Hubungan Karakteristik Penderita dan Sanitasi Rumah serta Lingkungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA DAN SANITASI RUMAH SERTA LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS

DI KABUPATEN PIDIE

TESIS

Oleh

KAMARUDDIN 117032014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE CORRELATION OF PATIENT’S CHARACTERISTICS AND RESIDENT’S SANITATION

FILARIASISIS

WITH THE INCIDENT OF IN PIDIE DISTRICT

THESIS

By

KAMARUDDIN 117032014/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA DAN SANITASI RUMAH SERTA LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS

DI KABUPATEN PIDIE

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KAMARUDDIN 117032014/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA DAN SANITASI RUMAH SERTA

LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KABUPATEN PIDIE Nama Mahasiswa : Kamaruddin

Nomor Induk Mahasiwa : 117032014

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Ketua

) (Ir. Indra Chahaya, M.Si Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 19 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir. Indra Chahaya, M.Si

2. Ir. Evi Naria, M.Kes 3. drh. Hiswani, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PENDERITA DAN SANITASI RUMAH SERTA LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS

DI KABUPATEN PIDIE

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

Kamaruddin 117032014/IKM


(7)

ABSTRAK

Kabupaten Pidie merupakan salah satu daerah endemis filariasis karena memiliki angka mikrofilaria rate lebih besar 1 persen sehingga di tetapkan sebagai daerah endemis filariasis, terhitung sejak tahun 2005 sampai tahun 2012 tercatat 86 penderita kaki gajah kronis dan tidak dapat disembuhkan lagi (Dinas Kesehatan Pidie, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita dan sanitasi rumah serta lingkungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pidie tahun 2013. Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh penderita filariasis berjumlah 86 orang di Kabupaten Pidie Tahun 2012 dengan sampel sebanyak 140 orang terdiri dari 70 kasus dan 70 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square menunjukkan semua variabel yaitu umur, pendidikan, kebiasaan keluar rumah, dinding rumah, pemakaian kawat kasa, gantungan baju, langit-langit rumah, pemakaian kelambu, habitat, kebersihan lingkungan dan kandang ternak berhubungan dengan kejadian filariasis. Sedangkan hasil uji regresi logistik diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian filariasis adalah variabel umur responden.

Bagi Dinas Kesehatan Pidie, disarankan untuk meningkatkan peran tenaga penyuluh kesehatan di wilayah kerja Puskesmas tentang upaya pencegahan penyakit filariasis melalui berbagai media informasi maupun penyuluhan langsung di forum -forum yang ada di masyarakat dan meningkatkan pelayanan kuratif bagi penderita filariasis.


(8)

ABSTRACT

Pidie District is one of the areas affected by filariasis endemic since it has microfilaria rate of 1percent so that it is stated as a filariasis endemic area, starting from 2005 until 2012. At that time, there were 86 chronic filariasisis patients who could not be cured (Pidie Health Office, 2012)

The objective of the research was to analyze the correlation patients’ characteristics, housing and environmental sanitation with the incident of filariasis in Pidie District, in 2013. The research used an observational analytic survey with cross sectional design. The population was 86 filariasis patients in Pidie District, in 2012. The samples consisted of 140 respondents, composed of 70 cases and 70 controls. The data were gathered by conducting interviews and observation, guided by questionnaires. They were analyzed by using univatriate analysis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with logistic regression test on the level of reliability of 95%.

The result of bivatriate analysis, using chi square test showed that all variables (age, education, outing habit, house walls, the use of wire netting, clothes hangers, ceiling, the use of mosquito nets, habitat, and environmental sanitation, and animal pens influenced the incident of filariasis. Meanwhile, the result of logistic regression test showed that the variable which had the most dominant influence on the incident of filariasis was the variable of respondents’ age.

For Pidie Health Department, suggested to increase the role of the health extension workers at the Puskesmas on filariasis disease prevention efforts through a variety of media and education information directly in the forums that exist in the community and improve the curative services for people with filariasis.

Keywords: Filariasis, Characteristics, Resident’s Sanitation, Housing Environment


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan thesis ini dengan judul “Hubungan Karakteristik Penderita dan Sanitasi Rumah serta Lingkungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie”.

Penyusunan thesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun thesis ini, menyadari begitu banyak mendapat bimbingan, arahan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak, sehingga thesis ini dapat diselesaikan. Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan terima kasih, semoga sehat, bahagia dan selalu dalam Lindungan Allah SWT kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku komisi pembimbing yang dengan sabar dan tulus telah banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga selesainya thesis ini. 4. Ir. Evi Naria, M.Kes dan drh. Hiswani, M.Kes selaku komisi penguji yang telah

memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan thesis ini

5. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Allah SWT.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya yang telah memberikan izin mengikuti Tugas Belajar kepada penulis sehingga penulis dapat melanjutkan Pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie.

9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Adinda Khalikul Fadli SKM, M.Epid dan sahabatku Dedi Andria, SKM, M.Kes.


(11)

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda Alm. Muhammad Insya dan Ibunda Hj. Zainabah atas segala jasanya sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa untuk Isteri tercinta Ismayani dan anakku tersayang Muhammad Ghuffran Azizi dan Nazla Aiska yang telah turut memberikan doa, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, September 2013

Kamaruddin 117032014/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Kamaruddin, lahir pada tanggal 26 Juli 1971 di Meureudu, beragama Islam, anak ke empat dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm. Muhammad Insya dan Hj. Zainabah. Mempunyai satu orang putra Muhammad Ghuffran Azizi dan satu orang putri Nazla Aiska, sekarang menetap di Desa Rhing Mancang Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 1 Meureudu pada tahun 1978 dan diselesaikan pada tahun 1984, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Meureudu pada tahun 1984 dan diselesaikan pada tahun 1987, Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Meureudu pada tahun 1987 dan diselesaikan pada tahun 1990, Akademi Penilik Kesehatan Jabal Ghafur Sigli pada tahun 1990 dan diselesaikan pada tahun 1993, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2004, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.

