Tunas Buddhisme Cina lasiyo jurnal

Mata Kuliah
Nama
Yudistira
NPM

: Filsafat Timur 1
: Willybrordus Aditya
: 0231910114

Tunas Buddhisme Cina
Ulasan Mengenai Perkembangan Awal Buddhisme di Cina
A. Pengantar
Buddhisme merupakan sebuah agama yang berkembang dari ajaran
Siddharta Gautama (Buddha) dari India. Setelah mengalami “iluminasi”, Buddha
kemudian mengajarkan “jalan tengah” sebagai jalan hidup dengan berkelana ke
kota-kota selama 45 tahun sebelum akhirnya meninggal atau mencapai nirvana pada
tahun 544 SM. Sepeninggal Buddha, para muridnya (samana atau pengembara)
kemudian mengembara ke segala penjuru untuk mengajarkan dharma. Meski
demikian, pada perkembangannya Buddhisme sempat mengalami masa surut di
India. Selain karena perpecahan yang terjadi dalam Buddhisme yang melahirkan
aliran Mahayana dan Theravada, Buddhisme juga terdesak oleh masuknya Islam di

wilayah utara dan menguatnya Hinduisme di Selatan. Para penganut Buddhisme
kemudian mulai bergerak menyebarkan Buddhisme di sepanjang Asia Tengah
bahkan sampai ke negeri yang terpisahkan oleh pegunungan Himalaya yaitu Cina.
Kisah perkenalan Buddhisme di Cina menjadi suatu pertemuan akan dua
kebudayaan besar di Asia yaitu India, tanah kelahiran sang Buddha dan Buddhisme
itu sendiri dengan Cina, tempat dimana Buddhisme berkembang menjadi agama
dunia. Dari Cina, ajaran sang Buddha kemudian semakin menyebar hingga Korea
dan Jepang. Tidak dapat dimungkiri bahwa Buddhisme Cina memainkan peranan
yang cukup penting di dalam perkembangan Buddhisme di dunia hingga sekarang
ini. Melalui tulisan ini, saya hendak mengulas mengenai masuknya Buddhisme ke
Cina dari beberapa catatan, penerjemahan berbagai kitab dan sutera Buddha serta
peran Kumarajiva dalam penyebaran Buddhisme di Cina, dan analisis mengenai
perkembangan Buddhisme di Cina.
B. Perkenalan Buddhisme di Cina
Mimpi “Pria Emas” Kaisar Ming Ti
Catatan pertama mengenai Buddhisme di Cina berasal dari para sejarawan
Cina yang meyakini bahwa perkenalan Buddhisme di Cina pertama kali terjadi pada
tahun 67 M pada masa pemerintahan Kaisar Ming Ti dari dinasti Han. Menurut
catatan itu, Kaisar Ming Ti bermimpi mengenai seorang pria emas yang bertubuh


1

tinggi dan terbang di udara di depan istananya. Setelah Kaisar Ming menanyakan
arti mimpi itu kepada menteri-menterinya, mereka menceritakan bahwa pria emas
tersebut tidak lain adalah Sang Buddha. Setelah mendengar penjelasan tersebut,
Kaisar lalu mengirimkan para utusannya ke daerah-daerah bagian Barat Cina untuk
mencari tahu mengenai Buddhisme. 1
Menurut laporan itu, para utusan yang dikirim oleh Kaisar Ming akhirnya
tiba di Yueh-Chin, bagian utara India dan bertemu dengan dua orang bhikku Buddha
bernama Chia-she Mo-t’eng dan Chu Fa-Lan. Dari merekalah diperoleh arca-arca
Buddha dan sutra-sutra sepanjang enam ratus ribu kata. Lalu disertai dengan dua
bhikku tersebut, mereka kembali ke ibukota Han di Lo-Yang dan menghuni sebuah
gedung pemerintahan di luar gerbang barat ibukota yang kemudian dikenal sebagai
kuil Kuda Putih. Menurut catatan itu, inilah pertama kalinya Triratna yaitu Buddha
yang diwakili arca-arca Buddhis, Dharma yang dilambangkan sutra-sutra, dan
Sangha yang diwakili dua bhikku secara resmi diperkenalkan di Cina.
Raja Ashoka sang Penyebar ajaran Buddha
Catatan kedua mengenai masuknya Buddhisme ke Cina berasal dari laporan
mengenai Raja Ashoka dari India yang mengirim utusan ke Cina untuk mengajarkan
Dharma. Raja Ashoka adalah penguasa ketiga dari dinasti Maurya pada abad ketiga

