NASKAH PUBLIKASI SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

  

N A S K A H P U B L I K A S I

S P I R I T U A L I T A S P A R A P E N D E R I T A L U P U S

  Oleh: RIZKA TIARA HATI HEPI WAHYUNINGSIH, S.Psi., M.Si.

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2008

  

NASKAH PUBLIKASI

SPIRITUALITAS PARA PENDERITA LUPUS

Telah Disetujui Pada Tanggal

________________

  Dosen Pembimbing Utama (Hapi Wahyuningsih, S. Psi., M. Si)

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………..... i HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………... ii DAFTAR ISI ………………..………………………………………... iii

  INTISARI ……………………. ……………………………………… iv PENGANTAR ………………………………………………………...

  1 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………

  4 A. Pengertian Spiritualitas ………………………………………

  4 B. Aspek Spiritualitas …………………………………………..

  5 METODE PENELITIAN ……………………………………………..

  6 HASIL PENELITIAN ………………………………………………...

  7 PEMBAHASAN ………………………………………………………

  11 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………….

  19 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….

  21

  Rizka Tiara Hati Hepi Wahyuningsih, S. Psi., M.si

  

INTISARI

  Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk spiritualitas pada penderita lupus. Banyak orang tidak mengetahui mengenai penyakit lupus atau

  

Systemic Lupus erythematosus (SLE), sehingga cukup banyak juga yang

beranggapan lupus merupakan penyakit langka dan jumlah pasiennya sedikit.

  Faktanya, pasien penyakit lupus cukup banyak dan semakin meningkat. Lupus merupakan penyakit kronik/menahun dan dikenal sebagai penyakit autoimun.

  Spiritualitas dapat menjadi sumber utama bagi para penderita lupus untuk dapat membantu meringankan penyakitnya. Walaupun lupus bersifat menahun, dan belum dapat disembuhkan secara total, spiritualitas diharapkan dapat menjadi coping terhadap penyakit tersebut.

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam sebagai metode untuk mengumpulkan data. Adapun pedoman wawancara mengacu pada sembilan aspek spiritualitas yang dikembangkan oleh Elkins, dkk. Subyek dalam penelitian ini adalah wanita penderita lupus yang berdomisili di Yogyakarta, yang telah menderita lupus minimal 2 tahun, dan sedang mengalami perawatan dengan dokter. Metode analisis data yang digunakan adalah content analysis.

  Penelitian ini menemukan tujuh kategori spiritualitas pada penderita lupus, yaitu: 1) transenden, 2) mengambil hikmah dari rasa sakit, 3) sikap terhadap rasa sakit, 4) menciptakan makna dan tujuan hidup, 5) altruisme, 6) tanggung jawab terhadap hidup, 7) dan orientasi pada nilai spiritual.

  Kata Kunci : Spiritualitas, Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

  Pengantar

  Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) atau dalam bahasa Indonesianya

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit peradangan kronik dimana

  terbentuk antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan (Corwin, 1997). Tubuh manusia memiliki sistem kekebalan tubuh, yang terdiri dari zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas melindungi tubuh manusia dari serangan antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain).

  Pada lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti sel darah putih tadi justru menjadi liar dan menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya organ-organ tubuh menjadi rusak dan gejala lupus pun muncul. Beberapa gambaran klinis penyakit lupus antara lain: arthritis (nyeri sendi), demam akibat perangan kronik, ruam wajah seperti kupu-kupu di pipi dan hidung, lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik, sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari-jari tangan, anemia dan sebagainya.

  Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai lima juta orang, lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya ( www.doktersehat.com, 24/09/2007). Berbicara lupus di Indonesia, sekitar 7.000 orang di Indonesia menderita penyakit systemic lupus

  

erythematosus atau lupus, namun jumlah tersebut seperti fenomena gunung es

(www.liputan6.com, 11/05/ 2006).

  Lupus adalah penyakit menahun, artinya semakin lama semakin bertambah parah. Lupus sampai sekarang belum dapat disembuhkan atau dicegah tetapi hanya sebatas menghilangkan gejalanya. Menghilangkan gejala lupus dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan seumur hidup, menjalani pola hidup tertentu, dan menghindari stress. Menjalani pola hidup tertentu dengan mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup bukanlah hal yang mudah.

  Beberapa penderita lupus sering mengeluh terhadap rasa sakit yang dirasakan ketika lupus sedang aktif. Jika rasa sakit itu datang, muncul keluhan, perasaan ingin marah atau sekilas keinginan untuk bunuh diri karena tidak sanggup menahan rasa sakit tersebut. Flora Betyana, salah seorang penderita lupus mengaku selama hampir 18 tahun tidak pernah lepas dari masalah kesehatan. Flora sudah empat kali menjalani operasi jantung dan empat bulan menderita pendarahan tanpa henti. Sejak terserang lupus, satu bulan sekali Flora harus memeriksakan diri ke dokter, dan hidupnya pun tergantung pada obat-obatan. Jika tidak mengonsumsi obat, maka akan berakibat fatal bagi Flora (www.liputan6.com, 11/05/2006).

