Idealisme dan realita politik SIP (1)
Idealisme dan realita politik
idealisme itu adalah apa yang kita yakini dan kita percayai,,nah sekarang pentingkah idealisme itu?
buat gw idealisme itu sangat2 penting,karna disaat seseorang tidak mempunyai idealisme seseorang
tersebut akan berubah menjadi peniru alias poser,seorang itu tidak mempunyai sesuatu yang
menggambarkan dirinya,tapi kita juga nda punya hak untuk memaksakan idealisme kita terhadap
orang lain
ide·o·lo·gi /idéologi/ n 1 kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yg
memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup: dl pertemuan itu penatar menjelaskan dasar
— negara; 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan: hal itu menjadi makanan empuk bagi —
asing yg ingin menginfiltrasi kita; 3 paham, teori, dan tujuan yg merupakan satu program sosial
politik: – komunis menjadi pegangan bagi negara-negara yg selama ini disebut Blok Timur;
– politik 1 sistem kepercayaan yg menerangkan dan membenarkan suatu tataan politik yg ada atau
yg dicita-citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk
mencapainya; 2himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yg dimiliki seseorang atau
sekelompok orang yg menjadi dasar dl menentukan sikap thd kejadian dan problem politik yg
dihadapinya dan yg menentukan tingkah laku politik;
ber·i·de·o·lo·gi v mempunyai (menganut) ideologi: bangsa Indonesia ~ Pancasila
pragmatism
Pragmatisme politik dapat menjadi salah satu cara membaca dinamika politik
menjelang pilpres 2014-2019. Berbagai partai politik berkoalisi dengan sejuta alasan
pembenarnya. Ada yang mengklaim berkoaliasi atau tepatnya bekerja sama tanpa
syarat, sementara yang lain diprediksi membangun koalisi di atas kepentingan bagibagi kekuasaan hanya karena wujudnya yang terlalu gemuk. Sementara itu, pergerakan
politik Rhoma Irama dan Mahfud MD menjadi fenomena politik tersendiri yang harus
dijelaskan persis ketika keduanya “menyeberang” ke kubu lawan. Konsep pragmatisme
politik dapat menjelaskan fenomena-fenomena ini.
Dalam tradisi filsafat, pragmatisme dipahami sebagai pemikiran yang menolak gagasan bahwa
pikiran manusia dapat menjelaskan, merepresentasikan atau memotret realitas secara objektif dan
apa adanya. Kaum pragmatis justeru berpendapat bahwa pikiran tidak lebih sebagai instrumen
untuk memprediksi, bertindak dan memecahkan masalah. Pemahaman atas realitas atau
fenomena hanya bisa dibenarkan jika menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (utility).
Dalam arti itu, pragmatisme mengandung dua konsekuensi penting. Pertama,
penolakan terhadap objektivitas realitas. Meminjam pemikiran Immanuel Kant, realitas
pada dirinya (das ding an sich) tidak bisa diketahui. Seseorang hanya bisa mengetahui
realitas melalui kacamata yang dipakainya. Ini mengandung konsekuensi bahwa
individu memiliki otonomi yang besar dalam mengkonstruksi dan memahami setiap
fenomena yang dia hadapi.
Kedua, realitas direduksikan kepada dimensi praktikalitas, manfaat, dan keuntungan yang dapat
diperoleh seseorang. Itu artinya kacamata yang digunakan untuk memahami realitas tidak lain
adalah kacamata manfaat atau kegunaan, terutama untuk kepentingan diri sendiri.
Di atas kedua kesadaran inilah kita bisa memahami pragmatisme politik, terutama
dalam memotret dinamika politik menjelang pemilihan presiden RI 2014-2019. Untuk
itu, dua catatan singkat dapat dikemukakan di sini.
Pertama, jika ideologi politik menjadi semacam sumber pengetahuan (deposit of knowledge)
dalam menjelaskan praktik dan kiprah politik sebuah partai politik, pragmatisme politik justeru
sedang mendekonstruksikannya. Pragmatisme politik tidak mengenal fanatisme ideologis dan
kesetiaan kekal pada sebuah parpol. Pragmatisme politik justru membuka ruang sebesar-besarnya
bagi setiap individu untuk memahami dinamika politik berdasarkan kepentingannya dan
kemudian menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan kriteria manfaat (terutama jangka
pendek).
