Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Pub
Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik
Dosen:
DR. Dwi Atty
Oleh:
Rido Nugroho
121151033
MAGISTER EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS
UNIVESITAS TRISAKTI
2016
BAGIAN I
Latar Belakang Permasalahan
a. Deskripsi Permasalahan
Pertumbuhan konsumsi BBM di Indonesia 7-8%/tahun, sedangkan kemampuan produksi minyak
bumi nasional mengalami decline 5-6%/tahun dan jumlah cadangan minyak bumi saat ini hanya
sebesar 3 miliar barrel saja. Berdasarkan kondisi tersebut membuat cadangan minyak bumi
Indonesia akan semakin menipis dan terancam akan segera habis dalam beberapa tahun kedepan,
hal ini dikarenakan konsumsi BBM lebih banyak dibandingkan dengan produksi BBM yang
dihasilkan Indonesia.
Berdasarkan data paparan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, yang dikutip detikFinance, Kamis (18/6/2015).
Selisih antara produksi dengan konsumsi makin melebar.
"Gap produksi-konsumsi yang makin melebar ini terjadi setelah Indonesia menjadi net importer
(negara importir) minyak sejak 2004. Pada periode tahun 1975-1995 produksi minyak Indonesia
masih di atas 1 juta barel, bahkan pada 1980-an dan 1991-an produksi minyak Indonesia hampir
mendekati 2 juta barel.
Sementara konsumsi BBM dalam negeri pada 1975-1985 di bawah 500.000 barel per hari.
Namun seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat
hingga pada 2004 produksi minyak tidak mencukupi untuk menutupi konsumsi dalam negeri.
Mulai periode 2004 konsumsi BBM dalam negeri sudah berada di level 1 juta barel per hari,
sementara produksinya terus turun. Tahun ini saja konsumsi BBM dalam negeri sudah di atas 1,5
juta barel per hari, sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari.
Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah mengurangi tingkat konsumsi BBM
secara perlahan dan terus mengembangkan energy terbarukan dan menuju pada pengalihan
energi pengganti bahan bakar minyak. Pengembangan sumber daya terbarukan membutuhkan
waktu yang panjang, sehingga pemerintah harus menjaga tingkat cadangan bahan bakar minyak
tetap cukup, sampai penggunaan bahan bakar minyak mampu dialihkan secara maksimal.
b. Kebijakan yang Telah Diambil Pemerintah
Dalam rangka penghematan bahan bakar minyak maka pemerintah Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, pada hari Jumat, tanggal 4 Mei 2012, mengumumkan akan
mengeluarkan kebijakan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Hal ini
dilakukan untuk menjaga besaran volume BBM sesuai APBN 2012 dan menindaklanjuti Perpres
No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar
Minyak tertentu.
Kebijakan pengendalian BBM dilakukan melalui upaya penghematan BBM yang pada
prinsipnya mengatur pelaksanaannya yang diawali dengan :
1. Pentahapan pembatasan penggunaan Jenis BBM bersubsidi untuk transportasi jalan; dan
Pengendalian penggunaan BBM untuk penyediaan tenaga listrik.
Pentahapan yang dimaksud pada poin 1 diatas ditujukan untuk Kendaraan Dinas (Instansi
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, BUMN dan BUMD) dilarang menggunakan
Bensin (Gasoline) RON 88 atau nama lain yang sejenis untuk wilayah Jabodetabek (Provinsi
DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi) dan selanjutnya untuk
wilayah Jawa Bali diluar Jabodetabek.
2. Untuk mobil barang yang digunakan bagi kegiatan perkebunan dan pertambangan, dilarang
menggunakan Jenis BBM bersubsidi berupa Minyak Solar (Gas Oil) dan Perusahaan wajib
menyediakan tempat penyimpanan BBM (Storage Tank) dengan kapasitas sesuai kebutuhan.
3. Untuk pentahapan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan selain kendaraan dinas dan
mobil barang yang digunakan bagi kegiatan perkebunan dan pertambangan termasuk pentahapan
wilayahnya, akan diatur kemudian.
4. Pengendalian penggunaan BBM untuk penyediaan tenaga listrik, PT PLN (Persero) wajib
melakukan pengendalian volume BBM sesuai asumsi dalam APBN.
Badan Pengatur melakukan pengaturan, pengawasan dan verifikasi terhadap kelancaran dan
ketepatan pelaksanaan pendistribusian serta penetapan alokasi volume jenis BBM tertentu untuk
konsumen pengguna.
5. Mempercepat program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas dimulai di Pulau Jawa (Konsumen
terbesar), dan juga melakukan kampanye gerakan hemat energi secara masif dimulai dari
gedung-gedung pemerintahan.