Pada tahun 1994 sampai tahun 1998 menjadi pegawai di RSU Cut Nyak Dhien Meulaboh, pada tahun 1998 sampai tahun 2002 menjadi pegawai Dinas Kesehatan Pidie, pada tahun 2002 sampai tahun 2004 Tugas Belajar di FKM USU, tahun 2004 sampai tahun 2007 kembali menjadi pegawai di Dinas Kesehatan Pidie dan dari tahun 2007 sampai saat ini menjadi pegawai di Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie Jaya.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Filariasis ... 7

2.1.1. Pengertian Filariasis ... 7

2.1.2. Epidemiologi Filariasis ... 7

2.1.3. Hospes ... 8

2.2. Rantai Penularan Filariasis ... 23

2.3. Gejala Klinis ... 25

2.3.1. Gejala Klinis Akut ... 25

2.3.2. Gejala Klinis Kronis ... 25

2.4. Penentuan Stadium Limfedema ... 27

2.5. Patogenesis ... 28

2.6. Diagnosis ... 30

2.7. Cara -Cara Pemberantasan ... 30

2.7.1. Cara Pencegahan ... 32

2.7.2. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya ... 32

2.7.3. Pengendalian Vektor ... 34

2.8. Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis ... 34

2.8.1. Karakteristik Manusia ... 34

2.8.2. Sanitasi Rumah ... 35

2.8.3. Lingkungan ... 43


(14)

2.9.1. Pendekatan Teori Bloom ... 50

2.9.2. Teori Simpul ... 52

2.10. Kerangka Konsep ... 53

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 54

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 54

3.2.2. Waktu Penelitian ... 54

3.3. Populasi dan Sampel ... 55

3.3.1. Populasi ... 55

3.3.2. Sampel ... 55

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 57

3.4.1. Data Primer ... 58

3.4.2. Data Sekunder ... 58

3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 58

3.5.1. Variabel ... 58

3.6. Metode Pengukuran ... 61

3.6.1. Pengukuran Variabel Karakteristik Penderita ... 61

3.6.2. Pengukuran Variabel Sanitasi Rumah ... 62

3.6.3. Pengukuran Variabel Lingkungan ... 64

3.7. Tehnik Pengolahan Data ... 65

3.8. Metode Analisa Data ... 65

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 68

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 68

4.2. Karakteristik Responden Kasus dan Kontrol ... 69

4.3. Analisis Univariat ... 69

4.3.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 69

4.3.2. Distribusi Sanitasi Rumah Responden ... 70

4.3.3. Distribusi Lingkungan Rumah Responden ... 72

4.4. Analisis Bivariat ... 73

4.5. Analisis Multivariat ... 79

BAB 5. PEMBAHASAN ... 82

5.1. Hubungan Karakteristik Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 82

5.1.1. Hubungan Umur Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 82

5.1.2. Hubungan Pendidikan Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 83

5.1.3. Hubungan Kebiasaan Keluar Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 85


(15)

5.2. Hubungan Sanitasi Rumah Responden terhadap Kejadian

Filariasis ... 86

5.2.1. Hubungan Dinding Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 86

5.2.2. Hubungan Pemakaian Kawat Kasa di Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 88

5.2.3. Hubungan Gantungan Baju di dalam Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 90

5.2.4. Hubungan Langit-langit Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 91

5.2.5. Hubungan Pemakaian Kelambu oleh Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 92

5.3. Hubungan Lingkungan Rumah Responden terhadap Kejadian Filariasis ... 93

5.3.1. Hubungan Habitat terhadap Kejadian Filariasis ... 94

5.3.2. Hubungan Kebersihan Lingkungan terhadap Kejadian Filariasis ... 96

5.3.3. Hubungan Keberadaan Kandang Ternak terhadap Kejadian Filariasis ... 98

5.4. Pengaruh Umur Responden Sebagai Faktor Paling Dominan terhadap Kejadian Filariasis ... 99

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 59 4.1 Distribusi Karakteristik Responden Kasus dan Kontrol di Kabupaten

Pidie Tahun 2013 ... 69 4.2 Distribusi Karakteristik Responden di Kabupaten Pidie Tahun 2013 ... 69 4.3 Distribusi Sanitasi Rumah Responden Berdasarkan Dinding Rumah,

Pemakaian Kawat Kasa, Gantungan Baju, Langit-langit Rumah dan Pemakaian Kelambu di Kabupaten Pidie Tahun 2013 ... 71 4.4 Distribusi Kondisi Lingkungan Rumah Responden Berdasarkan

Habitat, Kebersihan Lingkungan dan Kandang Ternak di Kabupaten Pidie Tahun 2013 ... 72 4.5 Hubungan Karakteristik Responden dengan Kejadian Filariasis di

Kabupaten Pidie Tahun 2013 ... 74 4.6 Multivariat Regresi Logistik Antara Umur, Pendidikan, Kebiasaan

Keluar Rumah, Dinding Rumah, Pemakaian Kawat Kasa, Gantungan Baju, Langit-Langit Rumah, Pemakaian Kelambu, Habitat, Kebersihan Lingkungan dan Kandang Ternak dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie Tahun 2013 ... 80


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 2.1. Konsep Berdasarkan Teori Bloom ... 51 2.2. Teori Simpul ... 52 2.3. Kerangka Konsep ... 53


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 109

2 Kuisioner Penelitian (Kasus) ... 110

3 Kuisioner Penelitian (Kontrol) ... 114

4. Analisa Univariat ... 118

5. Analisa Bivariat ... 121

6. Analisa Multivariat ... 144

7. Master Tabel ... 150

8. Dokumentasi Penelitian ... 160

9. Peta Kabupaten Pidie ... 163

10. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 164

11. Surat Izin Penelitian Dari Dinas Kesehatan Pidie Ke Puskesmas ... 165


(19)

ABSTRAK

Kabupaten Pidie merupakan salah satu daerah endemis filariasis karena memiliki angka mikrofilaria rate lebih besar 1 persen sehingga di tetapkan sebagai daerah endemis filariasis, terhitung sejak tahun 2005 sampai tahun 2012 tercatat 86 penderita kaki gajah kronis dan tidak dapat disembuhkan lagi (Dinas Kesehatan Pidie, 2012).

