BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Seksual Pranikah - Pengaruh Teman Sebaya dan Sumber Informasi Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Siswa SMA Negeri 2 Medan Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seksual Pranikah

  Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis yang dilakukan sebelum menikah. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2011).

  Definisi lain mengatakan bahwa perilaku seksual ialah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita, atau sesama jenis kelamin yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri. Sedangkan perilaku seks pranikah merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu (Dianawati, 2006).

  Perilaku seksual sering ditanggapi sebagai hal yang berkonotasi negatif, padahal perilaku seksual ini sangat luas sifatnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Contohnya dari berdandan,

  

mejeng , mengerlingkan mata, merayu, menggoda, bersiul. Aktivitas seksual adalah

  kegiatan yang dilakukan dalam upaya memenuhi dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin atau seksual melalui berbagai perilaku. Contoh perilakunya adalah berfantasi, masturbasi, cium pipi, cium bibir, petting (menggesekkan alat kelamin), berhubungan intim, dan lain-lain (Kusmiran, 2011).

2.1.1 Pola Perilaku Seksual Pranikah

  Perkembangan perilaku seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Berdasarkan faktor- faktor tersebut maka aktivitas seksual remaja amat erat kaitannya dengan faktor- faktor tersebut. Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu sentuhan seksual, membangkitkan gairah seksual, seks oral, seks anal, masturbasi dan hubungan heteroseksual (Soetjiningsih, 2004).

1. Masturbasi

  Masturbasi (onani) merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan oleh para remaja. Dari laporan penelitian yang dilaporkan oleh SIECUS (Sex

  

Information and Education Council of the United States) menunjukkan bahwa

  remaja laki-laki pada umur 16 tahun yang melakukan masturbasi sebanyak 88% dan remaja perempuan sebanyak 62%. Frekuensinya makin meningkat sampai pada masa sesudah pubertas. Mereka mempunyai daya tarik seksual terhadap lawan jenis yang sebaya. Masturbasi ini dilakukan sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga melakukan masturbasi secara mutual dengan pacarnya.

2. Percumbuan, seks oral dan seks anal

  Pola perilaku seksual ini tidak saja dilakukan oleh pasangan suami istri, tetapi juga telah dilakukan oleh sebagian dari remaja. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1995 terhadap remaja yang berumur antara 15-19 tahun di Amerika Serikat menunjukkan hasil sebagai berikut : a.

  55% remaja telah melakukan hubungan seksual. 53% remaja telah mengalami masturbasi yang dilakukan oleh perempuan baik remaja maupun perempuan dewasa.

  c.

  49% remaja mengalami seks oral d. 39% remaja melakukan seks oral e. 11% remaja sering mengalami seks anal 3. Hubungan seksual

  Pada masa remaja ternyata tidak sedikit para remaja yang melakukan hubungan seksual. Di Amerika Serikat, hubungan seksual yang dilakukan oleh para remaja ternyata mengalami peningkatan sekitar 1% per tahunnya. Empat puluh persen dari remaja perempuan hamil sebelum tamat sekolah menengah, 50% diantaranya melakukan aborsi dan sisanya melahirkan bayinya. Dampak lain yang perlu diwaspadai ialah bahaya penularan penyakit kelamin terutama HIV/AIDS yang sudah menyebar ke seluruh dunia.

  Sebagian besar studi menemukan bahwa jumlah remaja laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan secara seksual aktif, lebih banyak dibandingkan jumlah remaja perempuan (Feldman, Turner, & Araujo, 1999; Hayes, 1987). Dibandingkan para remaja perempuan, para remaja laki-laki juga cenderung menyatakan hubungan seksual mereka sebagai pengalaman yang menyenangkan. Para remaja Afrika Amerika cenderung memiliki jadwal yang ketat untuk perilaku seksualnya dibandingkan kelompok lain, sementara itu remaja Asia Amerika cenderung memiliki jadwal yang lebih ketat (Santrock, 2007).

  2002-2003 menunjukkan bahwa umumnya remaja laki-laki lebih menyetujui dan menerima hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan remaja perempuan.

  Enam dari 10 remaja laki-laki menyatakan bahwa hubungan seksual pranikah dapat diterima jika dilakukan atas dasar suka sama suka, keduanya saling mencintai, atau keduanya merencanakan untuk menikah. Yang lebih mengkhawatirkan adalah untuk semua alasan yang diberikan dalam survei, remaja laki-laki lebih muda (15-19 tahun) lebih menyetujui hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan remaja laki-laki usia lebih tua (20-24 tahun). Dalam hal keperawanan, hampir semua laki-laki dan perempuan (masing-masing 98%) menyatakan penting bagi seorang perempuan untuk mempertahankan keperawanannya (Pinem, 2009).