Diharapkan kebijakan penghematan melalui upaya pengendalian penggunaan BBM, konversi
BBM ke Bahan Bakar Gas, dan juga penghematan listrik, dalam jangka panjang dapat membantu
mengurangi pemborosan energi di Indonesia.
C. Hasil Sebelum Usaha Pemecahan Masalah
Tingkat konsumsi bahan bakar minyak Indonesia melebihi kapasitas produksi yang bisa
dihasilkan oleh Indonesia.
Menurut data BP Statistical Review 2013, penggunaan bahan bakar minyak terus
meningkat sedangkan produksi minyak terus mengalami penurunan.
Produksi bahan bakar minyak terus mengalami penurunan, sedangkan tingkat konsumsi
bahan bakar minyak terus mengalami peningkatan, sehingga pada awal tahun 2000an,
kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri sudah tidak bisa dipenuhi hanya dengan
produksi dalam negeri, hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri
harus diimpor sehingga menyebabkan efek negatif pada neraca pembayaran Indonesia.
Selain itu dampak yang jauh lebih berbahaya dari kondisi tersebut adalah krisis bahan
bakar minyak, bahan bakar minyak merupakan sumber daya yang tidak terbarukan,
dengan tingkat konsumsi yang melebihi tingkat produksi, membuat Indonesia hanya
tinggal menunggu waktu untuk mengalami krisis bahan bakar minyak. Pada kondisi itu
Indonesia tidak lagi memiliki persediaan bahan bakar minyak yang bisa dikonsumsi
untuk kebutuhan dalam negeri dan seluruh kebutuhan bahan bakar minyak didalam
negeri hanya bisa dipenuhi dengan melakukan impor bahan bakar minyak dari Negara
lain yang masih memiliki cadangan minyak yang berlimpah.
Berdasarkan kondisi yang dapat mengancam ketahanan nasional tersebut, maka
pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar
minyak, paling tidak hingga Indonesia mampu terbebas dari ketergantungan minyak bumi
dengan melakukan alih energy ke sumber energi alternative lain.
BAGIAN II
Lingkup dan Ragam Masalah
a. Penilaian Kinerja Kebijakan Masa Lalu
Berdasarkan data dari statistik migas, pada tahun 2013 terjadi peningkatan konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi sebesar 1,09 juta kiloliter atau terjadi peningkatan sebesar 2,4 % jika
dibandingkan dengan tingkat konsumsi ditahun 2012. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
penghematan bahan bakar minyak, utamanya bahan bakar minyak bersubsidi yang telah diambil
pemerintah masih perlu dievaluasi.
Salah satu kebijakan tersebut yang secara substansi mampu mengurangi konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi adalah larangan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi untuk kendaraan
pemerintahan, namun hal ini belum bisa efektif mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi, hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor eksternalitas seperti sulitnya
pengawasan, penambahan jumlah kendaraan bermotor, dll. Hal ini mengakibatkan kebijakan
yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut belum mampu secara signifikan mengurangi tingkat
konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi.
b. Pentingnya Situasi Masalah
c. Kebutuhan untuk Analisis
BAGIAN III
Pernyataan Masalah
a. Definisi Masalah
Besarnya konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia disebabkan karena tingginya
ketergantungan akan penggunaan bahan bakar minyak, menurut data kementrian ESDM, saat ini
ketergantungan penggunaan bahan bakar minyak Indonesia hamper mencapai 50 % dari total
bauran energy yang digunakan di Indonesia.
Kondisi ini sangatlah berbahaya bagi ketahanan energy nasional, karena sumber energy minyak
akan segera habis dalam beberapa tahun kedepan jika tidak dilakukan upaya tata kelola yang
tepat dan penghematan sumber energy bahan bakar minyak.Menurut data Kementrian ESDM
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, cadangan minyak bumi Indonesia terus menipis dan akan
segera habis jika tidak dilakukan penerapan kebijakan yang mampu mengatur penggunaan
minyak bumi secara hemat dan tepat.
b. Tujuan dan Sasaran
c. Ukuran Efektifitas
d. Solusi yang Tersedia
BAGIAN IV
Alternatif Kebijakan
a. Definisi Alternatif
b. Perbandingan Konsekuensi Kebijakan
c. Dampak Ganda dan Eksternalitas
d. Hambatan dan Fisibilitas Politik
BAGIAN V
Alternatif Kebijakan
a. Kriteria Alternatif Rekomendasi
b. Deskripsi Alternatif yang Dipilih
c. Kerangka Strategi Implementasi
d. Keterbatasan
BAGIAN II
Aktor-aktor Kebijakan
Aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah kebijakan sangatlah berpengaruh dalam proses
perumusan kebijakan publik. Aktor-aktor disini tidak hanya sebagai pembuat kebijakan agar
dapat disahkan secara legal saja, namun juga pihak-pihak yang berpengaruh ketika
perencanaannya.
i.