S.M di India yang memainkan peranan menentukan di dalam penyebaran
Buddhisme di India. Kekuasaannya meliputi sebagian besar India, Hidu Kush di
Afghanistan selatan, Baluchistan, Sind, lembah Kashmir, Nepal dan dataran rendah
Himalaya. Raja Ashoka naik tahta sekitar tahun 268 SM yang menurut kanon
Buddhisme berbahasa Sanskerta, terjadi tepat seratus tahun setelah wafatnya Sang
Buddha di Kusinagara.
Ketika masih muda, Asoka dikenal sebagai pribadi yang temperamental dan
kejam. Bahkan sebelum naik tahta, Asoka pernah membunuh semua pangeran
kecuali adiknya di Pataliputra. Ia juga pernah menginvasi negara Kalinga hingga
menyebabkan ribuan orang mati dan ribuan lainnya menjadi tawanan perang.
Peristiwa ini ternyata mengubah hidup Asoka yang kemudian menyesali
perbuatannya dan memutuskan untuk tidak menggunakan kekuatan militer. Malahan

1

Dr.Chou Hsiang-Kuan, A History of Chinese Buddhism (India:Indo-Chinese Literature
Publications,1956),16.

2


ia berpikir untuk menjalankan penaklukan rohani melalui dhammavijaya agar semua
penduduk kerajaannya hidup dengan kesalehan dan kecintaan pada agama.2
Raja Ashoka kemudian memeluk agama Buddha karena tertarik pada ajaran
para bhikku di Magadha dan menjadi seorang upasaka yang memerintah
berdasarkan Dharma (bandingkan dengan Konstantinus Agung, kaisar Romawi yang
kemudian memeluk Kristen). Ashoka adalah pengikut sejati Buddhisme dimana ia
pernah berziarah ke Bodh Gaya tempat Sang Buddha memperoleh pencerahan dan
juga mengunjungi tempat kelahiran Buddha di Lumbini dengan memberi
penghormatan berupa kebijakan pengurangan pajak disana.3
Menurut cerita, Raja Ashoka mendirikan delapan puluh empat ribu stupa
untuk mengabadikan kesucian peninggalan-peninggalan Sang Buddha. Selama
pemerintahan Ashoka, untuk pertama kali Buddhisme menyebar luas ke berbagai
daerah bahkan sampai mengutus beberapa rombongan bhikku Buddha ke luar India
untuk menyebarkan Buddhisme. Raja Ashoka juga mengirim bhikku Buddha untuk
mengajarkan Dharma kepada Antiochus II di Syria, Ptolemy II di Mesir, Magas di
Cyrene, Antigonus Gontas di Macedonia, dan Alexander II di Epirus. 4 Namun
ternyata Buddhisme tidak diperhitungkan di Barat sehingga misi-misi Ashoka lebih
diarahkan ke Timur karena dapat diterima dengan baik.
Masa pemerintahan Ashoka kira-kira sejaman dengan pemerintahan Ch’in
Shih Huang-ti, Kaisar Pertama dinasti Ch’in yang memerintah tahun 255 sampai 206

