Representasi Politik Perempuan Analisis doc

Representasi politik perempuan: analisis teori dan regulasi

Abstrak
Gelombang gerakan feminis liberal dan pendekatan GAD
(Gender and Development) dalam pembangunan telah banyak
mempengaruhi arah dan pengambilan kebijakan. Di samping
meningkatnya perhatian terhadap akses ekonomi dan pendidikan
bagi perempuan, hal yang tidak terhindarkan dari pengaruh gerakan
dan pendekatan ini adalah semakin masifnya promosi representasi
politik perempuan. Salah satu manifestasi terpenting dari promosi
representasi politik perempuan adalah munculnya kebijakan kuota
perempuan yang semakin mendapat tempat, bukan hanya di negara
maju, seperti Australia dan negara-negara Skandinavia, tetapi juga
negara berkembang seperti India dan Indonesia. Di sisi lain,
kebangkitan perempuan untuk memperjuangkan hak-hak politiknya,
bukan hanya sebatas untuk ikut memilih dalam pemilu (suffrage),
tetapi juga dipilih sebagai wakil rakyat (representative), didorong
oleh kenyataan bahwa pengenalan demokrasi (liberal), khususnya di
negara-negara berkembang, ternyata lebih banyak memberikan
privilege kepada laki-laki (Pateman dalam Rai, 2002, hal. 2),
sehingga justru mencederai demokrasi itu sendiri. Indonesia adalah

salah satu negara yang juga mengadopsi konsep demokrasi (liberal)
tersebut, sekaligus mengadopsi kebijakan kuota perempuan sebagai
respon terhadap meningkatnya tuntutan bagi representasi politik
perempuan. Akan tetapi, kebijakan representasi politik perempuan
di Indonesia sejauh ini masih banyak memperoleh kritik karena
dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kesetaraan gender (gender
equality) dan kepentingan keterwakilan perempuan sebagai bagian
tak terpisahkan dari konstituen dan warga negara. Kebijakan masih
setengah hati dan seringkali mengalami naik turun. Tulisan ini
mencoba mengelaborasi mengapa itu terjadi. Tulisan akan
menganalisis regulasi pemilu sejak era reformasi, dikaitkan secara
khusus dengan kebijakan representasi perempuan, mulai dari UU
No. 3 tahun 1999, UU. No. 12 tahun 2003, UU No. 10 tahun 2008,
sampai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai suara
terbanyak dalam Pemilu 2009 dengan menelisik lebih dalam
berbagai hal sebagai berikut. Pertama, perspektif teoritis yang
menggarisbawahi lahirnya regulasi (terkait representasi politik
perempuan). Kedua, asumsi tentang relasi gender yang mendasari
regulasi beserta manifestasinya dalam butir-butir regulasi – dilihat
sebagai respon terhadap isu keterwakilan perempuan. Ketiga,

kepekaan regulasi terhadap konteks yang melingkupi problem
representasi politik perempuan. Keempat, kepekaan regulasi
terhadap kondisi-kondisi yang mendukung maupun menghambat
implementasi kebijakan representasi perempuan. Terakhir, kelebihan
dan kekurangan regulasi dilihat dari perspektif gender.

1

Representasi

Politik

dan

Representasi

Politik

Perempuan:


Perspektif Teoritis
Kemunculan konsep: pengaruh demokrasi liberal, gerakan feminisme dan
GAD (Gender and Development)
Ide representasi politik muncul seiring dengan diintrodusirnya
konsep dan praktek demokrasi (liberal) di berbagai negara. Representasi
politik menempatkan individu-individu di dalam sebuah lembaga yang
dipilih oleh masyarakat untuk mewakili kepentingan mereka (Sherlock,
2006, hal. 25), baik melalui kendaraan partai maupun non-partai.
Asumsinya, representasi politik adalah untuk memberikan benefit bagi
mereka yang diwakili melalui kebijakan publik yang dihasilkan dalam
proses-proses pemerintahan (governance).
Namun demikian, beberapa aktivis perempuan – khususnya kaum
feminis- menilai pengenalan konsep representasi pada dasarnya gagal
menjadi penopang utama demokrasi. Sebagaimana Pateman (dalam Rai,
2000, hal. 2), praktek demokrasi liberal, dimana salah satu atribut
utamanya adalah lembaga perwakilan, mengingkari esensi demokrasi itu
sendiri – diantaranya egalitarianisme - karena hanya memberikan
privilege kepada kaum laki-laki – untuk duduk menjadi wakil rakyat.
Praktek demokrasi liberal jelas dinilai bias gender – berpihak hanya pada
satu lawan jenis, yaitu kaum laki-laki, tetapi menegasi hak dan akses

representasi kaum perempuan.
Merespon masalah ini, pemikir feminis seperti Pateman sering
berujar akan perlunya perubahan tatanan politik hasil bentukan praktekpraktek prosedural demokrasi liberal karena meminggirkan mereka yang
dianggap seharusnya tinggal di ruang privat dalam hal ini perempuan.
Ruang-ruang publik dalam birokrasi, kebijakan publik, partai dan parlemen
yang

