Pengertian dan Ruang Lingkup Penahanan

BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah

Berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Undang – Undang Hukum Acara Pidana atau
lebih dikenal dengan KUHAP membawa perubahan yang fundamental baik secara konsepsional
maupun secara Implementatif terhadap proses peradilan pidana di Indonesia. Di dalam KUHAP
yang disusun untuk menggantikan Het Herziene Inland Reglements (HIR) secara lengkap
meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanaan
putusan hakim
Namun Seiring berjalannya zaman Hak Asasi Manusia merupakan elemen penting di
dalam kehidupan manusia dari segala aspek tidak terkecuali Proses peradilan Pidana di Indonesia
juga memasukan elemen HAM tersebut sebagai aspek penting agar tahanan dapat dilindungi dari
kesewenangan aparat penegak hukum ketika dilakukan pemeriksaan. Namun seperti Kitab
Undang –Undang lainnya yang merupakan ciptaan manusia KUHAP juga tidak semuanya
mampu mengcover hak – hak tahanan di Indonesia apalagi para Aparat penegak hukumnya
masih banyak yang kurang kesadaran hukumnya. Oleh sebab itu kali ini penulis akan menelaah
lebih lanjut mengenai hubungan antara Konsepsi HAM dengan Proses Peradilan pidana dalam
hal ini Penahanan khususnya apakah ada ketidaksinkronan di lapangan atau tidak maka dari itu
penulis mencari pokok masalah yang akan dibahas pada makalah ini. Adapun Pokok Masalahnya
adalah :








Apa Itu Hukum Acara Pidana?
Bagaimana Sejarah Lahirnya KUHAP?
Apa Saja Asas Hukum Acara Pidana?
Apa saja Ruang Lingkup Penahanan?
Apa ruang lingkup Konsepsi HAM ?
Hubungan Antara Konsep HAM dengan Realita Proses Penahanan

1

BAB II
ISI
Pengertian Hukum Acara Pidana


Menurut Van Bemmelen Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan – peraturan yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang – undang pidana:
a.
b.
c.
d.

Negara melalui alat alatnya menyidik kebenaran
Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu
Mengambil tindakan yang perlu guna menangkap dan menahan pelaku
Mengumpulkan bahan – bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke

hadapan hakim tersebut
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan
kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib
f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut
g. Melaksanakan putusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu

Menurut Simons Hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang cara negara

dan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana1
Moeljiatno mengatakan hukum acara pidana adalah menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Sejarah lahirnya KUHAP
Pangkal tolak bersumber dari naskah garis Besar Haluan Negara menurut Ketetapan
MPR – RI No. IV/MPR/1978 Bab IV bidang hukum yang berbunyi di antaranya:
Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan
sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

1 Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 3.

2

Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha usaha untuk peningkatan dan
penyempurnaan

pembinaan

hukum


nasional

dengan

antara

lain

mengadakan

pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang – bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Dengan diawali Pidato Presiden Soeharto dengan surat No. R.06/PU/XX/79 pada
tanggal 12 September 1979 pemerintah menyerahkan konsep Rencana Undang – Undang
Hukum Acara Pidana kepada DPR. Kemudian diikuti oleh keterangan Pemerintah di
depan siding Paripurna DPR pada tanggal 9 Oktober 1979 yang disampaikan oleh
menteri Kehakiman Moedjono SH.
DPR R.I pada bulan November 1979 membentuk Komisi Gabungan ( SIGAB)
yang kemudian bekerjasama dengan pemerintah membahas RUU – HAP pekerjaan mana

dengan hasil baik dapat diakhiri pada bulan Desember 1980.
Kemudian diselesaikan di tingkat fraksi – fraksi DPR R.I dan oleh siding
Paripurna DPR RI pada tanggal 23 September 1981 Rencana Undang – Undang Hukum
Acara Pidana

disahkan menjadi Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).
KUHAP sama sekali tidak mengenal perbedaan bangsa dan suku bangsa semua
diperlakukan sama di depan sidang mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung. KUHAP diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri dalam alam
kemerdekaan nasional jauh dari unsur penjajahan.
Harkat dan Martabat setiap tersangka dilindungi dan dihormati mulai dari
pemeriksaan pendahuluan yang sifatnya terbuka dengan apabila dikehendaki untuk
didampingi oleh penasihat hukum.2
Tersangka tidak lagi sebagai objek tetapi subjek yang mempunyai hak dan
kewajiban dimana dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah
tangkap, salah tahan,salah tuntut dan salah hukum.3

