ABSTRAK ATAU LAPORAN TEMUAN SEMENTARA Penelitian “Infiltrasi Radikalisme Islam di Masjid”

  ABSTRAK ATAU LAPORAN TEMUAN SEMENTARA Penelitian “Infiltrasi Radikalisme Islam di Masjid” Studi Kasus di Bekasi, Bogor dan Pandeglang

NAMA-NAMA MASJID YANG DITELITI

  Para peneliti telah melakukan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dari tanggal 11-25 Juli, 2011.

  1. Bekasi: a.

  Masjid Islamic Center Al-Islam, Bekasi b.

  Masjid Islamic Center, Bekasi c. Masjid Agung Al-Barkah, Bekasi 2. Pandeglang: a.

  Masjid Al-Huda, Kp. Cangkore, Umbulan, Cikeusik, b.

  Musolla Al-Ikhlas, Cangkore, Umbulan, Cikeusik, c. Masjid AT-Taqwa Cikeusik d.

  Masjid Al-Karimah, Cigondang, Labuhan.

  3. Bogor: a.

  Masjid Darussalam Perumahan Taman Yasmin Sektor b.

  Masjid Al-Falah Perumahan Taman Yasmin Sektor c. Masjid Al-Hidayah Kemang Parung, d.

  Masjid Al-Mujahidin Kemang Parung.

ABSTRAK ATAU LAPORAN TEMUAN SEMENTARA A. BEKASI

  Kota Bekasi, sebagai wilayah penyangga ibukota bersama wilayah-wilayah lain, beberapa kali menjadi sorotan karena kasus-kasus kekerasan atas nama agama yang menyeruak ke pelataran. Beberapa lembaga penelitian, ormas keagamaan, bahkan pemerintah sampai presiden sendiri memiliki perhatian khusus manakala Bekasi memanas. Yang paling mutakhir adalah kasus Ciketing yang berujung di meja hijau dan pelakunya memperoleh vonis atas tindak kekerasan terhadap jamaah HKBP.

  Sebelum kasus Ciketing muncul, beberapa kasus yang dianggap oleh kalangan aktivis Muslim sebagai kasus pemurtadan dan penodaan terhadap Islam bermunculan. Mulai dari kasus Yayasan Kaki Dian Emas, pimpinan Edy Sapto (2006), kasus gereja Tiberias (2007), kasus B3 (Bekasi Berbagi Bahagia) yang digalang oleh Yayasan Mahanaim (2008), kasus Gerakan Membasmi Islam lewat situs www.bellarminus- bekasi.blogspot.com (2010), sampai dengan puncaknya kasus formasi Salib di depan pintu gerbang Masjid Agung Al-Barkah (2010). Isu-isu tersebut menjadi santapan hangat tokoh-tokoh Islam terlebih lagi dari kelompok radikal, sehingga mereka semua terdorong berkumpul di Masjid Agung Al-Barkah dan sepakat untuk membuat aliansi ormas dan umat Islam untuk merespons gejala di atas.

  Selanjutnya, dalam sebuah ko ngres yang bertemakan “Jadikan Bekasi Kota Syuhada dan Bersyariah”yang diselenggarakan di hotel Bunga Karang Bekasi, lahirlah Kongres Umat Islam Bekasi (KUIB) yang terdiri dari pengurus masjid, lembaga dakwah, lembaga pendidikan dan tokoh-tokoh Muslim se-Bekasi. Di antara ormas Islam yang turut membidani lahirnya KUIB adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Front Pembela Islam (FPI), Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT), Garda Umat Islam Kota Bekasi (GAMIS), Persatuan Islam (PERSIS), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Front Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB), Forum Ummat Islam (FUI), Gabungan Remaja Islam (GARIS), Forum Anti Gerakan Pemurtadan (FAKTA), Hizbud Dakwah Islam (HDI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Lembaga Dakwah Asy-Syams, Lembaga Dakwah Al-Isra, Lembaga Pendidikan Islam Darussalam, Yayasan Bani Saleh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Nama yang tersebut terakhir di kemudian hari mencabut keterlibatannya dari KUIB. KUIB pun akhirnya dideklarasikan di Masjid Ja mi’ Al-Azhar, Jaka Permai, Bekasi pada 27 Juni 2010.

  Tak lama kemudian KUIB mendapatkan momentumnya untuk unjuk diri dengan upaya merobohkan patung Tiga Mojang (3M) di Perumahan Harapan Indah (PHI). Menurut mereka, patung tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan budaya setempat karena menampilkan tubuh perempuan yang hanya dilapisi “kemben” saja

  Bahkan Bernard Abdul Jabbar dari Hizbut Dakwah Islam (HDI) Bekasi menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa patung tersebut merupakan simbolisasi Trinitas dengan menampilkan 3 perempuan yang dianggapnya sebagai visualisasi Bunda Maria.

  Hasilnya, patung berharga milyaran itu akhirnya dipangkas dari PHI pada 19 Juni 2010. Momentum yang tak kalah menariknya adalah kasus pemanfaatan rumah tinggal di Ciketing sebagai tempat ibadah jemaat HKBP. Proses penolakan terhadap gereja ilegal tersebut berakhir dengan bentrokan berdarah disertai tertusuknya salah satu jemaat HKBP (Hasian Lumbantoruan) pada 12 September 2010.

