Berkomunikasi Dengan Allah Via al Quran
BERKOMUNIKASI DENGAN ALLAH VIA AL-QUR’AN1
Komunikasi adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Tanpa
komunikasi, manusia seakan tidak hidup. Secara sederhana, komunikasi
adalah hubungan antara dua pihak (bisa manusia, hewan, benda-benda
dan lainnya) di mana salah satu pihak memberikan pesan dan pihak
lainnya menerima pesan. Pesan dalam komunikasi bisa berupa apapun
dan bisa terjadi melalui berbagai media, baik itu media yang tampak oleh
mata maupun tidak, bahkan terkadang melalui simbol-simbol yang hanya
bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi saja.
Adanya komunikasi menandakan adanya hubungan. Tanpa
komunikasi berarti meniadakan adanya hubungan. Komunikasi yang baik
akan membangun sebuah hubungan yang baik pula. Begitu sebaliknya,
komunikasi yang buruk (baik karena caranya maupun isi pesan
komunikasi) akan mengakibatkan hubungan yang buruk pula.
Apabila logika tersebut ditarik ke dalam ranah hubungan antara
Allah dan manusia, maka muncullah pertanyaan yang sederhana namun
cukup sulit, “Mungkinkah komunikasi antara manusia dan Allah
dibangun? dan bagaimana caranya?”
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah sangat mungkin. Sebab
Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad telah menunjukkannya.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua adalah caranya dengan Al
Qur’an. Yakni dengan menjadikan Al Qur’an sebagai ruang eksistensi
atau sebuah canel komunikasi di mana Tuhan dan manusia bertemu
dengan tanpa menjadi satu, maksudnya dengan tanpa memanusiakan
Tuhan dan menuhankan manusia. Di sini kegiatan berkomunikasi dengan
Tuhan melalui Al Qur’an bisa diwujudkan dengan kegiatan yang
beragam: shalat, haji, berdoa, membaca Al Qur’an, mengucapkan
kalimah tayyibah.
Artikel ini bermaksud menguraikan jawaban dari kedua pertanyaan
tersebut berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis.
***
Mari kembali kepada Al Qur’an. Pertemuan antara Muhammad dan
Malaikat Jibril di mana wahyu Q.S. al-‘Alaq (96) Iqra’ diturunkan
merupakan salah satu model komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Dalam surah ini terdapat percakapan antara Muhammad dan Jibril. Jibril
menyuruh Muhammad untuk ‘bacalah’ (iqra’). Dengan segera
Muhammad menjawab ma ana bi qari’ (aku tidak akan membaca) dan
seterusnya.
Dari fenomena pewahyuan ini diakui adanya pertama, kehadiran
Jibril (pihak pertama) dan Muhammad (pihak kedua). Kedua, adanya
pesan yang ditransmisikan dan kemudian dibaca, yakni tentang Tuhan
1 Artikel ini dimuat di Tabloid Khalifah, edisi 66/Th III/2007/ 19 Juli-01 Agustus
atau 04-07 Rajab 1428 H dan didasarkan pada tulisan Nasr Hamid Abu Zayd, The
Qur’an: Man and God in Communication. Tulisan Nasr tersebut bisa diakses di http://
www.
stichtingsocrates.nl/teksten/The%20Qu'ran%20God%20and%20man%20in
%20communication%20-%20Oratie%20Rijksuniversiteit%20Leiden.pdf
(bi ismi rabbika/ atas nama Tuhamu). Peristiwa ini sebetulnya sudah
cukup untuk menunjukkan adanya komunikasi Tuhan dan manusia,
meskipun melalui perantara (Jibril). Dari komunikasi tersebut muncullah
istilah pesan (inspiration/wahyu) dan recitation (pembacaan).Wahyu
merupakan sebuah canel temporer komunikasi antara Tuhan dan
manusia di mana hanya suara manusia saja yang mengeksternalisasikan
secara nyata pesan Tuhan.
Shalat sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan
Dapatkan shalat dijadikan sebagai canel komunikasi keseharian
antara mukmin dengan Allah? Sangat mungkin, jika kita mau mengakui
adanya dimensi lain dari wahyu, yakni dimensi aural (berkaiatan dengan
pendengaran) dan oral (berkaiatan dengan pengucapan) yang ada pada
saat pertama kali perjumpaan antara Muhammad dan Jibril.
Sebelum membaca, qira’a, Muhammad pasti sudah mendengar.
