Sebuah Surat Tentang NDP Tauhid dan Seku

Democracy Project

12

Sebuah Surat

tentang NDP,
Tauhid dan
Sekularisasi
Zezen zaenal Muttaqien
Lahir di Kuningan, Jawa Barat 14 Maret 1981. Lahir
dalam keluarga santri sederhana, masa kanakkanak dihabiskan di tengah suasana perkampungan
yang asri. Selepas SD nyantri di sebuah pondok
pesantren. Pesantren pertama adalah di Ma’had
Darul Ulum, Karangtawang, Kuningan. Kemudian
melanjutkan studi di MAKN Darussalam Ciamis,
Jawa Barat. UIN Jakarta--waktu itu namanya masih
IAIN--menjadi kampus selepas tamat dari Darus.
Aktif di HMI dan FORMACI semasa kuliah--samapi
sekarang, meskipun kuliah sudah lulus. Sejak 2003
bergabung dengan Lembaga Survei Indoenesia

(LSI) sebagai staf peneliti.
92

| All You Need is Love

Democracy Project

Ciputat, 28 Mei 2008
Dear Cak Nur,
Hampir setiap akhir pekan aku hilir mudik BogorCiputat. Kawan-kawan HMI memintaku mengisi materi
NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Aku harus berdiskusi dengan
ratusan calon kader selama berjam-jam. Kadang diskusi
yang biasanya dimulai setelah Isya baru berakhir menjelang
subuh.
Setiap kali aku memulai pembicaraan di forum itu,
yang terbayang di benakku adalah wajahmu. Aku selalu
menceritakan terlebih dahulu konteks historis kenapa
materi yang kamu buat penting dalam perkaderan HMI. Aku
bercerita tentang tiga orang yang dulu melahirkan materi
yang menarik ini. “Dialah”, kataku, “yang dulu membuat

materi yang kita kaji sekarang”. “Dia adalah Nurcholish
Madjid. Dia dibantu dua orang kawannya yang lain: Endang
Saifudin Ansari dan Sakib Mahfud”.
Kamu tentu masih ingat: NDP yang kamu buat itu
telah menjadi materi wajib perkaderan HMI sejak tahun
1969, tepatnya setelah kongres HMI di Malang. Materi itu
terus menjadi sesuatu yang paling ditunggu-tunggu hingga
kini. Materi itu sering membuat mahasiswa lugu yang baru
merasakan bangku kuliah terperangah dan termangu. Bagi
para peserta perkaderan, seperti juga dulu aku rasakan,
materi NDP adalah materi kontroversial dan subversif. Iman
dan Islam seolah diobrak-abrik. Materi yang kamu buat itu
adalah terapi kejut buat para peserta.

Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |

93

Democracy Project


Nah, melalui surat ini aku ingin mengkonirmasi,
apakah aku selama ini telah memberikan materi sesuai
dengan apa yang kamu maksudkan atau tidak. Kamu mungkin
akan menjawab: naskah itu sekarang sudah merdeka, kamu
bisa memaknainya sendiri. Tapi alasan terpetingku kenapa
menyuratimu adalah untuk bertukar pikiran. Aku ingin
mendiskusikan poin-poin penting dari materi itu.
Cak Nur,
Aku selalu bilang kepada para peserta, bahwa inti NDP
adalah tauhid. Tauhid berarti mengesakan Tuhan. (Yang selalu
aku ingat dari semua ceramahmu adalah kemampuanmu
menelisik sesuatu dari akar kata yang paling dalam, lalu
mengungkapkan satu makna yang segar dan mengejutkan.
Aku kira itu efektif dan bagus. Aku sering menirunya). Bahwa
hanya ada satu Tuhan. “Wahhada, yuwahhidu, tauhidan,
itu akar katanya”, ujarku. Cara bertuhan seperti ini bukan
sesuatu yang khas Muhammad. Ini adalah inti ajaran para
nabi. Tuhan yang dimaksud dalam tradisi Abrahamik adalah
Allah. Allah adalah Tuhan, Tuhan adalah Allah. “There is no
God but God”

Kata Allah, pada masa Jahiliyah, artinya dewa air.
“Dewa air dalam kebudayaan Arab adalah dewa tertinggi.
Air adalah hal terpenting bagi masyarakat gurun. Sama
dengan matahari yang menghangatkan dan memberikan
terang bagi orang Romawi yang sering kedinginan. Dewa
air bersemayam di tempat air berada, oase. Oase adalah
tempat sakral. Pergi ke oase adalah pergi ke tempat
kehidupan dimulai. Jalan besar menuju oase di mana dewa
94

| All You Need is Love

Democracy Project

air bersemayam dinamakan ‘Syari`ah’, yang berarti jalan
besar”, kataku lagi, mencoba sebisanya menirukanmu.
Ketika aku memaparkan ini, para mahasiswa muda itu
mengkerutkan dahi. Mereka memang terkejut, Cak Nur, tapi
juga tertarik. Sama seperti dulu aku pertama kali mendengar
ceramahmu.