SM. Agaknya ketika dipimpin oleh merekalah India dan Cina berhubungan seturut
dengan usaha untuk meluaskan batas-batas negeri mereka. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika muncul laporan dari para bhikku Cina yang memperkirakan
bahwa para utusan Raja Ashoka juga sampai ke Cina dan memperkenalkan ajaranajaran Buddha.
Misi Chang Ch’ien dan Ekspedisi Ho Ch’u-ping
Catatan selanjutnya mengenai perkenalan Buddhisme ke Cina terjadi pada
masa pemerintahan Kaisar Wu dari dinasti Han yang memerintah dari tahun 140
sampai 87 S.M. Dikisahkan bahwa Kaisar Wu mengirimkan seorang utusan bernama
Chang Ch’ien untuk mengadakan perjalanan ke daerah barat Cina untuk mengetahui
2

Prof. P.V. Bapat ed. 2500 Years of Buddhism (Government of India:The Publications Division
Ministry of Information and Broadcasting,1956), 56.
3 Daisaku Ikeda, Buddhisme Seribu Tahun Pertama (Jakarta:Indira,1993), 37.
4 Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2003), 480.

3

segala sesuatu tentang bangsa-bangsa yang tinggal disana. Sekembalinya ke Cina
pada tahun 126 SM, Chang Ch’ien membawa laporan mengenai negeri-negeri yang

jauh seperti India, Parthia, bahkan Kekaisaran Romawi. Diceritakan bahwa sebagai
hasil misi Chang Ch’ien, ajaran Buddha yang dibawa dari India untuk pertama kali
diketahui.
Tidak lama setelah misi Chang Ch’ien, pada tahun 121 S.M Kaisar Wu
mengirim Ho Ch’u-ping, jenderalnya yang terpercaya untuk mengadakan ekspedisi
melawan bangsa pengembara Hsiung-nu di daerah padang pasir sebelah utara Cina
yang seringkali mencaplok daerah perbatasan Cina. Di dalam usahanya mengejar
pemimpin Hsiung-nu, Ho Ch’u-ping berhasil memperoleh arca “pria emas” yang
tidak lain adalah arca Sang Buddha. Setelah diberikan kepada Kaisar Wu, arca itu
dianggap sebagai dewa yang agung sehingga ditempatkan di Istana Sumber Air yang
Indah milik Kaisar Wu. Disana Kaisar Wu menghormati dan memuja arca emas
Sang Buddha. Inilah pertama kalinya Buddha diperkenalkan di Cina menurut
“Treatise on Buddhism and Taoism.”5 Agaknya cerita mengenai “pria emas” disini
berkesinambungan dengan mimpi Kaisar Ming-Ti tentang “pria emas” yang
keduanya sama-sama diyakini sebagai arca Sang Buddha.
Pengenalan Buddhisme melalui Jalan Sutera
Dibandingkan dengan catatan-catatan sebelumnya, catatan mengenai
perkenalan Buddhisme di Cina yang dibawa melalui Jalan Sutera dianggap memiliki
kemungkinan yang paling besar. Jalan Sutera merupakan jalur darat yang
menghubungkan Cina dengan Asia Tengah atau bahkan Eropa yang banyak dilalui

pada zaman itu. Pada umumnya mereka yang melewati Jalan Sutera adalah para
serdadu seperti utusan Kaisar Wu dalam catatan sebelumnya dan para pedagang
sutera dari Cina yang menjual sutera Cina di Persia bahkan Kekaisaran Romawi
dengan harga tinggi.
Selain para serdadu dan pedagang, mereka yang melewati Jalan Sutera
adalah para bhikku Buddha dari Asia Tengah yang berusaha menyebarkan ajaran
Buddha ke berbagai bangsa termasuk negeri Cina. Meskipun harus melalui berbagai
rintangan dan penderitaan selama perjalanan, namun para bhikku tersebut berhasil
mengatasinya dan mencapai tujuan. Berbeda dengan para serdadu dan pedagang,
5

Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina (Jakarta:Indira,1992), 11.