  Penelitian yang dilakukan oleh Mendelson (2006) menemukan bahwa ketidakpastian hidup para penderita lupus dimulai dari pengenalan terhadap gejala dan kesulitan mendiagnosa penyakit lupus. Bagi para penderita lupus, hidup dengan lupus berarti mampu menginterpretasi berbagai gejala dan belajar hidup dengan kondisi tubuh yang tidak dapat dipastikan. Periode kekambuhan dan kesembuhan yang tidak dapat diprediksi membuat seluruh aspek dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi tidak pasti.

  Memahami gejala tersebut, bagi sebagian besar pasien, hidup dengan ancaman suatu penyakit dapat menjadi katalisator untuk mencari jawaban terhadap tujuan dan makna hidup, mencari jawaban terhadap pertanyaan “ Mengapa? Mengapa aku? Mengapa sekarang?”. Penyembuhan dalam konteks ini lebih dari sekedar teknik menyembuhkan atau menyehatkan tetapi juga meliputi sebuah perjalanan untuk mengintegrasikan pertanyaan ini ke dalam kehidupan manusia.

  Sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, spiritualitas begitu kuat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan manusia.

  Penelitian tentang spiritualitas banyak berhubungan dengan kesehatan fisik, kesehatan psikologis, dan penyesuaian (coping). Beberapa penelitian menemukan hubungan yang positif antara spiritualitas dan kesembuhan kesehatan fisik, kesehatan mental, dan hasil penyalahgunaan obat (Thoresen, 1999). Woods and Ironson (1999) menemukan dampak positif spiritualitas dan religiusitas pada kesehatan penderita kanker, kardioaskular, dan HIV.

  Penelitian yang berkaitan dengan lupus, sebagain besar masih bersifat klinis. Spiritualitas para penderita lupus menjadi topik yang menarik untuk dipelajari, bahwa perkembangan spiritualitas merupakan isu baru terhadap kasus lupus di Indonesia. Selanjutnya, penelitian ini mencoba untuk mengungkap makna spiritualitas terhadap para penderita lupus dan pengaruh spiritualitas tersebut terhadap kehidupan odapus.

  Tinjauan Pustaka

  

Pengertian Spiritualitas

  Spiritualitas berasal dari akar bahasa latin spiritus yang berarti “breath of

  

life ” merupakan proses menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui

  kesadaran terhadap dimensi transenden dan yang ditandai dengai nilai-nilai tertentu yang dapat dikenali dalam menghargai diri sendiri, individu lain, alam, kehidupan, dan apa pun untuk menjadi maknawi (Elkins, dkk, 1988).

  Psikiater John F. Hiatt (Kaye & Raghavan, 2002) mendeskripsikan konsep spiritualitas dalam istilah psikologi dan menghubungkannya dengan perspektif perawatan kesehatan, bahwa spirit tidak hanya merujuk pada dimensi jasmani dan rohani seseorang, yang merupakan sumber makna dan kesatuan. Spiritualitas merujuk pada konsep, sikap, dan tingkah laku yang dihasilkan dari pengalaman seseorang terhadap dimensi tersebut.

  Berbeda dengan Hiatt, Laukhof dan Werner (Delgado, 2005) mendefinisikan spiritualitas sebagai sistem nilai-nilai individu tentang bagaimana cara pendekatan hidup sesorang dan bersifat personal. Delgado (2005) menambahkan bahwa spiritualitas beragam pada setiap orang dan berubah-ubah sepanjang hidup, pencarian pribadi terhadap makna dan tujuan hidup. Sedangkan Labun (Delgado, 2005) menghubungkan spiritualitas dengan cinta, keyakinan, harapan, dan kepercayaan, yang semuanya merupakan hubungan interpersonal.

  

Aspek Spiritualitas

  Material Values: menghargai benda-benda materi seperti uang dan hak milik tetapi tidak melihat kepuasan hakiki dari barang tersebut.

  Spiritualitas adalah istilah yang lebih luas daripada religiusitas (Kaye & Raghavan, 2002; Delgado, 2005; Elkins, 1988; Holt, dkk, 2003). Elkins, dkk

  Awareness of the Tragic: menyadari realitas menyedihkan terhadap keberadaan manusia, memahami bagaimana sakit, penderitaan, dan kematian manusia. i.

  h.

  Idealism: memiliki kondisi ideal yang harus dicapai dan mengaktualisasikan potensi positif di dalam segala aspek kehidupan.

  g.