Inisiator kebijakan : Presiden Indonesia
ii.
Pembuat kebijakan dan legislator : Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral (Dewan Energi Nasional)
iii.
Pelaksana Kebijakan: Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini bekerjasama dengan pihak
Pertamina yaitu pihak yang diberi kewenangan mengatur tata kelola BBM di Indonesia.
iv.
Kelompok sasaran adalah masyarakat karena kebijakan ini dibuat untuk mengatasi
ancaman kelangkaan bahan bakar minyak yang akan segera habis
v.
Kelompok yang diuntungkan (Beneficiaries Group) Adapun pihak yang diuntungkan
adalah masyarakat sebagai sasaran utama dari kebijakan ini. Selain itu, ada pihak yang
juga diuntungkan yaitu pemerintah karena mampu menghemat anggaran serta mampu
menjaga stabilitas ketahanan energy nasional.
vi.
Kelompok Penekan : Dunia usaha dan sebagian kelompok masyarakat yang sangat
bergantung dengan konsumsi bahan bakar minyak
Identifikasi Permasalahan dan Hubungan Sebab Akibat
a. Indonesia masih sangat tergantung dengan energi fosil, utamanya minyak bumi
Menurut data dewan energy nasional, penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber
energy di Indonesia mencapai 46 % dari total pemenuhan energy nasional. Dengan kata
lain bisa diambil kesimpulan bahwa Indonesia masih sangat bergantung terhadap
penggunaan bahan bakar minyak
Akibat : Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap bahan bakar minyak, menyebabkan
ketahanan energy Indonesia cukup rentan, hal ini dikarenakan cadangan bahan bakar
minyak akan segera habis dan harus segera mencari sumber daya terbarukan.
b. Tingkat konsumsi bahan bakar minyak Indonesia melebihi kapasitas produksi yang bisa
dihasilkan
Menurut data BP Statistical Review 2013, penggunaan bahan bakar minyak terus
meningkat sedangkan produksi minyak terus mengalami penurunan.
Akibat : Tingkat konsumsi yang melebihi tingkat produksi menyebabkan pemenuhan
kebutuhan BBM dalam negeri harus diimpor sehingga menyebabkan efek negatif pada
neraca pembayaran Indonesia.
c. Pemanfaatan bahan bakar minyak Indonesia tidak tepat guna
Menurut
data dari Kementrian ESDM, pada tahun 2014 penggunaan bahan bakar minyak didominasi oleh
penggunaan Solar dan Premium, hal ini mengindikasikan penggunaan BBM di Indonesia terlalu
boros untuk sektor konsumtif, padahal pemerintah mensubsidi BBM jenis premium dan solar.
Akibat : Anggaran untuk subsidi BBM membengkak dan memberatkan APBN Indonesia
Alternatif Kebijakan
Setelah mengidentifikasi permasalahan, maka hanya ada satu jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan tingkat konsumsi BBM di Indonesia, yaitu mengurangi tingkat konsumsi BBM
secara perlahan dan terus mengembangkan energy terbarukan dan menuju pada pengalihan
energi pengganti bahan bakar minyak. Pengembangan sumber daya terbarukan membutuhkan
waktu yang panjang, sehingga pemerintah harus menjaga tingkat cadangan bahan bakar minyak
tetap cukup, sampai penggunaan bahan bakar minyak mampu dialihkan secara maksimal.