2 M.Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar,

Politeia, Bogor, 2012, hlm. X.
3 Ibid.

3

Asas Dalam Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana mengenal beberapa asas. Asas tersebut ada yang bersifat umum dan
khusus. Asas yang bersifat umum berlaku dalam seluruh kegiatan peradilan. Sementara yang
bersifat khusus berlaku di dalam persidangan.4
Adapun Asas – Asas Dalam Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut ;



Asas Umum
Asas Kebenaran Materil
Asas Peradilan cepat,sederhana, dan biaya murah
Asas Praduga tak bersalah dan Praduga Bersalah
Asas Inquisitoir dan Accusatoir




Asas Khusus
Asas Legalitas dan Opportunitas
Asas Sidang Terbuka untuk Umum
Asas Peradilan dilakukan oleh Hakim karena jabatannyaAsas Pemeriksaan Langsung
Asas Komunikasi dengan Tanya Jawab Langsung.

Pengertian dan Ruang Lingkup Penahanan

Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP,Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang –undang ini. Dari rumusan pasal tersebut maka
4 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 15.

4

jelas kiranya,bahwa penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim
dengan penetapannya kepada tersangka atau terdakwa.5
Tidak ada perdebatan terkait penggunaan istilah, karena di dalam pasal 21ayat (1)
ditegaskan, bahwa penahanan dapat dilakukan berdasarkan bukti yang cukup. Selain bukti yang

cukup terdapat syarat – syarat lain untuk dapat dilakukannya penahanan, syarat – syarat tersebut
antara lain dengan syarat subjektif dan syarat objektif.
1. Syarat Subjektif Penahanan
Menurut terminologi bahasa,subjektif artinya adalah menurut pendapat sendiri, atau
menurut masing – masing pribadi. Salah satu syarat penahanan adalah adanya syarat
subjektif, yaitu syarat yang hanya pihak yang melakukan penahanan yang bias
memahami.
Syarat ini tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, “Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”
Di dalam rumusan tersebut tercantum

“ adanya kekhawatiran”, yakni mengenai

kekhawatiran hanya pihak yang khawatir saja yang bisa memahami, tidak dapat terukur dan tidak
dapat dibuktikan, oleh karena itu disebut dengan alasan subjektif.
Ketika penyidik penuntut umum dan atau hakim tidak memiliki rasa khawatir bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta

mengulangi tindak pidana, maka syarat subjektif tidak terpenuhi. Akan tetapi walaupun syarat
subjektif terpenuhi, masih dibutuhkan satu syarat lagi agar penahanan dapat dilakukan, yaitu
syarat objektif.6
2. Syarat Objektif Penahanan

5 Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia, Setara Press,
Malang, 2014, hlm. 90.
6 Ibid , 91.

5

Objektif memiliki makna berkenaan dengan keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi
pendapat atau pandangan pribadi. Syarat ini menjadi syarat berikutnya dalam
menentukan penahanan. Pasal 21ayat (4) mensyaratkan,
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal :
a) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335
ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a,

Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 505 Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtordonantie (Pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan staatblad Tahun 1931
Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang Undang Tindak Pidana Imigrasi
( Undang – Undang Nomor.8 drt. Tahun 1955 Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor
8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang –
Undang nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Ketentuan tersebut dinamakan syarat objektif karena terukur dan dapat dibuktikan
tidak atas penilaian pribadi masing – masing pihak. Ukurannya jelas yaitu untuk tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan untuk tindak pidana
walaupun tidak diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih akan tetapi mengganggu dan
membahayakan ketertiban umum dapat dikenai upaya paksa penahanan.
Dua syarat ini merupakan syarat kumulatif yang artinya keduanya harus terpenuhi,
apabila salah satu tidak terpenuhi, maka penahanan tidak dapat dilakukan.
Penahanan sebagaimana dimaksud di atas tidak selamanya harus dilaksanakan di
Rumah Tahanan Negara. Terdapat tiga macam jenis penahanan sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 22 ayat (1) KUHAP, yaitu;
a) Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN)


6

Penahanan dilakukan di RUTAN yang berada di masing – masing
kabupaten /kota. Masa penahanan di RUTAN dikurangkan sepenuhnya dari
pidana yang dijatuhkan .
b) Penahanan Rumah
Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah
kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan
terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan, penuntutan

atau pemeriksaan di siding

pengadilan.
Masa penahanan di rumah dikurangkan sepertiga dari pidana yang dijatuhkan.

c) Penahana Kota
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau kediaman
tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor
diri pada waktu yang ditentukan. Masa penahanan kota dikurangkan seperlima
dari pidana yang dijatuhkan.7
Tujuan Penahanan ditentukan dalam pasal 20 KUHAP yang meliputi tiga
hal, yaitu untuk kepentingan penyidikan, kepentingan penuntutan, dan untuk
pemeriksaan di sidang pengadilan.

Konsepsi Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini
merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka
dalam komunitas masyarakat. Bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas
7 Ibid.

7

individu yang merdeka, merupakan bawaan sejak lahir, sehingga tidak bisa digugat dengan
banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat. Dengan dan atas nama apa
pun, bahwa dasar – dasar kemanusiaan yang intim harus dilindungi, dipelihara dan tidak
dibiarkan berada sama sekali dalam ruang – ruang sosial yang mengaelienasinya.8
Sifat Hakiki dan kodrati HAM yang melekat pada diri setiap orang tidak dapat dicabut
atau dihapuskan oleh siapa pun termasuk penguasa Negara. Menghapus dan mencabut HAM
sama artinya menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Munculnya berbagai tindakan yang mengekang dan menghancurkan nilai – nilai
kemanusiaan, mendorong lahirnya kesadaran global yang memberikan apresiasi positif terhadap
pengakuan dan perlindungan HAM. Kesadaran ini dilandasi oleh suatu keyakinan bahwa
pengakuan dan perlindungan HAM hanya dapat diwujudkan secara maksimal dan optimal
melalui kerja sama internasional. Usaha nyata dalam menggalang kesadaran global untuk
mewujudkan pengakuan dan perlindungan HAM, terwujud setelah Perserikatan Bangsa – Bangsa
(PBB) mengesahkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia) pada 10 Desember 1948 di kota Paris.
Agar dapat mengikat secara yuridis DUHAM perlu dilengkapi dengan perjanjian
internasional. Untuk itu, Majelis Umum PBB menugaskan komisi Hak Asasi Manusia salah satu
badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial untunk menyusun perjanjian internasional yang
mengikat. Keputusan itu ditetapkan melalui resolusi Majelis Umum 217 (III) yang dikeluarkan
saat DUHAM diumumkan 10 Desember 1948.
Bukan hanya karena desakan internasional saja Indonesia turut meratifikasi
perjanjian/konvenan mengenai HAM tersebut. Namun juga karena memang amanah pendiri
negara yang dituangkan dalam sila II Pancasila yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Makna yang terkandung dalam sila II Pancasila tersebut adanya pengakuan terhadap martabat
manusia dan perlakuan yang adil terhadap sesame manusia.