didominasi

oleh

kaum

laki-laki,

mesti

dibagi

dengan


kaum
2

perempuan. Tuntutan terhadap representasi politik perempuan pun
menjadi tak terhindarkan.
Tuntutan tersebut meningkat seiring dengan semakin masifnya
agenda penegakan demokrasi. Seperti diungkapkan oleh Jones (2006: 10),
gelombang ketiga demokratisasi yang membawa negara-negara di dunia
ketiga—termasuk Indonesia—dari otoritarianisme ke transisi demokrasi
dan—beberapa negara lainnya—pada konsolidasi demokrasi, secara
langsung maupun tidak langsung telah turut berkontribusi pada kemajuan
gerakan serta hak-hak dan kebebasan berpolitik perempuan. Tak ayal,
reformasi politik di berbagai negara kemudian menjadi momen terbaik
untuk mempromosikan keterwakilan politik perempuan, dan kuota adalah
bentuk perwujudan kebijakan paling penting yang menjadi jembatan bagi
tujuan peningkatan kursi perempuan di lembaga perwakilan rakyat.
Bersamaan dengan bergulirnya gerakan demokrasi liberal dan reformasi
di Dunia Ketiga kaum feminis pun berusaha memasukkan ide-ide
kesetaraan hak representasi politik perempuan sebagai salah satu agenda

perubahan politik.
Reaksi senada juga bergulir dari para pendukung gerakan GAD
(Gender and Development). Gerakan GAD yang menyatakan bahwa
kesetaraan gender bukan hanya dalam hal pembangunan ekonomi –
sebagaimana WID, tetapi juga politik dan sosial, dimana didalamnya
tercakup kesetaraan ras, kelas, dan identitas, mesti dimanifestasikan
kedalam sebuah kebijakan. Promosi bagi representasi politik perempuan
adalah pilihan paling mungkin untuk meningkatkan kesetaraan tersebut.
Maka, sebagaimana Moghadam dan Senftofa (2005: 399), lahirlah
wacana kebijakan kuota perempuan sebagai salah satu cara strategis
untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada

kaum perempuan,

sekaligus mendorong kaum perempuan supaya lebih aktif di dunia politik
dan arena publik lainnya.
Mengapa representasi perempuan menjadi penting

3


Pentingnya representasi politik perempuan berawal dari sebuah
keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, baik sebagai
subyek maupun obyek kebijakan. Artinya, laki-laki dan perempuan mesti
sama-sama setara dalam hal akses – partisipasi politik mungkin diwujudkan dalam bentuk suffrage atau hak pilih (Cornwall, 2008, hal. 27), turut
serta dalam proses – menjadi agensi, salah satunya adalah dengan masuk
di lembaga representatif, serta menikmati hasil kebijakan – yaitu
menikmati distribusi sumber daya ekonomi dan sosial (Kabeer, 1999: 436438).
Dengan demikian, apa yang dimaksud sebagai kesetaraan bukan
semata-mata hanya didorong oleh pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, sebagaimana diyakini oleh aktivis human
rights, yang sering menggunakan perspektif hak (right-based approach)
sebagai basis pemikiran mereka. Akan tetapi pemikiran ini secara lebih
substantif juga didasari oleh argumentasi bahwa setiap kebijakan publik,
program pembangunan, maupun implementasi pelayanan publik memiliki
implikasi gender. ‘Memiliki implikasi gender’ dalam artian, ia akan diterima dan dipahami secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan, sekaligus
ia akan memiliki dampak yang berbeda bagi kehidupan laki-laki dan
perempuan.
Terkait dengan hal ini, penegasan representasi politik perempuan
adalah untuk memastikan bahwa kebijakan publik yang dihasilkan telah
secara cukup dikerangkai oleh perspektif gender. Dalam arti, kebijakan
tersebut telah dibangun atas kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan

sama-sama memiliki hak untuk diakomodasi, tetapi karena mereka juga
cenderung berbeda, maka diperlukan perlakuan-perlakuan yang berbeda
pula.1 Namun demikian, karena pada umumnya penegasian itu lebih sering dialami oleh kaum perempuan, maka perlu dipastikan bahwa kebu1

Seringkali kebutuhan dan problem spesifik kaum laki-laki dilihat sebagai kebutuhan dan problem
umum. Laki-laki adalah wakil bagi masyarakat umum sehingga sering terjadi generalisasi yang
kadangkala tidak perlu. Bahkan, kebijakan yang jelas-jelas diperuntukkan bagi kaum perempuan pun
kadang tidak secara cukup dikerangkai dengan perspektif peduli gender (gender aware) karena gagal
mengenali problem terkecil ketimpangan gender serta tidak mampu menjangkau kerumitan relasi
gender dalam lingkup yang sempit seperti dalam keluarga.