Dalam pewahyuan berikutnya, Muhammad diperintahkan untuk tidak
membaca apa yang diwahyukan kepadanya (Q.S. al-Qiyamah [75]:18),
yang
berarti
bahwa
Muhammad
seharusnya
pertama-tama
mendengarkan kepada Malaikat dan kemudian baru membaca.
Mendengarkan dengan penuh perhatian atau inshat (anshitu) atas
pembacaan Al Qur’an—menurut Al Qur’an—merupakan sebuah jalan bagi
orang beriman untuk mendapatkan rahmat Allah (Q.S. al-A’raf [7]:204).
Mendengarkan bukanlah sekadar kegiatan yang pasif, melainkan ia
lebih menggambarkan kegiatan pemahaman yang bersifat perasaan hati,
intim dan sangat internal. Hanya dengan mendengarkan Al Qur’an yang
dibaca oleh Muhammad, sebagian jin—menurut Al Qur’an—telah
memeluk agama Islam (Q.S.al-Ahqaf [46]:29-30; al-Jin [72]:1).
Bahkan menurut sebuah hadis, pembaca Al Qur’an dianjurkan
untuk membaca Al Qur’an seolah-olah Al Qur’an itu diturunkan
kepadanya. Konsekuensinya, para pendengar juga harus sadar akan
kenyataan bahwa mereka sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam
shalat, orang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan oleh karena
itu beraksi sebagai pembicara dan penerima (wahyu) dalam waktu yang
sama.
Shalat diperkenalkan semenjak penjalanan Mi’raj Nabi ke Sidratul
Muntaha. Menurut sumber-sumber Islam, shalat ditawarkan melalui
komunikasi secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, sebagaimana
yang tergambar dalam Q.S. an-Najm (53). Dalam 18 ayat pertama, bisa
dipahami adanya kosmik pertemuan antara Muhammad, Malaikat dan
Tuhan. Begitu hebatnya pertemuan tersebut, maka sholat menjadi
kewajiban yang harus dilakukan oleh muslim setiap hari dan ia memiliki
status yang unik dibandingkan dengan ibadah yang lain, sebab shalat
menjadi tiang atau fondasi agama, as-shalatu ‘imaduddin.
Pentingnya shalat telah ditegaskan di dalam sejumlah hadis. Nabi
pernah bersabda bahwa Allah itu berada di kiblatnya orang yang
bershalat (Allah fi Qiblati al-Mushalli). Hadis ini dengan jelas
menunjukkan fungsi komunikatif shalat. Ada juga sebuah hadis yang
menyatakan perbedaan antara iman dan ihsan. Ihsan adalah kamu
menyembah Allah seolah-olah (ka anna) kamu melihat Allah dan apabila
kamu tidak bisa melakukannya maka rasakanlah seolah-olah Allah
melihatmu. Kata ka anna (seolah-olah) merupakan sebuah alusi untuk
masuk dalam keadaan imaginasi (membayangkan) yang dengan cara
tersebut memungkinkan untuk merasakan image Tuhan, dengan
demikian bisa memudahkan terjadinya proses komunikasi batin.
Dalam shalat, diwajibkan membaca al-Fatihah dalam setiap
raka’atnya. Sehingga setiap harinya, muslim paling tidak membaca alFatihan 17 kali. Jumlah ini bisa bertambah jika muslim melakukan shalatshalat sunah. Sehingga secara singkat, setiap satu raka’at akan
membuktikan bahwa sebenarnya shalat merepresentasikan sebuah canel
komunikasi yang sama atau pararel dengan pola komunikasi yang khas di
mana Al Qur’an diturunkan.
Kita mulai dengan konsep takbir, mengagungkan nama Tuhan.
Takbir diikuti dengan istiadzah, memohon perlindungan Allah dari
godaan setan. Kemudian diikuti dengan basmalah, menyebut mana Allah
yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kemudian baru diikuti dengan
membaca al-Fatihah. Lebih lanjut lagi, setiap rakaat shalat memuat
takbir, dzikir, hamd, tasbih dan du’a. Sehingga sesungguhnya, shalat itu
dibangun di atas bacaan-bacaan Al-Qur’an, oleh karena itu semakin
menegaskan keunikannya sebagai sebuah canel komunikasi antara
manusia dan Tuhan. Sedangkan konsep taslim (asslamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh) merupakan bagian dari penutup
komunikasi sedangkan takbir merupakan pembukaan komunikasi.