Fakta bahwa tidak ada parpol yang meraih suara lebih dari 25 persen supaya bisa
mengusung calon presiden dan wakil presidennya sendiri tidak hanya meniscayakan
koalisi, tetapi juga mendekonstruksikan kredo ideologi pada level kompromi – jika tidak
menghancurkannya sama sekali. Ideologi politik yang semula diterima secara dogmatis
sebagai sumber pengetahuan (deposit of knowledge), kini berganti busana menjadi
sebuah kompromi politik. Entah bersyarat atau tanpa syarat, koalisi parpol
membuktikan fakta memudarnya ideologi parpol.
Ini juga sebetulnya yang menjelaskan pergerakan politik Rhoma Irama dan Mahfud MD setelah
tidak dicapreskan atau cawapreskan oleh partai pendukungnya. Kesetiaan keduanya pada
ideologi partai selaku sumber pengetahuan justeru sedang berganti rupa menjadi kepentingan
praktis dan pragmatis kekuasaan. Mustahil meminta kedua tokoh ini untuk taat dan bertahan
pada ideologi partai di saat parpol pendukungnya mengkompromikan (baca: mengobral)
ideologinya supaya bisa berbagi kekuasaan dengan parpol lain.
Kedua, satu-satunya kepentingan yang hendak dikejar adalah kekuasaan. Sayangnya,
pragmatisme politik terlalu mengagung-agungkan manfaat kekuasaan jangka pendek
sebegitu rupa sehingga tidak ada partai yang berani memilih jalan oposisi. Jika partai
politik identik dengan kekuasaan dan kekuasaan paralel dengan jabatan atau kursi
kekuasaan, maka parpol-parpol yang sedang merebut kekuasaan saat ini sebenarnya
sedang menciderai kepercayaan masyarakat. Politik dalam sistem demokrasi yang
sehat seharusnya mengikutsertakan kekuatan penyeimbang (checks and balances)
yang hanya bisa dimainkan oleh partai-partai oposisi.
Kehilangan keberanian untuk menjadi partai oposisi tidak hanya akan mereduksikan
perjuangan parpol kepada kepentingan pragmatis kekuasaan jangka pendek, tetapi
juga membunuh ideologi partai secara perlahan-lahan. Jika ini yang terjadi, sebenarnya
kita sedang menggali kubur bagi idealisme politik yang disokong oleh ideologi partai
selaku sumber pengetahuan (the deposit of knowledge).[]
Tags: politik pragmatis pragmatisme politik
http://politik.kompasiana.com/2014/07/01/pragmatisme-politik665518.html
idealisme itu adalah apa yang kita yakini dan kita percayai,,nah sekarang pentingkah idealisme itu?
buat gw idealisme itu sangat2 penting,karna disaat seseorang tidak mempunyai idealisme seseorang
tersebut akan berubah menjadi peniru alias poser,seorang itu tidak mempunyai sesuatu yang
menggambarkan dirinya,tapi kita juga nda punya hak untuk memaksakan idealisme kita terhadap
orang lain
ide·o·lo·gi /idéologi/ n 1 kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yg
memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup: dl pertemuan itu penatar menjelaskan dasar
— negara; 2 cara berpikir seseorang atau suatu golongan: hal itu menjadi makanan empuk bagi —
asing yg ingin menginfiltrasi kita; 3 paham, teori, dan tujuan yg merupakan satu program sosial
politik: – komunis menjadi pegangan bagi negara-negara yg selama ini disebut Blok Timur;
– politik 1 sistem kepercayaan yg menerangkan dan membenarkan suatu tataan politik yg ada atau
yg dicita-citakan dan memberikan strategi berupa prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk
mencapainya; 2himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan yg dimiliki seseorang atau
sekelompok orang yg menjadi dasar dl menentukan sikap thd kejadian dan problem politik yg
dihadapinya dan yg menentukan tingkah laku politik;
ber·i·de·o·lo·gi v mempunyai (menganut) ideologi: bangsa Indonesia ~ Pancasila
pragmatism
Pragmatisme politik dapat menjadi salah satu cara membaca dinamika politik
menjelang pilpres 2014-2019. Berbagai partai politik berkoalisi dengan sejuta alasan
pembenarnya. Ada yang mengklaim berkoaliasi atau tepatnya bekerja sama tanpa
syarat, sementara yang lain diprediksi membangun koalisi di atas kepentingan bagibagi kekuasaan hanya karena wujudnya yang terlalu gemuk. Sementara itu, pergerakan
politik Rhoma Irama dan Mahfud MD menjadi fenomena politik tersendiri yang harus
dijelaskan persis ketika keduanya “menyeberang” ke kubu lawan. Konsep pragmatisme
politik dapat menjelaskan fenomena-fenomena ini.