  Kasus-kasus intoleransi yang disertai kekerasan di atas tidak serta merta muncul karena perbuatan sepihak belaka. Kedua belah pihak yang bermain menjadi faktor yang patut untuk diperhatikan. Keduanya saling kait-mengkait. Bahwa karena faktor teologis, memang benar adanya. Di satu sisi, umat Kristiani memiliki doktrin misionari yang mengharuskan mereka menyebarkan agama Kristen, di sisi lain tatkala sampai pada wilayah Muslim maka saat itulah benturan-benturan tak bisa terelakkan. Isu ini kemudian dimainkan oleh kelompok radikal Islam untuk lebih menebar kebencian terhadap non Muslim (kaum kafir) yang sudah mengendap begitu lama. Maka untuk menyulut dan membakar semangat jihad di kalangan umat Islam pun menjadi pekerjaan yang mudah saja dilakukan. Lihat saja slogan kongres KUIB yang ingin menjadikan Bekasi sebagai kota Syuhada, bahkan tak jarang pada tabligh-tabligh akbar KUIB Murhali Barda, ketua FPI kota Bekasi sekaligus anggota presidium KUIB, mengungkapkan “Membunuh pun tak mengapa”. Situasi ini terus dimainkan oleh mereka untuk terus mengusung slogan kedua yang ingin menjadikan Bekasi sebagai kota bersyariat.

  Di samping faktor gesekan teologis, faktor lain yang turut bermain adalah faktor ekonomi dan sosial yang tak jarang turut menyertai kasus-kasus semacam itu. Tengok saja bagaimana hasil penelitian Setara Institut yang mengungkapkan bahwa frustasi sosial dan alienasi yang dialami masyarakat akibat kesenjangan ekonomi membuat sikap dan tindakan intoleransi muncul. Pembangunan komplek perumahan mewah di sekeliling kota Bekasi mayoritas berpenghuni non Muslim karena harga yang tak terjangkau bagi penduduk lokal dan umat Islam yang tergolong berpenghasilan menengah ke bawah. Fakta ini turut pula dimainkan oleh kalangan ormas Islam radikal dan ditarik menjadi isu kristenisasi. Sementara itu pula, perbuatan oknum-oknum yang terkadang mengatasnamakan ormas Islam tertentu terkadang menjadi pemantik lahirnya aksi intoleransi disertai kekerasan. Ketika setoran dari gereja atau sekolah-sekolah Kristen ke mereka mulai tak lancar atau bahkan mandeg, maka isu pemanfaatan tempat secara ilegal dan kristenisasi tak jarang dimunculkan.

  Sosial budaya masyarakat setempat juga perlu diperhatikan. Kasus-kasus di atas memperlihatkan bagaimana nilai-nilai yang selama ini dianut tidak diperhatikan dan diposisikan sebagaimana semestinya. Bagaimana kenyamanan kepentingan publik terganggu dengan aktivitas HKBP yang dalam peribadatannya sampai meresahkan dan mengganggu kenyamanan masyarakat dalam memperoleh akses jalan. Hal inilah yang menurut mantan Ketua RW setempat sering dikeluhkan oleh masyarakat. Tak berbeda pula dengan kasus perobohan Patung 3M. Pengembang perumahan kurang memperhatikan nilai-nilai setempat khususnya Islam yang dianut masyarakat Bekasi selama ini. Dalam kasus ini tidak hanya tokoh-tokoh ormas radikal saja yang menginginkan patung tersebut dirobohkan, tokoh-tokoh yang dianggap moderat pun menuntut hal yang sama.

  Beberapa kejadian di atas memang tidak semata-mata mencuat karena adanya aktivitas pemurtadan yang terang-terangan digencarkan, namun juga memang kehadiran kelompok Islam radikal sudah ada sebelumnya dan memperoleh momentum untuk bergerak dengan hadirnya kasus-kasus tersebut. Eksistensi kelompok seperti ini tidak terlepas dari peran masjid sebagai tempat sentral umat Islam. Tidak hanya sebagai tempat ibadah mahdhah saja, namun juga aktivitas-aktivitas sosial keagamaan seringkali digemakan di masjid. Tengok saja bagaimana respon umat Islam terhadap kasus formasi salib di depan Masjid Agung Al-Barkah dan kasus HKBP Ciketing. Mereka langsung mengadakan pertemuan di Masjid Agung Al-Barkah untuk menyikapinya.