4

tuhan-kebutuhan spesifik kaum perempuan telah diidentifikasi, dipertimbangkan dan terlebih penting lagi diakomodasi dalam penyusunan program dan kebijakan.
Oleh karena setiap keputusan memiliki implikasi gender, pengintegrasian perspektif setara gender menjadi tidak terhindarkan. Ia tidak
hanya untuk mendorong keterlibatan perempuan, tetapi juga untuk
mendesain kebijakan/program yang sensitif terhadap kebutuhan spesifik
perempuan, dalam kerangka pemberdayaan. Untuk kepentingan inilah
representasi politik perempuan menjadi sangat penting, dan kebijakan
kuota merupakan bagian terpenting bagi upaya perwujudan keterwakilan

perempuan tersebut.
Perdebatan konseptual
Namun

demikian,

terdapat

ketidaksepakatan

tentang

apakah

representasi politik perempuan yang didukung dengan kebijakan kuota
memang benar-benar merupakan jembatan bagi lahirnya kebijakan yang
berpihak pada kaum perempuan. Setidaknya, terdapat dua kubu yang
pandangannya

saling


bertentangan

terhadap

representasi

politik

perempuan.
Pertama,

mereka

yang

menyatakan

bahwa


untuk

dapat

menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kaum perempuan, maka di
dalam lembaga perwakilan juga mesti terdapat kaum perempuan.
Asumsinya, perempuanlah yang memahami problem dan

kebutuhan

mereka, serta mengerti benar apa beda dampak sebuah kebijakan
terhadap kehidupan mereka dibandingkan dengan kaum laki-laki. Angka
30 persen disebut sebagai angka minimal jumlah perempuan dalam
lembaga perwakilan rakyat agar dapat menghasilkan kebijakan yang
setara

gender.

menghasilkan

Contoh
kebijakan

negara

yang

sering

yang

berpihak

pada

disebut-sebut

sukses

perempuan

dengan

dipenuhinya kuota perempuan adalah negara-negara Skandinavia dan
India. Kalangan ini disebut sebagai kalangan formalis karena menekankan
jaminan hukum kuota perempuan. Bacchi (2006, menyebut kalangan

5

formalis

sebagai

penganut

“the

politics

of

presence”

karena

mementingkan “kehadiran” perempuan dalam lembaga perempuan.
Kedua, mereka yang menekankan bahwa representasi perempuan
memang penting, akan tetapi, yang lebih penting dari ini adalah
memastikan kebutuhan-kebutuhan kaum perempuan sudah terakomodasi.
Jadi, meskipun toh yang duduk dalam lembaga perwakilan adalah kaum
laki-laki, akan tetapi, selama kebutuhan spesifik kaum perempuan telah
terpenuhi,

tentu

kuota

bukanlah

hal

terpenting

dan

representasi

perempuan bukanlah hal yang besar. Lagipula, tidak ada jaminan bahwa
perempuan

duduk

di

lembaga

perwkilan

akan

memperjuangkan

kepentingan kaumnya karena tidak sedikit juga kaum perempuan yang
memiliki perspektif patriarkhis. “The politics of idea” adalah yang disebut
Bacchi (2006) sebagai yang dianut oleh kalangan ini dikarenakan
pandangan kalangan ini yang lebih mementingkan

ide kebijakan yang

berpihak pada kaum perempuan daripada kehadiran formal sosok
perempuan dalam lembaga perwakilan.
Penolakan lain datang dari mereka yang menilai bahwa kuota justru
merendahkan martabat kaum perempuan, mempertanyakan mengapa
mesti “dikasihani” untuk dapat duduk di kursi lembaga perwakilan rakyat.
Seharusnya perempuan mampu membuktikan bahwa mereka mampu.
Mereka adalah kalangan eksistensialis yang meyakini bahwa seharusnya
perempuan

sama

dengan

laki-laki,

berdiri

sendiri

berkompetisi

memperebutkan karir politik. Juga mereka yang menyatakan bahwa kuota
mencederai keadilan terhadap kaum laki-laki. Kuota, yang memberikan
keistimewaan dan kemudahan kepada kaum perempuan untuk duduk
dalam lembaga perwakilan, menyebabkan ketidak adilan terhadap kaum
laki-laki yang mesti berjuang untuk mendapatkan prestasi politiknya.

2

Telaah Regulasi Representasi Politik Perempuan

2

Termasuk mereka yang menyatakan, kalau ingin setara kenapa hanya mengajukan angka 30, kenapa
bukan 50 persen?

6

Terlepas dari berbagai perdebatan yang ada, tuntutan terhadap
peningkatan keterwakilan perempuan terus menggema, juga dukungan
terhadap kebijakan kuota. Ini juga yang terjadi di Indonesia.
Pandangan bahwa kuota perempuan diperlukan telah muncul sejak
awal era reformasi. Namun peraturan pemilu saat itu, yang termaktub
dalam Undang-undang No. 3 tahun 1999, sama sekali belum menyentuh
kebijakan kuota. Kebijakan baru hadir dalam Undang-undang No. 12 tahun
2003. Di dalam pasal 65 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa:
“Setiap Partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
untuk setiap Daerah Pemilihan dengan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”
Kebijakan yang lebih eksplisit terdapat dalam Undang-undang
pemilu dan parlemen terakhir, yaitu UU No. 2 dan 10 tahun 2008, dimana
kuota 30 persen lebih tegas dinyatakan. Dalam pasal 53 Undang-undang
No. 10 tahun 2008 disebutkan:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.”
Pasal ini diperkuat lagi dengan pasal 55 ayat (2) yang menyatakan
bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal
calon.”
Peraturan tentang kuota dalam konteks penyelenggaraan pemilu
tahun 2009 bahkan tidak hanya menyentuh kebijakan kuota perempuan di
parlemen, tetapi lebih jauh mengatur kuota perempuan dalam partai
politik. Kuota perempuan dalam partai politik termaktub dalam Undang7

undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat (2) mengenai
pembentukan partai politik yang menyatakan bahwa:
“Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.”
Peraturan dalam pasal ini dipertegas dengan ayat 5 pasal yang
sama tentang kepengurusan partai politik yang menyatakan bahwa:
“Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling
rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan.”
Juga pasal 20 Undang-undang No. 2 tahun 2008 yang menyatakan
bahwa:
“Kepengurusan
Partai
Politik
tingkat
provinsi
dan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah
30% (tiga puluh
perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.”
Dalam hal penjaminan pelaksanaan kebijakan kuota perempuan,
Undang-undang No. 10 tahun 2008 memuat peraturan mengenai sanksi
atas ketidak mampuan partai memenuhi kebijakan kuota. Pasal 58 ayat
(2) dan pasal 61 ayat (6) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa:
“Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk
memperbaiki daftar bakal calon tersebut.” (pasal 58 ayat
2)
“KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar
8

calon sementara partai politik masingmasing pada
media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional.” (pasal 61 ayat 6)
Meski dinilai lebih eksplisit, namun sejauh mana Undang-undang ini
efektif bagi peningkatan representasi perempuan tidak dapat dilacak. Hal
ini dikarenakan, belum juga Undang-undang ini diimplementasikan, telah
lahir putusan MK No. 22-24/PUU –VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008
yang

menetapkan

suara

terbanyak

sebagai

mekanisme

untuk

menentukan pemenang pemilihan umum legislatif. Kelahiran Putusan MK
ini mementahkan peraturan pemilu sebelumnya, termasuk pasal-pasal
yang mengatur mengenai kuota perempuan. Meskipun MK menyatakan
bahwa affirmative action tidak melanggar konstitusi (Putusan MK No. 2224/PUU-VI/2008, hal. 96-99), tetapi keputusan suara terbanyak (hal. 104)
menyiratkan bahwa kebijakan kuota 30 persen tidak dapat diterapkan.
Secara lebih ringkas kebijakan kuota dan representasi politik
perempuan dapat diperas dalam tabel berikut:
Tabel 1. Ringkasan telaah berbagai peraturan terkait kebijakan
kuota/representasi politik perempuan
Pasal, ayat,
atau hal.
terkait
representasi
perempuan
Tidak
menyebutkan
Pasal 65 ayat
(1)

Pasal 53

Pasal 55 ayat

Bunyi pasal/ayat representasi
perempuan

Kata kunci

Undang-undang No. 3 tahun 1999
Tidak menyebutkan
Tidak ada
Undang-undang No. 12 tahun 2003
“Setiap Partai Politik peserta pemilu “dapat”
dapat mengajukan calon anggota DPR,
DPRD
Provinsi,
dan
DPRD
Kabupaten/Kota
untuk setiap Daerah
Pemilihan
dengan
keterwakilan
perempuan
sekurang-kurangnya
30
persen.”
Undang-undang No. 2 dan 10 tahun 2008
“Daftar
bakal
calon
sebagaimana
“memuat
dimaksud dalam Pasal 52 memuat
paling sedikit”
paling sedikit 30% (tiga puluh
perseratus)
keterwakilan
perempuan.”
“Di

dalam

daftar

bakal

calon

“terdapat

Indikasi

Gender
blind
Lenient,
penekanan
yang
lemah

Lebih
eksplisit

Lebih

9

(2)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3 (tiga) orang bakal calon
terdapat
sekurang-kurangnya
1
(satu)
orang
perempuan
bakal
calon.”
Pasal 58 ayat “Dalam hal daftar bakal calon tidak
(2)
memuat sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan
perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota
memberikan
kesempatan kepada partai politik
untuk memperbaiki daftar bakal
calon tersebut.”
Pasal 61 ayat “KPU,
KPU
provinsi,
dan
KPU
(6)
kabupaten/kota
mengumumkan
persentase
keterwakilan
perempuan
dalam daftar calon sementara partai
politik masing-masing
pada
media
massa cetak harian nasional dan
media massa elektronik nasional.”

sekurangkurangnya”

eksplisit

“memberikan
kesempatan
memperbaiki”

Sanksi
yang
lemah

“mengumumk
an
pada
media massa”

Sanksi
yang
lemah,
akses
kontrol
masyaraka
t
yang
lemah

Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008
“…Mahkamah berpendapat
“tidak
ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 bertentangan”
tidak bertentangan dengan konstitusi…”
“…Dengan sistem proporsional terbuka, “suara
atau
rakyat secara bebas memilih dan menen- dukungan
tukan calon anggota legislatif yang dip- rakyat paling
ilih, maka akan lebih sederhana dan mu- banyal”
dah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara
atau dukungan rakyat paling banyak”