4

para bhikku ini hanya sekali melewati Jalan Sutera karena pada umumnya mereka
bertekad untuk meninggalkan tempat asalnya dan membaktikan sisa hidupnya untuk
penyebaran agama Buddha di Cina.
Pada umumnya para bhikku ini bermukim di suatu tempat dan melebur
dengan kebudayaan Cina. Maka Jalan Sutera menjadi jalan bagi para bhikku Buddha

untuk datang ke Cina sehingga ajaran Buddha pun dapat diperkenalkan di Cina.
Penyebar-penyebar agama Buddhis pertama yang mengadakan perjalanan melalui
Jalan Sutera ke Cina hampir semua berasal dari negara-negara Asia Tengah, bukan
dari India sendiri. Baru beberapa waktu kemudian para penyebar Buddhisme di
India mengadakan perjalanan ke Cina. Mereka kemudian menterjemahkan kitabkitab dan sutra Buddha ke dalam bahasa dan budaya Cina.
C. Penerjemahan Kitab-Kitab dan Sutra Buddha ke dalam Bahasa Cina
Masuknya Buddhisme di Cina tidak serta merta langsung disebarkan dengan
mudah mengingat adanya perbedaan yang cukup mencolok antara peradaban Cina
dengan India dan Asia Tengah. Selain bahasa yang berbeda, kebudayaan India yang
menjadi tempat kelahiran Buddhisme pun berbeda dengan kebudayaan Cina yang
pada masa itu sudah dipengaruhi oleh Konfusianisme dan Taoisme. Maka,
penerjemahan kitab-kitab dan sutra Buddha ke dalam kebudayaan Cina menjadi
jalan yang ditempuh oleh para bhikku Buddha yang datang ke Cina demi penyebaran
Buddhisme.
Penerjemahan kitab-kitab Buddhis di Cina pertama kali dilakukan pada
tahun 148 M oleh An Shih-kao.6 An Shih-kao sendiri adalah misionaris Buddha dari
Parthia yang datang ke Cina pada tahun 147 M dan menghabiskan lebih dari dua
puluh tahun untuk menerjemahkan naskah Buddhis ke dalam bahasa Cina.
Berdasarkan laporan dari Nichiren Daishonin, terdapat 176 orang yang turut
menyebarkan kitab-kitab dan sutra Buddha dari India ke Cina sampai tahun 730,

tahun ke-18 zaman K’ai-yuan dalam pemerintahan penguasa T’ang, Hsuan-tsung. 7
Hampir semua bhikku-penerjemah ini yang memperkenalkan dan menyebarkan
ajaran Buddha ke Cina. Salah satu tokoh yang paling terkemuka adalah Kumarajiva.
Kumarajiva dan Perjalanannya sebagai Penyebar Buddhisme

6
7

Bradley K. Hawkins, Buddhism:Religions of the World (London:Routledge,1999), 53.
Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,34.

5

Berdasarkan laporan Seng Chao (384-414) yang juga murid Kumarajiva
dalam “Posthumous Eulogy for the Dharma Master Kumarajiva”, Kumarajiva
meninggal menurut penanggalan Cina pada usia 70 tahun sehingga ia lahir pada
tahun 344. Namun ada pula laporan seperti dalam Eminent Monks yang menulis
bahwa Kumarajiva lahir pada tahun 350 dan meninggal pada tahun 409 sehingga ia
baru berusia 59 tahun