  Masjid Agung Al-Barkah dapat dijadikan gambaran umum bagaimana posisi dan peran masjid di kota Bekasi. Sebagai masjid yang telah menjadi landmark kota Bekasi, kontestasi antar kelompok Islam untuk memakmurkan masjid terbilang ketat. Beberapa kali kelompok radikal berusaha menginfiltrasi masjid dengan mengadakan pengajian-pengajian bahkan sempat pula direlay langsung oleh Radio Dakta FM sebagai radio yang kerap menyajikan taklim dari kelompok-kelompok tersebut khususnya dalam menyuarakan ajaran Salafi. Bahkan mereka sempat berhasil merasuki remaja masjid yang berdampak pada perubahan radikal pemahaman para remaja Masjid Agung Al- Barkah. Efeknya, aktivitas remaja masjid diberhentikan oleh DKM karena pertentangan paham antar mereka semakin sering terjadi dan meruncing. Hampir 10 tahun remaja masjid vacum dan baru di tahun 2011 ini akan diaktifkan kembali.

  Namun tampaknya kini Masjid Agung Al-Barkah tidak hanya mengalami deradikalisasi namun juga sterilisasi dari kelompok/ormas berhaluan radikal. Fakta ini tak terlepas dari posisi masjid yang telah resmi menjadi masjid pemerintahan kota Bekasi dari tahun 2008. Hal tersebut nyata-nyata disampaikan oleh Ketua Harian DKM, Drs. Abdul Hadi, MM dan tampak pula pada susunan kepengurusannya yang melibatkan para petinggi Kota Bekasi mulai dari walikota, wakil walikota, ketua DPRD, Muspida, Kakandepag, bahkan ketua umumnya pun dipercayakan kepada Sekretaris Daerah Kota Bekasi. Maka tak jarang bila masjid ini sering dijadikan sebagai lokasi resmi aktivitas keberagamaan pemerintahan kota Bekasi seperti perayaan hari-hari besar Islam. Penceramah yang dihadirkan pun tergolong penceramah yang menetralisir konsep kekerasan kalangan radikal. Hal serupa juga tampak pada pengajian rutin yang diisi oleh para penceramah yang selalu menyerukan persatuan umat dan anti kekerasan sebagai solusi menghadapi problem keumatan. Meski demikian, ketika isu identitas keislaman umat Islam mencuat, masjid ini juga menjadi tempat untuk merespon hal tersebut. Masjid ini sempat dijadikan sebagai tempat berkumpulnya tokoh-tokoh Islam untuk membahas kasus Ciketing dan formasi Salib yang dibuat oleh Yayasan Mahanaim di depan masjid. Bahkan pembahasan kooordinatif pemda dengan ormas Islam dalam rangka mencari solusi masalah Ciketing juga sempat dilakukan di masjid ini. Ketua harian DKM pun turut pula menandatangani Deklarasi Ummat Islam Bekasi tertanggal

  9 Mei 2010 yang digalang oleh FAPB pimpinan Abu Al Izz yang sampai kini masih aktif sebagai salah satu ke tua Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) Jakarta. Bahkan deklarasi tersebut dibacakan oleh Sekda kota Bekasi saat itu, Candra Utama di Masjid Agung Al-

  Barkah.

  Infiltrasi kelompok-kelompok semacam ini ke masjid tidak hanya terjadi di Masjid Agung Al-Barkah. Banyak masjid berusaha mereka masuki dan ambil alih. Kasus yang sempat terekam antara lain adalah bagaimana konflik penguasaan Masjid At-Taqwa di Perumahan Bumi Bekasi Baru dan Masjid Darul Muttaqin di Perumahan Harapan Baru 2. Hal serupa juga terjadi di Masjid Nurul Islam Perumahan Pondok Timur Indah (PTI) Ciketing

  • – masjid yang terletak tepat di belakang rumah yang dijadikan sebagai tempat ibadah HKBP.Hanya saja upaya mereka tidak memperoleh
hasil karena ketegasan DKM dalam mengambil sikap. Hanya Jamaah Tabligh lah yang bisa masuk ke dalam masjid ini. Dari sini terlihat bahwa ketegasan DKM sangat diperlukan dalam menghadapi infiltrasi kelompok-kelompok tersebut. Hal tersebut dapat pula dilakukan dengan memperkokoh manajemen dan penguatan visi-misi masjid. Strategi inilah yang diterapkan oleh pengurus DKM Masjid Agung Al-Barkah.

  Lain halnya dengan Masjid Islamic Center, Bekasi dan Masjid Islamic Center Al-Islam Pondok Gede, Bekasi. Di kedua tempat ibadah ini masih terlihat aura radikalisme. Agenda-agenda KUIB masih sering dilantunkan di Masjid Islamic Center Bekasi. Isu-isu yang kerap digaungkan antara lain kristenisasi dan cara menghadangnya, penerapan syariah Islam di kota Bekasi, kebencian terhadap non-Muslim (dalam hal ini Kristen), dan jihad. Kebencian terhadap non-Muslim ini tidak hanya sebagai efek adanya Kristenisasi di kota Bekasi namun juga telah mendarah daging di antara mereka.