Hal 99
Hal 104

Gender
neutral
Gender
neutral

Ringkasan ini mungkin masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi,
setidaknya yang bisa disimpulkan dari berbagai peraturan pemilu dan
partai politik, bahwa dari perjalanan dan perkembangan sejauh ini
Indonesia belum pernah secara serius memberikan penekanan yang
kuat bagi perluasan representasi politik perempuan.
Analisis regulasi: kerangka teoritis regulasi, asumsi tentang relasi
gender, serta kepekaan terhadap konteks
Perspektif teoritis yang mendasari regulasi tentang representasi politik
perempuan
Menyimak perjalanan regulasi pemilu dan partai politik di Indonesia
sejak paska reformasi menjelaskan kepada kita bahwa perspektif feminis
10

memang cukup kental mempengaruhi lahirnya kebijakan kuota. Memang
tidak banyak yang dapat dikatakan terhadap dua Undang-undang pemilu
pertama paska reformasi (UU No. 3 tahun 1999 dan UU No. 12 tahun
2003) karena minimnya sentuhan terhadap persoalan keterwakilan.
Namun, nilai-nilai femimisme itu dapat diraba lebih jelas dalam Undangundang parpol dan pemilu terakhir (UU No. 10 tahun 2008).
Pasal-pasal kuota yang tersurat di dalam UU No. 10 tahun 2008
yang kemudian diikuti kelahiran amar Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008),
adalah pasal-pasal yang kental dengan pandangan politik kaum feminis
terhadap problem keterwakilan politik kaum perempuan.
Sinyal terkuat pertama yang menandakan adanya pengaruh feminis
liberal dalam kebijakan kuota terbaru di Indonesia terdapat dalam UU No.
2 Tahun 2008, Bab 5, Pasal 11 Ayat 1 huruf e tentang tujuan dan fungsi
partai.

Pasal ini, tidak seperti pasal-pasal mengenai partai politik

sebelumnya, menegaskan adanya penekanan kesetaraan dan keadilan
gender di dalam proses rekrutmen politik yang demokratis. Pasal tersebut
berbunyi:
“Partai Politik berfungsi sebagai sarana: ... e). rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme
demokrasi
dengan
memperhatikan
kesetaraan dan keadilan gender.”
Sebagaimana kaum feminis, pasal tersebut menyiratkan bahwa
laki-laki dan perempuan adalah setara, dan oleh karena mereka harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk berkarir dalam ranah publik,
termasuk dalam ranah politik. Kuota adalah salah satu cara untuk
mencapai kesetaraan tersebut mengingat selama ini kaum perempuan
telah jauh tertinggal di berbagai bidang dibandingkan dengan kaum lakilaki. Kuota, demikian Dahlerup dan Freidenvall (2005: 30) menegaskan,
dapat

menjadi

jalan

pintas

(fast

track)

bagi

perempuan

guna

meningkatkan keterwakilan politik mereka.
Kebijakan kuota sendiri, demikian UU No. 2 pasal 2 ayat (2) dan UU
No. 10/2008 pasal 53 beserta pasal 55 ayat (2), merupakan cerminan
11

pandangan kaum feminis yang mengakui bahwa hak pilih dalam pemilu
tidaklah

cukup

untuk

memastikan

kepentingan

kaum

perempuan

terakomodasi. Mesti terdapat supproting system berupa perluasan akses
kaum perempuan terhadap partai politik serta perluasan representasi
politik perempuan di parlemen. Hal ini senada dengan Sinha (2006: 11)
yang menganalisis kebijakan kuota di India yang menyatakan bahwa
kuota adalah upaya penyetaraan laki-laki dan perempuan lebih jauh
setelah pemberian hak (pilih) yang sama dalam pemilu.
Disamping perspektif feminisme, kebijakan kuota juga dipengaruhi
secara kuat oleh pendekatan Gender and Development (GAD). Perspektif
GAD yang memberikan penekanan kuat terhadap kesetaraan bagi semua
(Guldvik, 2003: 2-11), juga terdapat dalam UU No. 10 terutama di bagian
penjelasan umum paragraf 3 dan 9. Penjelasan Umum Undang-undang ini
menyatakan bahwa untuk memperkuat lembaga perwakilan politik
(paragraf

9)

dibutuhkan

penyelenggaraan

pemilu

yang

menjamin

kesempatan yang sama dalam partisipasi politik bagi semua warga
negara, tanpa adanya diskriminasi etnis, agama, ras, gender, kedaerahan,
pekerjaan, dan status sosial (paragraf 3).
Unsur pemberdayaan perempuan yang terdapat dalam UU No.
2/2008, juga secara jelas menggambarkan pengaruh dari pendekatan
GAD. Sebagaimana para ahli GAD, pemberdayaan politik perempuan yang
dilakukan

dengan

cara

menghubungkan

demokrasi

dengan

upaya

meningkatkan kesetaraan perempuan adalah salah satu elemen gender
reform,

khususnya

di

negara-negara

yang

masih

dalam

proses

pembangunan demokrasi (liberal) (Jones, 2006: 10).
Penjelasan Umum UU. No. 2 paragraf 5 yang menegaskan bahwa
kelahiran UU ini ditujukan untuk mengenalkan paradigma konsolidasi
demokrasi yang baru guna memperkuat institusi-institusi partai politik
juga untuk meningkatkan kesetaraan gender melalui—sebagaimana
paragraf 6 dan Pasal 31 UU No. 2— pendidikan politik yang peduli dan
setara gender (gender-aware political education) menjelaskan kepada kita
bahwa

Undang-undang

ini

aware

terhadap

upaya

pemberdayaan
12

perempuan. Peneguhan terhadap gender reform maupun pendidikan
politik yang peduli gender, sebagaimana ditegaskan Pasal 31 dan paragraf
6

dari

penjelasan

umum

UU

No.