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita dan sanitasi rumah serta lingkungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pidie tahun 2013. Metode penelitian adalah survei analitik observasional dengan disain case control. Populasi penelitian adalah seluruh penderita filariasis berjumlah 86 orang di Kabupaten Pidie Tahun 2012 dengan sampel sebanyak 140 orang terdiri dari 70 kasus dan 70 kontrol. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat menggunakan uji regresi logistik pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis bivariat menggunakan uji chi-square menunjukkan semua variabel yaitu umur, pendidikan, kebiasaan keluar rumah, dinding rumah, pemakaian kawat kasa, gantungan baju, langit-langit rumah, pemakaian kelambu, habitat, kebersihan lingkungan dan kandang ternak berhubungan dengan kejadian filariasis. Sedangkan hasil uji regresi logistik diketahui bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian filariasis adalah variabel umur responden.

Bagi Dinas Kesehatan Pidie, disarankan untuk meningkatkan peran tenaga penyuluh kesehatan di wilayah kerja Puskesmas tentang upaya pencegahan penyakit filariasis melalui berbagai media informasi maupun penyuluhan langsung di forum -forum yang ada di masyarakat dan meningkatkan pelayanan kuratif bagi penderita filariasis.


(20)

ABSTRACT

Pidie District is one of the areas affected by filariasis endemic since it has microfilaria rate of 1percent so that it is stated as a filariasis endemic area, starting from 2005 until 2012. At that time, there were 86 chronic filariasisis patients who could not be cured (Pidie Health Office, 2012)

The objective of the research was to analyze the correlation patients’ characteristics, housing and environmental sanitation with the incident of filariasis in Pidie District, in 2013. The research used an observational analytic survey with cross sectional design. The population was 86 filariasis patients in Pidie District, in 2012. The samples consisted of 140 respondents, composed of 70 cases and 70 controls. The data were gathered by conducting interviews and observation, guided by questionnaires. They were analyzed by using univatriate analysis, bivatriate analysis with chi square test, and multivatriate analysis with logistic regression test on the level of reliability of 95%.

The result of bivatriate analysis, using chi square test showed that all variables (age, education, outing habit, house walls, the use of wire netting, clothes hangers, ceiling, the use of mosquito nets, habitat, and environmental sanitation, and animal pens influenced the incident of filariasis. Meanwhile, the result of logistic regression test showed that the variable which had the most dominant influence on the incident of filariasis was the variable of respondents’ age.

For Pidie Health Department, suggested to increase the role of the health extension workers at the Puskesmas on filariasis disease prevention efforts through a variety of media and education information directly in the forums that exist in the community and improve the curative services for people with filariasis.

Keywords: Filariasis, Characteristics, Resident’s Sanitation, Housing Environment


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2009).

Indonesia saat ini masih tetap menghadapi permasalahan pengendalian penyakit menular dan adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular. Hal ini menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan. Penyakit filariasis termasuk penyakit yang terabaikan karena tidak adanya kepentingan strategis dari pihak manapun. Perlu diingat penyakit ini terkait dengan masalah gizi, kebersihan lingkungan, dan kemiskinan dan menyebabkan kerugian sosial, ekonomi dan kecacatan permanen, WHO (2000) menetapkan penyakit ini untuk dieliminasi didunia (Depkes RI, 2009).


(22)

Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Di Indonesia, berdasarkan survey yang dilaksanakan pada tahun 2000 – 2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis (elephantiasis) yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang). Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia. Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Di Indonesia, 87% kabupaten/ kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range 1-100 kasus, 5,9% kab/ kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5,2% pada range 101-200 kasus, 1,2% pada range 201-700 kasus dan 0,2% pada range >700 kasus (Kemenkes RI, 2010).

Pengendalian berbagai penyakit menular sampai saat ini masih menemui kendala, salah satunya adalah pengendalian dan pemberantasan penyakit filariasis atau kaki gajah yang harus dilakukan seluas wilayah kabupaten/ kota. Penanganan


(23)

telah dilakukan namun dikarenakan kendala yang ada mengakibatkan hasilnya belum maksimal. Sehingga sampai dengan tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 propinsi dan 337 kabupaten/ kota endemis filariasis dan 11.914 kasus kronis (Kemenkes RI, 2010). Di Provinsi Aceh, kasus filariasis telah mencapai 236 kasus dan terdapat 5 kasus baru. Berdasarkan data tersebut angka kesakitan filariasis di Aceh adalah 5 per 100.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Pidie pada tahun 2012 terdapat 86 kasus filariasis dengan angka kesakitan sebesar 22 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Aceh, 2012).

Kabupaten Pidie merupakan salah satu daerah endemis filariasis karena memiliki angka mikrofilaria rate lebih besar 1 persen sehingga di tetapkan sebagai daerah endemis filariasis, terhitung sejak tahun 2005 sampai tahun 2011 tercatat 86 penderita kaki gajah kronis dan tidak dapat disembuhkan lagi. Kasus filariasis paling tinggi di kecamatan Delima 17 kasus, Indra Jaya 15 kasus Padang Tiji 15 kasus, Pidie 8 kasus, Simpang Tiga 7 kasus, Peukan Baro 6 kasus, Kembang Tanjung 5 kasus, Mila 5 kasus, Geulumpang Baro 3 kasus, Kota Sigli 2 kasus, Teupin raya 1 kasus, Mutiara Barat 1 kasus dan Ujong Rimba 1 kasus, (Dinas Kesehatan Pidie, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syuhada dkk (2012) di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan, dimana hasil penelitiannya menyatakan bahwa responden yang di ventilasi rumahnya tidak ada kawat kasa mempunyai risiko 3,600 kali untuk terkena Filariasis dibandingkan dengan responden di ventilasi rumahnya ada kawat kasa.


(24)

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Juriastuti, dkk (2010) di Kelurahan Jati Sampurna, bahwa dari tiga faktor risiko yang diteliti, hanya satu yang dinyatakan berhubungan secara signifikan dengan kejadian filariasis, yaitu jenis kelamin dimana laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan dalam menghadapi penyakit filariasis. Selanjutnya responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu keluar rumah pada malam hari.

Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Uloli, dkk (2008) menyatakan bahwa peluang terkena risiko 2 sampai 3 kali kali lebih besar pada kondisi lingkungan yang buruk yaitu pada kasus dengan lingkungan buruk (31, 4%) dan lingkungan buruk pada kontrol (17, 1%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan buruk (rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular) dengan jarak terbang nyamuk yang kurang dari 200 m akan sangat memberikan peluang besar terjadinya filariasis di daerah tersebut.

Hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa faktor risiko yang sangat berperan pada penularan kasus filariasis ini, antara lain seperti lingkungan yang banyak terdapat rawa dan ditumbuhi oleh tumbuhan air (eceng gondok), faktor perilaku masyarakat yang sering keluar rumah pada malam hari yang hanya sekedar mengobrol dan duduk di warung kopi untuk berinteraksi di masyarakat dan juga faktor risiko pekerjaan masyarakat seperti petani, pekerja bangunan, berkebun yang menginap dilokasi (dihutan dan tempat terbuka) selama aktifitas


(25)

berkebun. Ditinjau dari kondisi tempat tinggal penderita filariasis di Kabupaten Pidie, saat ini masih banyak bangunan tempat tinggal yang terbuat dari anyaman bambu dan bangunan semi permanen lainnya, sehingga dikhawatirkan menjadi pemicu masih tingginya angka filariasis di Kabupaten Pidie.

Sampai saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie telah melakukan berbagai upaya terhadap penderita filariasi antara lain dilakukan pengobatan masal, penanganan kasus klinis filariasis, melakukan evaluasi daerah endemis di Kabupaten Pidie dan promosi kesehatan dalam eliminasi filariasis, namun kasus filariasis di Kabupaten Pidie masih tetap tinggi walaupun telah dilakukan berbagai upaya.

1.2. Rumusan Masalah

Penanganan penyakit filariasis di Kabupaten Pidie telah dilakukan dengan berbagai upaya oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, namun kasus filariasis sampai saat ini masih tinggi dan belum dapat dieliminasi, permasalahan tersebut menarik minat peneliti untuk mengetahui bagaimanakah hubungan faktor risiko karakteristik penderita dan sanitasi rumah serta lingkungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pidie?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik penderita dan sanitasi rumah serta lingkungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Pidie tahun 2013.


(26)

Hipotesis sementara dari penelitian adalah :

1. Ada hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan, dan kebiasaan keluar rumah) dengan kejadian filariasis.

2. Ada hubungan sanitasi rumah (dinding rumah, pemakaian kawat kasa, gantungan baju, langit-langit rumah dan pemakaian kelambu) dengan kejadian filariasis.

3. Adanya hubungan faktor lingkungan (Habitat/ tempat berkembang biak, kebersihan lingkungan dan kandang ternak) dengan kejadian filariasis.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan program penanggulangan filariasis bagi pengelola program pencegahan filariasis di Kabupaten Pidie.

2. Memberikan informasi data ilmiah penelitian faktor resiko filariasis yang nantinya dapat disebarluaskan ke setiap puskesmas dalam Kabupaten Pidie.

3. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam menganalisa permasalahan filariasis khususnya hubungan dengan kesehatan lingkungan.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Filariasis

2.1.1. Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan scrotum dan menimbulkan cacat seumur hidup (Depkes RI, 2009).

2.1.2. Epidemiologi Filariasis

Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah daratan rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya W.brancrofti

yang telah ditemukan, seperti di kota Jakarta, tangerang, Pekalongan dan semarang dan mungkin di beberapa kota lainnya.

Di Idonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti disumatra dan sekitarnya, jawa, Kalimatan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian jaya. Masih banyak daerah yang belum diselidiki.

Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (100 mg/mingggu


(28)

selama 40 minggu). Survey prevalensi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cukup tinggi bervariasi dari 0,5%-19,46% (P2M & PLP, 1999). Prevalensi infeksi dapat berubah-ubah dari masa ke masa pada umumnya ada tedensi menurun dengan adanya kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoar, vector dan keadaan lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing (Depkes RI, 2009).

2.1.3. Hospes 2.1.3.1. Manusia

Manusia yang mengandung parasit selalu mendapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat. Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis

Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi (Sutanto dkk, 2009). Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila ditusuk oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinismaupun pengidap yang


(29)

tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Notoatmodjo,S,1997)

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat (Depkes RI,2006).

2.1.3.2. Hewan

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vector filariasia, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan (urba) ditularkan oleh Cx.quinquefasciatus yang yang tempat pperindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditukar oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian jaya W.bancrofti ditularka terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (footprint) untuk tempatperindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vector An.subpictus, An.punctulatus, Cx.annulirostris dian Ae.kochi, W.bancofti di daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti An.subpictus di daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan sebagai vector (Sutanto dkk, 2009).


(30)

B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimatan, Maluku dan lain-lain. B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tampat perindukanny, seperti di daerah Sulawesi. B.timori, spesies ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekaranghanya ditemukan didaerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodic nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus.). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia (Sutanto dkk, 2009).

Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari


(31)

kepompong. Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya (Depkes RI, 2007)

Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah : 1) Perilaku Nyamuk

a) Tempat hinggap atau istirahat

(1) Eksofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah.

(2) Endofilik, yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah.

b). Tempat menggigit

(1) Eksofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah. (2) Endofagik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah. c). Obyek yang digigit

(1) Antropofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit manusia. (2) Zoofilik, yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.

(3) Indiscriminate biters/indiscriminate feeders, yaitu nyamuk tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes.

2). Frekuensi Menggigit Manusia

Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.


(32)

3). Siklus Gonotrofik

yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk.

4). Faktor Lain yang Penting

Umur nyamuk (longevity), semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan. Periodisitas microfilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap risiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk veKtor dan umur nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu :

a. W. bancrofti (Cobbold 1877)

b. B. malayi (Lichtenstein 1927)

c. B. timori (Partono et al 1977)

Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi


(33)

mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia.

Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial (Depkes RI, 2009)

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. B. malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku.

B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor danSumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Ahmad WP, 2000).


(34)

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu ; 1. Wuchereria Bancrofti Tipe Perkotaan (Urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumahtangga.

2. Wuchereria Bancrofti Tipe Pedesaan (Rural)

Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex.

3. Brugia Malayi Tipe Periodik Nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan (DepkesRI, 2009)

4. Brugia Malayi Tipe Subperiodik Nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa.

5. Brugia Malayi Tipe non Periodik

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba.


(35)

6. Brugia Timori Tipe Periodik Nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe,sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar (Notoatmodjo,1997).

b. Mikrofilaria

Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor (Notoatmodjo,1997).