Menurut beberapa hadis Nabi, shalat itu diidentikkan dengan
pembacaan surah al-Fatihah yang pada gilirannya merepresentasikan
permohonan (doa) dan jawaban (istijabah) antara orang beriman dengan
Tuhannya. Dalam membaca al-Fatihah, orang beriman sedang
berhadapan dengan Tuhan sementara Tuhan meresponnya. Suara
manusia yang secara jelas terdengar itu tak lain dan tak bukan
merupakan bagian dari surah Al Qur’an. Bahkan menurut al-Gazali, alFatihah itu hatinya shalat. Sehingga, melakukan shalat berarti
menghadirkan bentuk mikro Al Qur’an.
Dimensi aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur
pewahyuan juga dapat ditemukan di dalam shalat. Muhammad dan juga
muslim pada umumnya diperintahkan untuk tidak melakukan shalat
dengan bacaan yang keras maupun pelan namun dengan bacaan yang
sedang (Q.S. al-Isra’ [17]:110). Melakukan shalat dengan bacaan yang
keras akan menghabiskan atau mengurangi
aspek aural, insat,
sedangkan melakukan shalat dengan bacaan yang pelan akan
memberikan pengaruh yang negatif terhadap aspek oral, qiraa’at atau
tartil. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang membesar-besarkan untuk
menyimpulkan bahwa di dalam shalat Al Qur’an diringkas, sehingga
memberikan dan menyediakan situasi semi-wahyu yang di dalamnya
seorang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan sekaligus berlaku
sebagai pembicara dan penerima (wahyu) pada saat yang sama.
Haji sebagai sarana Komunikasi
Haji, berziarah ke Ka’bah merepresentasikan shalat yang berisfat
makro. Jika dibandingkan dengan shalat yang bersifat mikro, haji
merupakan kesempatan tahunan bagi muslim yang dikombinasikan
antara hal yang berifat ketuhanan dan sekular (duniawi). Disebutkan di
dalam Al Qur’an bahwa haji dimaksukan untuk muslim guna
memperhatikan manfaat atau kesejahteraan hidupnya, manafi’ dan
begitu juga untuk mengingat nama Tuhan di hari yang ditentukan (Q.S.
al-Haj [22]:28). Sebuah elemen haji yang penting sebagai shalat makro
adalah doa talbiyah. Elemen lainnya adalah thawaf mengelilingi Ka’bah,
tawaf qudum, tawaf wada’ dan tawaf ifadah. Baik putaran awal maupun
akhir berkesesuaian dengan takbir yang menandai awal shalat dan taslim
yang menandai akhir shalat. Meskipun doa talbiyah bukan merupakan Al
Qur’an namun kosakata-kosakatanya bersifat qur’anik.
Di sela-sela shalat keseharian dan kesempatan haji tahunan, ada
bulan suci (Ramadhan) yang di dalam bulan tersebut Al Qur’an
diturunkan (Q.S. al-Baqarah [2]:185). Pada bulan ini, di samping puasa,
shalat malampun diperintahkan sebagai ibadah sunnah untuk dilakukan
secara berjamaan di malam hari. Melalui shalat secara berjamaah, baik
mikro maupun makro, formula Qur’anik tersebar melebihi batas-batas
ibadah untuk memasuki dalam bahan pembicaraan sehari-hari. Ini terjadi
hampir di seluruh bahasa di dalam dunia Muslim sebagaimana yang akan
dijelaskan berikut ini.
Membaca Al Qur’an sebagai sebuah disiplin
Membaca Al Qur’an menjadi hati makro dan mikro shalat itu
sendiri dan oleh karenanya menjadi medium komunikasi antara manusia
dengan Tuhan. Kini, membaca Al Qur’an telah berkembang menjadi
sebuah disiplin yang independent dengan aturan-aturan dan metodemetodenya tersendiri. Pembaca Al Qur’an yang profesional (qari’) akan
membaca Al Qur’an dengan cara yang lebih teratur yang disebut dengan
tartil, sebuah istilah yang digunakan dua kali di dalam Al Qur’an untuk
menunjukkan makna bacaan (Q.S. al-Furqan [25]:33 dan al-Muzammil
[73]:4). Ada sebuah hadis yang menyatakan perintah untuk memperindah
bacaan Al Qur’an dengan suara. Ada juga yang menyatakan barang siapa
yang membaca Al Qur’an dengan suara yang tidak merdu bukanlah
golonganku (Nabi Muhammad).
Aturan-aturan bacaan dengan keindahan tartil menjadi sebuah
disiplin yang disebut dengan tajwid. Tajwid merupakan sebuah wilayah
pengetahuan yang inter-disiplinary yang terdiri dari liguistik, penguasan
seni perfomance yang berhubungan dengan musikal Qira’at dan berbagai
vokalisasi Al Qur’an.