2/2008,

senada

dengan

teori

pemberdayaan dari GAD.
Pemberdayaan

gender

(gender

empowerment),

bagi

Mawaya

(1999: 1) dan Kabeer (1999: 435), menegaskan pentingnya penciptaan
lingkungan

yang

kondusif

bagi

perempuan

untuk

menggunakan

kemampuannya dalam mengenali masalah-masalah sosial, termasuk juga
kemampuan untuk mengambil tindakan dan pilihan strategis bagi
kehidupan mereka.
Namun, lahirnya putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang suara
terbanyak, meski berkali-kali lembaga ini menyatakan affirmative action
sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi, menyiratkan
bahwa kebijakan lembaga ini cenderung lebih netral terhadap perspektif
gender. Dalam arti, lembaga ini menarik kembali ke belakang progres
kesetaraan gender yang terdapat dalam UU No. 2 dan 10 tahun 2008 ke
dalam lingkaran ketidak-berpihakan kebijakan terhadap problem-problem
dan kebutuhan spesifik gender.
Asumsi tentang relasi gender yang mendasari regulasi
Pelacakan terhadap asumsi tentang relasi gender yang mendasari
regulasi bermanfaat untuk melihat bagaimana regulasi tersebut melihat
hubungan
dihadapkan

gender
pada

antara

laki-laki

problem-problem

dan

perempuan,

ketimpangan

posisi

dan

regulasi

ketidakadilan

gender, serta tipikal kebijakan dari perspektif gender. Pemahaman
terhadap asumsi tentang relasi gender di dalam sebuah peraturan
mempermudah kita memetakan kebijakan tersebut: apakah termasuk ke
dalam yang gender blind, gender neutral, atau gender aware.

3

3

Gender blind berarti kebijakan tidak mengenali perbedaan mendasar antara laki-laki dan perempuan
yang berimplikasi pada perbedaan kebutuhan, persepsi dan aspek-aspek spesifik yang lain. Gender
neutral berarti mengakui bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda akan tetapi belum ada
tindak lanjut yang lebih serius terhadap perbedaan tersebut, sehingga seolah-olah memang tidak
ada . Gender aware berarti kebijakan mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan,
mengenali problem dan kebutuhan spesifik gender laki-laki dan perempuan.perbedaan.

13

Absennya aturan yang menyentuh representasi perempuan dan
kebijakan kuota dalam Undang-undang No. 3 tahun 1999 menyiratkan
kepada kita bahwa sampai pada lahirnya Undang-undang ini, pemerintah
– policy makers – masih belum mengakui bahwa terdapat problem relasi
gender di masyarakat. Terkait dengan ini berbagai penilaian pun tak dapat
dihindari: bahwa ketimpangan dan ketidak adilan gender belum dianggap
sebagai problem yang serius, bahwa ketimpangan dan ketidak adilan
gender belum layak memperoleh perhatian prioritas, bahwa representasi
kaum perempuan belum dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak,
dan bahwa ketertinggalan kaum perempuan bukanlah masalah yang
harus segera mungkin diselesaikan. Undang-undang No. 3 tahun 1999
masih bersifat gender-blind.
Sementara itu, masuknya kebijakan kuota dalam Undang-undang
No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1) menyiratkan kepada kita bahwa
perhatian terhadap kebutuhan representasi perempuan memang ada,
akan tetapi menempatkannya sebagai prioritas utama belum menjadi
kebutuhan mendesak. Oleh karena itu, Undang-undang ini pun terkesan
masih sangat lemah (lenient). Undang-undang ini sama sekali tidak
menyentuh constraints khas kaum perempuan sebagai sesuatu yang
memerlukan perhatian khusus. Undang-undang menerapkan perlakuan
yang sama antara kandidat perempuan dan laki-laki, termasuk dalam hal
persyaratan pengajuan diri sebagai calon legislatif, meskipun sangat jelas
perempuan memiliki constraints – maupun insentif - yang berbeda – dan
seringkali kali lebih berat dibandingkan - dengan laki-laki.

4

Hal yang sedikit berbeda terdapat di dalam UU No. 2/2008 dan UU.
10/2008

dimana

asumsi

mengenai

relasi

gender

relatif

beragam.

Beberapa bagian dalam Undang-undang ini menyiratkan kebijakan peka
gender (gender aware policy). Namun, dalam beberapa hal yang lain
Undang-undang ini masih terkesan gender blind.

4

Contraint khas perempuan misalnya masih kuatnya nilai-nilai dalam masyarakat yang menyatakan
bahwa dunia politik tidak sesuai dengan kaum perempuan yang “kodratnya” adalah lembut dan halus.