  Sebagaimana diungkapkan oleh Murhadi Barda bahwa dengan non-Muslim tidak ada musyawarah, yang ada adalah ketegasan. Musyawarah hanya berlaku di kalangan umat Islam saja. Hal ini turut pula diperkuat oleh Sulaiman Zachawerus dari Garda Umat Islam Bekasi (GAMIS). Upaya menghadang laju kristenisasi pun mereka golongkan sebagai jihad. Bagi mereka, jihad harus dibersihkan dari istilah terrorisme karena jihad bukan terrorisme. Terrorisme adalah istilah yang disematkan dan dimainkan oleh Barat khususnya Amerika untuk meminimalisir penentangan umat Islam terhadap mereka dan kepentingan-kepentingannya. Maka tak heran bila tuduhan terrorisme terhadap Abu Bakar Ba’asyir menurut mereka hanyalah rekayasa Amerika dan sekutunya termasuk vonis 17 tahun penjara untuk Abu Bakar Ba’asyir.

  Penggunaan masjid ini oleh mereka tak lepas dari kontrol longgar DKM dalam mengelola masjid. Kantor DKM seringkali terlihat kosong sehingga susah untuk ditemui. Fakta seperti ini tidak hanya terjadi di Bekasi saja, namun juga di masjid- masjid Islamic Center di lokasi lain. Kondisi tersebut dapat diasumsikan karena masjid semacam ini dibangun bukan oleh masyarakat sendiri dan jauh dari lingkungan masyarakat tertentu sehingga rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap masjid menjadi sangat kurang. Jamaahnya pun hampir bisa dipastikan datang dari mana-mana alias minim dari masyarakat sekitar masjid. Sementara itu fenomena sebaliknya ada pada Masjid Islamic Center Al-Islam yang didirikan oleh Farid Ahmad Okbah, salah satu tokoh al-Irsyad yang juga aktif di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang memiliki peran penting dalam kontekas kelahiran kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Masjid ini

  • – yang pada awal kehadirannya ditentang oleh tokoh-tokoh Islam lokal dan juga masyarakat
  • – terintegrasi dengan pesantren tinggi Al-Islam yang menganut faham Salafi termasuk DKM-nya. Oleh karena itu bisa dipahami jika ustadz dan materi-materi yang digaungkan di dalam masjid tersebut tak lain adalah ajaran salafi yang mengusung pemurnian aqidah umat dari racun bid’ah dan yang tak kalah menariknya adalah jihad. Walaupun mereka mengaku bermanhaj dakwahis, namun mereka juga memiliki hubungan dengan para salafi jihadis seperti JAT.

B. PANDEGLANG

  Sebagai bagian dari Banten, Pandeglang memiliki rekam jejak historis terkait dengan sikap-sikap kurang menghargai perbedaan termasuk perbedaan agama. Dampaknya, perbedaan seringkali menjadi penyebab kerenggangan hubungan, kecurigaan, bahkan permusuhan. Sikap intoleransi ini membuat masyarakat kurang menghargai hak-hak orang lain untuk mengekspresikan keberadaannya termasuk dalam soal menikmati kebebasan menjalankan keyakinan.

  Puncaknya ad alah sebuah tragedi berdarah yang dikenal dengan “tragedi Cikeusik”. Sebuah tragedi kemanusiaan berupa bentrokan antara ribuan massa ummat Islam dengan belasan warga jamaah Ahmadiyah yang terjadi di kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang yang menewaskan 3 jamaah Ahmadiyah dan 6 orang lainnya luka-luka.

  Berdasarkan hasil penelitian selama 2 minggu di wilayah Pandeglang, dengan tragedi Cikeusik sebagai locus utamanya, terekam sebuah realitas yang telanjang bahwa sikap-sikap intoleransi dan kekerasan masyarakat ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor, dengan derajat yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi factual yang dimilikinya.

  Faktor pertama yang paling dominan adalah perbedaan akidah yang cukup tajam antara warga masyarakat (umat Islam) dengan jamaah Ahmadiyah. Sebagaimana umum diketahui, Jamaah Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Nabi Muhammad, sebuah keyakinan yang ditolak oleh mayoritas umat Islam. Para kiyai di Cikeusik berupaya untuk membendung dakwah Ahmadiyah dengan cara mengajarkan kepada umat Islam tentang kesesatan Ahmadiyah. Apalagi Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai kesesatan Ahmadiyah Fatwa MUI dan dakwah para kiyai ini berhasil menumbuhkan kebencian warga terhadap ajaran Ahmadiyah dan para jamaahnya..

  Kondisi ini sepertinya sejalan dengan pandangan David Lochhead dalam bukunya The Dialogical Imperative: A Christian Reflection on Interfaith Encounter bahwa identitas keagamaan ternyata tidak luput dari benih kekerasan. Ia menegaskan bahwa di dalam kehidupan keberagamaan terdapat akar-akar kecurigaan yang tertanam sangat dalam, malah menjadi bagian inheren pembentukan identitas keagamaan. Di dalam setiap tradisi keagamaan, selalu terkandung benih-benih ideologi dan/atau teologi yang bersifat isolasionis (masing-masing agama hidup dan berkembang dalam ghetto- nya sendiri-sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan). Teori sangat relevan untuk menggambarkan kasus ini.