Membaca dan menghafal Al Qur’an telah menjadi komponen
tradisional yang penting dalam pendidikan muslim. Langkah pertama
dalam pendidikan anak-anak adalah menghafalkan ayat-ayat pendek
seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, Mu’awidatain dan seterusnya. Kegiatan
pembelajaran itu sendiri terhadap sebuah teks dengan cara menghafal,
menginternalisasikan, sebab dengan cara tersebut kedekatan dengan
sebuah kitab suci yang sering dibaca bisa terbangun dengan baik.
Tahfiz atau menghafal Al Qur’an secara khusus merupakan cara
mendekati teks secara tepat, dan kemampuan untuk mengutip atau
membaca sebuah teks dari hafalannya merupakan sebuah sumber
spiritual yang akan tersadap (jw. Mak cek) secara otomatis dalam setiap
refleksi perbuatan: beribadah, pertimbangan moral, begitu juga ketika
memutuskan persoalan-persoalan personal maupun komunal.
Kalimah Tayyibah Keseharian
Seberapa jauh al-Quran memiliki pengaruh dalam bahasa
keseharian kita? Penulis hanya ingin memberikan beberapa—karena
keterbatasan ruang—contoh yang mengindikasikan seberapa jauh frase,
ekpresi, formula dan kosa-kata Al Qur’an menjadi komponen esensial
dari fondasi—tidak hanya bahasa Arab tetapi hampir semua—bahasa di
negara-negara muslim juga.
Bahkan sebagian bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Malaysia,
Indonesia dan sebagainya telah dipengaruhi dengan Al Qur’an atau
paling tidak membawa bahasa serapan dari Qur’an. Ini merupakan akibat
dari perngaruh karakteristik oral dan aural Al Qur’an itu sendiri.
Beberapa frase dan kalimat Al Qur’an ditemukan dalam setiap
bahasa keseharian muslim, di antaranya, pertama adalah nama Tuhan
(Allah) yang hadir dalam setiap. Kedua, la ilaha illallah seringkali
digunakan untuk menyebutkan nuasa yang berbeda-beda. Biasanya
digunakan untuk mengekpresikan kesedihan ketika mendengarkan berita
yang buruk tentang seseorang. Reaksi atas berita duka biasanya
diekpresikan dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Q.S. alBaqarah [2]:156; ali ‘Imaran [3]:83; al-An’am [6]:36; Maryam [19]:4; anNur [24]:64; al-Qasas [28]:39; al-Mukmin [40]:77 dan al-‘Alaq [96]:8.).
Kalimat ini biasanya juga digunakan untuk mengekpresikan kemarahan
atau kekecewaan ketika menghadapi dilema tertentu yang tidak
diharapkan.
Ketiga, kata-kata Allahu Akbar yang merupakan tanda pertama
masuk ke dalam mood shalat yang biasanya disebut tabiratul ikram.
Takbir juga digunakan untuk mengekpresikan ketidakpuasan dalam
sebuah situasi oleh seseorang yang bersikap heroik-arogan. Keempat,
isti’adzah, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
Kelima, istighfar (astaghfirullah al-Azim) disebutkan di dalam Al
Qur’an lebih dari 50 kali. Istighfar biasanya diekpresikan untuk
menyesali setelah marah atau membujuk orang yang marah agar tenang.
Keenam, basmalah. Basamalah merepresentasikan dimensi positif
mencari keberkahan atau rahmat dari Allah. Basmalah mungkin lebih
sering digunakan dalam keseharian. Ketujuh, sapaan islami, yakni
assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh memiliki dasar di dalam
Al Qur’an (Q.S. al-An’am [6]:54; al-A’raf [7]:46; Yunus [10]:10; ar-Ra’d
[13]:24; Ibrahim [14]:23; al-Hijr [15]:46; Maryam [19]:62; al-Waqi’ah
[56]:26).
Semua itu merupakan cara membangun komunikasi dengan Tuhan
tanpa menjadi satu dengan Tuhan, tanpa ber-‘empatmata’ dengan Tuhan,
tanpa ‘memanusiakan’ Tuhan (maksudnya Tuhan dipersonifikasikan
sebagaimana makhluk yang bisa dilihat dan disentuh). Namun,
sayangnya sedikit di antara kita yang menyadari akan hal tersebut.
Dan kini, tampaknya kesadaran tersebut perlu ditumbuhkan guna
meningkatkan ketaqwaan dan keimanaan seorang muslim kepada Allah.
Semoga.