  Altruism: memiliki perasaan yang kuat terhadap keadilan sosial dan berpedoman terhadap perilaku altruistik.

  f.

  e.

  Elkins, dkk (1988) menganggap spiritualitas sebagai kunstruk multidimensi yang terdiri dari sembilan dimensi utama, yaitu: a.

  Sacredness of Life: meyakini bahwa hidup harus diisi dengan segala sesuatu yang suci.

  d.

  Mission in Life: memiliki tanggung jawab terhadap hidup.

  c.

  Meaning and Purpose in Life: percaya bahwa hidup sangat bemakna dan keberadaan seseorang memiliki tujuan.

  b.

  Transcendent Dimension: memiliki pengalaman berdasarkan keyakinan bahwa terdapat dimensi transenden di dalam kehidupan.

Fruit of Spirituality: merealisasikan nilai spiritualitas dalam hubungan dengan diri, orang lain, dan alam

  (1988) mengungkapkan bahwa perkembangan definisi spiritualitas mencakup makna yang luas, spiritualitas dapat meliputi religius dan keyakinan serta ekspresi yang tidak bersifat religius. Elkins, dkk (1988) juga menyebutkan bahwa spiritualitas tidak sama dengan religiusitas, jika religiusitas didefinisikan untuk memaknai partisipasi dalam ritual, kepercayaan, aktivitas yang berbeda dalam agama tradisional. Maka selanjutnya, adalah hal yang mungkin untuk seseorang dapat menjadi spiritual walaupun dengan tidak berafiliasi dengan agama tradisonal.

  Metode Penelitian Populasi subyek penelitian adalah para penderita Lupus yang berdomisili di

  Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposeful

  

sampling , menurut Patton (1990), penelitian kualitatif secara khusus fokus yang

  mendalam pada sampel kecil, bahkan kasus tunggal (subyek hanya satu orang) dan tujuan purposeful sampling adalah memilih informasi penting untuk menjelaskan pertanyaan penelitian yang diajukan. Subyek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan karekteristik sebagai berikut:

  1. Subyek didiagnosa menderita penyakit lupus, dan telah menderita lupus minimal 2 tahun.

  2. Subyek pernah atau sedang menjalani perawatan atau pengobatan dengan seorang dokter.

  3. Subyek adalah wanita berusia antara 25-50 tahun.

  4. Subyek bersedia untuk menjadi partispan penelitian.

  Penelitian ini menggunakan in-depth interview sebagai metode pengumpulan data. Patton (1990) mengemukakan bahwa wawancara diciptakan untuk memperoleh informasi mengenai aspek psikologis yang ada dalam diri seseorang dimana tidak mungkin untuk diobservasi. Selama proses wawancara, peneliti terlibat ke dalam perspektif subyek dan memahami maksud yang disampaikan oleh subyek. Peneliti tidak terpaku pada pedoman wawancara tetapi peneliti berusaha mengarahkan wawancara tersebut agar sesuai dengan tujuannya. Pedoman wawancara hanyalah panduan umum, tidak terdapat rincian setiap pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan.

  Data wawancara dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content

  

analysis ). Analisis isi adalah setiap prosedur sistematis yang dirancang untuk

  mengkaji isi informasi terekam (Walizer & Wienir, 1987). Ide dasar analisis isi adalah pengukuran diam-diam yang tidak akan mengganggu aktivitas subyek yang sedang berlangsung.

  Hasil wawancara disalin ke dalam bentuk tulisan (verbatim) kemudian dilakukan pengkodean. Langkah pertama, data akan dilakukan open coding yaitu seluruh teks dikode baris demi baris (setiap konsep atau tema berbeda). Langkah kedua, melakukan axial coding, yaitu kode-kode dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang berwujud seperti sebuah struktur pohon.

  Hasil Penelitian Berdasarkan hasil wawancara, peneliti menemukan 22 subkategori yang kemudian diklasifikasikan ke dalam 7 kategori mengenai spiritualitas pada penderita lupus. Berikut adalah rangkuman tema, subkategori, dan kategori penelitian: Tabel 1

  Rangkuman tema, subkategori, dan kategori spiritualitas

  Tema Subkategori Kategori Percaya pada Tuhan (W1, S1, P, b109-110) Percaya pada Tuhan (W1, S2, P, b136) Percaya kepada Percaya pada Tuhan (W1, S3, P, Tuhan b94) Percaya pada Tuhan (W1, S4, P, b104) Tuhan sebagai tempat mengadu (W1, S3, P, b103) Pengalaman Merasa berkomunikasi dengan transenden Tuhan (W1, S3, P, b146) Mencintai Tuhan lebih dari apa pun (W2, S1, P, b55-56)

  Cinta pada Tuhan Mencintai Tuhan lebih dari apa pun (W1, S3, P, b495-496) Berserah diri kepada Tuhan (W1, S1, P, 307)