Kebijakan Untuk Pengalihan Energi :
a. Kebijakan Ketersediaan Energi
Mengatur jaminan pasokan energi nasional, melalui peningkatan cadangan terbukti energi
fosil, rasionalisasi ekspor gas dan batubara, optimalisasi sistem produksi,transportasi dan
distribusi energi;
b. Kebijakan Prioritas Penyediaan Energi
Mengatur penggunaan energi terbarukan, meminimalkan minyak bumi,mengoptimalkan
gas bumi dan energi baru, batubara sebagai andalan dan pengaman pasokan energi
nasional, dan pemanfaatan energi nuklir untuk mendukung keamanan pasokan energi
nasional dalam skala besar dengan mempertimbangkan factor keamanan secara ketat;
c. Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Energi Nasional
Mengatur tentang pemanfaatan sumber daya energi berdasarkan pertimbangan
kapasitas; keberlanjutan, keekonomian, dan dampak lingkungan hidup;
d. Kebijakan Cadangan Energi Nasional
Mengatur tentang jaminan ketahanan energi nasional guna mengatasi terjadinya
kondisi krisis dan darurat energi baik yang disebabkan oleh alam ataupun stabilitas
kondisi geopolitik dunia;
e. Kebijakan Konservasi dan Diversifikasi
Mengatur tentang pemanfaatan sumber daya energi dengan tetap menjaga konservasi
sumberdaya energi, meningkatkan kualitas nilai dan keaneragaman sumber daya energi;
f. Kebijakan Lingkungan dan Keselamatan
Mengatur keselarasan pengelolaan energi nasional dengan arah pembangunan
nasional berkelanjutan, pelestarian sumbedaya alam, dan pengendalian lingkungan;
g. Kebijakan Harga, Subsidi dan Insentif Energi
Mengatur tentang harga, subsidi dan insentif energi dalam rangka menjamin penyediaan
dan pengusahaan energi dengan tetap memperhatikan kemampuan
masyarakat;
h. Kebijakan Infrastruktur dan Industri Energi
Mengatur peningkatan infrastruktur energi dan mendorong penguatan industri energy
nasional;
i. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Energi
Mengatur peran Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha dalam
meningkatkan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi energi sampai
tahap komersial;
j. Kebijakan Kelembagaan dan Pendanaan
Mengatur penguatan sistem kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan energy oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya;
Kebijakan Untuk Penghematan Konsumsi BBM :
Dalam teori ekonomi, untuk mengurangi tingkat konsumsi suatu komoditas maka pengambil
kebijakan bisa menggunakan hokum permintaan dan penawaran dengan menaikkan harga BBM
atau mengurangi subsidi BBM, namun cara ini bukanlah cara yang bijak, karena BBM
merupakan komoditas yang memiliki karakteristik unik, yaitu ketika harganya dinaikkan tidak
menyebabkan konsumsinya turun secara signifikan, hal ini dikarenakan BBM adalah komoditas
primer yang sulit dihindari penggunannya, selain itu penulis juga berpandangan bahwa BBM
merupakan barang public yang berhak dikonsumsi secara bebas oleh masyarakat, hal ini
berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, pemanfaatan sumber daya energi untuk kepentingan
Nasional, secara jelas telah di jabarkan pada pasar 33, ayat 3 : ” bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk
kemakmuran rakyat ”
Jika mengacu pada UUD tersebut, penulis berpendapat bahwa pemerintah tidak boleh
mengurangi kesejahteraan masyarakat dengan membuat masyarakat tidak mampu membeli
BBM, selain itu BBM adalah komoditas yang memiliki multiplier effect besar terhadap
perekonomian, saat BBM dinaikkan, maka harga rata-rata komoditas lain akan mengalami
peningkatan, oleh karena itu kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah mengkondisikan
masyarakat seminimal mungkin menggunakan bahan bakar minyak.
Salah satu caranya adalah membuat dasar hukum yang memaksa para pekerja pemerintah seperti
PNS, Pegawai BUMN, Pegawai Kementrian untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika
bekerja, mereka disediakan sarana antar jemput pulang dan pergi bekerja. Sektor transportasi
merupakan sektor pengguna energy final komersil terbesar kedua setelah sektor industri. Saat ini
hampir seluruh konsumsi energi di sektor transportasi berupa BBM dan sekitar 89% konsumsi
BBM di sektor transportasi merupakan konsumsi sub sektor transportasi darat.
Di DKI Jakarta, jumlah kendaraan pribadi mencapai 96,5% yang melayani 44% perjalanan,
sedangkan jumlah angkutan umum mencapai 3,5% yang melayani 56% perjalanan (diantaranya
3% dilayani kereta api / KRL Jabodetabek). Penyebab utama tingginya pertumbuhan kendaraan
bermotor dan konsumsi BBM pada sub sektor transportasi darat adalah harga bensin premium
dan minyak solar ditetapkan oleh Pemerintah dengan harga subsidi. Hal ini menyebabkan
penggunaan energi alternatif sebagai substitusi BBM seperti BBG dan biofuel (bioethanol dan
biodiesel) menjadi terhambat.Kondisi ini haruslah diperbaiki dengan mengubah pola transportasi
dari penggunaan utama kendaraan pribadi menjadi angkutan massal.