ketika meninggal. 8 Adanya kerancuan dan perbedaan

pendapat mengenai tahun kelahiran dan kematian Kumarajiva tidak mengurangi
penghormatan kepadanya sebagai misionaris Buddha yang terkenal di Cina.
Kumarajiva merupakan keturunan India dari garis ayahnya, Kumarayana.
Ayahnya pernah menjadi bhikku Buddha yang mengadakan perjalanan ke arah timur
dan mendaki pegunungan Pamir ke Asia Tengah. Melewati perjalanan sulit,
Kumarayana sampai ke negara Kucha di tepi utara Lembah Tarim. Pada masa itu
daerah Asia Tengah sudah menganut Buddhisme dan Kucha menjadi salah satu
negara Buddhis. Raja Kucha yang terkesan dengan kemampuan dan keunggulan
Kumarayana kemudian membujuknya untuk tinggal di Kucha dan menjadi guru bagi
bangsa Kucha sekaligus penasihat. Raja Kucha bahkan menawarkan adik
perempuannya Jivaka kepada Kumarayana untuk diperistri. Dari perkawinan
Kumarayana dan Jivaka lahirlah Kumarajiva yang namanya merupakan gabungan
dari unsure Kumara dari ayahnya dan Jiva dari ibunya. Maka Kumarajiva
sesungguhnya merupakan keturunan dari perkawinan campur dan dibesarkan di
negara yang memainkan peranan penting dalam pertukaran budaya antara Asia
Timur dan Asia Barat.
Pada usia tujuh tahun, Kumarajiva meninggalkan kehidupan duniawinya dan
memasuki Sangha Buddha yang pada saat bersamaan ibunya juga menjadi seorang

bhiksuni. Konon Kumarajiva menghafal seribu ayat sutra yang setara dengan 32.000
kata sehari. Bahkan ia juga memahami semua yang diajarkan gurunya dan
menangkap makna yang tersembunyi. Ketika berumur Sembilan tahun, ia dibawa
ibunya ke India untuk belajar di bawah seorang empu Buddha terkemuka bernama
Bandhudatta. Dibawah bimbingan gurunya, Kumarajiva berhasil menguasai
berbagai sutra Theravada yang dikenal sebagai Agama menurut tradisi utara dan
Nikaya menurut tradisi selatan. Bersama ibunya, ia kemudian kembali ke Kucha
pada usia dua belas tahun
8

Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,36.

6

Ketika perjalanan kembali ke Kucha, mereka berjumpa dengan arhat (orang
suci Buddha) yang membuat ramalan tentang masa depan Kumarajiva. Orang suci
itu berkata pada ibunya,”anda harus menjaga dan melindungi anak ini karena
menjelang usia tiga puluh tahun jika ia tidak melanggar peraturan disiplin agama, ia
akan menjadi penyebar ajaran Buddhisme yang ulung dan akan membawa
pencerahan bagi orang yang tidak terhitung jumlahnya dan ia akan setingkat dengan
Upagupta9. Tetapi bila ia tidak sanggup mematuhi peraturan disiplin agama, ia tidak
akan lebih dari seorang Empu Dharma.”10
Dalam perkembangannya, Kumarajiva telah menyelesaikan naskah-naskah
Abhidharma dan tulisan mazhab Sarvastivida. Ia juga mempelajari naskah Veda,
filsafat India kuno, dan memperoleh pengetahuan yang luas mengenai sastra dan
sains seperti yang dikenal di India dan Asia Tengah pada masa itu. Pengetahuan ini
sangat berguna bagi kegiatan penerjemahan naskah-naskah Buddha agar dapat
dipahami dalam bahasa Cina nantinya. Peristiwa yang penting dalam hidup
Kumarajiva terjadi dalam pertemuannya dengan bhikku Sutyasoma, pengikuti ajaran
Mahayana. Melalui Sutyasoma, Kumarajiva mengenal tentang Anuttara Sutra yang
mengajarkan bahwa semua dharma itu “kosong.” Melalui pengajaran Sutyasoma,
Kumarajiva kemudian memahami perbedaan antara doktrin Mahayana dan doktrin
Theravada.