  Faktor kedua yang cukup penting adalah persoalan ekonomi. Seperti yang kita ketahui bersama, Cikeusik adalah wilayah terpencil di ujung Pandeglang dengan tingkat ekonomi masyarakat yang cukup rendah. Ketika Jamaah Ahmadiyah awal, yang asalnya pendatang, hadir di sana dan mendakwahkan keyakinannya melalui pendekatan kesejahteraan ekonomi, maka terjadi perubahan taraf ekonomi yang drastis di kalangan pengikut Ahmadiyah, termasuk dari penduduk asli. Kenyataan ini lambat laun menimbulkan kecemburuan sosial.

  Suparman misalnya selaku pimpinan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, sebelumnya ia adalah seorang petani biasa yang sangat sederhana. Namun setelah ia bergabung dengan Ahmadiyah, kondisi ekonominya berubah drastis hingga akhirnya bisa membeli rumah besar yang kemudian dijadikan base-camp kegiatan Jamaah Ahmadiyah. Begitu pula dengan Atep Suratep (sekretaris Suparman), yang dahulunya hanya berjalan kaki dan memakai kaos, tiba-tiba tampil perlente dengan mengendarai motor dan memakai jaket hitam. Faktor lainnya adalah relasi sosial yang kuat dicirikan oleh paternalisme antara para kiyai dengan pengikutnya. . Posisi kyai atau ulama atau ustadz begitu strategis, dihormati d an menjadi “patron”, khususnya dalam hal keagamaan. . Ketika para ulama atau kyai setempat jelas-jelas menolak kehadiran Ahmadiyah (apalagi dengan misi ekspansifnya) maka masyarakatpun akan mengamini hal yang sama tanpa perlu mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Terbukti, pengerahan ribuan massa yang kemudian menyerang markas Ahmadiyah di Cekeusik berhasil dilakukan hanya melalui sms yang dikirim oleh seorang KH Ujang kepada ribuan orang yang kemudian terprovokasi oleh ajakannya. Dengan pendidikan rata-rata setingkat SD dan SMP, masyarakat Cikeusik sangat mudah terprovokasi oleh ajakan-ajakan memerangi jamaah Ahmadiyah tanpa menyimak terlebih dahulu apa yang sesungguhnya terjadi. Yang penting bagi mereka adalah ikut berjuang menegakkan agama Allah Swt. Tidak heran, ada warga Muslim yang menyatakan “orang Ahmadiyah itu bukan saudara kita”.

  Wajar kalo kita perangi karena mereka menghina Islam ”.

  Sejauhmana ideologi radikal memiliki pengaruh terhadap kekerasan dan intoleransi masyarakat Muslim terhadap Jamaah Ahmadiyah? Harus dikatakan di sini tidak mudah menemukan eksistensi organisasi-organisasi radikal atau militant (secara kelembagaan) seperti Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun aroma idiologi radikal cukup kental terasa. melalui tanggapan yang diberikan oleh beberapa anggota masyarakat dan stakeholder masjid terhadap ide kekerasan. Mereka pada umunya menerima penggunaan kekerasan sebagai cara yang absah untuk mencapai tujuan yang diyakininya. Persepsi radikal dan kekerasan ini juga tampil dalam bentuk simbol, seperti slogan kaos yang dipakai salah seorang warga Cikeusik yang bertuliskan “Don’t Be Afraid to be Islamic. Musuh Jangan dicari,

  Bertemu Jangan Lari. Aaminu, Haajiru Wa Jaahidu

  ”. Jargon-jargon yang mengajak untuk beriman, berhijrah dan berjihad di atas setidaknya bisa menjadi inspirasi ummat Islam untuk menegaskan sikap kerasnya (hingga level jihad) terhadap kehadiran kelompok-kelompok lain yang dianggap berbeda dengan mainstream kekeislaman. Jadi cukup beralasan bila ajakan demontrasi terhadap warga Ahmadiyah begitu mudah diterima masyarakat kala itu. Para penganut idiologi radikal biasanya berusaha memperjuangkan perubahan sistem sosial dan politik yang ada secara radikal dan menggantikan dengan system Islam seperti yang mereka yakini, kalau perlu dengan cara-cara kekerasan.. Mereka juga berusaha memperluas pengaruhnya lewat lembaga-lembaga Islam yang ada, termasuk masjid. Namun, untuk kasus Cikeusik, tidak tampak adanya ekspansi kelompok radikal di masjid-masjid di sana. Disamping karena memang kelompok-kelompok radikal tidak kelihatan keberadaannya, masjid-masjid yang diteliti di Cikeusik tidak membuka ruang untuk pewacanaan aspek-aspek sosial-politik dan ekonomi dalam Islam di masjid, apakah dalam khutbah Jum’at maupun pengajian keislaman. Sudah umum diterima di masyarakat Cikeusik, masjid adalah tempat yangt sakral untuk ritual ibadah semata seperti sholat 5 waktu, sholat Jum