Dosen:
DR. Dwi Atty
Oleh:
Rido Nugroho
121151033
MAGISTER EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS
UNIVESITAS TRISAKTI
2016
BAGIAN I
Latar Belakang Permasalahan
a. Deskripsi Permasalahan
Pertumbuhan konsumsi BBM di Indonesia 7-8%/tahun, sedangkan kemampuan produksi minyak
bumi nasional mengalami decline 5-6%/tahun dan jumlah cadangan minyak bumi saat ini hanya
sebesar 3 miliar barrel saja. Berdasarkan kondisi tersebut membuat cadangan minyak bumi
Indonesia akan semakin menipis dan terancam akan segera habis dalam beberapa tahun kedepan,
hal ini dikarenakan konsumsi BBM lebih banyak dibandingkan dengan produksi BBM yang
dihasilkan Indonesia.
Berdasarkan data paparan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, yang dikutip detikFinance, Kamis (18/6/2015).
Selisih antara produksi dengan konsumsi makin melebar.
"Gap produksi-konsumsi yang makin melebar ini terjadi setelah Indonesia menjadi net importer
(negara importir) minyak sejak 2004. Pada periode tahun 1975-1995 produksi minyak Indonesia
masih di atas 1 juta barel, bahkan pada 1980-an dan 1991-an produksi minyak Indonesia hampir
mendekati 2 juta barel.
Sementara konsumsi BBM dalam negeri pada 1975-1985 di bawah 500.000 barel per hari.
Namun seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, konsumsi BBM dalam negeri terus meningkat
hingga pada 2004 produksi minyak tidak mencukupi untuk menutupi konsumsi dalam negeri.
Mulai periode 2004 konsumsi BBM dalam negeri sudah berada di level 1 juta barel per hari,
sementara produksinya terus turun. Tahun ini saja konsumsi BBM dalam negeri sudah di atas 1,5
juta barel per hari, sementara produksinya di bawah 800.000 barel per hari.
Salah satu solusi menghadapi permasalahan ini adalah mengurangi tingkat konsumsi BBM
secara perlahan dan terus mengembangkan energy terbarukan dan menuju pada pengalihan
energi pengganti bahan bakar minyak. Pengembangan sumber daya terbarukan membutuhkan
waktu yang panjang, sehingga pemerintah harus menjaga tingkat cadangan bahan bakar minyak
tetap cukup, sampai penggunaan bahan bakar minyak mampu dialihkan secara maksimal.
b. Kebijakan yang Telah Diambil Pemerintah
Dalam rangka penghematan bahan bakar minyak maka pemerintah Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, pada hari Jumat, tanggal 4 Mei 2012, mengumumkan akan
mengeluarkan kebijakan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Hal ini
dilakukan untuk menjaga besaran volume BBM sesuai APBN 2012 dan menindaklanjuti Perpres
No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar
Minyak tertentu.
Kebijakan pengendalian BBM dilakukan melalui upaya penghematan BBM yang pada
prinsipnya mengatur pelaksanaannya yang diawali dengan :
1. Pentahapan pembatasan penggunaan Jenis BBM bersubsidi untuk transportasi jalan; dan
Pengendalian penggunaan BBM untuk penyediaan tenaga listrik.
Pentahapan yang dimaksud pada poin 1 diatas ditujukan untuk Kendaraan Dinas (Instansi
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, BUMN dan BUMD) dilarang menggunakan
Bensin (Gasoline) RON 88 atau nama lain yang sejenis untuk wilayah Jabodetabek (Provinsi
DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi) dan selanjutnya untuk
wilayah Jawa Bali diluar Jabodetabek.
2. Untuk mobil barang yang digunakan bagi kegiatan perkebunan dan pertambangan, dilarang
menggunakan Jenis BBM bersubsidi berupa Minyak Solar (Gas Oil) dan Perusahaan wajib
menyediakan tempat penyimpanan BBM (Storage Tank) dengan kapasitas sesuai kebutuhan.
3. Untuk pentahapan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan selain kendaraan dinas dan
mobil barang yang digunakan bagi kegiatan perkebunan dan pertambangan termasuk pentahapan
wilayahnya, akan diatur kemudian.
4. Pengendalian penggunaan BBM untuk penyediaan tenaga listrik, PT PLN (Persero) wajib
melakukan pengendalian volume BBM sesuai asumsi dalam APBN.
Badan Pengatur melakukan pengaturan, pengawasan dan verifikasi terhadap kelancaran dan
ketepatan pelaksanaan pendistribusian serta penetapan alokasi volume jenis BBM tertentu untuk
konsumen pengguna.
5. Mempercepat program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas dimulai di Pulau Jawa (Konsumen
terbesar), dan juga melakukan kampanye gerakan hemat energi secara masif dimulai dari
gedung-gedung pemerintahan.