(36)

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 μm x 10-17 μm, dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300 μm x 15-30 μm, dengan ekor tumpul atau memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10 pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 μm x 20 μm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini merupakan cacing infektif.

Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia (Ma. uniformis, Ma. indiana, Ma. dives, Ma.bonneae, Ma. annulifera, Ma. annulata, Ma. dives, Ma. nigerimus), Anopheles (An. nigerimus, An. subpictus, An. barbirostris, An. aconitus, An. vagus, An.dives, An. maculatus, An. farauti, An. koliensis, An. punctulatus, An.bancrofti), Culex (Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. whitmorei,Cx.bitaeniorhynchus), Aedes (Ae. subaltabus) dan

Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W.bancrofti tipe pedesaan. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W.


(37)

bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor B. malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan An. barbirostris merupakan vector filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor B. malayi tipe sub periodik nokturna. An. barbirostris merupakan vektor penting terhadap B. timori yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Depkes RI,2006). Nematoda Jaringan

Diantara nematoda jaringan yang penting dalam Ilmu Kedokteran adalah

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, brugia timori, Loa loa dan Onchocerca volvulus.

Wuchereria Bancrofti Hospes dan Nama Penyakit

W.bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis brancofti atau wukereriasis bankrofti. Penyakit ini tergolong dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori. W.bancrofti tidak terdapat secara alami pada hewan.

Distribusi Geografik

Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia. Daur Hidup dan Morfologi

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. cacing betina mengeluarkan microfilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron x 7-8


(38)

mikron. Microfilaria hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodesitas. Pada umumnya, microfilaria

W.bancrofti bersifat periodesitas nokturna, artinya microfilaria hanya terdapat didalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru, jantung, ginjal dan sebagainya).

Di daerah Pasifik, microfilaria W.bancrofti mempunyai periodesitas subperiodik diurnal. Microfilaria terdapat didalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofialria bersifat subperiodik nokturna. Factor-faktor yang dapat mempengaruhi periodesitas microfilaria adalah kadar zat asam dan zat lemas di dalan darah, aktivitas hospes, “irama sirkadian”, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodesitas microfilaria tersebut belum diketahui.

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinque fasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu.

Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam

Presbytis cristata (lutung). Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan


(39)

disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini berbentuk kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang, disebut larvastadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III.

Gerak larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III (bentuk infektif) menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V atau cacing dewasa.

Patologi dan Gejala Klinis

Gejala klinis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa meimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruktif menahun 10 sampai 15 tahun kemudian.

Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga stadium tersebut tumpang tindih, tanpa ada batas yang nyata. Gejala klinis


(40)

filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan yang terdapat di daerah lain.

Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan saluran limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut

lymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangiektasia terjadi secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing dewasa yang mati menyebabkan reaksi inflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, luemne tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar daerah terkena.

Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd yang disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua minggu lamanya. Peradangan pada sistem limfatik alat kelamin laki-laki, seperti funikulitis, epidimitis dan orkitis sering dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-kadang terjadi


(41)

kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pada pembuluh limfe pada sistem ekskretori dan urinary.

Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukkan reaksi peradangan yang berat, walaupun mereka mengandung banyak microfilaria. Pada pemeriksaan dengan radionukleotida menunjukkan adanya gangguan drainase limfatik.

Diagnosis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan : 1. Diagnosis Parasitologi

1.1.Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00) mengingat periodisitas microfilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.

1.2.Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/ PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection.


(42)

2. Radiodiagnosis

2.1.Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filarial oleh W.bancrofti.

2.2.Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. 3. Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun microfilaria tidak ditemukan dalam darah.

Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.

Pada stadium obstruktif, microfilaria sering tidak ditemukan lagi di dalam darah. Kadang-kadang microfilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria (Sutanto, 2009).


(43)

2.1.3.3. Lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoar dan vector, merupakan hal yang sangat penting untuk epidemiologi filariasis. Jenis filariasis yang ada di suatu daerah endemic dapat diperkirakan dengan melihat keadan lingkungannya. Filariasis di daerah endemi dapat duduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan. Pencegahan filarasis, hanya dilakukan menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapat infeksidi perlukan gigitan nyamuk yang banyak sekali. Pengobatan masal dengan DEC dapat menurunkan angka filariasis dengan jelas (Sutanto dkk, 2009).

2.2. Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu : (Depkes RI, 2009). 1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung

mikrofilaria dalam darahnya.

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. 3. Manusia yang rentan terhadap filariasis.

Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang tusukan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.


(44)

Larva Brugia malayi dan brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wucheria bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Di samping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8-10 hari.

Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari. Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan terjadi siang dan malam hari. Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya penyebaran filariasis antar daerah.


(45)

2.3. Gejala Klinis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi oleh B. malayi dan B.timori. infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009)

2.3.1. Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan dapat pula terjadi abses. Abses dapat pecah yang kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan

B. timori dibandingkan dengan infeksi W. brancofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi W. brancofti sering terjadi peradangan buah pelir, peradangan epididimis dan peradangan funikulus spermatikus (Depkes RI, 2009)

2.3.2. Gejala Klinis Kronis a. Limfedema

Pada infeksi W. brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia,


(46)

terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku dan lutut masih normal (Depkes RI, 2009)

b. Lymph Scrotum

Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum, kadang kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, hal ini mempunyai risiko tinggi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum dapat kadang-kadang normal kadang-kadang membesar (Notoatmodjo S, 1997). c. Kiluria

Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. brancofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih (Depkes RI, 2009).

Gejala yang timbul adalah:

1) Air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan kadang-kadang disertai darah (haematuria).

2) Sukar kencing 3) Kelelahan tubuh


(47)

d. Hidrokel

Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah pelir, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut (Depkes RI, 2006).

1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi .

2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.

3) Akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu Chyle(Chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele). Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter Puskesmas yang sudah dilatih.

4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.

2.4. Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 stadium, menggambarkan akan tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita (Depkes RI, 2006).


(48)

Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan

penatalaksanaan kasus.

2.5. Patogenesis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009).


(49)

1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).

4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:

a) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri, yaitu :

1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe. 2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

3) Adeno limfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe. 4) Abses

5) Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.


(50)

b) Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya.

5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).