  L’Engle et.al. (2005 dalam Tjiptaningrum, 2009) mengatakan bahwa perilaku seksual ringan mencakup: 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal, 4) berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening, pipi), 6) saling memeluk, sedangkan yang termasuk kategori berat adalah: 1) Berciuman bibir/mulut dan lidah

  2) meraba atau mencium bagian-bagian sensitif seperti payudara, alat kelamin; 3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual (senggama).

2.1.2 Dampak Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja

  Menurut Sarwono (2011), perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja sebagai berikut :

  1. Dampak fisik yaitu terjadinya kehamilan pada saat reproduksi belum siap, berkembangnya penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS.

  2. Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.

  3. Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut yaitu dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi.

  4. Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual pranikah antara lain dikucilkan, putus sekolah, perubahan peran menjadi ibu, tekanan masyarakat yang menolak dan mencela.

2.2 Remaja

  Istilah asing yang sering digunakan untuk menunjukkan masa remaja menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) antara lain: (A) puberteit, puberty dan (b) adolescence.

  Istilah puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, pubertas yang berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian.

  Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada daerah

  kemaluan (genital), maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan. Lebih lanjut Santrock (1998) mendefenisikan pubertas sebagai masa pertumbuhan tulang-tulang dan kematangan seksual yang terjadi pada masa awal remaja (Dariyo, 2004).

  Menurut Pieter dan Lubis (2010) kata remaja berasal dari bahasa Latin

  

adolescentia yang berarti remaja yang mengalami kematangan fisik, emosi, mental

  dan sosial. Piaget dalam Hurlock (2003) mengatakan bahwa masa remaja ialah masa bawah tingkatan orang dewasa akan tetapi sudah dalam tingkatan yang sama.

  Dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis, Santrock (2007) mendefe- nisikan masa remaja (Adolescence) sebagai periode transisi perkembangan anak masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

  Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Sebetulnya, masa depan dari seluruh budaya tergantung pada seberapa efektifnya pengasuhan itu (Larson dkk, 2002 dalam Santrock, 2007). Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Bagian dari masa kanak- kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Jahja, 2011).

2.2.1 Tahapan Perkembangan Masa Remaja

  Suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian, masa remaja awal: umur 12-15 tahun, masa remaja pertengahan: 15-18 tahun, dan masa remaja akhir: 18-21 tahun (Monks, 2006).

  The Health Resources and Service Administrations Guidelines Amerika remaja awal (11-14 tahun) remaja menengah (15-17 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) (Kusmiran, 2011).

  Pinem (2009) juga membagi perkembangan masa remaja menjadi tiga tahap dalam rentang usia 10-19 tahun yaitu:

  1. Masa remaja awal; (10-12 tahun) dengan ciri khas antara lain: ingin bebas, lebih dekat dengan teman sebaya, mulai berpikir abstrak dan lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya.

  2. Masa remaja tengah (13-15 tahun) dengan ciri khas antara lain: mencari identitas diri, timbul keinginan untuk berkencan, berkhayal tentang aktivitas seksual, mempunyai rasa cinta yang mendalam.

  3. Masa remaja akhir (16-19 tahun) dengan ciri khas antara lain: mampu berpikir abstrak, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, pengungkapan kebebasan diri.

2.2.2 Ciri Umum Masa Remaja

  Menurut Pieter dan Lubis (2010), ciri umum pada masa remaja adalah sebagai berikut :

  1. Sebagai periode peralihan Peralihan berarti terputus atau berubah dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. Peralihan adalah proses perkembangan dari satu tahap ke tahap masa akan datang. Osterrieth (1982) dalam Pieter dan Lubis (2010) mengatakan bahwa struktur psikis dari remaja ialah kelanjutan dari perkembangan masa pubertas.

  2. Periode mencari identitas diri Pada masa ini, remaja tidak puas lagi untuk sama dengan teman-temannya.

  Remaja selalu mencari identitas diri guna menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya, apakah dia masih kanak-kanak atau telah menjadi orang dewasa, apakah siap menjadi suami atau istri, apakah percaya diri dengan latar belakang berbeda. Persepsi identitas diri remaja berkembang secara perlahan melalui pengulangan identifikasi saat masa kanak-kanak. Nilai dan standar moral orang tua akan dikombinasi dengan nilai dan standar moral menjadi nilai dan standar baru.

  Mencari identitas diri dan mengangkat harga diri akan mengarahkan remaja untuk memakai simbol status harga diri, seperti mobil, pakaian, atau bentuk harta benda lainnya. Kondisi ini tentu akan membantu remaja menjadi pusat perhatian dan sekaligus mempertahankan hubungan sosial. Manakala pandangan orang tua berbeda dengan pandangan teman-teman sebaya atau figur tokoh ideal, memungkinkan timbulnya konflik. Konflik bisa membuat bingung peran (role

  confusion) . Namun biasanya remaja akan mencoba mereduksi konflik peran

  secara bergantian, terutama jika mereka menghadapi kesulitan. Remaja akan mensintesiskan ke dalam berbagai peran dan membentuk satu identitas diri yang membuat remaja selalu bereksperimen dalam menjalankan peran sesuai waktu dan situasi.