Diharapkan kebijakan penghematan melalui upaya pengendalian penggunaan BBM, konversi
BBM ke Bahan Bakar Gas, dan juga penghematan listrik, dalam jangka panjang dapat membantu
mengurangi pemborosan energi di Indonesia.
C. Hasil Sebelum Usaha Pemecahan Masalah
Tingkat konsumsi bahan bakar minyak Indonesia melebihi kapasitas produksi yang bisa
dihasilkan oleh Indonesia.
Menurut data BP Statistical Review 2013, penggunaan bahan bakar minyak terus
meningkat sedangkan produksi minyak terus mengalami penurunan.
Produksi bahan bakar minyak terus mengalami penurunan, sedangkan tingkat konsumsi
bahan bakar minyak terus mengalami peningkatan, sehingga pada awal tahun 2000an,
kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri sudah tidak bisa dipenuhi hanya dengan
produksi dalam negeri, hal ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri
harus diimpor sehingga menyebabkan efek negatif pada neraca pembayaran Indonesia.
Selain itu dampak yang jauh lebih berbahaya dari kondisi tersebut adalah krisis bahan
bakar minyak, bahan bakar minyak merupakan sumber daya yang tidak terbarukan,
dengan tingkat konsumsi yang melebihi tingkat produksi, membuat Indonesia hanya
tinggal menunggu waktu untuk mengalami krisis bahan bakar minyak. Pada kondisi itu
Indonesia tidak lagi memiliki persediaan bahan bakar minyak yang bisa dikonsumsi
untuk kebutuhan dalam negeri dan seluruh kebutuhan bahan bakar minyak didalam
negeri hanya bisa dipenuhi dengan melakukan impor bahan bakar minyak dari Negara
lain yang masih memiliki cadangan minyak yang berlimpah.
Berdasarkan kondisi yang dapat mengancam ketahanan nasional tersebut, maka
pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk mengendalikan konsumsi bahan bakar
minyak, paling tidak hingga Indonesia mampu terbebas dari ketergantungan minyak bumi
dengan melakukan alih energy ke sumber energi alternative lain.
BAGIAN II
Lingkup dan Ragam Masalah
a. Penilaian Kinerja Kebijakan Masa Lalu
Berdasarkan data dari statistik migas, pada tahun 2013 terjadi peningkatan konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi sebesar 1,09 juta kiloliter atau terjadi peningkatan sebesar 2,4 % jika
dibandingkan dengan tingkat konsumsi ditahun 2012. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
penghematan bahan bakar minyak, utamanya bahan bakar minyak bersubsidi yang telah diambil
pemerintah masih perlu dievaluasi.
Salah satu kebijakan tersebut yang secara substansi mampu mengurangi konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi adalah larangan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi untuk kendaraan
pemerintahan, namun hal ini belum bisa efektif mengurangi tingkat konsumsi bahan bakar
minyak bersubsidi, hal ini dikarenakan oleh berbagai faktor eksternalitas seperti sulitnya
pengawasan, penambahan jumlah kendaraan bermotor, dll. Hal ini mengakibatkan kebijakan
yang telah dikeluarkan pemerintah tersebut belum mampu secara signifikan mengurangi tingkat
konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi.
b. Pentingnya Situasi Masalah
c. Kebutuhan untuk Analisis
BAGIAN III
Pernyataan Masalah
a. Definisi Masalah
Besarnya konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia disebabkan karena tingginya
ketergantungan akan penggunaan bahan bakar minyak, menurut data kementrian ESDM, saat ini
ketergantungan penggunaan bahan bakar minyak Indonesia hamper mencapai 50 % dari total
bauran energy yang digunakan di Indonesia.
Kondisi ini sangatlah berbahaya bagi ketahanan energy nasional, karena sumber energy minyak
akan segera habis dalam beberapa tahun kedepan jika tidak dilakukan upaya tata kelola yang
tepat dan penghematan sumber energy bahan bakar minyak.Menurut data Kementrian ESDM
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, cadangan minyak bumi Indonesia terus menipis dan akan
segera habis jika tidak dilakukan penerapan kebijakan yang mampu mengatur penggunaan
minyak bumi secara hemat dan tepat.
b. Tujuan dan Sasaran
c. Ukuran Efektifitas
d. Solusi yang Tersedia
BAGIAN IV
Alternatif Kebijakan
a. Definisi Alternatif
b. Perbandingan Konsekuensi Kebijakan
c. Dampak Ganda dan Eksternalitas
d. Hambatan dan Fisibilitas Politik
BAGIAN V
Alternatif Kebijakan
a. Kriteria Alternatif Rekomendasi
b. Deskripsi Alternatif yang Dipilih
c. Kerangka Strategi Implementasi
d. Keterbatasan
BAGIAN II
Aktor-aktor Kebijakan
Aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah kebijakan sangatlah berpengaruh dalam proses
perumusan kebijakan publik. Aktor-aktor disini tidak hanya sebagai pembuat kebijakan agar
dapat disahkan secara legal saja, namun juga pihak-pihak yang berpengaruh ketika
perencanaannya.
i.