Hubungan Antara Konsep HAM dengan Realita Proses Penahanan
8 Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses Penahanan di Indonesia,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 1

8

Sebelum membahas lebih lanjut Hubungan antara Konsep HAM dengan Proses Penahanan kita
harus mengetahui terlebih dahulu apa saja Hak – Hak seorang Tahanan tersebut. Adapun Hak –
Hak seorang tahanan adalah sebagai berikut 9:







Hak untuk tidak disiksa
Hak untuk memperoleh pemeriksaaan yang cepat
Hak untuk memperoleh bantuan hukum
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan
Hak untuk menerima kunjungan keluarga
Hak atas ganti kerugian dan rehibilitasi

Dalam makalah ini hanya menitiberatkan kepada fenomena penahanan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum. Banyak terjadi saat ini adalah penyiksaan fisik baik berat maupun
ringan oleh aparat penegak hukum kepada tahanan yang disiksa demi kepentingan baik itu
demi kepentingan dalam proses pemeriksaan. Ini merupakan bentuk kesewenang –wenangan
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya padahal sebenarnya KUHAP telah
mengatur secara tegas bahwa kedudukan antara aparat penegak hukum dengan para tahanan
kedudukannya adalah seimbang. Namun tetap saja dalam praktiknya akibat arogansi
beberapa aparat penegak hukum melakukan Abuse of Power terhadap tahanan karena
memang masih banyak aparat penegak hukum tidak memahami secara utuh KUHAP
tersebut. Salah satu faktornya mugkin adalah lemahnya bekal ilmu aparat penegak hukum itu
sendiri selama pelatihan dan memang realitanya saat ini banyak polisi masuk dengan cara –
cara yang tidak etis seperti nepotisme dan sogok menyogok/ rasuah untuk memuluskan jalan
mereka masuk di Akademi Kepolisian. Jadi wajar saja dengan cara yang tidak halal seperti
itu kemudian menjadi penegak hukum tentu saja apabila hal ini terjadi berakibat pada
banyaknya aparat penegak hukum menggunakan cara-cara kekerasan daripada mematuhi
aturan – aturan dan norma – norma yang berlaku untuk mengintimidasi, menyiksa, menakut
– nakuti tahanan baik itu disertai pula dengan kekerasan demi memperoleh informasi demi
kepentingan pemeriksaan. Padahal sebenarnya dan seharusnya Penahanan yang merupakan
salah satu proses di dalam peradilan pidana Indonesia yang sudah diatur di dalam KUHAP
haaruslah dipatuhi.
9 Ibid , 112.

9

Selain itu PBB sendiri telah membuat Konvensi Menentang Penyiksaan selain mengikat
secara hukum kepada Negara – Negara yang meratifikasi konvensi tersebut termasuklah
Indonesia. Adapun Ketentuan Konvensi menentang Penyiksaan tersebut adalah Hak untuk
tidak disiksa dan diperlakukan kejam merupakan hak yang tidak dapat dikesampingkan atau
dikurangi. Kedua, berlaku sistem (yurisdiksi)

hukum Universal. Hal ini berarti pelaku

penyiksaan dapat dituntut dimanapun berada. Negara yang meratifikasi konvensi ini wajib
menghukum setiap pelaku penyiksaan atau mengekstradisinya kepada Negara yang meminta
dan berhak mengadilinya . Di dalam Konvensi tersebut juga menyebutkan bahwa barang
bukti yang didapat melalui cara – cara kekerasan tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
yang sah di depan pengadilan.
Hal tentang penyiksaan oleh aparat penegak hukum kepada tahanan ini juga sebenarnya
sudah diatur baik di dalam KUHP dan KUHAP. Di dalam KUHP sendiri mengatur secara
utuh dan jelas namun tidak berbicara mengenai secara khusus tentang penyiksaaan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum saat menjalankan tugasnya juga dalam pengertian
penganiayaan hanya sebatas penyiksaan fisik dan belum menjangkau penyiksaan secara
mental.10
Padahal sudah seharusnya penyiksaan secara mental juga harus dipidana. Kriminalisasi
penyiksaan mental sangat beralasan karena penyiksaan mental dapat berakibat serius
terhadap perkembangan kejiwaan korban dalam hal ini tahanan.
Dirumuskan pula dalam pasal 351 KUHP bahwa percobaan melakukan penganiayaan
tidak dapat dipidana. Hal ini berbeda dengan Pasal 4 Konvensi Menentang Penyiksaan yang
justru menginginkan agar pelaku percobaan melakukan penganiayaan harus dipidana.
Selaras dengan larangan melakukan penyiksaan termasuk pada proses peradilan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, KUHAP sebagai sumber utama
hukum acara pidana telah merumuskan berbagai ketentuan yang dapat dan mencegah terjadinya
penyiksaan. Rumusan pasal – pasal yang dimaksud telah merumuskan perisai hak bagi pihak –
pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana, baik yang berstatus tersangka maupun
terdakwa.