2.6. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah tepi, kiluria, eksudat,varises limpe dan cairan limpe dan cairan hidrokel,atau ditemukannya cacing dewasa pada biopsi kelenjar limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili antara 5-15% (Depkes RI, 2009).

2.7. Cara -Cara Pemberantasan 2.7.1. Cara Pencegahan

a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor nyamuk.


(51)

b. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia

sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.

c. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk. (Soedarto,1990). d. Melakukan pengobatan dengan menggunakan diethilcarbamazine citrate

(DEC, Banocide®, Hetrazan®, Notezine® ); Diberikan DEC 3x1tablet 100mg selama 10 hari berturut-turut dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama. Pengobatan ini ini terbukti lebih efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap tahun sekali menggunakan DEC dosis rendah (25-50 mg/kg BB) selama 5 tahun berturut-turut atau konsumsi garam yang diberi DEC


(52)

(02-0,4 mg/kg BB) selama 5 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis. Invermectin dan albendazole juga telah digunakan; saat ini pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif. Di daerah endemis filariasis dimana onchocerciasis tidak endemis WHO menyarankan dilakukan pengobatan massal menggunakan obat dosis tunggal sekali setahun selama 5-7 tahun yaitu kombinasi DEC 6 mg/kg BB dengan 400 mg albendazole, atau garam DEC dalam bentuk fortifikasi yang biasanya diberikan secara reguler selama 5 tahun. Di daerah endemis

onchocerciasis dianjurkan pemberian invermectin dengan albendazole (400 mg). Wanita hamil dan anak < 2 tahun, tidak boleh diberikan DEC +

albendazole. Anak yang tingginya < 90 cm dan ibu menyusui minggu pertama tidak boleh diberikan invermectin + albendazole. Di daerah endemis loiasis tidak dilakukan pengobatan massal, ditakutkan terjadi efek samping berat (Depkes RI,2009)

2.7.2. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya

a. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang; di daerah endemis tertentu di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, kelas 3 C. Laporan penderita disertai dengan informasi tentang ditemukannya mikrofilaria memberikan gambaran luasnya wilayah transmisi di suatu daerah.


(53)

b. Isolasi tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan mikrofilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi penularan.

c. Karantina tidak ada.

d. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi; dilakukan sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan masyarakat.

e. Pengobatan spesifik: pemberian diethilcarbamazine citrate (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine) dan Invermectin hasilnya membuat sebagian atau seluruh mikrofilaria hilang dari darah, namun tidak membunuh seluruh cacing dewasa. Mkrofilaria dalam jumlah sedikit hanya dapat dideteksi dengan teknik konsentrasi. DEC umumnya menimbulkan reaksi umum akut dalam 24 jam pertama dari pengobatan sebagai akibat dari degenerasi dan matinya mikrofilaria; reaksi ini biasanya diatasi dengan Parasetamol, anti histamine atau kortikosteroid. Limfadenitis dan limfangitis lokal mungkin juga terjadi karena matinya cacing dewasa. Antibiotik pada stadium awal infeksi dapat mencegah terjadinya gejala sisa pada sistem limfe yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Perawatan kulit untuk mencegah terjadinya lesi, latihan gerak, elevasi tungkai yang kena, kalau terjadi infeksi jamur atau bakteri, berikan salep anti jamur atau anti bakteri untuk mencegah terjadinya dermato-adenolimfangitis yang dapat berkembang menjadi limfoedema. Manajemen

limfoedema antara lain perawatan lokal tungkai yang terkena; dekompresi bedah. Tindakan bedah diperlukan pada hydrocele. (Depkes RI, 2009).


(54)

2.7.3. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama. Di daerah dengan tingkat endemisitas tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari nyamuk vektor, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang berperan dalam mendukung penularan di setiap daerah. Bahkan dengan upaya pengendalian vektor yang tidak lengkappun dengan menggunakan obat anti nyamuk masih dapat mengurangi insiden dan penyebaran penyakit. Hasil yang diperoleh sangat lambat karena masa inkubasi yang panjang.

2.8. Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis 2.8.1. Karakteristik Manusia

1). Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali. (Depkes RI, 2009).

2). Jenis Kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009)

3). Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis


(55)

biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan perubahan patologis dalam tubuhnya (Depkes RI, 2009).

4). Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009). 2.8.2. Sanitasi Rumah

Rumah Sehat adalah tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna, baik fisik, rohani maupun sosial.

Rumah disebut sehat apabila memenuhi syarat – syarat :

a. Kesehatan, suatu rumah disebut memenuhi syarat kesehatan apabila : Cukup hawa dan aliran udara segar, berarti mempunyai ventilasi yang cukup.

b. Kekuatan bangunan, 1). Rumah dengan struktur dan kontruksi bangunan yang cukup kuat sesuai dengan keadaan setempat. 2). Rumah yang menggunakan bahan yang cukup kuat, tidak mudah rapuh dan tidak khawatir dapat ambruk sewaktu – waktu.


(56)

c. Keterjangkauan Secara sosial ekonomis, terjangkau oleh pemilik atau penghuni, baikongkos / biaya sewa, membeli atau membangun.

2.8.2.1. Kriteria Rumah Sehat

Rumusan yang dikeluarkan oleh APHA (American Public Health Association) bahwa persyaratan rumah sehat :

a. Harus memenuhi kebutuhan – kebutuhan physiologis b. Harus memenuhi kebutuhan – kebutuhan psycologis c. Harus terhindar dari penyakit menular

d. Harus terhindar dari kecelakaan – kecelakaan.

Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

b. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis


(57)

sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

2.8.2.2. Syarat Rumah Sehat

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 (Depkes RI, 2002):

a. Lokasi,

- Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, gelombang tsunami, longsor, dan sebagainya.

- Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir sampah dan bekas lokasi pertambangan.

- Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan.

b. Sarana dan Prasarana Lingkungan:

- Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari kecelakaan.

- Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan vektor penyakit dan memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

- Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan sebagai berikut yaitu konstruksi jalan tidak membahayakan kesehatan, konstruksi trotoar jalan tidak membahayakan pejalan kaki dan penyandang cacat, bila ada


(58)

jembatan harus diberi pagar pengaman, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan.