2.2.3 Proses Perubahan pada Masa Remaja

  Pada masa remaja perubahan-perubahan besar terjadi dalam kedua aspek tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa ciri umum yang menonjol pada masa remaja adalah berlangsungnya perubahan itu sendiri, yang dalam interaksinya dengan lingkungan sosial membawa berbagai dampak pada perilaku remaja. Secara ringkas, Lerner dan Hultsch (1983) dalam Agustiani (2006), proses perubahan tersebut dan interaksi antara beberapa aspek yang berubah selama masa remaja bisa diuraikan seperti berikut ini: 1.

  Perubahan fisik Rangkaian perubahan yang paling jelas yang nampak dialami oleh remaja adalah perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada awal masa remaja yaitu sekitar umur 11-5 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda, dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru, dia sendiri

2. Perubahan emosionalitas

  Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal adalah perubahan dalam aspek emosional pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah remaja. Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan- dorongan dan perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasannya untuk secara kognitif mengolah perubahan- perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktuasi emosinya. Dikombinasikan dengan pengaruh-pengaruh sosial yang juga senantiasa berubah, seperti tekanan dari teman sebaya, media massa, dan minat pada jenis seks lain, remaja menjadi lebih terorientasi secara seksual. Ini semua menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas perilakunya.

3. Perubahan kognitif

  Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan emosional makin dirumitkan oleh fakta bahwa individu juga sedang mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan berpikir ini diungkapkan oleh Piaget (1972) sebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis dan abstrak dari realitas. Kemampuan-kemampuan berpikir yang baru ini memungkinkan individu untuk berpikir secara abstrak, dan hipotetis yang pada gilirannya kemudian memberikan peluang bagi individu untuk mengimajinasikan kemungkinan lain untuk segala hal.

2.2.4 Fase Perkembangan Perilaku Seksual Remaja

  Menurut Soetjiningsih (2004), perkembangan fisik termasuk organ seksual serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Perkembangan seksual tersebut sesuai dengan beberapa fase mulai praremaja, remaja awal, remaja menengah, sampai pada remaja akhir.

1. Pra remaja

  Masa praremaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang sesungguhnya. Pada masa praremaja ada beberapa indikator yang telah ditentukan untuk menentukan identitas jender laki-laki atau perempuan. Beberapa indikator tersebut ialah indikator biologis yang berdasarkan jenis kromosom, bentuk gonad dan kadar hormon. Ciri-ciri perkembangan seksual pada masa ini antara lain perkembangan fisik yang masih tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Pada masa praremaja ini mereka sudah mulai senang mencari tahu informasi tentang seks dan mitos seks baik dari teman sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya. Penampilan fisik dan mental secara seksual tidak banyak memberikan kesan yang 2.

  Remaja awal Merupakan tahap awal (permulaan), remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu fisik sudah mulai matang dan berkembang. Pada masa ini mereka sudah mulai mencoba melakukan onani (masturbasi) karena telah seringkali terangsang secara seksual akibat pematangan yang dialami.

  Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testosterone pada laki-laki dan estrogen pada remaja perempuan. Sebagian dari mereka amat menikmati apa yang mereka rasakan, tetapi ternyata sebagian dari mereka justru selama atau sesudah merasakan kenikmatan tersebut kemudian merasa kecewa dan merasa berdosa.

3. Remaja menengah

  Pada masa remaja menengah, para remaja sudah mengalami pematangan fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah mengalami haid. Pada masa ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik. Namun demikian, perilaku seksual mereka masih secara alamiah. Mereka tidak jarang melakukan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang mereka mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual. Sebagian besar dari mereka mempunyai sikap yang tidak mau bertanggungjawab terhadap perilaku seksual yang mereka lakukan.

  Remaja akhir Pada masa remaja akhir, remaja sudah mengalami perkembangan fisik secara penuh, sudah seperti orang dewasa. Mereka telah mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan mereka sudah mulai mengembangkannya dalam bentuk pacaran.

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Seksual Pranikah

  Menurut Soetjiningsih (2004), hubungan seksual yang pertama dialami oleh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu :

  1. Waktu/saat mengalami pubertas. Saat itu mereka tidak pernah memahami tentang apa yang akan dialaminya.

  2. Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar.

  3. Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontrol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

  4. Hubungan antar mereka makin romantis.

  5. Kondisi keluarga yang tidak memungkinkan untuk mendidik anak-anak untuk memasuki masa remaja dengan baik.

  6. Kurangnya kontrol dari orang tua. Orang tua terlalu sibuk sehingga perhatian terhadap anak kurang baik.

  7. Status ekonomi. Mereka yang hidup dengan fasilitas berkecukupan akan mudah melakukan pesiar ke tempat-tempat rawan yang memungkinkan adanya lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan, mereka mencari kesempatan untuk memanfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

  8. Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat-tempat sepi.