Sutyasoma

mempercayakan

naskah-naskah

Sanskerta

kepada

Kumarajiva dan menugaskannya untuk menyebarkan sutra-sutra itu. 11 Kumarajiva
pun menjadi guru Buddhisme Mahayana dan berangkat ke Cina.
Kumarajiva dan Terjemahannya
Kumarajiva memasuki Ch’ang-an pada tahun 401 pada zaman Hung-shih,
dinasti Ch’in akhir ketika ia berusia 32 tahun. Namun ia ditawan oleh pemimpin
tentara mengingat pada masa itu Cina sedang menghadapi perpecahan dalam negeri
dan ketidakstabilan politik. Fu Chien (338-435), penguasa ketiga dari Dinasti Ch’in
yang menguasai seluruh Cina bagian utara membawa Kumarajiva ke Cina.
Kumarajiva ditahan di Liang-Chou yang pada masa itu dikuasai oleh Lu Kuang.
Kumarajiva mengalami penderitaan selama berada di Liang-chou dan mendapat
9

Upagupta yang disebut dalam ramalan ini adalah seorang bhikku terkemuka yang terkenal karena
berhasil membawa Raja Ashoka menjadi pemeluk ajaran Buddha. Bdk. Daisaku Ikeda, Bunga
Buddhisme Cina,40.
10 Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,40.
11 Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,43-45.

7

penghinaan dari Lu kang. Namun selama bertahun-tahun berada di Liang-chou pula,
Kumarajiva mengabdikan diri untuk mempelajari bahasa Cina dan bergaul dengan
para tentara dan penduduk setempat yang memberinya pengalaman mengenai
kehidupan Cina lapisan bawah. Kumarajiva akhirnya dibawa kembali ke Ch’ang-an
setelah Yao Hsing (366-416), penguasa kedua Dinasti Ch’in menggulingkan Lu
Kang.
Setibanya di Ch’ang-an, ia disambut hangat oleh penguasa disana dan memulai
usahanya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha atas pemintaan bhikku Cina
yang bernama Seng-jui dengan menerjemahkan praktek meditasi Tao-ch’an San-mei
Ching. Pada tahun 402, Kumarajiva lalu menerjemahkan Treatise on the Larger
Perfection of Wisdom, salah satu sutra terpenting yang menjelaskan konsep sunyata
(kekosongan) yang menjadi inti

Prajna atau Kebaikan Tertinggi. Kumarajiva

kemudian menerjemahkan Lotus Sutra (Sutra Teratai) dan Larger Perfection of
Wisdom Sutra (Sutra Penyempurnaan Kebijaksanaan yang Lebih Besar). Ia juga
menerjemahkan Smaller Perfection of Wisdom Sutra (Sutra Penyempurnaan
Kebijaksanaan yang Lebih Kecil), Diamond Sutra (Sutra Intan), Sutra on the Ten
Stages (Sutra tentang Sepuluh Tahap), Vimalakirti Sutra (Sutra Vimalakirti),
Shuramgana Sutra (Sutra Shuramgana), dan sejumlah naskah lain yang penting
tentang Mahayana.12
Menurut kesaksian muridnya, Hui-kuan dalam Fa-hua Tsung-yao, Kumarajiva
biasa menerjemahkan sutra ke dalam bahasa Cina sesuai makna aslinya. Kumarajiva
juga mempelajari terjemahan-terjemahan Cina dari naskah-naskah Buddhis yang
sudah ada sebelumnya. Dari situ ia sadar betapa kakunya terjemahan itu dan
seringkali menyimpang dari ajaran Buddhisme yang asli sehingga ia bertekad
menghasilkan banyak terjemahan sutra agar ajaran Buddhisme yang asli dapat
tersebar di Cina.
Enichi Ocho, seorang terpelajar Buddhis Jepang menunjukkan empat faktor
penting dalam terjemahan-terjemahan yang dihasilkan Kumarajiva. Pertama,
Kumarajiva adalah seorang yang menguasai berbagai bahasa mulai dari Sanskerta,
bahasa-bahasa di Asia Tengah, dan Cina. Kedua, ia mempunyai pemahaman yang
luas mengenai ajaran-ajaran Buddha baik Theravada maupun Mahayana. Ia juga
memiliki pengetahuan mengenai vinaya (aturan-aturan disiplin sangha). Ketiga
adalah kenyataan bahwa para pemimpin Cina termasuk Yao Hsing mengambil
12 Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,57.