- Tersedia sumber air bersih yang menghasilkan air secara cukup sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Pengelolaan pembuangan kotoran manusia dan limbah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Memiliki akses terhadap sarana pelayanan umum dan sosial seperti keamanan, kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan lain sebagainya.

- Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

- Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak terjadinya kontaminasi yang dapat menimbulkan keracunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Winslow dan APHA, pemukiman sehat dirumuskan sebagai suatu tempat untuk tinggal secara permanen, berfungsi sebagai tempat untuk bermukim, beristirahat, berekreasi (bersantai) dan sebagai tempat berlindung dari pengaruh


(59)

lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan bebas dari penularan penyakit. Penjelasannya adalah sbb:

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis , antara lain : - Pencahayaan.

1. Pencahayaan alam. Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.Cahaya matahari berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman-penyakit tertentu seperti TBC, influenza, penyakit mata dan lain-lain.Kebutuhan standar minimum cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai keperluan menurut WHO dimana salah satunya adalah untuk kamar keluarga dan tidur dalam rumah adalah 60 – 120 Lux.Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ketimur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10 – 20 % dari luas lantai.

2. Pencahayaan buatan. Pencahayaan buatan yang baik dan memenuhi standar dapat dipengaruhi oleh : 1). Cara pemasangan sumber cahaya pada dinding atau langit- langit. 2). Konstruksi sumber cahaya dalam ornamen yang dipergunakan. 3). Luas dan bentuk ruangan. 4) Penyebaran sinar dari sumber cahaya.


(60)

- Ventilasi (penghawaan), Ventilasi digunakan untuk pergantian udara, udara perlu diganti agar mendapat kesegaran badan selain itu agar kuman-kuman penyakit dalam udara antara lain bakteri dan virus dapat keluar dari ruangan. sehingga tidak menjadikan penyakit. Orang-orang yang batuk dan bersin-bersin mengeluarkan udara yang penuh dengan kuman-kuman penyakit (TBC, pneumonia,dll) yang dapat meninfecteer udara di sekelilingnya. Penyakit-penyakit menular yang penularannya dengan perantara udara, antara lain : TBC, bronchitis, pneumonia, dll.Hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 oC – 30oC sudah cukup segar. Untuk memperoleh kenyamanan udara seperti dimaksud diatas diperlukan adanya ventilasi yang baik.Membuat sistem ventilasi harus dipikirkan masak-masak, jangan sampai orang-orang yang ada di dalam rumah menjadi kedinginan dan sakit. Pembuatan lubang-lubang ventilasi dan jendela harus serasi dengan luas kamar dan sesuai dengan iklim ditempat itu. Didaerah yang berhawa dingin dan banyak angin, jangan membuat lubang-lubang ventilasi yang lebar. Cukup yang kecil-kecil saja. Tetapi di daerah yang berhawa panas dan tidak banyak angin, lubang ventilasi dapat dibuat agak lebih besar.Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat lainnya, diantaranya :


(61)

1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5 % dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5 %. Jumlah keduanya menjadi 10 % kali luas lantai ruangan. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3. Aliran udara diusahakan CROSS VENTILATION dengan

menempatkan lubang hawa berhadapan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya almari, dinding sekat dan lain-lain.

Unsur udara bebas pada umumnya terdiri : 1) Nitrogen (zat lemas) 78,8 %. 2.) Oksigen (zat asam) 20,7 %. 3.) Karbondioksida (Gas asam arang) 0,04 %. 4) Uap air 0,46 %.c.5.) Ozon (0.3%), Amoniak (NH3), Gas cair (H2) dan lain-lain. Unsur yang bermanfaat bagi kesehatan yaitu Oksigen (O2).

b. Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain :

- Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni (Kepadatan hunian). Kepadatan hunia di dalam rumah dapat menimbulkan efek negatif terhadap fisik, mental maupun moril bagi penghuninya. kepadatan memudahkan terjadinya penularan penyakit terutama melalui saluran pernafasan.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U,F., 2011, Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.

Anies, 2006, Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular, Jakarta: Elex Media Komputindo

_____, 2005, Mewaspadai Penyakit Lingkungan, berbagai gangguan kesehatan akibat pengaruh faktor lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia, Jakarta,

Azwar, A., 1996, Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Chin, J., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV. Infomedika, Edisi 17 Cetakan II, Editor : Kandun, I.N

Darmadi., 2002, Hubungan kondisi fisik rumah dan lingkungan sekitar serta praktik pencegahan dengan kejadian malaria di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Semarang: FKM Undip, Thesis.

Darmadi, I., 2007, Strategi Penanggulangan Penyakit Malaria Dengan Pendekatan Faktor Resiko di Daerah Endemis Kabupaten Aceh Utara. Medan: Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Thesis

Depkes RI., 2009, Epidemiologi Filariasis. Jakarta, Direktorat Jendral PP & PL. _____, 2009, Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Jakarta, Direktorat Jendral PP

& PL.

_____, 2009, Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Jakarta, Ditjen PP &PL.

_____, 2009, Modul Pemberantasan vektor. Jakarta: Dirjen PPM dan PL.

_____, 2009, Ekologi Dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta: Dit.Jen. PP & PL. Depkes RI.

_____, 2009, Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal PP&PL.


(2)

_____, 2009, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005 – 2025, Jakarta: Dirjen PP & PL.

_____, 2008, Pedoman penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Pengobatan Filariasis. Jakarta: Dirjen PP & PL.

_____, 2006, Epidemiologi Filariasis. Jakarta: Direktorat Jenderal PP&PL.

_____, 2002, Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI.

_____, 1992, Undang-undang R.I.Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta : Sekratariat Negara.

Dinkes Aceh, 2011, Profil kesehatan Aceh. Banda Aceh: Bidang P2P& PL. Dinkes Pidie, 2011, Laporan filariasis. Pidie: Bidang P2P&PL, seksi P2P.

Effendi N., 1998, Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.Edisi 2. Jakarta: EGC

_____, 2008, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Gunarta, Singgih dan Gunarta, Y.S.D., 2004, Psikologi Praktis : Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.

Handayani., 2008, Tempat Berkembang Biak Nyamuk Anopheles spp dan Istirahat Dalam Peningkatan Populasi di Rumah.

Ihsan, F., 2003, Dasar-Dasar Kependidikan Komponen MKDK. Rineka Cipta: Jakarta.