Komunikasi adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Tanpa
komunikasi, manusia seakan tidak hidup. Secara sederhana, komunikasi
adalah hubungan antara dua pihak (bisa manusia, hewan, benda-benda
dan lainnya) di mana salah satu pihak memberikan pesan dan pihak
lainnya menerima pesan. Pesan dalam komunikasi bisa berupa apapun
dan bisa terjadi melalui berbagai media, baik itu media yang tampak oleh
mata maupun tidak, bahkan terkadang melalui simbol-simbol yang hanya
bisa dipahami oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi saja.
Adanya komunikasi menandakan adanya hubungan. Tanpa
komunikasi berarti meniadakan adanya hubungan. Komunikasi yang baik
akan membangun sebuah hubungan yang baik pula. Begitu sebaliknya,
komunikasi yang buruk (baik karena caranya maupun isi pesan
komunikasi) akan mengakibatkan hubungan yang buruk pula.
Apabila logika tersebut ditarik ke dalam ranah hubungan antara
Allah dan manusia, maka muncullah pertanyaan yang sederhana namun
cukup sulit, “Mungkinkah komunikasi antara manusia dan Allah
dibangun? dan bagaimana caranya?”
Jawaban dari pertanyaan pertama adalah sangat mungkin. Sebab
Al Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi Muhammad telah menunjukkannya.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua adalah caranya dengan Al
Qur’an. Yakni dengan menjadikan Al Qur’an sebagai ruang eksistensi
atau sebuah canel komunikasi di mana Tuhan dan manusia bertemu
dengan tanpa menjadi satu, maksudnya dengan tanpa memanusiakan
Tuhan dan menuhankan manusia. Di sini kegiatan berkomunikasi dengan
Tuhan melalui Al Qur’an bisa diwujudkan dengan kegiatan yang
beragam: shalat, haji, berdoa, membaca Al Qur’an, mengucapkan
kalimah tayyibah.
Artikel ini bermaksud menguraikan jawaban dari kedua pertanyaan
tersebut berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan hadis.
***
Mari kembali kepada Al Qur’an. Pertemuan antara Muhammad dan
Malaikat Jibril di mana wahyu Q.S. al-‘Alaq (96) Iqra’ diturunkan
merupakan salah satu model komunikasi antara manusia dan Tuhan.
Dalam surah ini terdapat percakapan antara Muhammad dan Jibril. Jibril
menyuruh Muhammad untuk ‘bacalah’ (iqra’). Dengan segera
Muhammad menjawab ma ana bi qari’ (aku tidak akan membaca) dan
seterusnya.
Dari fenomena pewahyuan ini diakui adanya pertama, kehadiran
Jibril (pihak pertama) dan Muhammad (pihak kedua). Kedua, adanya
pesan yang ditransmisikan dan kemudian dibaca, yakni tentang Tuhan
1 Artikel ini dimuat di Tabloid Khalifah, edisi 66/Th III/2007/ 19 Juli-01 Agustus
atau 04-07 Rajab 1428 H dan didasarkan pada tulisan Nasr Hamid Abu Zayd, The
Qur’an: Man and God in Communication. Tulisan Nasr tersebut bisa diakses di http://
www.
stichtingsocrates.nl/teksten/The%20Qu'ran%20God%20and%20man%20in
%20communication%20-%20Oratie%20Rijksuniversiteit%20Leiden.pdf
(bi ismi rabbika/ atas nama Tuhamu). Peristiwa ini sebetulnya sudah
cukup untuk menunjukkan adanya komunikasi Tuhan dan manusia,
meskipun melalui perantara (Jibril). Dari komunikasi tersebut muncullah
istilah pesan (inspiration/wahyu) dan recitation (pembacaan).Wahyu
merupakan sebuah canel temporer komunikasi antara Tuhan dan
manusia di mana hanya suara manusia saja yang mengeksternalisasikan
secara nyata pesan Tuhan.
Shalat sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan
Dapatkan shalat dijadikan sebagai canel komunikasi keseharian
antara mukmin dengan Allah? Sangat mungkin, jika kita mau mengakui
adanya dimensi lain dari wahyu, yakni dimensi aural (berkaiatan dengan
pendengaran) dan oral (berkaiatan dengan pengucapan) yang ada pada
saat pertama kali perjumpaan antara Muhammad dan Jibril.
Sebelum membaca, qira’a, Muhammad pasti sudah mendengar.
Dalam pewahyuan berikutnya, Muhammad diperintahkan untuk tidak
membaca apa yang diwahyukan kepadanya (Q.S. al-Qiyamah [75]:18),
yang
berarti
bahwa
Muhammad
seharusnya
pertama-tama
mendengarkan kepada Malaikat dan kemudian baru membaca.
