Generasi Muda dan Usaha usaha Perdamaian

Generasi Muda dan Usaha-usaha Perdamaian Berkelanjutan di Indonesia
Oleh: Wahyu Kustiningsih

Indonesia merupakan negara yang rentan konflik. Mulai dari konflik yang terjadi di Aceh,
Poso, Kalimantan, Ambon, Papua dan lain-lain. Dampak kerugian akibat terjadinya konflikkonflik tersebut sangat besar. Memetakan dari beberapa konflik yang terjadi, nampak
bahwa masyarakat sipil di Indonesia tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi konflik dan
juga kondisi pasca konflik. Menurut Lambang Trijono (Trijono, 2007:176), hal itu ditandai
dengan adanya kesenjangan antar golongan etnis agama dan perbedaan cara hidup budaya
yang begitu tajam. Di Indonesia, perbedaan sosial-kultural yang ada belum ditopang oleh
kualitas sosial dan kultural yang memadai.

Tulisan ini terinspirasi dari buku berjudul ÍšPembangunan sebagai PerdamaianÍ› yang ditulis
oleh Lambang Trijono (Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM) dan diterbitkan oleh
Yayasan Obor Jakarta. Dalam buku tersebut menekankan penggunakan pendekatan
pembangunan sebagai perdamaian, yaitu pembangunan bertumpu perdamaian sebagai
sarana untuk mengatasi sumber-sumber konflik dan akar kekerasan di masyarakat. Tujuan
utamanya ialah untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan (sustainable peace).

Setelah konflik selesai, bukan berarti konflik tidak akan muncul lagi. Daerah pasca konflik
memiliki beberapa masalah mendasar, antara lain akar konflik di masa lalu yang belum
terselesaikan, perubahan yang terjadi akibat konflik dan dampak terhadap masyarakatnya.

Ketiga hal ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Di daerah pasca konflik yang sedang
melakukan upaya-upaya pemuliahan sosial-ekonomi dan politik, mungkin tidak akan ditemui
atau jarang terjadi konflik terbuka. Akan tetapi, konflik laten terutama ketegangan sosialstruktural masih terus berlangsung. Dari beberapa konflik yang terjadi di daerah Indonesia
timur, dapat dilihat dampak-dampak terjadinya konflik seperti segregasi antar kelompok
(misal etnis-agama), kemiskinan dan pengangguran yang meningkat, kesenjangan sosialekonomi, serta ketidak-stabilan politik dan pemerintahan. Tentu apabila hal tersebut
dibiarkan terus berlarut, maka konflik dapat terjadi lagi. Oleh karenanya, pendekatan

transformasi dan rekonsiliasi konflik diperlukan supaya tidak terjebak pada akar konflik di
masa lalu.

Negara dan masyarakat harus mengisi kekosongan yang terjadi pasca konflik. Jika tidak,
maka konflik laten dapat menjadi konflik terbuka. Permasalahan yang terjadi di Indonesia
ialah agen pembangunan dan sistem kelembagaan politik tidak mampu menghadapi dan
mengelola konflik melalui praktik pengelolaan kebijakan pembangunan yang ada. Berbagai
konflik yang terjadi selama ini, tidak akan bisa diatasi jika hanya menggunakan kebijakan
perdamaian jangka pendek yang sifatnya reaktif.

Proses perdamaian yang berkelanjutan

Pencarian akar konflik dan proses menuju perdamaian yang berkelanjutan merupakan hal

utama. Kedua hal tersebut menuntut partisipasi berbagai pihak di setiap lini untuk mencapai
konsensus mengenai strategi dan prioritas pembangunan ke depan. Potensi perdamaian
yang dapat dikembangkan ke depan misalnya dengan memasukkan akar perdamaian pada
sistem nilai perdamaian yang ada dan kapasitas lokal untuk perdamaian berupa mekanisme
dan institusi perdamaian yang masih bekerja.