  Transenden Berserah diri pada Tuhan (W1, S2, P, b179)

  Berserah diri pada Berserah diri pada Tuhan (W1,

  Tuhan S3, P, b507) Berserah diri pada Tuhan (W1, S4, P, b112) Ingat pada Tuhan (W2, S1, P,

  Mengingat Tuhan B14) Berpuasa (W1, S1, P, b153) Sholat malam dan ikut pengajian (W2, S1, P, b31)

  Menjalankan ibadah Ikut persekutuan gereja (W1, S2, kepada Tuhan P, b398-399) Menjalankan perintah-Nya (W1, S3, P, 395) Berdoa pada Tuhan (W1, S2, P, b131)

  Berdoa kepada Tuhan Berdoa pada Tuhan (W1, S4, P, b137) Percaya segala sesuatu ada hikmahnya (W1, S3, P, b96-97) sesuatu ada Percaya segala sesuatu ada hikmahnya hikmahnya (W1, S4, P, b105- 106)

  Mengambil hikmah Sakit sebagai peringatan dari dari rasa sakit Tuhan (W2, S1, P, b65) Sakit sebagai Sakit sebagai peringatan dari peringatan dari Tuhan Tuhan (W1, S3, P, b327) Percaya bila diberi sakit dosa Percaya bila diberi akan berkurang (W1, S1, P, 301- sakit, dosa akan 302) berkurang Pasrah dengan penyakitnya (W1, S1, P, b150) Pasrah dengan penyakitnya (W1, Pasrah dengan rasa S3, P, b320) sakit Pasrah dengan penyakitnya (W1, S4, P, 144) Percaya kesembuhan (W1, S1, P, b134-135) Percaya kesembuhan (W1, S3, P, b651)

  Percaya kesembuhan Percaya kesembuhan (W1, S4, P, b122) Harapan sembuh (W1, S4, P,

  Sikap terhadap rasa b127) sakit

  Lebih takut sakit daripada mati (W2, S1, P, b291-292)

  Takut pada rasa sakit Takut bila melihat odapus sedang sakit (W1, S2, P, b320) Ikhlas bila meninggal dunia Ikhlas meninggal (W1, S3, P, b168) dunia Ikhlas meninggal dunia (W1, S1, P, b581-582) Tidak ingin diperlakukan

  Tidak ingin istimewa (W1, S2, P, b265-268) diperlakukan

  Tidak ingin diperlakukan istimewa istimewa (W1, S3, P, b638) Sebelum meninggal ingin naik haji (W2, S1, P, b70) Ingin belajar Al-qur’an (W2, S1, P, b584) Ingin dekat dengan Tuhan (W1, Menciptakan tujuan S1, P, b9) hidup Ingin diri dan keluarga bahagia Menciptakan (W1, S2, P, b188) makna dan tujuan

  Ingin melihat anak sampai besar (W1, S2, P, b211) Ingin menjalankan Islam secara benar (W1, S3, P, b196) Ingin menjadi golongan Nabi Muhammad (W1, S3, P, b195) Hidup mengalir (W1, S2, P, b183) hidup

  Menjalankan kehidupan (W1, S4, P, b158) Hidup mengalir tetapi sebisa

  Menciptakan makna mungkin tidak mengikuti hidup arusnya (W1, S4, P, 160)

  Hidup tidak memiliki ambisi tertentu (W1, S2, P, b186) Hidup tidak neko-neko (W1, S2, P, b238) Menjalani kehidupan (W1, S2, P, b191) Menyemangati odapus yang sedang sakit (W1, S2, P, b312- 313) Memberi dan menghibur odapus Memberi semangat yang sedang sakit (W1, S3, P, odapus yang lain b264) Menyemangati odapus yang sedang sakit (W1, S4, P, B208) Hidup harus saling tolong menolong (W2, S1, P, b108-109) Hidup untuk menolong orang (W1, S2, P, b156) Membantu teman (W1, S3, P,

  Altruisme b213) Berbagi dengan orang lain (W1, S4, P, b177) Berbuat kebaikan untuk mengisi sisa hidup (W2, S1, P, b97-98) Menolong orang lain Berbagi dengan orang lain (W1, S3, P, b159) Membantu orang lain (W1, S1, P, b151-152) Menolong sesuai kemampuan (W1, S2, P, b257-259) Menyadari membutuhkan orang lain disisi kita (W1, S3, P, b256) berkewajiban menangkap aspirasi dari teman-teman odapus (W1, S4, P, b197-205) Peduli terhadap orang lain (W1, S3, P, b255) Mendidik anak bersama suami (W2, S1, P, b134) Tanggung jawab Tanggung jawab Menjaga kesehatan agar tidak terhadap kehidupan terhadap hidup kambuh (W1, S3, P, b227) Harta tidak dibawa mati (W2, S1, P, b110) Materi untuk beramal (W2, S1, P, b252-253) Materi bukan tujuan Materi bukan tujuan utama (W1, utama S2, P, b253) Materi bisa dicari (W1, S4, P, Orientasi pada nilai b212-213) spiritual