  ’at dan pengajian-pengajian. Hampir tidak ada kegiatan diluar ketiga hal diatas yang diselenggarakan di masjid. Penyampaian materi khutbah Jum’at di masjid-masjid di sana masih sangat tradisional, yakni menggunakan bahasa arab (dimana tema khutbah berdasarkan keutamaan bulan-bulan hijriah saja), tanpa terjemahan apalagi menggunakan bahasa Indonesia. Begitu pula dengan materi- materi pengajian yang digelar dimasjid, semuanya tak jauh dari topik kajian aqidah, fiqh dan tafsir saja dengan kitab-kitab klasik yang ada seperti kitab tafsir Jalalaen, kitab Al- Qurtuby, Kitab Nihayatu Zen, Ta’limul Mutaallim, dan kitab Awaamil dan sebagainya. Isu-isu atau topik-topiknya sangatlah terbatas pada isu-isu ibadah saja. Apabila ada khatib ata penceramah di masjid yang mencoba membawa topik-topik lain, apalagi perihal hal-hal yang sensitif seperti Khilafah Islamiyah, dukungan kepada teroris dan lain sebagainya, maka seketika itu pula akan ditegur dan diberi peringatan keras hingga tidak dipercaya lagi menjadi khotib atau penceramah.

  Pengurus masjid atau DKM-nya biasanya adalah tokoh yang disegani di sekitar masjid tersebut. Masjid Al-Huda di Cangkore misalnya, pengurusnya adalah para Kyai yang tinggal di sekitar area masjid. Jadi bila ada kelompok baru atau idiologi baru yang akan masuk ke masjid maka haruslah mampu meyakinkan para DKM tersebut. Bila tidak, maka jangan harap bisa menggunakan masjid menjadi sarana diseminasi gagasan mereka. Pernah kelompok jamaah tablig minta izin bermukim di masjid. Namun mereka ditolak karena khawatir meresahkan masyarakat. Sikap kiyai yang tidak bersedia menerima kelompok-kelompok yang asing dalam Islam ini tampak juga menjadi sikap umum warga lain.

  Dakwah yang menekankan kesesatan Ahmadiyah sendiri umumnya berlangsung di luar masjid, lewat pengajian-pengajian yang diadakan oleh warga dalam kesempatan hajatan di rumah-kediaman warga. Tampaknya kehadiran kelompok radikal tidak terlalu menonjol di Cikeusik, meskipun terdapat beberapa orang yang tampil selayaknya kelompok Salafi, dengan cirri-ciri khas seperti menggunakan celana gantung, jenggot panjang, cadar dan pakaian jubah. Demikian halnya dengan ide-ide radikalisme, seperti Khilafah Islamiyah atau Negara Islam tidak terlalu kuat berpengaruh dalam pandagan kiyai atau ustadz di sana.

  Namun, ideologi radikal tampaknya masih cukup hidup dalam pemikiran beberapa tokoh Islam di wilayah Menes, yang dikenal sebagai salah satu kantong pendukung Negara Islam Indonesia (NII) terbesar yang mensupport pendirian negara islam dan khilafah Islamiyah. Ketika peneliti telusuri lebih jauh, berdasarkan pengakuan KH Sholeh As’ad, selaku tokoh NII Pandeglang, ternyata idiologi NII ini, hingga kini masih tetap eksis, walau masih berbasis “gerakan bawah tanah” yang sulit terlacak oleh siapapun.

  Terhadap isu terorisme, hampir mayoritas responden yang peneliti wawancarai, tidak ada yang menyatakan simpati dan setuju dengan berbagai aksi terorisme. Mereka beralasan, terorisme adalah bentuk pembangkangan terhadap nilai- nilai islam. “masak

  

berani dan tega membunuh saudara-saudara kita, padahal mereka kan sama sekali

tidak berdosa

  ”. Tanggapan atas isu ini pun cukup mengherankan peneliti karena faktanya cukup banyak pelaku teroris yang berasal dari wilayah ini. Bahkan wilayah ini, terutama di wilayah Cigondang, Labuhan Pandeglang juga dikenal sebagai daerah subur kelompok Islam ekstrim. Fakta ini setidaknya memberikan sinyal kuat bahwa kelompok-kelompok radikal belum mampu masuk ke tengah-tengah masyarakat dengan leluasa tetapi dengan skala terbatas, tentunya dengan cara-cara tertentu saja yang tidak mudah teridentifikasi.

  Namun terdapat penilaian yang cukup berbeda ketika ditanya perihal kebencian terhadap warga non muslim dan kelompok aliran yang dianggap sesat. Mayoritas responden menyatakan tidak mempermasalahkan kehadiran warga non muslim karena mereka adalah sama- sama makhluk Tuhan. Prinsip “lakum dinukum waliyadin”adalah pilar utama yang menjadi pegangannya. Sementara itu, ketika ditanya perihal kelompok aliran yang dianggap sesat, sepertinya mayoritas responden menyatakan ketidaksukaannya. Bahkan mereka merasa berkewajiban untuk meluruskannya, dengan cara-cara damai maupun kekerasan sekalipun.