8

kebijakan yang mendukung proses penerjemahan Kumarajiva. Faktor keempat
adalah banyaknya murid berbakat yang membantu pekerjaan Kumarajiva.13
D. Analisis Perkembangan Buddhisme di Cina
Setelah memaparkan bagaimana Buddhisme masuk ke Cina dan usaha
penerjemahan kitab-kitab dan sutra Buddha ke dalam bahasa Cina terutama oleh
Kumarajiva, saya hendak mengulas analisis mengenai perkembangan Buddhisme di
Cina. Tidak dapat dimungkiri bahwa jurang perbedaan antara budaya India yang
melatarbelakangi Buddhisme dengan Cina amatlah mendalam. Namun sangatlah
menarik karena Buddhisme dapat masuk ke Cina dan bertransformasi ke dalam
budaya Cina. Ketika Buddhisme diperkenalkan di Cina, sudah berkembang dua
pemikiran besar dalam peradaban Cina yaitu Konfusianisme, filsafat sosial yang
diperkenalkan oleh K’ung Fu-tzu (Konfusius;551-497 SM) dan Taoisme, sistem
filsafat agama yang diperkenalkan oleh Lao-tzu (Tao-Te-ching).14 Buddhisme pun
melebur ke dalam budaya Cina, termasuk mensistematisasikan ajaran Buddha
dengan dua aliran filsafat yang sudah berkembang lebih dulu di Cina tersebut.
Menurut refleksi kritis dalam tesis Toynbee, Buddhisme sebagai agama telah
memainkan peran yang vital di dalam memelihara unsur-unsur kelestarian peradaban
dan bahwa Buddha Mahayana kemudian menjadi “church of the internal
proletariat” bagi masyarakat Cina.15 Senada dengan refleksi Toynbee, menurut
hemat saya faktor utama yang membuat Buddha Mahayana dapat berkembang pesat
di Cina adalah usaha untuk beradaptasi dengan kebudayaan Cina dan
mensistematisasi ajaran Buddha Mahayana dengan pola pikir orang Cina. Salah satu
pendorong cepatnya Buddha Mahayana diterima oleh orang Cina adalah ajaran
Mahayana tentang upasaka atau orang awam yang dapat mencapai juga iluminasi
penuh atau pencerahan. Mahayana tidak mewajibkan setiap orang Buddha untuk
menjadi bhikku lebih dahulu supaya dapat mencapai pencerahan, tetapi orang biasa
pun juga dapat mencapai pencerahan. Hal ini mempercepat tersebarnya Buddha
Mahayana di Cina karena kebanyakan orang Cina tidak tertarik dengan konsep
selibat dan ingin meneruskan garis keturunan keluarga.
Selain itu, keberhasilan penyebaran Buddhisme di Cina juga disebabkan oleh
ajran Buddhisme yang tidak mengenal perbedaan kelas sehingga dapat diterima oleh
13 Daisaku Ikeda, Bunga Buddhisme Cina,51.
14 14 Peter Harvey, An Introduction to Buddhism:Teachings, history, and practices
(Cambridge:Cambridge University Press,1990), 148.
15 Arthur F. Wright, Buddhism in Chinese History (Taipei:SMC Publishing Inc, 1959), 3.