  Mementingkan nilai spiritualitas (W2, S1, P, b254) Mengayakan hati (W1, S3, P, Mementingkan nilai b238) spiritualitas Mementingkan nilai spiritualitas (W1, S4, P, b208)

  Pembahasan Penelitian ini menemukan tujuh aspek spiritualitas yang dikembangkan oleh subyek sejak pertama kali didiagnosis menderita lupus. Meskipun demikian, setiap subyek memunculkan aspek, ekspresi, dan pengaruh yang berbeda-beda sebagai perwujudan latar belakang subyek yang beragam pula.

  Aspek pertama adalah transendensi. Enam bentuk dimensi transenden digambarkan oleh subyek: percaya pada Tuhan, pengalaman transenden, cinta pada Tuhan, berserah diri pada Tuhan, menjalankan ibadah kepada Tuhan, dan berdoa. Secara umum, subyek penelitian percaya terhadap dimensi lain di luar keberadaan manuasia, yaitu keberadaan sang Pencipta. Spirituality person menurut Elkins, dkk (1988) memiliki pengalaman berdasarkan keyakinan bahwa di dalam kehidupan ini terdapat dimensi transenden.

  Berkaitan terhadap hubungan dengan Tuhan, salah seorang subyek yaitu Ys menceritakan pengalaman transendennya dengan Tuhan. Ys mengungkapkan dirinya pernah merasa berkomunikasi dengan Tuhan saat mengalami suatu kondisi sakit. Ys mengaku dapat tertidur lelap setelah dirinya mendapat bisikan untuk melepaskan rasa sakit yang mendera dirinya. Reed (Kaye dan Raghavan, 2002) mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah indikator nyata transenden diantara individu yang menderita sakit.

  Kepercayaan terhadap Tuhan dan kekuasaan-Nya, menyebabkan subyek penelitian berserah diri kepada sang Pencipta tersebut. Subyek meyakini bahwa ada kekuatan lain di luar dirinya yang memiliki kekuatan jauh lebih besar. Hal ini senada seperti yang diungkapkan oleh King, dkk (Chiu, dkk, 2004) bahwa spiritualitas merupakan keyakinan seseorang terhadap kekuatan lain di luar keberadaan dirinya.

  Sebagian subyek penelitian, yaitu Js dan Ys, mengungkapkan bahwa mereka mencintai Tuhan lebih dari apa pun di dunia ini. Js juga menambahkan, bahwa sakit semakin membuat dirinya selalu ingat kepada Tuhan dalam segala kondisi. Sebagaimana diungkapkan oleh Adz-Dzakiey (2004), seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence) dapat merasakan cinta ketuhanan, yaitu kecintaan diri kepada Tuhan dan kecintaan Allah SWT terhadap diri ini. Kecintaan individu kepada Tuhan tidaklah dapat diserupakan dengan cinta individu kepada makhluk-Nya.

  Sebagai bentuk nyata terhadap kepercayaan terhadap Tuhan, kehidupan subyek diisi dengan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya dan memanjatkan doa kepada Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Ys dan Js, bahwa subyek selalu menjalankan ibadah seperti sholat, puasa, dan mengaji. Kondisi berbeda diungkapkan oleh Ar, menjalankan ibadah di gereja menurutnya hanya sebagai rutinitas, karena tidak memberikan pengaruh yang berarti.

  Berdoa adalah sebuah sarana untuk dapat menyalurkan keluh kesah dan dapat mengatasi rasa sakit yang diderita oleh subyek penelitian. Ar mengaku hanya berdoa yang bisa dilakukannya ketika ingin mengeluh dan tidak mampu melakukan berbagai kegiatan lainnya. Salah satu cara Tk mendekatkan diri kepada Tuhan adalah dengan berdoa.

  Taylor dan Outlaw (Walton dan Sullivan, 2004) mengambarkan bagaimana pasien menggunakan doa untuk mengurangi distress terhadap emosi, spiritual serta fisik. Doa juga digunakan sebagai coping terhadap kanker. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Weaver, Flannelly, dan Flanelly (Walton dan Sullivan, 2004) bahwa pasien dengan penyakit serius secara umum berdoa untuk mengatasi rasa sakit.