  Sementara itu, ketika dikonfirmasikan kepada responden perihal vonis terhadap Abu Bakar Ba’asyir yang dihukum 15 tahun penjara karena terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer kelompok teroris di Aceh, jawaban yang diperoleh sangat beragam. Sebagian responden berpendapat bahwa Abubakar Baasyir adalah seseorang yang ditumbalkan dan dikorbankan oleh negara demi menyahuti kepentingan Amerika saja. Ustadz Abu, malah dianggap sebagai pejuang yang berani menantang hegemoni negara yang tiran. Sementara itu, sebagian lagi menganggap vonis tersebut sangatlah wajar karena beliau salah satu donatur aksi- aksi terorisme dan juga sumber legitimasi bagi para teroris. Padahal terorisme jelas-jelas merugikan ummat Islam dan Islam itu sendiri.

C. BOGOR

  Ada dua indikator radikalisme yang peneliti temukan di Bogor, yaitu penolakan pembangungan gereja di Perumahan Taman Yasmin Sektor 2 dan penolakan Ahmadiyah di Parung Bogor. Penolakan pembangunan gereja dimotori oleh para pengurus masjid yang ada di Perumahan Taman Yasmin, terutama para pengurus atau DKM di Masjdi Al-Ghozi, Masjid Al-Falah dan Masjid Darussalam. Para pengurus ini umumnya merangkap sebagai pengurus ormas seperti Forkami (Forum Komunikasi Umat Islam) dan Hasmi (Ormas Islam yang beraliran Salafi). Sedangkan penolakan Ahmadiyah yang terjadi di Parung sesungguhnya dimulai sejak digerakkan oleh Haji Niam, sesepuh masyarakat Kemang Bogor yang juga merangkap nazir wakaf Masjid Al-Hidayah dan aktivis Front Pembela Islam, dan Ust Hasyim, seorang ustad yang mengelola Masjid Al-Mujahidin, sekitar 300 meter dari Kampus Mubarok Ahmadiyah Parung, dan merangkap sebagai ketua dewan syuro Front Pembela Islam Kabupaten Bogor.

  Penolakan Pembangunan Gereja. Terdapat beberapa versi alasan penolakan

  pembangunan gereja di Perumahan Taman Yasmin Kota Bogor. Pertama, penolakan dipicu oleh kesalahfahaman antara dua komunitas, yaitu Komunitas Kristen yang menjadi kelompok minoritas dan Komunitas Muslim yang menjadi kelompok mayoritas di Perumahan Taman Yasmin dan sekitarnya. Pihak Islam merasa ditipu dan dibohongi karena persetujuan mereka dimanipulasi dan dipalsukan. Awalnya, Pihak Kristen memberitahu bahwa mereka akan mendirikan lembaga pendidikan, tapi ternyata mereka membangun gereja. Kedua, beredar di kalangan masyarakat Muslim Perumahan Taman Yasmin dan sekitarnya bahwa pembangunan GKI merupakan salah satu langkah untuk melakukan gerakan pemurtadan terhadap Kaum Muslimin di Bogor dan sekitarnya.

  

Ketiga , pembangunan gereja di wilayah sepanjang jalan KH. Abdullah bin Nuh dapat

menodai kebesaran ulama kharismatik yang sangat disegani di Bogor dan sekitarnya.

  Sementara pihak Kristen menolak mentah-mentah alasan tersebut. Menurut mereka, proses permohonan IMB untuk pembangunan gereja tidak ada masalah, tetapi setelah dua tahun berlangsung tiba-tiba pembangunan GKI dipersoalkan dengan sejumlah alasan yang tidak masuk akal dan cenderung menunjukkan sikap dan perilaku intoleran. Pihak Kristen berpandangan bahwa mereka telah melalui proses perizinan yang lazim dilakukan dan pada mulanya tidak ada masalah dari masyarakat ataupun penolakan, tetapi kemudian tiba-tiba muncul resistensi yang sangat besar.

  Berdasarkan informasi dari sejumlah narasumber, penolakan tersebut sangat dipengaruhi oleh masuknya ideologi Islam radikal ke tengah-tengah masyarakat. Terdapat beberapa indikasi atas hal itu. Pertama, sejumlah penceramah dan khatib Jumat disebutkan sering memberikan ceramah yang provokatif dan potensial menanam bibit kebencian kepada kelompok lain, terutama non Muslim. Kedua, lewat pengajian dan kegiatan diskusi keislaman sejumlah pihak menanamkan ajaran-ajaran intoleran dan sikap permusuhan terhadap kelompok lain yang non Muslim. Ketiga, menerapkan strategi wacana yang cerdik, misalnya dengan menghembuskan informasi dan isu bahwa pembangunan gereja di Perumahan Taman Yasmin merupakan starting point untuk melaksanakan gerakan pemurtadan di kalangan umat Islam. Para pendukung ideologi radikal juga menegaskan bahwa membiarkan pembangunan gereja di kawasan Jalan KH. R. Abdullah bin Nuh sama saja dengan mencoreng nama besar sang ulama kharismatik tersebut. Oleh karenanya, penolakan pembangunan gereja merupakan suatu keharusan jika umat Islam Bogor ingin tetap aman dari gerakan pemurtadan. Demikian pandangan yang umumnya dianut oleh para aktivis masjid di Perumahan Taman Yasmin.