  9. Tekanan dari teman sebaya. Kelompok sebaya kadang-kadang saling ingin menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya, misal mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sudah mampu membujuk seorang perempuan untuk melayani kepuasan seksualnya.

  10. Pengaruh media massa yang menampilkan perilaku seks bebas. Informasi seksual dari media cetak seperti gambar dan cerita menjurus porno di majalah, koran.

  Sedangkan informasi pornografi media elektronik seperti menonton film porno, melihat gambar porno, dan cerita-cerita porno di internet, menonton film di VCD/ DVD, melalui hand phone.

  11. Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol. Peningkatan penggunaan obat terlarang dan alkohol makin lama makin meningkat.

  12. Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

  13. Mereka merasa sudah saatnya untuk melakukan aktivitas seksual sebab sudah merasa matang secara fisik.

  14. Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

  15. Penerimaan aktivitas seksual pacarnya.

  Sekedar menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.

  17. Terjadi peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon reproduksi/seksual.

  Dari faktor-faktor yang memengaruhi remaja melakukan perilaku seksual pranikah di atas, terdapat pengaruh teman sebaya dan media massa sebagai sumber informasi seksual. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa adanya pengaruh variabel teman sebaya dan sumber informasi seksual terhadap perilaku seksual pranikah.

  Penelitian Suharsa (2006) meneliti interaksi teman sebaya dengan perilaku seksual siswa SMA di Kabupaten Pandeglang menunjukkan bahwa responden yang aktif berinteraksi dengan teman sebaya berpeluang melakukan perilaku seksual pranikah 7 kali lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak aktif berinteraksi dengan teman sebayanya.

  Penelitian Nursal (2008) mendapatkan hasil bahwa responden yang terpapar media elektronik mempunyai peluang 3,06 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan dengan responden yang tidak terpapar dengan media elektronik, sedangkan responden yang terpapar media cetak mempunyai peluang 4,44 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibanding tidak terpapar dengan media cetak.

2.4 Pengaruh Teman Sebaya terhadap Perilaku Seksual Pranikah

  Teman sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira- kira sama. Dalam pembentukan kelompok teman sebaya selain diperhatikan persamaan usia, para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya, seperti hobi, status sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah, tempat tinggal, agama dan juga ras (Ghozaly, 2011).

  Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja.

  Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan teman sebaya begitu kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya (Soetjiningsih, 2004).

  Horrocks dan Benimoff dalam Hurlock (2003) menjelaskan bahwa kelompok sebaya merupakan dunia nyata kawula muda, yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji diri sendiri dan orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, di sinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak dapat memaksakan sanksi- sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindari. Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat remaja melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman sebayanya. Jadi, dalam kelompok sebaya ini remaja memperoleh dunia yang memungkinkannya bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya.

  Dalam kelompok sebaya (peer group), individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti di bidang usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok itu. Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun di antara anggota kelompok merasakan adanya tanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam kelompok sebaya, individu merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosialnya sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dalam teman sebaya pengaruh pola hubungan, konformitas, kepemimpinan kelompok, adaptasi sangat besar terhadap remaja (Santosa, 2009).

  Menurut Santosa (2009), timbulnya latar belakang kelompok sebaya, adalah sebagai berikut :

  1. Adanya perkembangan proses sosialisasi Pada usia remaja (usia anak SMP dan SMA), individu mengalami proses sosialisasi. Ketika sedang belajar mereka memperoleh kemantapan sosial untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Dengan demikian, individu mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok. Kebutuhan untuk menerima penghargaan

  Secara psikologis, individu butuh penghargaan dari orang lain agar mendapat kepuasan dari apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu, individu bergabung dengan teman sebayanya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama yaitu ingin dihargai. Dengan demikian, individu merasakan kebersamaan atau kekompakan dalam kelompok teman sebayanya.

  3. Perlu perhatian dari orang lain Individu perlu perhatian dari orang lain terutama yang merasa senasib dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebayanya, ketika individu merasa sama dengan lainnya, mereka tidak merasakan adanya perbedaan status seperti jika mereka bergabung dengan dunia orang dewasa.

  4. Ingin menemukan dunianya Di dalam kelompok sebaya ini dapat menemukan dunianya yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Mereka mempunyai persamaan pembicaraan di segala bidang, misalnya tentang hobby dan hal-hal yang menarik lainnya bagi mereka pada masa remaja.

  Dalam kelompok teman sebaya terjadi interaksi yang saling memengaruhi meliputi pola hubungan, konformitas, kepemimpinan kelompok, dan adaptasi.