  Aspek kedua adalah mampu mengambil hikmah dari sakit yang diberikan. Aspek tersebut telah diekspresikan ke dalam dua tema, yaitu percaya segala sesuatu ada hikmahnya, sakit sebagai peringatan dari Tuhan, dan secara khusus Js menggungkapkan keyakinan bahwa bila seseorang diberi sakit, maka dosa- dosanya akan berkurang. Ys dan Tk meyakini bahwa segala sesuatu akan ada hikmahnya, termasuk sakit yang diberikan. Ys dan Js menganggap bahwa sakit merupakan peringatan dari Tuhan terhadap perbuatan masa lalu mereka.

  Aspek ketiga adalah sikap terhadap rasa sakit yang terdiri dari kepercayaan akan sembuh, walaupun menurut seluruh subyek, tidak tahu kapan kesembuhan itu akan datang. Selanjutnya adalah kepasrahan terhadap rasa sakit. Ar mengekspresikan pemahaman yang berbeda tentang kepasrahan. Ar mengaku pasrah dengan sakitnya tetapi memohon kapada Tuhan agar dapat menjalani hidup seperti orang normal, dan selalu diberi rezeki. Ys dan Js mengaku ikhlas bila seandainya meninggal dunia karena menyadari bahwa hidup adalah milik-Nya. Hal lain yang terungkap, bahwa subyek (Ar dan Ys) tidak ingin diperlakukan istimewa, yaitu berbeda dari orang normal walaupun mereka memiliki keterbatasan.

  Aspek keempat adalah menciptakan makna dan tujuan hidup. Menderita lupus membuat subyek penelitian dapat menciptakan makna dan tujuan hidup mereka masing-masing, seperti yang diungkapkan oleh Walton dan Sullivan (2002) bahwa proses penemuan makna dan tujuan hidup sering dimulai dengan menghadapi kematian, tragedi atau sakit. Menemukan makna adalah bagian dari proses adaptif positif untuk penyembuhan individu dari penderitaan kanker, serangan jantung, dan hemodialysis.

  Menurut Elkins, dkk (1988) bahwa landasan dan konteks makna serta tujuan hidup beragam terhadap setiap individu, begitu juga dengan subyek penelitian. Spiritualitas menurut Fryback & Reinert adalah perjalanan pribadi seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup (Chiu, dkk, 2004). Secara umum, makna hidup menurut subyek, adalah dengan menjalankannya dan membiarkannya mengalir.

  Salah satu subyek yaitu Js mengungkapkan bahwa dirinya ingin menunaikan ibadah haji sebelum berpulang ke tangan sang Pencipta. Ar mengungkapkan tujuan yang berbeda, bahwa dirinya ingin dapat melihat anak tunggalnya hingga dewasa. Kondisi sakit seperti lupus yang akan menetap selamanya di dalam tubuh penderitanya, serta belum ada penyembuhan total, menciptakan rasa khawatir dan takut tidak dapat menjalankan kehidupan di masa depan yang akan datang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Fryback (Chiu, dkk, 2004), bahwa di dalam menemukan makna dan tujuan hidup tersebut, individu belajar untuk menghadapi kematian, serta ditambahkan oleh Sherman (Chiu, dkk, 2004) bahwa individu juga belajar untuk menghadapi ketakutan.

  Tujuan hidup dapat mengarah kepada suatu kondisi ideal yang harus dicapai oleh seseorang. Tujuan hidup tersebut menciptakan individu untuk memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya agar tujuan hidup tersebut dapat tercapai. Elkins, dkk (1988) menyebut aspek ini sebagai idealism, bahwa spirituality person adalah seseorang yang memiliki komitmen untuk menjadi manusia yang lebih baik, dan mengaktualisasikan potensi positif dalam segala aspek kehidupan demi tercapainya komitmen tersebut.

  Seperti yang diungkapkan oleh Js, bahwa dirinya ingin dapat menjadi wanita sholehah yang semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Demi tercapainya tujuan tersebut, Js selalu menjalankan perintah Tuhan seperti sholat dan berpuasa, serta selalu berbuat baik terhadap sesama. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ys, bahwa dirinya berusaha untuk tidak meninggalkan perintah Tuhan demi menjadi individu yang dapat menjalankan Islam secara benar agar termasuk dalam golongan Nabi Muhammad.

  Aspek kelima adalah altruisme yang terdiri dari dua tema yaitu memberi semangat kepada odapus yang lain dan menolong orang lain. Secara umum, semua subyek menganggap bahwa dalam menjalani kehidupan ini, manusia harus saling tolong-menolong dan berbagi dengan orang lain.

  Ys menyadari bahwa manusia membutuhkan manusia lain disampingnya, dan ditambahkan oleh Tk bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa berinterkasi dengan orang lain. Pendapat tersebut diistilahkan oleh Elkins, dkk (1988) dengan “no man is an island” dan manusia adalah “part of the continent”, bahwa

  

spirituality person memiliki kesadaran terhadap keadilan sosial dan melandaskan

  dirinya dengan perilaku altruistic. Menurut Chiu (Chiu, dkk, 2004) bahwa spiritualitas menggambarkan hubungan dengan orang lain yang dimanefestasikan dalam berbagi dan menolong orang lain.