Dalam tradisi filsafat, pragmatisme dipahami sebagai pemikiran yang menolak gagasan bahwa
pikiran manusia dapat menjelaskan, merepresentasikan atau memotret realitas secara objektif dan
apa adanya. Kaum pragmatis justeru berpendapat bahwa pikiran tidak lebih sebagai instrumen
untuk memprediksi, bertindak dan memecahkan masalah. Pemahaman atas realitas atau
fenomena hanya bisa dibenarkan jika menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (utility).
Dalam arti itu, pragmatisme mengandung dua konsekuensi penting. Pertama,
penolakan terhadap objektivitas realitas. Meminjam pemikiran Immanuel Kant, realitas
pada dirinya (das ding an sich) tidak bisa diketahui. Seseorang hanya bisa mengetahui
realitas melalui kacamata yang dipakainya. Ini mengandung konsekuensi bahwa
individu memiliki otonomi yang besar dalam mengkonstruksi dan memahami setiap
fenomena yang dia hadapi.
Kedua, realitas direduksikan kepada dimensi praktikalitas, manfaat, dan keuntungan yang dapat
diperoleh seseorang. Itu artinya kacamata yang digunakan untuk memahami realitas tidak lain
adalah kacamata manfaat atau kegunaan, terutama untuk kepentingan diri sendiri.
Di atas kedua kesadaran inilah kita bisa memahami pragmatisme politik, terutama
dalam memotret dinamika politik menjelang pemilihan presiden RI 2014-2019. Untuk
itu, dua catatan singkat dapat dikemukakan di sini.
Pertama, jika ideologi politik menjadi semacam sumber pengetahuan (deposit of knowledge)
dalam menjelaskan praktik dan kiprah politik sebuah partai politik, pragmatisme politik justeru
sedang mendekonstruksikannya. Pragmatisme politik tidak mengenal fanatisme ideologis dan
kesetiaan kekal pada sebuah parpol. Pragmatisme politik justru membuka ruang sebesar-besarnya
bagi setiap individu untuk memahami dinamika politik berdasarkan kepentingannya dan
kemudian menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan kriteria manfaat (terutama jangka
pendek).
Fakta bahwa tidak ada parpol yang meraih suara lebih dari 25 persen supaya bisa
mengusung calon presiden dan wakil presidennya sendiri tidak hanya meniscayakan
koalisi, tetapi juga mendekonstruksikan kredo ideologi pada level kompromi – jika tidak
menghancurkannya sama sekali. Ideologi politik yang semula diterima secara dogmatis
sebagai sumber pengetahuan (deposit of knowledge), kini berganti busana menjadi
sebuah kompromi politik. Entah bersyarat atau tanpa syarat, koalisi parpol
membuktikan fakta memudarnya ideologi parpol.
Ini juga sebetulnya yang menjelaskan pergerakan politik Rhoma Irama dan Mahfud MD setelah
tidak dicapreskan atau cawapreskan oleh partai pendukungnya. Kesetiaan keduanya pada
ideologi partai selaku sumber pengetahuan justeru sedang berganti rupa menjadi kepentingan
praktis dan pragmatis kekuasaan. Mustahil meminta kedua tokoh ini untuk taat dan bertahan
pada ideologi partai di saat parpol pendukungnya mengkompromikan (baca: mengobral)
ideologinya supaya bisa berbagi kekuasaan dengan parpol lain.
Kedua, satu-satunya kepentingan yang hendak dikejar adalah kekuasaan. Sayangnya,
pragmatisme politik terlalu mengagung-agungkan manfaat kekuasaan jangka pendek
sebegitu rupa sehingga tidak ada partai yang berani memilih jalan oposisi. Jika partai
politik identik dengan kekuasaan dan kekuasaan paralel dengan jabatan atau kursi
kekuasaan, maka parpol-parpol yang sedang merebut kekuasaan saat ini sebenarnya
sedang menciderai kepercayaan masyarakat. Politik dalam sistem demokrasi yang
sehat seharusnya mengikutsertakan kekuatan penyeimbang (checks and balances)
yang hanya bisa dimainkan oleh partai-partai oposisi.
Kehilangan keberanian untuk menjadi partai oposisi tidak hanya akan mereduksikan
perjuangan parpol kepada kepentingan pragmatis kekuasaan jangka pendek, tetapi
juga membunuh ideologi partai secara perlahan-lahan. Jika ini yang terjadi, sebenarnya
kita sedang menggali kubur bagi idealisme politik yang disokong oleh ideologi partai
selaku sumber pengetahuan (the deposit of knowledge).[]
Tags: politik pragmatis pragmatisme politik
http://politik.kompasiana.com/2014/07/01/pragmatisme-politik665518.html