14

Penekanan kuota yang lebih tegas – bukan lagi sekedar saran
dengan mengutip kata “dapat” - sebagaimana pasal 53 dan pasal 55 ayat
(2), dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya secara jelas
menyiratkan kepedulian pemerintah yang lebih mendalam terhadap
kebutuhan representasi politik perempuan: secara implisit mengakui
betapa perempuan selama ini memang tertinggal di belakang. Pasal-pasal
kuota menggambarkan itikad pemerintah untuk melibatkan perempuan
lebih jauh dalam representasi politik. Penegasan kebijakan kuota sangat
penting karena, sebagaimana Gaventa (2005), berguna sebagai alat untuk
memecah ruang kekuasaan yang diklaim oleh laki-laki untuk lebih setara
dan egaliter.
Di sisi lain, Undang-undang partai politik dan pemilu tersebut masih
juga tidak lepas dari tipikal gender blind karena tidak mengindahkan
kebutuhan-kebutuhan spesifik kaum perempuan. Pasal 50 UU 10/2008
yang menetapkan syarat yang sama baik bagi caleg perempuan maupun
laki-laki –minimal harus berijasah SMU- merupakan indikasi bahwa
Undang-undang

tidak

peka

terhadap

problem

timpangnya

tingkat

pendidikan populasi lak-laki dan perempuan. Sebagian pihak mungkin
akan menilai hal tersebut justru sebagai bentuk keadilan dan kesetaraan,
sebagaimana dijelaskan oleh Sawer (2000: 365). Namun, regulasi seperti
ini abai terhadap fakta bahwa perempuan telah lama disangkal haknya
dalam mengakses sumberdaya, khususnya pendidikan (hal. 374). 5 Dalam
istilah Longwe (1991: 151) Undang-undang ini melewatkan salah satu
syarat kebijakan berperspektif gender, yaitu conscientization di mana
perempuan dan laki-laki seharusnya dilihat memiliki kondisi, peran, dan
beban yang berbeda akibat dari pembagian kerja berbasis gender
(gendered division of labour) yang tidak fair.
Asumsi yang kurang lebih sama terdapat dalam amar putusan MK
mengenai suara terbanyak. Meskipun secara gamblang dinyatakan bahwa
kuota tidak melanggar konstitusi, tetapi, penetapan suara terbanyak
sebagai
5

mekanisme

penetapan

pemenang

pemilu

legislatif

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa “sama” tidak selalu berarti “adil”.

15

mengindikasikan

bahwa

putusan

ini

kebutuhan representasi politik perempuan.

abai

terhadap

mendesaknya

6

Kepekaan regulasi terhadap konteks sosial
Undang-undang No. 3 tahun 1999 dan Undang-undang No. 12
tahun 2003 belum menjadi pijakan yang kuat bagi representasi politik
perempuan. Bukan saja kedua Undang-undang ini tidak peka terhadap
konteks sosial – dan problem

ketimpangan antara laki-laki dan

perempuan, kedua Undang-undang ini bahkan belum secara eksplisit
mengakui ketimpangan akses politik antara laki-laki dan perempuan
sebagai sebuah masalah, atau dalam istilah Bacchi (1999, hal. 1-13)
disebut sebagai politics of ‘what’s the problem’.7 Penyentuhan terhadap
aspek

representasi

politik

perempuan

yang

sangat

minim

menggambarkan besarnya kepentingan untuk membatasi kiprah kaum
perempuan di ranah politik.
Hal yang tidak jauh berbeda juga terdapat dalam Undang-undang
partai politik dan pemilu yang terakhir beserta amar putusan MK tentang
suara terbanyak. Problem mendasar ketidak-pekaan kedua Undangundang terletak pada abainya Undang-undang terhadap problem-problem
ketimpangan gender di ranah lokal. Undang-undang yang menyiratkan
kuota – baik dalam partai politik (UU No. 2/2008) maupun dalam parlemen
(UU No. 10/2008) – sebagai mandat sekedar pada tingkat pusat
mengabaikan fakta kerumitan masalah ketimpangan antara laki-laki dan
perempuan di daerah. Alasan ketidaksiapan daerah menerapkan kuota
sehingga peraturannya dibuat tidak mandatory terkesan mengada-ada,
bias perkotaan, atau lebih tepatnya “bias Jakarta”.. Undang-undang
6

Meski pada akhirnya suara perempuan meningkat hingga 18 persen, kuota masih menjadi
kebutuhan mendasar. Sama sekali ini tidak berarti bahwa kuota kemudian tidak berguna dan kaum
perempuan lebih baik bersaing secara terbuka. Faktanya raihan suara perempuan dengan mekanisme
suara terbanyak belum mencapai angka 30 persen, angka minimal lahirnya kebijakan yang berpihak
pada kaum perempuan sebagaimana pengalaman-pengalaman empiris di berbagai pemerintahan.
Putusan MK, meski mengubah mekanisme penetapan pemenang suara dengan suara terbanyak,
mestinya mempertahankan aspek affirmative action dalam UU pemilu.
7
Ini menegaskan bahwa “masalah” untuk disebut sebagai masalah dalam kebijakan publik adalah
sebuah kontestasi politik.