  Selanjutnya, aspek keenam adalah tanggung jawab terhadap kehidupan. Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Spirituality person memiliki kesadaran akan sebuah “vocation” dan menyadari tanggung jawab terhadap kehidupan (Elkins, dkk, 1988). Menurut Js tanggung jawabnya adalah mendidik anak-anaknya bersama suami, sedangkan menurut Ys, tanggung jawabnya adalah menjaga kesehatan agar tidak kambuh.

  Aspek ketujuh adalah orientasi pada nilai religius yang meliputi dua tema yaitu: mementingkan nilai spiritualitas dan materi bukanlah tujuan utama. Menurut Js, Ar, dan Tk materi bukanlah tujuan utama karena tidak dapat memberikan kepuasaan secara hakiki. Mementingkan nilai spiritualitas jauh lebih bermakna dari sekedar segala sesuatu yang bersifat materi seperti yang diungkapkan oleh JS, Ys, dan Tk. Elkins, dkk (1988) menyebutkan bahwa

  

spirituality person adalah seseorang yang menyadari menemukan kepuasaan

hakiki pada nilai spiritual, bukan pada nilai materi.

  Berdasarkan hasil wawancara, subyek mengekspresikan rasa kaget, stres, dan penolakan dari dalam diri ketika pertama kali divonis menderita lupus. Para subyek penelitian mengaku bahwa mereka tidak mengenal penyakit lupus sebelumnya. Situasi ini semakin diperparah dengan penyakit lupus yang belum diketahui penyebabnya, penderita akan mengidap lupus seumur hidup karena memang belum ditemukan metode penyembuhan secara total.

  Setelah mengalami masa shok, subyek penelitian menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar diri mereka. Subyek percaya terhadap keberadaan Tuhan dan kekuasaaNya, karena kehendak dan kekuasaaNya lah, manusia menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Pencipta, dalam hal ini adalah menderita penyakit.

  Kepercayaan terhadap dimensi transenden mampu memberikan pemahaman kepada seseorang mengenai sebuah peristiwa.

  Sebagian subyek penelitian meyakini bahwa sakit yang dideritanya sekarang adalah sebagai peringatan dari Tuhan. Subyek kemudian mampu pasrah dengan sakit yang dideritanya. Pasrah menurut subyek bukan berarti menerima keadaan dengan berdiam diri saja, tetapi bagaimana mampu menciptakan makna dan tujuan hidup mereka, yaitu dengan berharga dan bermanfaat untuk orang lain. Makna dan tujuan hidup ditemukan, melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu subyek ingin hidupnya untuk menolong orang lain, merasa memiliki tanggung jawab dalam kehidupan ini, dan mengorientasikan hidupnya pada sesuatu yang bernilai spiritualitas.

  Transenden; Sakit Kaget; penolakan percaya pada

  Tuhan Pasrah Mengambil terhadap rasa hikmah dari sakit rasa sakit

  Menciptakan Makna dan

  Tujuan hidup Altruisme Orientasi pada Tanggung jawab nilai spiritual terhadap hidup

  Bagan IV.1:

  Model Perkembangan Spiritualitas Penderita Lupus

  Menurut Soeken and Carson (Kaye dan Raghavan, 2002) stres terhadap penyakit dan ketidakmampuan fisik sering menyebabkan ketidakseimbangan antara pikiran, tubuh, dan jiwa yang membutuhkan sumber untuk mengatasinya dan spiritualitas merupakan sumber yang berharga untuk mengatasi stres terhadap berbagai penyakit dan ketidakmampuan fisik tersebut. Bargamet (Kaye dan Raghavan, 2002) menambahkan bahwa spiritualitas membantu seseorang mengatasi situasi stres, khususnya melalui hubungan dengan Tuhan dan komunitas keagamaan.

  Lupus tidak mudah didiagnosis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien lupus tertentu berkonsultasi dengan tiga sampai lima dokter sebelum diagnosis dibuat. Kenyataannya, beberapa penelitian menyatakan bahwa dari awal gejala sampai lupus terdiagnosis memerlukan waktu kira-kira 2 sampai 3 tahun (Wallace, 2007). Demikian halnya dengan subyek penelitian, sebagian diantaranya harus melakukan beberapa kali pengobatan dan gonta-ganti dokter hingga mencapai diagnosis yang tepat yaitu SLE

  Kesimpulan dan Saran Penelitian ini bertujuan mengungkap model spiritualitas para penderita

  

lupus dan melihat pengaruhnya terhadap kehidupan subyek tersebut. Berdasarkan

  hasil wawancara, penelitian ini menemukan tujuh kategori spiritualitas, yaitu: 1) transenden, 2) mengambil hikmah dari rasa sakit, 3) sikap terhadap rasa sakit, 4) menciptakan makna dan tujuan hidup, 5) altruisme, 6) tanggung jawab terhadap hidup, 7) orientasi pada nilai spiritual.

  Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut: Seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, para penderita lupus menunjukkan rasa takut pada sakit, takut lupus mereka kambuh, atau takut tidak bisa menjalani kehidupan di masa mendatang. Lupus juga dapat memicu kemarahan yang meledak-ledak. Kemarahan menyerap banyak energi dan mengabaikan semua orang yang peduli. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa odapus disibukkan dengan pikiran-pikiran tertentu tentang kehidupan mereka yang bisa berujung pada stres. Padahal hal-hal ini dapat memicu lupus kambuh.

  Boleh saja para odapus marah, takut, gelisah, dan tertekan pada awalnya, namun emosi-emosi tersebut bisa diatasi. Oleh karena itu, kendalikanlah diri masing-masing dan jangan bersedih. Semakin cepat diatasi, membangun dukungan dari keluarga dan teman, dan mulai menjalani hidup yang positif dan realistis, semakin cepat merasa sehat secara fisik dan mental. Mungkin saja, ini bisa meredakan lupus. Hal lain yang juga penting adalah, bantuan dari keluarga odapus, serta pihak-pihak yang peduli dengan lupus, dalam memberikan dukungan baik moril maupun materil demi tercapainya kehidupan odapus yang lebih baik.

  Sehubungan dengan subyek penelitian, sebaiknya dilakukan observasi untuk melengkapi data hasil wawancara. Observasi dapat memberikan gambaran secara jelas bagaimana subyek menjalani kehidupannya yang berkaitan dengan masalah spiritualitas. Selain penggunaan observasi, wawancara juga sebaiknya dilakukan terhadap orang-orang terdekat subyek (significant others), sehingga dapat mencocokan jawaban subyek dengan orang terdekatnya tentang bagaimana kondisi yang sebenarnya. Adz-Dzakiey, H. B. 2004. Prophetic Intelligence: Menumbuhkan Potensi Hakiki

Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani. Yogyakarta: Islamika.

Chiu, L., Emblen, J. D., Howegen, L. V., Sawatzky, R., Meyerhoff, H. 2004. An Integrative Review of the Concept of Spirituality in the Health Science.

  Western Journal of Nursing Research. Vol. 26, 405-428. Cindy, M. 2006. Managing a Medically and Socially Complex life: Women Living With Lupus. Qualitative Health Research. Vol.16, 982-997.

  Corwin, E.J. 1997. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

  Delgado, C. 2005. A Discusion of the Concept Spirituality. Nursing Science Quartely. Vol. 18, 157-162.

  

Doktersehat.com. 24 September 2007. Apa itu Penyakit Lupus?

http://www.doktersehat.com/page/2/.03/05/08.

  Elkins, D. N., Hedstrom, L. J., Hughes, L. L., Leaf, J. A., Sauders, C. 1988.

  Toward A Humanistic-Phenomenological Spirituality: Definition, Description, and Measurement . Journal of Humanistic Psychology.

  Holt, C. L., Lukwago, S. N., Kreuter, M. W. 2003. Spirituality, Breast Cancer

  Beliefs and Mammography Utilization among Urban African American Women . Journal of Psychology. Vol. 8, 383-396.

  Liputan6.com. 11 Mei 2006. Ribuan Orang di Indonesia Mengidap Lupus.

  http://www.liputan6.com/sosbud/?id=122671/06/06/08

  Kaye, J., and Raghavan, S. K. 2002. Spirituality in Disability and Illness. Journal of Religion and Health. Vol. 41, 231-242.

  nd Patton, M. Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research Method: 2 Edition.

  New York: Sage Publication. Thoresen, C. E. 1999. Spirituality and Health: Is there a Relatuonship?. Journal of Health Psychology. Vol. 4, 291-300.

  Walizer, Michael. H, & Wienir, Paul. L. 1987. Metode dan Analisis Penelitian:Mencari Hubungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

  Walton, J. and Sullivan, N. 2004. Men of Prayer: Spirituality of Men with Prostate Cancer, A Grounded Theory Study. Journal of Holistic Nursing.

  Vol. 22, 133-151. Wood, T. E., and Ironson, G. H. 1999. Religion and Spirituality in the Face of

  Illness: How Cancer, cardiac, and HIV Patients Describe Their

Spirituality/Religiosity. Journal of Health Psychology. Vol. 4, 393-412. Nama : Rizka Tiara Hati NIM : 04320046 Alamat : Jl. Seturan Blok E.II, no. 49, Sleman, Yogyakarta Hp : 087838156337