10 Ibid, 119.

10

Model pendekatan KUHAP secara normative telah merefleksikan pendekatan due
process model yang menempatkan para tersangka atau terdakwa pada posisi yang seimbang
dengan aparat hukum. Posisi yang seimbang ini menjadikan tersangka dan terdakwa sebagai
subjek pemeriksaan sehingga tidak dapat diperlakukan sewenang – wenang (asas akusatoir).
Walaupun demikian, system yang dianut di dalam KUHAP tidak meninggalkan secara mutlak
model crime control, model yang mengutamakan proses peradilan pidana yang cepat dan tuntas.
Ada beberapa faktor perilaku Arogan itu muncul yaitu karena kekeliruan dan pemahaman
yang salah dari sebagian aparat penegak hukum terhadap fungsi dan wewenang yang diberikan
oleh UU. Fungsi dan wewenang itu dipahami sebagai sesuatu yang melekat secara pribadi pada
diri penegak hukum. Akibatnya, tahanan secara yuridis memiliki kedudukan yang seimbang
dengan aparat

penegak hukum dan memiliki hak untuk tidak disiksa.tidak lagi dipandang

sebagai subjek pemeriksaan, melainkan menjadi objek pemeriksaan dalam peradilan pidana.11
Faktor arogansi inilah yang memicu aparat penegak hukum memunculkan tindakan
menyiksa tahanan. Juga hal ini tidak lepas karena faktor pengawasan. Pengawasan yang lemah,
baik yang datang dari internal instansi

aparat pemegak hukum maupun dari masayarakat

terutama dari media massa akan membuka ruang yang memungkinkan terjadinya penyiksaan
terhadap tahanan. Faktor yang lain yang tak kalah penting adalah Faktor fasilitas ruang tahanan
polisi dan RUTAN di Indonesia tidak memadai dan banyak kekurangan sehingga tidak
memenuhi standarisasi PBB juaga tempat untk menampung tahanan tidak mencukupi sehingga
terjadilah dalam realisasinya RUTAN yang seharusnya digunakan untuk menampung tahanan
juga berfungsi menampung narapidana. Sebaliknya, LAPAS yang berfungsi
narapidana juga digunakan untuk menampung tahanan .12

BAB III
Penutup
Kesimpulan

11 Ibid, 122.
12 Ibid .

11

menampung

Moeljiatno mengatakan hukum acara pidana adalah menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Pangkal tolak bersumber dari naskah garis Besar Haluan Negara menurut Ketetapan
MPR – RI No. IV/MPR/1978 Bab IV bidang hukum yang berbunyi di antaranya:
Pembangunan di bidang hukum dalam Negara hukum Indonesia didasarkan atas landasan
sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka ini perlu dilanjutkan usaha usaha untuk peningkatan dan
penyempurnaan