  Penolakan Ahmadiyah. Penolakan Ahmadiyah terutama disebabkan karena

  masyarakat merasa resah dengan ajaran tentang Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Penolakan mereka semakin mendapatkan legitimasi dengan fatwa MUI tentang kesesatan ajaran Ahmadiyah. Yang menarik, sebenarnya sejak lama terjadi dialog dan perdebatan yang sengit kadang penuh emosi antara pendai Ahmadiyah dan tokoh masyarakat, tetapi tidak pernah terjadi tindakan kekerasan atau konflik fisik di antara mereka.

  Namun, berdasarkan pernyataan sejumlah sumber disebutkan bahwa pergerakan dan aksi menentang Ahmadiyah didorong oleh pihak luar masyarakat Kemang Parung. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa para peserta aksi penolakan Ahmadiyah sebagian besar berasal dari luar Kemang Parung. Bahkan disinyalir mereka merupakan kelompok-kelompok Islam garis keras yang terkenal seperti Ikhwanul Muslimin, Front Pembela Islam, dan FUI. Namun, berdasarkan pengamatan peneliti, gerakan penolakan tersebut bukan semata-mata tekanan dari pihak luar, tetapi sejumlah tokoh memang menganut Islam garis keras. Misalnya, H. Naim, seorang tokoh masyarakat yang juga nazir Masjid Al-Hidayah Kemang Parung sangat menentang keberadaan Ahmadiyah sebagaimana yang peneliti dengar dari sambutan dan ceramahnya pada acara Malam Penutupan Seluruh Rangkaian Acara Isra Mikraj pada tanggal 30 Juli 2011.H. Namim dikenal sebagai aktivis Islam yang sangat dekat dengan para tokoh Front Pembela Islam, baik pada tingkat Kabupaten Bogor maupun tingkat pusat. Dalam beberapa kegiatan aksi massa yang dilakukan FPI pusat, H. Namim ikut berperan bersama sejumlah pemuda dari Kemang Bogor.

  Dinamika Kontestasi

  Kontestasi antara ideologi militan dengan ideologi moderat bisa dirasakan di Masjid Al- Hidayah Kemang Parung Bogor. Ketika peneliti melakukan observasi dan berdialog dengan sejumlah jamaah dan pengurus masjid terkesan bahwa pemahaman Islam moderat mendominasi rangkaian kegiatan ibadah di masjid. Hal itu misalnya terlihat dari berbagai kegiatan keagamaan di masjid Al-Hidayah sangat dipengaruhi oleh tradisi Islam NU. Namun, yang menarik terdapat banyak pamplet dan booklet yang diterbitkan oleh FPI yang berisi ajakan untuk mengikuti aksi dan pelatihan. Ketika hal itu peneliti tanyakan kepada sejumlah narasumber, mereka menjawab bahwa di masjid ini terdapat beberapa tokoh FPI maupun Ikhwanul Muslimin, misalnya Ust Sobri Lubis dan Ust. Abdurrahman Assegaf. Mereka berdua beberapa kali memberikan pengajian atau khutbah Jumat di masjid ini dan umumnya tema yang disampaikan tidak jauh dari tema- tema penolakan tentang Ahmadiyah dan kelompok sesat lainnya. Apakah masjid ini hanya dipengaruhi oleh kelompok Islam militan saja? Ternyata tidak. Pernah ada usaha dari sejumlah kelompok Islam radikal-jihadis untuk menebarkan pengaruh di sini.

  Dari sejumlah sumber disebutkan bahwa ada upaya-upaya dari kelompok Salafi Jihadis, seperti almarhum Ust Saifuddin dan Ust Jailani? (dua tersangka teroris yang telah tertembak mati) untuk menebarkan pengaruh lewat pendekatan tertentu. Salah satunya adalah dengan menawarkan pengobatan herbal dan bekam gratis, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh pengurus masjid karena dianggap memiliki motif yang tidak jelas. Beberapa sumber informasi menceritakan bahwa orang-orang yang dipandang aneh dalam beragama seringkali mendatangi masjid dan bahkan mereka menetap di sekitar Kemang Parung. Informasi tersebut diperkuat oleh fakta yang menunjukkan bahwa sejumlah teroris, baik yang telah mati tertembak atau yang masih DPO, pernah bermukim di sekitar lokasi yang tidak jauh dari Kemang, yaitu di Perumahan Telaga Kahuripan, dan salah satu pelaku bom bunuh di Hotel Mariot merupakan orang Kemang Parung Bogor.

  Isu bahwa kelompok teroris mencoba memasukkan pengaruh ke Masjid Al- Hidayah ditentang habis-habisan oleh Pak H. Naim. Menurutnya, semua isu tidak benar. Ia mengatakan bahwa dialah orang yang pertama kali melawan jika ada pihak-pihak tertentu dari kelompok Islam jihadis yang mencoba memanfaatkan masjid atau masyarakat sekitar masjid. Pandangan tersebut diamini oleh sejumlah pengurus masjid dan jamaah. Ketika ditanyakan kepada beliau tentang salah satu pelaku bom bunuh diri Mariot yang disebutkan berasal dari Kemang Parung. Ia menjawab bahwa itu bersifat kasuistik.