9

semua kalangan. Berbeda dengan Konfusianisme yang sangat memperhitungkan
hierarki sosial.16 Hal ini cukup berpengaruh pada menyebarnya Buddhisme dalam
akar-akar kebudayaan Cina dan masyarakat Cina secara luas. Penyebaran
Buddhisme di Cina juga dipengaruhi oleh komunitas Taois yang turut menyebarkan
simbol-simbol dan gerakan Buddhisme. Barangkali dapat dibandingkan dengan
penyebaran Kristianitas awal pada zaman Romawi yang turut dibantu oleh
komunitas Yahudi.17
Menurut hemat saya, keberhasilan penyebaran Buddhisme di Cina tidak hanya
karena penerjemahan kitab-kitab dan sutra Buddha ke dalam bahasa Cina saja, tetapi
juga penerjemahan istilah-istilah dalam Buddhisme dalam bahasa Cina yang
dimengerti oleh kebanyakan orang Cina. Misalnya kata tao, kata kunci dalam
filsafat Taoisme yang digunakan untuk menerjemahkan kata dharma (pengajaran)
dalam Buddhisme bahkan dalam kasus lain digunakan untuk menerjemahkan istilah
bodhi (pencerahan) juga untuk istilah yoga. Kemudian istilah Taoisme untuk
immortalitas, chen-jen digunakan untuk menerjemahkan kata Arhat (pencerahan
penuh) dalam Budhisme. Ada pula kata Wu-wei (kekosongan) yang juga digunakan
untuk

menerjemahkan

istilah

Buddhisme

untuk

nirvana.

Tidak

hanya

menerjemahkan ke istilah Taoisme, para bhikku Buddha juga menerjemahkan kata
Sanskrit, sila (moralitas) ke dalam kata Konfusian, Hsiao-hsun (kepatuhan atau
ketaatan). Dengan demikian, orang-orang Cina dapat segera memahami ajaran
Buddha karena mereka sudah tidak asing dengan istilah-istilah yang telah
diterjemahkan tersebut.18

E. Kesimpulan
Tidak dapat dimungkiri bahwa pada perkembangannya Buddhisme berhasil
menyebar ke seluruh Cina bahkan dari Cina kemudian Buddhisme (Mahayana)
masuk ke Korea dan Jepang. Masuknya Buddhisme ke Cina memang belum dapat
dipastikan karena terdapat beberapa catatan mengenai perkenalan Buddhisme di
Cina mulai dari catatan mengenai mimpi Kaisar Ming Ti tentang pria emas hingga
catatan mengenai masuknya Buddhisme Cina melalui Jalan Sutera. Proses
16

Peter Harvey, An Introduction to Buddhism: Teachings, history, and practices
(Cambridge:Cambridge University Press,1990), 149.
17 Arthur F. Wright, Buddhism in Chinese History (Taipei:SMC Publishing Inc, 1959), 33.
18 Arthur F. Wright, Buddhism in Chinese History (Taipei:SMC Publishing Inc, 1959), 36.

10

penyebaran Buddhisme di Cina banyak terbantu oleh usaha penerjemahan kitabkitab dan sutra Buddha ke dalam bahasa Cina oleh para bhikku termasuk Kumarajiva
yang berhasil membuat banyak terjemahan.
Saya pribadi melihat benang merah dari keberhasilan penyebaran Buddhisme di
Cina terutama aliran Mahayana adalah usaha untuk menyatu dengan kebudayaan
Cina yang pada masa itu sudah dipengaruhi Taoisme dan Konfusianisme. Proses
adaptasi dan transformasi Buddhisme di Cina turut mempengaruhi kebudayaan Cina
bahkan dapat dikatakan bahwa bukanlah lagi Buddhisme di Cina, melainkan
Buddhisme Cina itu sendiri.
F. Daftar Pustaka
Bapat, Prof. P.V. ed. 1956. 2500 Years of Buddhism. Government of India:The
Publications Division Ministry of Information and Broadcasting.
Bradley K. Hawkins. 1999. Buddhism:Religions of the World. London:Routledge.
Harvey, Peter. 1990. An Introduction to Buddhism:Teachings,history, and practices.
Cambridg:Cambridge University Press.
Hsiang-Kuan, Dr.Chou.1956. A History of Chinese Buddhism. India:Indo-Chinese
Literature Publications.
Ikeda, Daisaku. 1992. Bunga Buddhisme Cina. Jakarta:Indira.
Ikeda, Daisaku. 1993. Buddhisme Seribu Tahun Pertama. Jakarta:Indira.

Wright, F.Arthur. 1959. Buddhism in Chinese History. Taipei:SMC Publishing Inc.
Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
.

11