Mendengarkan dengan penuh perhatian atau inshat (anshitu) atas
pembacaan Al Qur’an—menurut Al Qur’an—merupakan sebuah jalan bagi
orang beriman untuk mendapatkan rahmat Allah (Q.S. al-A’raf [7]:204).
Mendengarkan bukanlah sekadar kegiatan yang pasif, melainkan ia
lebih menggambarkan kegiatan pemahaman yang bersifat perasaan hati,
intim dan sangat internal. Hanya dengan mendengarkan Al Qur’an yang
dibaca oleh Muhammad, sebagian jin—menurut Al Qur’an—telah
memeluk agama Islam (Q.S.al-Ahqaf [46]:29-30; al-Jin [72]:1).
Bahkan menurut sebuah hadis, pembaca Al Qur’an dianjurkan
untuk membaca Al Qur’an seolah-olah Al Qur’an itu diturunkan
kepadanya. Konsekuensinya, para pendengar juga harus sadar akan
kenyataan bahwa mereka sedang mendengarkan wahyu Tuhan. Di dalam
shalat, orang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan oleh karena
itu beraksi sebagai pembicara dan penerima (wahyu) dalam waktu yang
sama.
Shalat diperkenalkan semenjak penjalanan Mi’raj Nabi ke Sidratul
Muntaha. Menurut sumber-sumber Islam, shalat ditawarkan melalui
komunikasi secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, sebagaimana
yang tergambar dalam Q.S. an-Najm (53). Dalam 18 ayat pertama, bisa
dipahami adanya kosmik pertemuan antara Muhammad, Malaikat dan
Tuhan. Begitu hebatnya pertemuan tersebut, maka sholat menjadi
kewajiban yang harus dilakukan oleh muslim setiap hari dan ia memiliki
status yang unik dibandingkan dengan ibadah yang lain, sebab shalat
menjadi tiang atau fondasi agama, as-shalatu ‘imaduddin.
Pentingnya shalat telah ditegaskan di dalam sejumlah hadis. Nabi
pernah bersabda bahwa Allah itu berada di kiblatnya orang yang
bershalat (Allah fi Qiblati al-Mushalli). Hadis ini dengan jelas
menunjukkan fungsi komunikatif shalat. Ada juga sebuah hadis yang
menyatakan perbedaan antara iman dan ihsan. Ihsan adalah kamu
menyembah Allah seolah-olah (ka anna) kamu melihat Allah dan apabila
kamu tidak bisa melakukannya maka rasakanlah seolah-olah Allah
melihatmu. Kata ka anna (seolah-olah) merupakan sebuah alusi untuk
masuk dalam keadaan imaginasi (membayangkan) yang dengan cara
tersebut memungkinkan untuk merasakan image Tuhan, dengan
demikian bisa memudahkan terjadinya proses komunikasi batin.
Dalam shalat, diwajibkan membaca al-Fatihah dalam setiap
raka’atnya. Sehingga setiap harinya, muslim paling tidak membaca alFatihan 17 kali. Jumlah ini bisa bertambah jika muslim melakukan shalatshalat sunah. Sehingga secara singkat, setiap satu raka’at akan
membuktikan bahwa sebenarnya shalat merepresentasikan sebuah canel
komunikasi yang sama atau pararel dengan pola komunikasi yang khas di
mana Al Qur’an diturunkan.
Kita mulai dengan konsep takbir, mengagungkan nama Tuhan.
Takbir diikuti dengan istiadzah, memohon perlindungan Allah dari
godaan setan. Kemudian diikuti dengan basmalah, menyebut mana Allah
yang maha Pengasih lagi maha Penyayang. Kemudian baru diikuti dengan
membaca al-Fatihah. Lebih lanjut lagi, setiap rakaat shalat memuat
takbir, dzikir, hamd, tasbih dan du’a. Sehingga sesungguhnya, shalat itu
dibangun di atas bacaan-bacaan Al-Qur’an, oleh karena itu semakin
menegaskan keunikannya sebagai sebuah canel komunikasi antara
manusia dan Tuhan. Sedangkan konsep taslim (asslamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh) merupakan bagian dari penutup
komunikasi sedangkan takbir merupakan pembukaan komunikasi.