2.4.1 Pola Hubungan

  Interaksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan persahabatan dan hubungan dengan sebaya. Pola persahabatan pada anak sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interest dan aktivitas bersama. Pola hubungan persahabatan dan pengertian, saling membantu, saling percaya, dan saling menghargai dan menerima (Monks, 2006). Menurut Lai Gaipa (1979) dalam Monks (2006) ketiga sifat berikut ini merupakan inti persahabatan yaitu : (1) loyalitas (jujur dan setia), (b) rasa simpati (tidak ada distansi), dan (3) tulus (tidak ada rasa segan, malu atau kompetisi). Sifat inti persahabatan ini ditemukan pada masa remaja, namun juga sudah nampak pada masa kanak-kanak.

  Persahabatan merupakan hubungan antar individu yang ditandai dengan keakraban, saling percaya, menerima satu dengan yang lain, mau berbagi perasaan, pemikiran dan pengalaman, serta kadang-kadang melakukan aktivitas bersama. Dengan persahabatan, seorang remaja memperoleh teman untuk bergaul, sehingga akan dapat mengembangkan keterampilan sosial, konsep diri, harga diri, dan akan memperoleh dukungan emosional bila menghadapi suatu masalah (Dariyo, 2004).

  Antara teman dan sahabat memiliki perbedaan, walaupun keduanya merupakan orang lain yang berhubungan dengan seorang individu. Seorang teman, biasanya tidak memiliki hubungan emosional yang dekat, dibandingkan dengan seorang sahabat. Akan tetapi hubungan antar individu yang ditandai dengan kepentingan sepihak saja, tidak akan bertahan lama, dan segera mengalami disintegrasi misalnya sikap egois, yakni seseorang akan berteman orang lain, jika orang itu dianggap dapat memberi keuntungan terhadap dirinya. Sementara itu, seorang sahabat yang sejati akan memiliki kedekatan secara emosional (emotional sahabat akan mau menjadi tempat pencurahan perasaan baik suka maupun duka dari sahabatnya, demikian pula sebaliknya. Hubungan akrab tersebut, bukan sekedar basa- basi yang nampak dari sisi luar saja, tetapi keakraban tersebut merupakan cerminan dari sifat ketulusan (kemurnian) hati yang paling dalam (Dariyo, 2004).

  Remaja sebagai kelompok cenderung lebih “memilih-milih” dalam mencari rekan atau teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja dengan latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, ia cenderung tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan oleh anak yang lebih besar (Hurlock, 2003).

2.4.2 Konformitas

  Menurut Kiesler dan Kiesler (1969) dalam Rakhmat (2008), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang real atau yang dibayangkan. Individu mengikuti kelompok karena menganggap kelompok sebagai petunjuk untuk memilih alternatif. Pengaruh sosial normatif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti jejaka yang menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat calon mertuanya, pelamar kerja yang mengangguk-angguk di depan calon majikan, mahasiswa yang mengiyakan pendapat dosennya, adalah contoh-contoh pengaruh sosial normatif.

  Dalam tiap kelompok sebaya, kecenderungan kohesi bertambah dengan berkembanglah suatu iklim kelompok dan norma-norma kelompok tertentu.

  Pemberian norma tingkah laku oleh kelompok sebaya (peers group). Norma kelompok dapat berbeda sekali dengan norma yang dibawa remaja dari keluarga yang sudah lebih dihayatinya karena sudah sejak kecil diajarkan oleh orang tua. Bila norma kelompok lebih baik dari norma keluarga, maka hal tersebut tidak memberikan masalah apapun, asalkan remaja betul-betul meyakini norma kelompok yang dianutnya. Tetapi justru adanya paksaan dari norma kelompok, menyulitkan bahkan tidak memungkinkan dicapainya keyakinan diri. Sifat “kolektif”nya akan menguasai tingkah laku individu. Kecenderungan untuk membatasi rasionalitas dan berpikir rasional ini tidak membantu perkembangan kepribadian yang sebenarnya. Sementara orang menilai konformitas kelompok ini positif sebagai upaya menentukan identitas diri (Monks, 2006).

  Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal. Remaja yang kontrol eksternalnya lebih tinggi akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok.

  Lefcourt (1966) dalam Monks (2006) menemukan bahwa remaja yang berasal dari kelas sosial lebih rendah mempunyai kecenderungan yang lebih banyak untuk melakukan konformitas dengan kelompoknya. Bila kelompok tersebut dirasa menguntungkan maka remaja akan berbuat sesuai dengan tuntutan kelompoknya, juga bila tuntutan tadi bertentangan dengan norma-norma yang baik. Di samping itu perlu disadari bahwa moral dari kelas sosial yang lebih tinggi bukan merupakan moral kelas sosial yang lebih rendah.

  Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, dan bermain dengan teman. Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sangat besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya.