pembinaan

hukum

nasional

dengan

antara

lain

mengadakan

pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang – bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
Dengan diawali Pidato Presiden Soeharto dengan surat No. R.06/PU/XX/79 pada
tanggal 12 September 1979 pemerintah menyerahkan konsep Rencana Undang – Undang
Hukum Acara Pidana kepada DPR. Kemudian diikuti oleh keterangan Pemerintah di
depan siding Paripurna DPR pada tanggal 9 Oktober 1979 yang disampaikan oleh
menteri Kehakiman Moedjono SH.
DPR R.I pada bulan November 1979 membentuk Komisi Gabungan ( SIGAB)
yang kemudian bekerjasama dengan pemerintah membahas RUU – HAP pekerjaan mana
dengan hasil baik dapat diakhiri pada bulan Desember 1980.Kemudian diselesaikan di
tingkat fraksi – fraksi DPR R.I dan oleh siding Paripurna DPR RI pada tanggal 23
September 1981 Rencana Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan menjadi
Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Menurut Pasal 1 butir 21
KUHAP,Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang –undang ini. Dari rumusan pasal tersebut maka jelas
kiranya,bahwa penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim
dengan penetapannya kepada tersangka atau terdakwa
Penahanan tidak bisa lepas dari penyiksaan oleh aparat hukum yang sewenang – wenang
karena merasa posisi jabatannya lebih tinggi daripada tersangka atau terdakwa . Dalam proses
12

peradilan pidana Indonesia hal ini anyak sekali terjadi. Hal ini bertentangan sekali dengan
Konvensi larangan menyiksa tahanan yang diatur oleh PBB juga bertentangan dengan Pancasila
Sila ke dua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab bertentangan juga dengan KUHP karena
memenuhi unsur penganiayaan disana begitu pula

bertentangan dengan KUHAP. Ini

menunjukan sebagian aparat masih salah kaprah menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai
aparat penegak hukum. Memang bukan hanya kekerasan fisik baik ringan maupun berat saja
yang diterima tahanan ketika dihadapi dengan situasi pemeriksaan namun juga kekerasan mental
yang dampaknya sangat berbahaya bagi kondisi mental atau jiwa tahanan itu sendiri. Apakah
karena KUHP tidak mengatur kekerasan mental tidak dapat dipidana sehingga hal tersebut
terjadi? Tentu saja tidak, inilah beberapa faktor penting pemicu penahanan dan penyiksaan itu
menjadi issue yang patut kita cermati seksama agar HAM dari tahanan dan hak – haknya yang
lain sebagai manusia terlindungi sekalipun dalam proses peradilan pidana haruslah dan teap
bagaimanapun mutlak dilindungi. Faktor Arogan penegak hukum itu sendiri faktor perilaku
Arogan itu muncul yaitu karena kekeliruan dan pemahaman yang salah dari sebagian aparat
penegak hukum terhadap fungsi dan wewenang yang diberikan oleh UU. Fungsi dan wewenang
itu dipahami sebagai sesuatu yang melekat secara pribadi pada diri penegak hukum. Akibatnya,
tahanan secara yuridis memiliki kedudukan yang seimbang dengan aparat penegak hukum dan
memiliki hak untuk tidak disiksa.tidak lagi dipandang sebagai subjek pemeriksaan, melainkan
menjadi objek pemeriksaan dalam peradilan pidana. Faktor Pengawasan dan Faktor Fasilitas
yang tidak meamadai.

Saran
Penulis berharap kekerasan dalam penahanan perlu dihapuskan dalam proses peradilan pidana itu
sendiri karena jelas melanggar HAM tahanan. KUHAP dalam hal ini haruslah merevisi dan
menyempurnakan kembali proses mengenai pasal penahanan tersebut karena proses pengawasan
di dalam proses peradilan pidana dalam hal penahanan ini tidak diatur rinci di dalam KUHAP
agar meminimalisir ataupun mencegah penyiksaan terjadi lagi di kalangan tahanan.

13

DAFTAR PUSTAKA

Rusli Hamzah, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti
Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses
Penahanan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana Prenadamedia Group
Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana Perkembangan dan Pembaharuannya di
Indonesia, Malang : Penerbit Setara Press
14

M.Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan
Resmi dan Komentar, Bogor: Penerbit Politeia
Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta

15