Menurut beberapa hadis Nabi, shalat itu diidentikkan dengan
pembacaan surah al-Fatihah yang pada gilirannya merepresentasikan
permohonan (doa) dan jawaban (istijabah) antara orang beriman dengan
Tuhannya. Dalam membaca al-Fatihah, orang beriman sedang
berhadapan dengan Tuhan sementara Tuhan meresponnya. Suara
manusia yang secara jelas terdengar itu tak lain dan tak bukan
merupakan bagian dari surah Al Qur’an. Bahkan menurut al-Gazali, alFatihah itu hatinya shalat. Sehingga, melakukan shalat berarti
menghadirkan bentuk mikro Al Qur’an.
Dimensi aural dan oral yang ditemukan di dalam struktur
pewahyuan juga dapat ditemukan di dalam shalat. Muhammad dan juga
muslim pada umumnya diperintahkan untuk tidak melakukan shalat
dengan bacaan yang keras maupun pelan namun dengan bacaan yang
sedang (Q.S. al-Isra’ [17]:110). Melakukan shalat dengan bacaan yang
keras akan menghabiskan atau mengurangi
aspek aural, insat,
sedangkan melakukan shalat dengan bacaan yang pelan akan
memberikan pengaruh yang negatif terhadap aspek oral, qiraa’at atau
tartil. Mungkin ini bukanlah sesuatu yang membesar-besarkan untuk
menyimpulkan bahwa di dalam shalat Al Qur’an diringkas, sehingga
memberikan dan menyediakan situasi semi-wahyu yang di dalamnya
seorang beriman menjadi pembaca dan pendengar dan sekaligus berlaku
sebagai pembicara dan penerima (wahyu) pada saat yang sama.
Haji sebagai sarana Komunikasi
Haji, berziarah ke Ka’bah merepresentasikan shalat yang berisfat
makro. Jika dibandingkan dengan shalat yang bersifat mikro, haji
merupakan kesempatan tahunan bagi muslim yang dikombinasikan
antara hal yang berifat ketuhanan dan sekular (duniawi). Disebutkan di
dalam Al Qur’an bahwa haji dimaksukan untuk muslim guna
memperhatikan manfaat atau kesejahteraan hidupnya, manafi’ dan
begitu juga untuk mengingat nama Tuhan di hari yang ditentukan (Q.S.
al-Haj [22]:28). Sebuah elemen haji yang penting sebagai shalat makro
adalah doa talbiyah. Elemen lainnya adalah thawaf mengelilingi Ka’bah,
tawaf qudum, tawaf wada’ dan tawaf ifadah. Baik putaran awal maupun
akhir berkesesuaian dengan takbir yang menandai awal shalat dan taslim
yang menandai akhir shalat. Meskipun doa talbiyah bukan merupakan Al
Qur’an namun kosakata-kosakatanya bersifat qur’anik.
Di sela-sela shalat keseharian dan kesempatan haji tahunan, ada
bulan suci (Ramadhan) yang di dalam bulan tersebut Al Qur’an
diturunkan (Q.S. al-Baqarah [2]:185). Pada bulan ini, di samping puasa,
shalat malampun diperintahkan sebagai ibadah sunnah untuk dilakukan
secara berjamaan di malam hari. Melalui shalat secara berjamaah, baik
mikro maupun makro, formula Qur’anik tersebar melebihi batas-batas
ibadah untuk memasuki dalam bahan pembicaraan sehari-hari. Ini terjadi
hampir di seluruh bahasa di dalam dunia Muslim sebagaimana yang akan
dijelaskan berikut ini.
Membaca Al Qur’an sebagai sebuah disiplin
Membaca Al Qur’an menjadi hati makro dan mikro shalat itu
sendiri dan oleh karenanya menjadi medium komunikasi antara manusia
dengan Tuhan. Kini, membaca Al Qur’an telah berkembang menjadi
sebuah disiplin yang independent dengan aturan-aturan dan metodemetodenya tersendiri. Pembaca Al Qur’an yang profesional (qari’) akan
membaca Al Qur’an dengan cara yang lebih teratur yang disebut dengan
tartil, sebuah istilah yang digunakan dua kali di dalam Al Qur’an untuk
menunjukkan makna bacaan (Q.S. al-Furqan [25]:33 dan al-Muzammil
[73]:4). Ada sebuah hadis yang menyatakan perintah untuk memperindah
bacaan Al Qur’an dengan suara. Ada juga yang menyatakan barang siapa
yang membaca Al Qur’an dengan suara yang tidak merdu bukanlah
golonganku (Nabi Muhammad).
Aturan-aturan bacaan dengan keindahan tartil menjadi sebuah
disiplin yang disebut dengan tajwid. Tajwid merupakan sebuah wilayah
pengetahuan yang inter-disiplinary yang terdiri dari liguistik, penguasan
seni perfomance yang berhubungan dengan musikal Qira’at dan berbagai
vokalisasi Al Qur’an.