  Kelompok teman sebaya diakui dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Conger (1991) dan Papalia dan Olds (2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik, film apa yang bagus, dan seks (Jahja, 2011).

  Besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan sosial remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut sebagai

  

crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar

  biasanya terdiri dari beberapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka clique mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Di dalam pembentukan kelompok juga akan diikuti juga dengan adanya perilaku konformitas kelompok, dimana remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya (Soetjiningsih, 2004).

  Rakhmat (2008) mengatakan bahwa konformitas merupakan produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Sampai tingkat tertentu, makin besar ukurannya, makin tinggi tingkat konformitasnya.

2.4.3 Kepemimpinan Kelompok

  Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif memengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Seorang pemimpin ditunjuk atau muncul setelah proses komunikasi kelompok. Apa pun yang terjadi, kepemimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan kelompok. Klasifikasi gaya kepemimpinan yang klasik dilakukan oleh White dan Lippit (1960) yaitu gaya kepemimpinan otoriter, demokratis, dan laisez faire. Kepemimpinan otoriter ditandai dengan keputusan dan kebijakan yang seluruhnya ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan demokratis menampilkan pemimpin yang mendorong dan membantu anggota kelompok untuk membicarakan dan memutuskan semua kebijakan.

  Kepemimpinan laissez faire memberikan kebebasan penuh bagi kelompok untuk mengambil keputusan individual dengan partisipasi pemimpin yang minimal (Rakhmat, 2008).

  Dari tiga kepemimpinan tersebut, kepemimpinan otoriter menimbulkan ketergantungan dan kurang kemandirian anggota kelompok, di samping adanya kekecewaan yang tersembunyi. Kepemimpinan demokratis terbukti paling efisien, dan menghasilkan kuantitas kerja yang lebih tinggi daripada kepemimpinan otoriter.

  Di dalamnya terdapat lebih banyak kemandirian dan persahabatan. Pemimpin laissez

  

faire hanya memiliki kelebihan dalam menyampaikan informasi saja (Rakhmat,

2008).

2.4.4 Adaptasi Teman sebaya dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja.

  Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula (Santrock 2003). Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan. Sebaliknya secara positif, menurut Vembriarto dalam Bantarti (2000) kelompok teman sebaya adalah tempat terjadinya proses belajar sosial atau adaptasi, yakni suatu proses dimana individu mengadopsi dan beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan, keyakinan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat, dan mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman- teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman- teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila populer, maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri (Hurlock, 2003).

  Remaja merasakan bahwa membahas soal seks, kesehatan reproduksi remaja, perilaku seksual, lebih terbuka dan lebih senang bila dilakukan dengan teman sebaya sendiri (peer group) dari pada dengan orang tua. Pada umumnya remaja sangat menghargai pertemanan. Jalinan komunikasi antar teman sebaya lebih baik dan lebih terbuka. Banyak remaja merasa enggan untuk menyampaikan masalah dan mencari jawaban dari orang tuanya sementara banyak juga orang tua yang tidak mempunyai pengetahuan dan merasa risih untuk membicarakan mengenai perkembangan biologis, psikologis dengan anak remajanya (Pinem, 2009).

  Kedekatan dengan teman sebaya pada masa remaja sangat tinggi, karena selain ikatan teman sepermainan menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi. Maka tidak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan perilaku teman sebaya dan mengadopsi informasi yang diterima dari teman-temannya. Informasi dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tidak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk menjawab pertanyaan itu mereka sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima sehingga remaja cenderung melakukan dan mengalami seks pranikah itu sendiri (Juliastuti, 2009).

2.5 Pengaruh Sumber Informasi terhadap Perilaku Seksual Pranikah

  Media massa sebagai sumber informasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual pranikah. Media baik elektronik maupun media cetak banyak disorot sebagai salah satu penyebab utama menurunnya moral umat manusia termasuk remaja. Berbagai tayangan yang sangat menonjolkan aspek pornografi, yaitu gambar dan foto-foto dengan pakaian minim di sampul depan majalah, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks di koran atau majalah, adegan persetubuhan yang dapat diakses dengan mudah di internet, Video Compact Disk (VCD), bioskop, dan lain-lain merangsang remaja untuk melakukan adegan seperti yang dilihat, dibaca, ataupun ditontonnya tersebut. Pada saat ini, media massa baik media cetak maupun media elektronik banyak menampilkan seksualitas secara vulgar yang dapat merangsang birahi terutama remaja (Juliastuti, 2009).

2.5.1 Media Cetak

  Media cetak merupakan media komunikasi pertama yang dikenal manusia sebagai media yang memenuhi ciri-ciri komunikasi arah (satu arah, lembaga, umum, serempak). Media cetak berbentuk surat kabar, tabloid, majalah, bulletin. Pengertian media cetak menurut Rhenald Kasali (1992) dalam Febrian (2011) media cetak adalah suatu media yang statis dan mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini halaman hitam putih. Media cetak adalah suatu dokumen atas segala hal yang dikatakan orang lain atau peristiwa yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-kata, gambar, foto, dan sebagainya.