Inisiator kebijakan : Presiden Indonesia
ii.
Pembuat kebijakan dan legislator : Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral (Dewan Energi Nasional)
iii.
Pelaksana Kebijakan: Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini bekerjasama dengan pihak
Pertamina yaitu pihak yang diberi kewenangan mengatur tata kelola BBM di Indonesia.
iv.
Kelompok sasaran adalah masyarakat karena kebijakan ini dibuat untuk mengatasi
ancaman kelangkaan bahan bakar minyak yang akan segera habis
v.
Kelompok yang diuntungkan (Beneficiaries Group) Adapun pihak yang diuntungkan
adalah masyarakat sebagai sasaran utama dari kebijakan ini. Selain itu, ada pihak yang
juga diuntungkan yaitu pemerintah karena mampu menghemat anggaran serta mampu
menjaga stabilitas ketahanan energy nasional.
vi.
Kelompok Penekan : Dunia usaha dan sebagian kelompok masyarakat yang sangat
bergantung dengan konsumsi bahan bakar minyak
Identifikasi Permasalahan dan Hubungan Sebab Akibat
a. Indonesia masih sangat tergantung dengan energi fosil, utamanya minyak bumi
Menurut data dewan energy nasional, penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber
energy di Indonesia mencapai 46 % dari total pemenuhan energy nasional. Dengan kata
lain bisa diambil kesimpulan bahwa Indonesia masih sangat bergantung terhadap
penggunaan bahan bakar minyak
Akibat : Ketergantungan yang begitu tinggi terhadap bahan bakar minyak, menyebabkan
ketahanan energy Indonesia cukup rentan, hal ini dikarenakan cadangan bahan bakar
minyak akan segera habis dan harus segera mencari sumber daya terbarukan.
b. Tingkat konsumsi bahan bakar minyak Indonesia melebihi kapasitas produksi yang bisa
dihasilkan
Menurut data BP Statistical Review 2013, penggunaan bahan bakar minyak terus
meningkat sedangkan produksi minyak terus mengalami penurunan.
Akibat : Tingkat konsumsi yang melebihi tingkat produksi menyebabkan pemenuhan
kebutuhan BBM dalam negeri harus diimpor sehingga menyebabkan efek negatif pada
neraca pembayaran Indonesia.
c. Pemanfaatan bahan bakar minyak Indonesia tidak tepat guna
Menurut
data dari Kementrian ESDM, pada tahun 2014 penggunaan bahan bakar minyak didominasi oleh
penggunaan Solar dan Premium, hal ini mengindikasikan penggunaan BBM di Indonesia terlalu
boros untuk sektor konsumtif, padahal pemerintah mensubsidi BBM jenis premium dan solar.
Akibat : Anggaran untuk subsidi BBM membengkak dan memberatkan APBN Indonesia
Alternatif Kebijakan
Setelah mengidentifikasi permasalahan, maka hanya ada satu jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan tingkat konsumsi BBM di Indonesia, yaitu mengurangi tingkat konsumsi BBM
secara perlahan dan terus mengembangkan energy terbarukan dan menuju pada pengalihan
energi pengganti bahan bakar minyak. Pengembangan sumber daya terbarukan membutuhkan
waktu yang panjang, sehingga pemerintah harus menjaga tingkat cadangan bahan bakar minyak
tetap cukup, sampai penggunaan bahan bakar minyak mampu dialihkan secara maksimal.