Membaca dan menghafal Al Qur’an telah menjadi komponen
tradisional yang penting dalam pendidikan muslim. Langkah pertama
dalam pendidikan anak-anak adalah menghafalkan ayat-ayat pendek
seperti al-Fatihah, al-Ikhlas, Mu’awidatain dan seterusnya. Kegiatan
pembelajaran itu sendiri terhadap sebuah teks dengan cara menghafal,
menginternalisasikan, sebab dengan cara tersebut kedekatan dengan
sebuah kitab suci yang sering dibaca bisa terbangun dengan baik.
Tahfiz atau menghafal Al Qur’an secara khusus merupakan cara
mendekati teks secara tepat, dan kemampuan untuk mengutip atau
membaca sebuah teks dari hafalannya merupakan sebuah sumber
spiritual yang akan tersadap (jw. Mak cek) secara otomatis dalam setiap
refleksi perbuatan: beribadah, pertimbangan moral, begitu juga ketika
memutuskan persoalan-persoalan personal maupun komunal.
Kalimah Tayyibah Keseharian
Seberapa jauh al-Quran memiliki pengaruh dalam bahasa
keseharian kita? Penulis hanya ingin memberikan beberapa—karena
keterbatasan ruang—contoh yang mengindikasikan seberapa jauh frase,
ekpresi, formula dan kosa-kata Al Qur’an menjadi komponen esensial
dari fondasi—tidak hanya bahasa Arab tetapi hampir semua—bahasa di
negara-negara muslim juga.
Bahkan sebagian bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Malaysia,
Indonesia dan sebagainya telah dipengaruhi dengan Al Qur’an atau
paling tidak membawa bahasa serapan dari Qur’an. Ini merupakan akibat
dari perngaruh karakteristik oral dan aural Al Qur’an itu sendiri.
Beberapa frase dan kalimat Al Qur’an ditemukan dalam setiap
bahasa keseharian muslim, di antaranya, pertama adalah nama Tuhan
(Allah) yang hadir dalam setiap. Kedua, la ilaha illallah seringkali
digunakan untuk menyebutkan nuasa yang berbeda-beda. Biasanya
digunakan untuk mengekpresikan kesedihan ketika mendengarkan berita
yang buruk tentang seseorang. Reaksi atas berita duka biasanya
diekpresikan dengan kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Q.S. alBaqarah [2]:156; ali ‘Imaran [3]:83; al-An’am [6]:36; Maryam [19]:4; anNur [24]:64; al-Qasas [28]:39; al-Mukmin [40]:77 dan al-‘Alaq [96]:8.).
Kalimat ini biasanya juga digunakan untuk mengekpresikan kemarahan
atau kekecewaan ketika menghadapi dilema tertentu yang tidak
diharapkan.
Ketiga, kata-kata Allahu Akbar yang merupakan tanda pertama
masuk ke dalam mood shalat yang biasanya disebut tabiratul ikram.
Takbir juga digunakan untuk mengekpresikan ketidakpuasan dalam
sebuah situasi oleh seseorang yang bersikap heroik-arogan. Keempat,
isti’adzah, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
Kelima, istighfar (astaghfirullah al-Azim) disebutkan di dalam Al
Qur’an lebih dari 50 kali. Istighfar biasanya diekpresikan untuk
menyesali setelah marah atau membujuk orang yang marah agar tenang.
Keenam, basmalah. Basamalah merepresentasikan dimensi positif
mencari keberkahan atau rahmat dari Allah. Basmalah mungkin lebih
sering digunakan dalam keseharian. Ketujuh, sapaan islami, yakni
assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh memiliki dasar di dalam
Al Qur’an (Q.S. al-An’am [6]:54; al-A’raf [7]:46; Yunus [10]:10; ar-Ra’d
[13]:24; Ibrahim [14]:23; al-Hijr [15]:46; Maryam [19]:62; al-Waqi’ah
[56]:26).
Semua itu merupakan cara membangun komunikasi dengan Tuhan
tanpa menjadi satu dengan Tuhan, tanpa ber-‘empatmata’ dengan Tuhan,
tanpa ‘memanusiakan’ Tuhan (maksudnya Tuhan dipersonifikasikan
sebagaimana makhluk yang bisa dilihat dan disentuh). Namun,
sayangnya sedikit di antara kita yang menyadari akan hal tersebut.
Dan kini, tampaknya kesadaran tersebut perlu ditumbuhkan guna
meningkatkan ketaqwaan dan keimanaan seorang muslim kepada Allah.
Semoga.