  Ciri-ciri media cetak yaitu daya tampungnya tinggi (memiliki peluang untuk menambah halaman), daya dokumentasinya tinggi (sangat mudah disimpan atau diperbanyak), jaringan distribusinya terbatas (karena sifatnya yang literer). Menurut Dominick (2001) dalam Febrian (2011), media cetak memiliki kelebihan sekaligus kekurangan yaitu: pertama, kelebihan media cetak yaitu pada kedalaman analisisnya yang lebih panjang dan tajam, kekurangannya dimensi “ruang” (space) lebih menentukan cara penyampaian berita. Kedua, media cetak memiliki kekayaan dalam memberi informasi kepada khalayak yang lebih banyak dan mudah diingat, media cetak lebih permanen, dalam pengertian membacanya bisa diulang-ulang, dan bisa dibaca kapan saja. Ketiga, kekurangan media cetak terletak antara hubungan wartawan dengan pembaca sangat berjarak, umumnya wartawan bersifat anonim. Keempat, proses penyajian berita pada media cetak lebih sederhana, yang menentukan wartawan sendiri dan redakturnya.

  Meningkatnya minat seksual membuat remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang memperoleh informasi tentang seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu, mereka selalu terdorong untuk mencari informasi seks melalui higienis seks, media cetak seperti majalah dan koran mengadakan eksperimen seksual, masturbasi, bercumbu, atau melakukan senggama. Minat utama seks remaja yaitu pada hubungan seks, konteks, dan perilaku seksual (Pieter dan Lubis, 2010).

  Sarwono (2011) mengutip penelitian yang menghubungkan perilaku seksual dengan kadar informasi remaja tentang seks di Hongkong pada tahun 1981 terhadap 3.917 pelajar mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka memperoleh pengetahuannya terutama dari media cetak seperti surat kabar, majalah atau ceramah-ceramah tentang seks. Hanya 11% yang menyatakan bahwa mereka bisa bertanya kepada orang tuanya.

2.5.2 Media Elektronik

  Media elektronik adalah media yang menggunakan elektronik atau energi elektromekanis bagi pengguna akhir untuk mengakses isinya. Istilah ini merupakan kontras dari media statis (terutama media cetak), yang meskipun sering dihasilkan secara elektronis tapi tidak membutuhkan elektronik untuk diakses oleh pengguna akhir. Sumber media elektronik yang familier bagi pengguna umum antara lain adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia. Media elektronik dapat berbentuk analog maupun digital walaupun media baru pada umumnya berbentuk digital. Contoh media elektronik yaitu televisi, radio, HP, VCD/DVD, internet (Febrian, 2011).

  Ciri-ciri media elektronik yaitu: menggunakan media massa dengan organisasi (lembaga media) yang jelas, komunikator memiliki keahlian tertentu, pesan searah heterogen dan anonim, kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan, ada pengaruh yang dikehendaki, dalam konteks sosial terjadi saling memengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya, seperti halnya media yang dapat memengaruhi remaja terutama dalam perilaku seksualnya (Febrian, 2011).

  Rasa ingin tahu dari remaja terutama dalam hal seks kurang disertai dengan pertimbangan rasional dan pengetahuan yang cukup tentang akibat yang didapat dari perbuatan yang dilakukannya. Selain itu rasa ingin tahu dianggap sebagai manusia dewasa, kaburnya nilai-nilai yang dianut, kurangnya kontrol dari pihak yang lebih tua berkembangnya naluri seks akibat berkembangnya alat-alat kelamin sekunder, kurangnya informasi seks menyebabkan para remaja sering mengambil keputusan- keputusan yang kurang tepat. Hal ini pulalah yang mendorong remaja melakukan hal- hal yang tidak seharusnya dilakukan pada masa remaja (Asfriyati, 2005).

  Menurut Goleman (2006) ketika teknologi atau media menawarkan komunikasi, sesungguhnya itu adalah sebuah isolasi karena manusia akan terkungkung dalam suatu autisme sosial. Media dapat memungkinkan jutaan orang mendengarkan cerita lucu yang sama, namun mereka tetap kesepian. Media seperti internet dan televisi akan memunculkan pola baru dalam hubungan antar manusia, yaitu cara manusia membina hubungan dan memutuskan hubungan (Ghozaly, 2011).