“Ketika Muhammad datang, semua itu didevaluasi
nilainya. Makna lamanya dicabut, dan dikukuhkan satu
makna baru. Pengukuhan makna baru pun berproses”,
tambahku. “Kalau kalian baca al-Qur’an”, paparku lebih
lanjut, “cobalah lihat: surat-surat pertama al-Qur’an tidak
pernah mengungkapkan kata ‘Allah’. Yang diungkapkan
adalah kata ‘rabb’. Misalnya dalam ‘Iqra’ bismi rabbika’,
bacalah dengan nama Tuhanmu. Surat al-Qur’an kedua
yang turun juga sama: ‘wa rabbaka fa kabbir’, dan kepada
tuhanmu, bertakbirlah. Kenapa demikian? Karena, kalau
kata Allah digunakan al-Qur’an, dikhawatirkan akan muncul
anggapan di kalangan masyarakat Arab bahwa ajaran
Muhammad yang baru datang itu mengairmasi konsep
ketuhanan yang selama ini mereka anut: Allah sebagai dewa
air, dewa tertinggi”.
Aku memaparkan ini dengan penuh semangat. Para
peserta mengikutinya dengan penuh tanda tanya.
Aku lantas memaparkan kepada mereka kenapa konsep
tauhid menjadi inti ajaran semua nabi. Sebagaimana kamu
tuliskan di beberapa buku, aku bilang pada mereka bahwa

tauhid adalah cara bertuhan yang paling manusiawi. Tauhid
adalah kemanusiaan itu sendiri. Apa inti dari kemanusiaan?
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |

95

Democracy Project

Akal budi dan kebebasan. Tauhid itu membebaskan,
memerdekakan. Ketika manusia hanya bergantung dan
berserah diri hanya pada satu Dzat, maka dia akan bebas.
Aku selalu membuat analogi sederhana kepada mereka. Aku
bilang: coba lihat pendulum. Kenapa dia bebas bergerak? Itu
karena pendulum hanya tergantung pada satu titik. Kalau
pendulum tergantung pada dua atau tiga titik, dia pasti akan
terbelenggu, statis, mati.
“Kenapa musyrik menjadi dosa yang paling tidak
diampuni?” tanyaku pada para peserta. “Musyrik itu
adalah lawan dari tauhid. Musyrik menyekutukan Tuhan.
Percaya pada zat lain selain Tuhan sebagai penentu dalam

kehidupan. Musyrik adalah cara bertuhan yang mengingkari
hakikat dasar kemanusiaan. Musyrik membuat manusia
terbelenggu, mati, statis. Sama seperti pendulum yang
tergantung pada dua atau tiga titik. Tidak bergerak, tidak
bebas”.
Orang di desaku menganggap batu besar di pinggir
kampung penuh keramat. Ada penghuninya. Jangan berani
dekat-dekat, nanti kesambet (dirasuki makhluk yang
menghuni batu itu). Itulah salah satu contoh kecil perbuatan
menyekutukan Tuhan yang sering aku sebutkan sebagai
contoh. Karena sikap itu, orang kampungku terbelenggu
oleh batu tersebut. Padahal batu itu jelas-jelas menghalangi
rencana pembuatan jalan desa di kampungku. Karena
tauhid, pertama-tama manusia terbebas dari belenggu
alam. Sekarang jalan kampung sudah jadi. Batu itu akhirnya
dibongkar setelah seorang kyai muda di kampungku

96

| All You Need is Love


Democracy Project

memberikan jaminan. Batu besar itu diolah oleh tukang
batu menjadi batu nisan dan ulekan.
Analogi pendulum ternyata lumayan jitu, Cak Nur.
Para peserta mulai terbuka pikirannya. Ketika mereka masih
mengerutkan dahi, aku timpali lagi dengan sesuatu yang
mengejutkan mereka. Aku bilang pada mereka: “Karena itu,
konsekuensi dari tauhid adalah liberalisasi dan sekularisasi.
Orang yang tauhidnya mantap, Islamnya bener, dia harus
sekular, sekaligus liberal”.
Sekonyong-konyong para peserta kaget. “Jadi, pertamatama kalian jangan alergi dengan kata ‘sekular’ dan ‘liberal’.
Dua hal itu berakar langsung dalam inti ajaran agama kita”,
ujarku lagi.
Cak Nur,
Dulu kamu mengatakan bahwa sekularisme berbeda
dari sekularisasi karena sekularisme adalah ideologi yang
tertutup (closed system) sementara sekularisasi adalah
proses yang dinamis (open process). Kamu bilang bahwa

sekularisme anti-agama, sementara sekularisasi netral
agama. Semua itu kamu sampaikan dalam pidato tanggal
3 Januari 1970 di hadapan pertemuan empat organisai
independen tingkat pusat di Jakarta. Kamu masih ingat
bukan? Apa yang kamu sampaikan disebuat “ide-ide 3
Januari” oleh sahabatmu yang mungkin sekarang menjadi
teman diskusi yang baik di tempatmu: Ahmad Wahib.
Kamu dulu memaparkan bahwa sekularisasi adalah
konsekuensi niscaya dari tauhid. Hal tersebut sepadan

Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |

97

Democracy Project

maknanya dengan profanisasi. Menduniawikan apa yang
semestinya bersifat duniawi. Hal ini diperlukan karena
umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tak lagi
sanggup membedakan mana yang transendental dan mana

yang temporal. Negara, tafsir agama, alam, adalah sesuatu
yang duniawi, profan. Jangan sekali-kali disakralkan. Apa
yang kamu paparkan dulu itu, aku sampaikan lagi pada para
peserta.
Cak Nur,
Diskusi semakin seru ketika kami masuk pada
konsekuensi kedua dari
tauhid: kebebasan. Diskusi
menjadi lebih hangat karena aku diposisikan sebagai
pendukung Jaringan Islam Liberal (JIL). Aku bilang: aku
dekat dengan orang-orang JIL. Berdiskusi dengan mereka,
dan merasa menjadi bagian darinya. Aku juga bilang, apa
yang membedakan JIL dengan Cak Nur adalah cara, bukan
substansi.
Aku bilang pada mereka, Cak Nur, bahwa inti yang
diperjuangkan oleh para aktivis kebebasan sekarang, oleh
para martir kebebasan dalam sejarah umat manusia sejak
dulu, adalah juga yang diperjuangkan Islam. Aku bilang
bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah inti dari Islam.
Tanpa kebebasan, keimanan dan hukum menjadi sia-sia.

Kenapa anjing menjadi halal ketika kita hanya punya
anjing dan kita belum makan selama seminggu, bukan
semata-mata karena dibolehkan iqih dengan alasan
kedaruratan. Alasan mendasarnya adalah karena kita,
dalam kondisi itu, tidak punya kebebasan. Ketika kita
98

| All You Need is Love

Democracy Project

tidak mempunyai kebebasan, hukum menjadi “berhenti
sementara” sampai kebebasan itu kita miliki kembali.
Dalam kasus anjing di atas, anjing menjadi halal karena
kita tidak mempunyai kebebasan memilih: memakan anjing
atau ayam. Kalau ada ayam, di samping ada anjing, kita
masih mempunyai kebebasan memilih anjing. Tapi jika
kita memakan anjing, kita dikenai hukum “dosa”, karena
kebebasan ada bersama kita.
Kataku lagi: Lihatlah anak kecil dan orang gila, atau
budak belian dulu. Kenapa mereka tidak menjadi subjek
hukum? Mereka belum atau tidak memiliki kebebasan.
Keimanan menjadi tidak bermakna kalau kita tidak
diberikan kemerdekaan untuk tidak beriman. Pilihan kita
untuk beriman baru bermakna kalau kita, pada saat yang
sama, diberikan pilihan untuk menjadi kair. Dengan tangan
kita yang bebaslah kita memilih: mau beriman atau tidak.
Manusia memiliki free will, kebebasan berkehendak, dan
juga free act, kebebasan untuk berbuat. Kebebasan membuat
pahala dan dosa menjadi mudah dipahami.
Kebebasan itu, secara logis, niscaya memunculkan
keterbatasan. Keterbatasan yang membebaskan. Keterbatasan
yang membebaskan adalah hukum. Hukumlah yang
menjamin semua orang, bukan sebagian orang, menjadi
bebas. Hukumlah yang menjamin kebebasan orang agar
tidak merusak kebebasan orang lain.
Aku juga bilang kepada para peserta itu, Cak Nur:
pentingnya kita mempelajari moyang-moyang pemikir
liberal Eropa adalah untuk mengetahui aplikasi dari
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |

99

Democracy Project

kesimpulan dasar bahwa manusia adalah bebas. Mereka
mensistematisasi postulat-postulat dasar menjadi sejumlah
prinsip yang aplikatif.
Cak Nur,
Sebenarnya masih banyak yang ingin aku diskusikan
denganmu tentang materi itu dan buah pikiranmu yang lain.
Tetapi biarkan itu tak tertumpahkan dulu di sini. Aku pasti
menyuratimu lagi.
Salam dari para peserta perkaderan di HMI. Mereka
dengan sendirinya adalah penganut tarekat Nurcholisi.
Salamku juga untuk Wahib.
Terimakasih.***

100

| All You Need is Love