Kebijakan Untuk Pengalihan Energi :
a. Kebijakan Ketersediaan Energi
Mengatur jaminan pasokan energi nasional, melalui peningkatan cadangan terbukti energi
fosil, rasionalisasi ekspor gas dan batubara, optimalisasi sistem produksi,transportasi dan
distribusi energi;
b. Kebijakan Prioritas Penyediaan Energi
Mengatur penggunaan energi terbarukan, meminimalkan minyak bumi,mengoptimalkan
gas bumi dan energi baru, batubara sebagai andalan dan pengaman pasokan energi
nasional, dan pemanfaatan energi nuklir untuk mendukung keamanan pasokan energi
nasional dalam skala besar dengan mempertimbangkan factor keamanan secara ketat;
c. Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Energi Nasional
Mengatur tentang pemanfaatan sumber daya energi berdasarkan pertimbangan
kapasitas; keberlanjutan, keekonomian, dan dampak lingkungan hidup;
d. Kebijakan Cadangan Energi Nasional
Mengatur tentang jaminan ketahanan energi nasional guna mengatasi terjadinya
kondisi krisis dan darurat energi baik yang disebabkan oleh alam ataupun stabilitas
kondisi geopolitik dunia;
e. Kebijakan Konservasi dan Diversifikasi
Mengatur tentang pemanfaatan sumber daya energi dengan tetap menjaga konservasi
sumberdaya energi, meningkatkan kualitas nilai dan keaneragaman sumber daya energi;
f. Kebijakan Lingkungan dan Keselamatan
Mengatur keselarasan pengelolaan energi nasional dengan arah pembangunan
nasional berkelanjutan, pelestarian sumbedaya alam, dan pengendalian lingkungan;
g. Kebijakan Harga, Subsidi dan Insentif Energi
Mengatur tentang harga, subsidi dan insentif energi dalam rangka menjamin penyediaan
dan pengusahaan energi dengan tetap memperhatikan kemampuan
masyarakat;
h. Kebijakan Infrastruktur dan Industri Energi
Mengatur peningkatan infrastruktur energi dan mendorong penguatan industri energy
nasional;
i. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Energi
Mengatur peran Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha dalam
meningkatkan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi energi sampai
tahap komersial;
j. Kebijakan Kelembagaan dan Pendanaan
Mengatur penguatan sistem kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan energy oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya;
Kebijakan Untuk Penghematan Konsumsi BBM :
Dalam teori ekonomi, untuk mengurangi tingkat konsumsi suatu komoditas maka pengambil
kebijakan bisa menggunakan hokum permintaan dan penawaran dengan menaikkan harga BBM
atau mengurangi subsidi BBM, namun cara ini bukanlah cara yang bijak, karena BBM
merupakan komoditas yang memiliki karakteristik unik, yaitu ketika harganya dinaikkan tidak
menyebabkan konsumsinya turun secara signifikan, hal ini dikarenakan BBM adalah komoditas
primer yang sulit dihindari penggunannya, selain itu penulis juga berpandangan bahwa BBM
merupakan barang public yang berhak dikonsumsi secara bebas oleh masyarakat, hal ini
berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, pemanfaatan sumber daya energi untuk kepentingan
Nasional, secara jelas telah di jabarkan pada pasar 33, ayat 3 : ” bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar besarnya untuk
kemakmuran rakyat ”
Jika mengacu pada UUD tersebut, penulis berpendapat bahwa pemerintah tidak boleh
mengurangi kesejahteraan masyarakat dengan membuat masyarakat tidak mampu membeli
BBM, selain itu BBM adalah komoditas yang memiliki multiplier effect besar terhadap
perekonomian, saat BBM dinaikkan, maka harga rata-rata komoditas lain akan mengalami
peningkatan, oleh karena itu kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah mengkondisikan
masyarakat seminimal mungkin menggunakan bahan bakar minyak.
Salah satu caranya adalah membuat dasar hukum yang memaksa para pekerja pemerintah seperti
PNS, Pegawai BUMN, Pegawai Kementrian untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika
bekerja, mereka disediakan sarana antar jemput pulang dan pergi bekerja. Sektor transportasi
merupakan sektor pengguna energy final komersil terbesar kedua setelah sektor industri. Saat ini
hampir seluruh konsumsi energi di sektor transportasi berupa BBM dan sekitar 89% konsumsi
BBM di sektor transportasi merupakan konsumsi sub sektor transportasi darat.
Di DKI Jakarta, jumlah kendaraan pribadi mencapai 96,5% yang melayani 44% perjalanan,
sedangkan jumlah angkutan umum mencapai 3,5% yang melayani 56% perjalanan (diantaranya
3% dilayani kereta api / KRL Jabodetabek). Penyebab utama tingginya pertumbuhan kendaraan
bermotor dan konsumsi BBM pada sub sektor transportasi darat adalah harga bensin premium
dan minyak solar ditetapkan oleh Pemerintah dengan harga subsidi. Hal ini menyebabkan
penggunaan energi alternatif sebagai substitusi BBM seperti BBG dan biofuel (bioethanol dan
biodiesel) menjadi terhambat.Kondisi ini haruslah diperbaiki dengan mengubah pola transportasi
dari penggunaan utama kendaraan pribadi menjadi angkutan massal.