James C., 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17. Jakarta: CV. Infomedika.

Juriastuti P., Kartika M., Djaja I M., dan Susanna D., 2010, Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010: 31-36.


(3)

Kadarusman, 2003. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di desa talang Babat Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung Timur Propinsi Jambi. Jakarta: FKM-UI, Thesis.

Kemenkes RI, 2010, Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia, Jakarta: Subdit filariasis & schistomiasis Direktorat P2B2, Ditjen PP&PL.

_____, 2010, Buletin Filariasis Di Indonesia, Buletin Jendela Epidemiologi Vol I Juli 2010. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi.

Kemendiknas RI, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Seknek RI.

Morton, F. R., 2009, Panduan Studi Epidemiologi & Biostatistika, Edisi 5. Jakarta: EGC

Munir, M., 2007, Filariasis dan Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di Desa Bitahan Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin Propinsi Kalimantan Selatan, Yogyakarta: UGM, Program Pascasarjana Tesis.

Murti, B., 2003, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

_____, 1997, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nasir, A., Muhith, A,. dan Ideputri, M.E., 2011, Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis Untuk Mahasiswa Kesehatan, Buku Ajar : Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Nasrin., 2008, Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. Semarang: Universitas Diponegoro, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Tesis.

Nur, N, N., 2006, Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka Cipta. _____, 1997, Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Notoatmodjo, S., 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta: PT.


(4)

_____, 2003, Prinsip-prinsip Dasar, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta

_____, 1997, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Pratiknya, A., 2000, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Prihatna, A., 2007, Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Pada Ibu Hamil di Kelurahan Jati Karya dan Jati Sampurna, Kecamatan Jati Sampurna Kota Bekasi. Jakarta: FKM-UI, Thesis.

Pulungan, E, S., Santi, D, N., Chahaya, I., 2012, Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan Dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Filariasis Di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012. Rahayu, N., 2008, Faktor yang Berhubungan dengan Penularan Filariasis di

Puskesmas Lasung Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan. Yogyakarta: UGM, Tesis.

Reyke, U., Soeyoko dan Sumarni., 2008, Analisis Faktor-faktor Resiko Kejadian Filariasis, Berita Kedokteran Masyarakat Vol 24 No. 1 Edisi Maret 2008. Riduawan, M., 2010, Skala pengukuran variabel-variabel Penelitian. Bandung:

Cetakan ketujuh, Alfabeta.

Riftiana., Nola dan Soeyoko., 2010, Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan, Jurnal Kesehatan Masyarakat UAD Vol. 4 No. 1 Edisi September 2010.

Rufaidah., 2004, Hubungan Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Responden Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Bantar Gebang II Kota Bekasi tahun 2004. Jakarta: FKM-UI, Thesis.

Santoso, Inge,, 2009, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Parasitologi FK UI.

Santoso., 2007, Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis di Masyarakat (Analisis Lanjut Hasil Riskesdas 2007). Jakarta: Balitbangkes Depkes, Loka Litbang P2B2 Baturaja.


(5)

Sastroasmoro., Sudigdo dan Ismael, S., 1995, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara.

Siagian, Sondang P., 2009, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Soedarto., 1990, Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia. Jakarta: Widya medika Sri, Astuti, Puji., 2010, Faktor Resiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati

Sampurna, Makara, Kesehatan Vol 14 No. 1 Edisi Juni 2010: 31-36. Subari, Heru., 2004, Manajemen epidemiologi. Yogyakarta: Media presindo.

Sudjadi, FA., 1996, Filariasis di beberapa daerah endemik di Kalimantan Timur. Kajian infraspesifik brugia malayi penyebab penyakit dan beberapa segi epidemiologinya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Disertasi.Sunaryo, 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Sumarni, S., Soeyoko., 1998, Filariasis malayi di wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah. Berita Kedokteran Masyarakat 1998; XIV (3):143 –48.

Sunardi., 2006, Faktor Determinan yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Malam di Kecamatan Ampibobo Kabupaten Farigi Maotong Sulawesi Tengah. Jakarta: FKM-UI, Thesis.

Syachrial, Z., 2004, Populasi Nyamuk Dewasa Di Daerah Endemis Filariasis Studi Di Desa Empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Tahun 2004. Jurnal Kes. Lingkungan 2005; 2(1): 85-96.

Syuhada, Y., 2010, Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat Sebagai Faktor Resiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol II No. 1 Edisi April 2012.

Tarigan dan Ramli., 2008, Beberapa Faktor Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Penularan Filariasis Di Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi. Yogyakarta: UGM, Tesis.

Timreck, Thomas C., 2005, Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


(6)

Yatim, F., 2007, Macam-macam Penyakit menular dan Cara Pencegahannya Jilid 2. Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Zulfah., 2009, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadiaan Filariasis Di Wilayah Kerja Puskesmas Jembatan Mas Kabupaten Batang Hari Jambi. Medan: FKM-USU, Skripsi


Dokumen yang terkait

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Higiene Perorangan Dengan Kejadian penyakit Cacing Pita (Taenia Solium) Pada Siswa SD Negeri 173545 di Desa Tambunan Kecamatan Balige Tahun 2014

5 87 152

Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan Dan Perilaku Masyarakat Dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan Tahun 2012

1 56 140

Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Penyakit Filariasis di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2005

0 35 181

Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik Rumah Dan Wilayah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2009

1 37 101

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN RUMAH DAN Hubungan antara Lingkungan Rumah dan Sanitasi akanan dengan Keberadaan Tikus di Kabupaten Boyolali.

0 2 17

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN RUMAH DAN Hubungan antara Lingkungan Rumah dan Sanitasi akanan dengan Keberadaan Tikus di Kabupaten Boyolali.

0 2 20

PENDAHULUAN Hubungan antara Lingkungan Rumah dan Sanitasi akanan dengan Keberadaan Tikus di Kabupaten Boyolali.

0 2 4

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI DESA PULOSARI KEBAKKRAMAT KECAMATAN Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Pulosari Kebakkramat Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar.

0 1 13

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI INDONESIA Physical Environtment Faktor Relation with Filariasis in Indonesia

0 0 9

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN PERUMAHAN DAN PERILAKU MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KAMPUNG RAKYAT KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN TAHUN 2012

0 0 14