan
sistem presidensial yang efektif, rekayasa pemilu, dan modernisasi parpol.
Dalam proses transisi demokrasi indonesia, Indonesia pernah berada dalam masa
dimana rezim yang berhaluan otoriter, berubah menjadi sistem pemerintahan yang
lebih terbuka dengan lebih memperhatikan aspirasi rakyat. Era inilah yang kita sebut
proses reformasi ( perubahan bentuk sistem pemerintahan indonesia dari rezim yang
otokrasi menjadi demokrasi ). Dari era reformasi inilah kemudian disusunlah undang
– undang dan peraturan mengenai bentuk partisipasi rakyat dalam pemerintahan,
peran media, partai politik yang kemudian menjamur. Dalam euphoria demokrasi
inilah kemudian kita mulai mengenal apa, dan bagaimana dunia politik tersebut
melalui kebebasan akses di media massa, beropini di ruang public sampai dengan

ikut berpartisipasi melalui ormas kemasyarakatan s/d partai politik. Setiap orang
mempunyai kesempatan untuk memilih dan dipilih. Tak heran jika banyak
person/partai dari kalangan manapun bebas mencalonkan diri menjadi anggota
perwakilan rakyat, baik di tingkat legislative maupun eksekutif. Kondisi semacam ini
bisa menguntungkan, namun juga bisa merugikan. Menguntungkan karena
penyelenggaraan proses pemerintahan yang demokratif berjalan sejalan dengan
prinsip – prinsip demokrasi, namun bisa rugi karena kualifikasi pemimpin bisa bias
dan jika secara kualitas pemimpin dipertanyakan dan bisa dengan bebas diberikan
pada person/kelompok tertentu, maka kepercayaan public pada politik akan
menurun, selain itu masih tingginya angka KKN masih menjadi masalah yang
mengakar kuat sejak zaman orde baru s/d saat ini. Oleh karena itu adanya hukum
dan kepastiannya untuk mengatur sistem ini agar tidak bias sangat dibutuhkan.
Belum lagi adanya persoalan kenegaraan yang lain seperti adanya lembaga KPK yang
membantu proses control terjadinya korupsi, dan ikut andilnya dpr dalam proses
perumusan peraturan dan undang – undang. Jika tidak ada konsolidasi yang baik dan

juga kemutlakan pemimpin sebagai pengambil keputusan dengan kepastian hukum
maka sistem ini akan menjadi ambigu dalam bekerjanya karena juga melibatkan
lembaga – lembaga lainnya untuk mengikuti masalah Negara.
Selain itu jika berbicara masalah pemilu dan parpol, parpol menjadi wadah/mesin

politik bagi calon pemimpin eksekutif dan legislative, namun karena euphoria
demokrasi yang menyebabkan parpol sangat banyak hingga saat ini sudah dipangkas
menjadi hanya 14 menjadi lemah dalam hal fungsi control terhadap pemerintahan,
apalagi untuk saat ini tidak ada partai yang sejatinya oposisi pemerintahan. Oposisi
yang dibangun dahulunya bisa jadi hanya sebagai ‘penamaan politis’ untuk fungsi
kritis terhadap kebijakan pemerintah, namun pada akhirnya oposanlah yang saat ini
meraih kekuasaan. Disini juga terjadi bias fungsi parpol.
3. Perbandingan indonesia dengan Negara yang telah berhasil melalui proses transisi
demokrasi.
Proses demokratisasi pada Negara – Negara seperti eropa utara dan sebagian Negara
asia, cara-cara yang dipakai oleh para pemimpin politik dan publik pada tahun 1970an dan 1980-an untuk mengakhiri sistem otoriter dan menciptakan sistem
demokratis. Rezim nondemokratis yang berubah demokratis pada gelombang ketiga
adalah sistem satu-partai, rezim militer, dan kediktatoran perorangan. Rezim
nondemokratis ini menindas persaingan dan partisipasi. Huntington menjelaskan
transisi demokratisasi gelombang ketiga ini menjadi tiga, yakni transformasi,
pergantiang (replacement), dan transplacement. Transformasi terjadi ketika elite
yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. Pergantian terjadi ketika
kelompok oposisi mempelopori proses permujudan demokrasi, dan rezim otoriter
tumbang atau digulingkan. Transplacement terjadi sebagai tindakan bersama
kelompok pemerintah dengan kelompok oposisi. Hampir semua transisi melibatkan

sejumlah negosiasi antara pemeritah dengan kelompok-kelompok oposisi. Untuk
kasus

kediktatoran

perseorangan,

penguasa

cenderung

kurang

bersedia

menyerahkan kekuasaan ketimbang rezim militer dan rezim satu-partai. Ia mencoba
tetap berkuasa selama mungkin hingga ia kadang digulingkan dengan kekerasan 6.
Sedangkan di indonesia, relative menggunakan mekanisme procedural, multipartai,
namun tetap ada actor/elit untuk memperkuat proses demokrasi. Walaupun pada


6 Samuel P Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga ( Jakarta : Graffiti, 1995 )

awalnya transisinya sempat terjadi konflik, kudeta secara sistematis untuk mengganti
rezim otoriter kearah kebebasan pers dan politik.