Menurut Lambang Trijono, dalam pelaksanaannya ada beberapa kemungkinan kesenjangan
yang akan terjadi, antara lain: (1) Kesenjangan koordinasi antara faktor dengan agen; (2)
Kesenjangan antara upaya jangka pendek dan jangka panjang dalam kaitannya dengan
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan di masa depan (justice gaps); dan (3)
Kesenjangan implementasi (implementation gaps) yaitu kesenjangan antar kesepakatan
damai yang dicapai dan yang ada di lapangan. Oleh sebab itu, menurutnya (Trijono,
2007:1005-106), ada beberapa rekomendasi untuk mempercepat transformasi dan
rekonsiliasi daerah pasca konflik, antara lain:
1. Kebijakan pembangunan harus sensitif terhadap konflik. Sehingga diperlukan conflict
sensitive development approach di berbagai sektor.
2. Kebijakan yang tidak menimbulkan kesenjangan sosial, ekslusi sosial, marjinalisasi
penduduk asli, dan tekanan pada penduduk lokal sebaiknya diarahkan untuk
memberdayakan komunitas lokal dalam berbagai aspek kehidupan.


3. Kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang mampu mendorong kohesi sosial dan
reintegrasi antara komunitas yang berkonflik selama ini sehingga konflik yang
terpendam dapat diatasi untuk tidak muncul dipermukaan.
4. Pelembagaan politik demokrasi di tingkat daerah untuk memulihkan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan sekaligus mengefektifkan fungsi kelembagaan
politik yang ada. Memperkuat demokratisasi dan partisipasi lokal dalam konteks
desentralisasi dan otonomi daerah.

Peran generasi muda dalam perdamaian

Semua pihak bertanggung-jawab atas terciptanya dan berlangsunganya perdamaian, tidak
terkecuali generasi muda. Bahkan tidak jarang generasi muda sebagai penerus, menjadi
objek dan sekaligus subjek utama dari berbagai program upaya-upaya perdamaian di
masyarakat. Hal itu lebih disebabkan karena generasi muda mempunyai potensi dan
kapasitas yang besar untuk dikembangkan, tentu saja ke arah positif.

Proses pembelajaran perdamaian merupakan salah satu alternatif dalam rangka sosialisasi
di kalangan generasi muda. Dalam proses pembelajaran perdamaian ini akan mempelajari
kapasitas dan kerentanan perdamaian. Oleh karenanya, generasi muda diharuskan untuk
menjadi peka konflik. Melalui proses ini, diharapkan muncul ide-ide dalam upaya-upaya

perdamaian yang sifatnya lokal dari generasi muda setempat, sehingga sesuai dengan
sistem nilai yang sudah melekat di masyarakat.

Generasi muda juga dapat membentuk komunitas-komunitas guna menyalurkan bakat dan
kreasinya terutama dalam upaya-upaya perdamaian. Komunitas-komunitas semacam ini
penting sekali, terutama untuk meningkatkan modal sosial. Modal sosial ini sangat signifikan
dalam memacu perilaku inovatif dan produktif. Inovasi dan produktivitas generasi muda
nantinya akan melahirkan kegiatan-kegiatan positif yang mampu mengurangi ketegangan
sosial-kultural pasca-konflik.

Dalam politik, generasi muda mempunyai kapasitas dalam penguatan demokrasi dan
partisipasi lokal. Kebijakan otonomi daerah memberikan peluang bagi generasi muda untuk

berperan. Dalam demokrasi, tidak dapat dihindari adanya konflik, karena dalam demokrasi
terdapat perbedaan-perbedaan. Akan tetapi bagaimana mengelola konflik tersebut supaya
tidak terjadi konflik terbuka atau kekerasan. Pada prinsipnya, dalam proses demokrasi itu
berarti ada proses manajemen konflik. Hanya saja, di Indonesia praktik demokrasi masih
berjalan tidak benar dan juga mentalitas yang belum memadai. Demokrasi mungkin
menyediakan ruang konflik. Namun, demokrasi tidak membenarkan kekerasan. Oleh
karenanya, metode yang digunakan ialah dialog. Budaya dialog inilah yang wajib

terinternalisasi ke dalam masyarakat. Peran generasi muda menjadi signifikan dalam
melestarikan budaya dialog ini, terutama demi menciptakan perdamaian yang
berkelanjutan.

Kesimpulan

Dari uraian panjang di atas, jelas sekali bagaimana korelasi antara generasi muda dan
perdamaian. Generasi muda berperan penting dalam terciptanya upaya-upaya perdamaian
dengan partisipasi aktif dalam berbagai bidang. Penekanan utama dalam upaya-upaya
perdamaian ialah pada pentingnya menciptakan perdamaian yang berkelanjutan yang
sifatnya tidak sementara dan tidak hanya sebatas reaktif saja.

Referensi:
Trijono, Lambang. 2007. Pembangunan Sebagai Perdamaian. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

~oOo~