  Calzo dan Suzuki (2004) menyebutkan bahwa media elektronik sering digunakan oleh remaja sebagai sumber informasi dan sebagai media komunikasi dengan teman sebayanya. Kenneavy et.al. (2006) menyebutkan bahwa pada usia informasi mengenai seks dan aturan orang dewasa. Media elektronik merupakan sumber pencarian informasi yang paling banyak digunakan oleh remaja karena media masa sangat mudah diakses dan pesan yang disampaikan oleh media elektronik juga sangat efektif dan atraktif. Selain memberikan informasi mengenai seks secara bebas, media elektronik juga memberikan contoh perilaku kekerasan bagi remaja (Ghozaly, 2011).

  Banyak sekali informasi melalui media massa seperti media elektronik yang ditayangkan secara gencar, vulgar (seronok), dan bersifat tidak mendidik tetapi lebih cenderung memengaruhi dan mendorong perilaku seksual yang tidak bertanggungjawab. Keterpaparan remaja terhadap pornografi dalam bentuk film porno semakin meningkat. Konsultasi seks yang diberikan melalui media elektronik yang disebut sebagai pendidikan sekolah, penayangan film tertentu di televisi dapat menyebabkan salah persepsi/pemahaman yang kurang tepat terhadap kesehatan reproduksi. Di sisi lain penerangan melalui media bersifat audio visual sangat terbatas dan kalaupun ada bentuknya kurang menarik remaja (Pinem, 2009).

  Media elektronik dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian dan meningkatkan kesadaran berbagai pihak terhadap berbagai perkembangan situasi (positif dan negatif) yang terjadi dewasa ini. Video porno selalu menjadi penyebab dari sebagian besar tindak kekerasan pemerkosaan dan pelecehan seksual. Video game juga merupakan media yang sangat diminati anak-anak dan banyak mempunyai pengaruh negatif dengan gambar-gambar sensual dan cenderung porno

  Sarwono (2011) mengatakan bahwa kecenderungan pelanggaran terhadap perilaku seksual remaja makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.

2.6 Landasan Teori

  Cinta dan seks merupakan salah satu problem terbesar remaja di seluruh dunia. Pada saat ini banyak remaja beranggapan bahwa cinta dan seks merupakan dua hal yang berhubungan erat. Bila cinta terhadap seseorang harus dibumbui dengan perilaku seks, dan seks yang dilakukan dengan pasangan harus berlandaskan cinta.

  Tidak jarang masa depan remaja hancur karena masalah cinta dan seks. Perilaku remaja tersebut sering menimbulkan dampak yang tidak disadarinya seperti kehamilan remaja, aborsi, putus sekolah, perkawinan dini, perceraian, tertular penyakit kelamin, dan lain-lain. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perilaku seks pada remaja terutama faktor eksternal, karena pada masa remaja mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya seperti teman sebaya dan sumber informasi dari media massa yang kurang tepat. atau reaksi terhadap stimulus atau rangsang dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan (determinan perilaku). Faktor determinan perilaku ada dua yaitu: 1) faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, 2) faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

  Menurut Hosland (1953) yang mengembangkan teori Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari : 1.

  Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak.

  Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif memengaruhi perhatian individu dan berhenti disini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

  2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

  3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

  Perubahan perilaku remaja dapat disandarkan pada teori perubahan perilaku dari Skiner (1938) yang dikembangkan Hosland (1953) dalam Notoatmodjo (2010) yang terkenal dengan teori Stimulus Organisme Respon (Stimulus-Organism-

  

Response/SOR). Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan perilaku

Dokumen yang terkait

Pengaruh Teman Sebaya dan Sumber Informasi Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Siswa SMA Negeri 2 Medan Tahun 2012

4 61 208

Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Peer Group terhadap Konsep Diri Remaja tentang Perilaku Seksual di SMA Negeri 2 dan MAN 2 Medan Tahun 2012

4 52 190

Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja

3 49 91

Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja yang Berpacaran

4 47 77

Pengaruh Karakteristik Siswa Dan Sumber Informasi Terhadap Kecenderungan Melakukan Hubungan Seksual Pranikah Pada Siswa Sma Negeri Di Banda Aceh Tahun 2008

0 36 130

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja - Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

0 2 49

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi (Communication) - Hubungan Komunikasi Orangtua dan Anak Serta Kontrol Diri Siswa dengan Perilaku Seks Pranikah di SMA Prayatna Medan

0 0 37

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Iklan 2.1.1. Pengertian Iklan. - Hubungan Iklan Rokok, Uang Saku Dan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Merokok Pada Siswa Sma Negeri 2 Medan Tahun 2014

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Media Sosial dan Teman Sebaya dengan Perilaku Seks Bebas pada Siswa SMA Negeri 1 Bandar Kabupaten Simalungun Tahun 2014

0 0 25

A. TEMAN SEBAYA Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan Anda dengan memberi tanda checklist ( ) pada kolom jawaban yang telah disediakan. - Pengaruh Teman Sebaya dan Sumber Informasi Terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Siswa SMA Negeri

0 0 63