16

membatasi perempuan-perempuan di daerah untuk memiliki karir politik,
sekaligus secara substansial membatasi kesempatan mereka untuk
mengaspirasikan kepentingan mereka di lingkaran kebijakan publik.
Penekanan terhadap kuota perempuan di dalam partai politik juga
masih sekadar mencakup aspek pembentukan partai dan struktur
organisasi, bukan secara eksplisit dalam hal pengambilan keputusan.
Meskipun dalam Bab 10, Pasal 27 UU No. 2/2008 ditekankan bahwa proses
pengambilan keputusan di dalam partai politik harus berdasarkan
mekanisme yang demokratis, tetapi kealpaan memberikan tekanan yang
kuat pada akses perempuan dalam mekanisme pengambilan keputusan di
partai

berpotensi

menghambat

langkah

politik

kaum

perempuan.

Faktanya, selama ini hambatan struktural terbesar bagi perempuan
berpolitik justru datang dari partai. 8
Dari berbagai problem di atas, menjadi sangat jelas bahwa regulasiregulasi kuota dan representasi politik perempuan masih sangat jauh dari
ideal.

Simpulan
Berbagai kebijakan yang mengatur representasi politik perempuan
di

Indonesia

pada

dasarnya

tidak

bisa

dilepaskan

dari

pengaruh

diperkenalkannya konsep-konsep demokrasi liberal yang pada awalnya
memberikan tempat lebih banyak bagi kaum laki-laki. Hawa gerakan
feminis dan GAD kemudian membawa pesan demokrasi itu pada tuntutan
kesetaraan

politik

laki-laki

dan

perempuan,

termasuk

dalam

hal

representasi politik.
Meski perkembangan peraturan representasi politik perempuan
sangat lambat, namun dari waktu ke waktu semakin menunjukkan
kemajuan dan kepedulian yang lebih dalam terhadap kesetaraan politik
laki-laki dan perempuan. Penekanan kebijakan kuota yang lebih tegas,
sanksi yang mulai dimunculkan, serta diperkenalkannya kuota dalam
8

Oleh karena itu, reformasi partai juga merupakan bagian penting dari reformasi gender.

17

partai politik adalah beberapa indikasi kemajuan kepedulian terhadap
representasi politik perempuan.
Namun

demikian,

berbagai

kelemahan

masih

memerlukan

perhatian serius. Regulasi mestinya lebih peka terhadap konteks sosial
masyarakat, tidak terjebak dalam pandangan yang bias kota, bias kelas
menengah-atas, bias kalangan berpendidikan. Meski ide fair competition
MK pada akhirnya menghasilkan peningkatan suara perempuan, namun
ini sama sekali tidak berarti bahwa affirmative action dan dukungan bagi
representasi politik perempuan tidak urgen.
Daftar Referensi
Alfirdaus, L 2008, ‘Bukan Untuk Angka, Apalagi Pemberdayaan: Kebijakan
Setengah Hati Kuota Perempuan’, Jurnal Konstitusi, vol. 5, no. 2, hal. 145159.
Bacchi, C 2006, ‘Arguing for and against quotas: theoretical issues’, in
Drude Dahlerup, Women, quotas and politics, Routlege, London.
Bacchi, C 1999, ‘Taking Problems Apart’ in Women, Policy and Politics: The
Construction of Policy Problems, Sage publications, London.
Cornwall, A 2008, Democratizing engagement: what the UK can learn
from international experience, Demos, London.
Dahlerup, D and Freidenvall, L 2005, 'Quotas as a 'fast track' to equal
representation for women', International Feminist Journal of Politics, vol. 7,
no. 1, hal. 26 — 48.
Guldvik, I 2003, ‘Gender quota regimes and ideas of social justice: the
quota regime of the Norwegian Local Government Act’, paper to be
presented at the ECPR second General Conference, Marburg, Germany 18
– 21 September 2003.
Jones, N 2006, Gender and the political opportunities of democratization
in South Korea, Palgrave, New York.
Kabeer, N 1999, ‘Resources, agency and achievements: reflections on the
measurement of women’s empowerment’, Development and Change, vol.
30, pp. 435-464.
Mawaya, A 1999, ’Assessment report on: political empowerment of
women’, Sixth Regional Conference On Women, Mid-Decade Review Of
The Implementation Of The Beijing Platforms for Action in the African
18

Region, 22-26 November 1999,
Commission For Africa, pp. 1-30.

Addis

Ababa,

Ethiopia,

Economic

Moghadam, V and Senftofa, L 2005, Measuring women’s empowerment:
participation and rights in civil, political, social, economic, and cultural
domain, UNESCO, Blackwell Publishing, Oxford.
Rai, S (ed.) 2000, International
democratization, MacMillan, London.

perspectives

on

gender

and

Sawer, M 2000, ‘Parliamentary representation of women: from discourses
of justice to strategies of accountability’, International Political Science
Review, vol. 21, no. 4, hal. 361-380.
Sherlock, S 2006, ‘Indonesia’s regional representative assembly:
democracy, reprsentation and the region a report on the Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)’, CDI Policy paper on Political Governance, No. 1,
hal. 1-47.
Sinha, N 2006, Women in Indian politics: empowerment of women through
political participation, Gyan Publishing House, New Delhi.

19

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15