3. Gereja dan Konsumerisme 3.1. Situasi
3. Gereja dan Konsumerisme
3.1. Situasi Dunia dan Gereja
Globalisasi merupakan salah satu ciri dari situasi dunia jaman sekarang. Globalisasi
mempunyai pengaruh yang kuat bagi segala macam dimensi kehidupan yang ada di dunia. Salah
satu dimensi kehidupan yang sangat dipengaruhi adalah dimensi ekonomi. Dampak dari
globalisasi terhadap bidang ekonomi memunculkan suatu gaya hidup baru yaitu gaya hidup
konsumerisme. Konsumerisme mungkin sudah ada sebelum istilah globalisasi itu muncul. Pada
waktu itu hal itu bukanlah menjadi suatu gaya hidup masyarakat umum melainkan hanya sebatas
golongan-golongan tertentu saja. Tapi, sekarang hal itu tidak lagi menjadi gaya hidup kalangan
tertentu saja melainkan semua kalangan baik kaya ataupun miskin.
Konsumerisme merupakan suatu paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil
produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. 1 Gaya hidup
konsumeris membuat manusia masuk dalam jenis- jenis baru perbudakan sosial dan psikis.2
Teknologi yang semakin maju membuat pasar semakin banyak dalam memproduksi
jenis-jenis barang. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan pilihan kebutuhan semakin
beraneka ragam. Dengan tawaran kebutuhan yang beraneka ragam, manusia semakin sibuk
memenuhi tawaran-tawaran itu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian manusia tidak
hanya sekedar membutuhakan makanan, pakaian, rumah, melainkan juga Hp, leptop, TV, dll.
Apa yang dialami oleh dunia secara tidak langsung juga dialami oleh Gereja karena
Gereja hidup di dalam dunia dan tidak bisa terlepas dari dunia. Situasi dunia sudah dipengaruhi
oleh konsumerisme. Hal ini juga berpengaruh dalam Gereja terutama bagi mereka yang terlibat
secara langsung di dalam dunia. Oleh karena itu Gereja tidak bisa berdiam diri melainkan harus
segera mangambil sikap terhadap situasi ini. Gereja sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan
bertindak di dalamnya harus selalu merefleksikan dirinya.
3.2. Pandangan Gereja Sejak Jaman Pra Konsili – Konsili Vatikan II
1
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumerisme
Dokumen ASG, hlm 274.
Seiring dengan perkembangan jaman, Gereja berusaha untuk ikut terlibat di dalamnya
dengan memberi pandangan-pandangan kritis tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia. Di
dalam dokumen-dokumennya, Gereja tidak pernah membahas secara khusus mengenai
konsumerisme. Meskipun demikian hal tersebut tetap dibahas di dalamnya.
Pada tahun 1869 dilaksanakanlah Konsili Vatikan I. Tujuan utama paus menghimpunkan
konsili ini adalah untuk memperoleh konfirmasi akan sikap yang telah ditetapkannya dalam
Syllabus Errorum (1864), yang mengutuk serangkaian aliran rasionalisme, liberalisme, dan
materialisme.3 Istilah Konsumerisme pada tahun ini tidaklah terungkap secara jelas. Namun
dalam Syllabus Errorum (Ikhtisar kesalahan- kesalahan yang dikecam oleh Paus Pius IX) ada
satu bagian yang menggambarkan munculnya gejala konsumerisme, yaitu pada artikel 58:
Tidak ada kekuasaan yang dapat diakui selain dari apa yang ada dalam materi, serta seluruh
kebenaran dan kebaikan dari moralitas haruslah ditempatkan dalam penimbunan dan
peningkatan kekayaan melalui berbagai cara dan pemenuhan hasrat.4
Pada tahun 1950 para uskup sedunia sudah menghadapi tantangan yang sangat besar dari
perubahan politik, sosial, ekonomi dan teknik. Beberapa uskup mengusulkan perubahan dalam
struktur dan perubahan dalam struktur dan praktek gerejawi untuk menghadapi tantangantantangan tersebut.5 Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang melatarbelakangi
diadakannya Konsili Vatikan II.
Gereja melihat bahwa barang-barang hasil produksi itu pada dasarnya baik. Namun
menjadi tidak baik ketika barang- barang tersebut tidak dinilai menurut kenyataan yang
sesungguhnya atau fungsi yang sebenarnya. Dengan kata lain berarti benda tersebut hanya
dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan nafsu atau keinginan sesaat dan bukan karena adanya
suatu kebutuhan yang memang benar-benar harus dipenuhi. Hal ini dapat ditemukan dalam
dokumen resmi Gereja yaitu Gaudium et Spes:
Gereja mengajarkan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesejahteraan
jasmani yang dihasilkannya adalah baik, dan menandai tahap penting dalam peradaban
manusiawi. Akan tetapi Gereja mengajarkan pula, bahwa harta kekayaan semacam itu harus
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsili_Vatikan_I
http://katolisitas.org/2011/03/03/syllabus-errorum/#vii-kesalahan-kesalahan-mengenai-dasar-dan-etika-kristiani
5
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsili_Vatikan_II
4
dinilai juga menurut kenyataanya yang sesungguhnya: sebagai upaya bagi manusia untuk
dengan lebih baik meraih tujuannya; sarana-sarana yang membantunya menjadi manusia yang
lebih baik dalam tata kodrati maupun adikodrati.6
Dengan adanya konsumerisme manusia menjadikan barang-barang hasil produksi tidak
lagi sesuai dengan kebutuhannya. Manusia berlomba-lomba untuk memiliki aneka kebutuhan
yang akhirnya membuat mereka kehilangan jati dirinya. Manusia jatuh dalam suatu berhala
seperti yang terungkap di dalam Mzm 113:4, “Berhala mereka perak dan emas; buatan tangan
manusia”.7
Paus Yohanes Paulus II secara eksplisit membahas tentang Konsumerisme dalam
esikliknya yang berjudul Centesimus Annus:
“Tuntutan akan hidup yang lebih memuaskan dan lebih bermutu itu sendiri memang wajar. Akan
tetapi mau tak mau harus dikemukakan juga pokok-pokok tanggung jawab dan risiko-risiko yang
menyertai tahap sejarah sekarang ini. Dibalik cara-cara munculnya dan ditentukannya kebutuhankebutuhan baru, selalu ada paham yang kurang lebih senada tentang manusia serta apa yang
sungguh baik baginya. Dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi,
tampaklah kebudayaan tertentu yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situ
muncullah gejala konsumerisme. Adapun dalam menyingkapkan kebutuhan-kebutuhan baru dan
cara-cara baru untuk memenuhinya, setiap orang harus berpedoman pada citra manusia yang
seutuhnya, yang mengindahkan semua dimensi hidupnya sebagai manusia, dan membawakan
aspek- aspek jasmani dan alamiah kepada segi- segi batiniah dan rohani. Akan tetapi yang
langsung dianut ialah selera-seleranya sendiri, sedangkan kenyataan pribadi yang berakal- budi
dan bebas tidak dihiraukan, dapat muncul sikap-siakp konsumeristis dan corak-corak hidup, yang
secara obyektif tidak pantas atau merugikan kesehatan jiwa- raga. […] Memang tidak kelirulah
menginginkan hidup yang lebih baik. Tetapi tidak dibenarkan cara hidup, yang dianggap lebih
baik, bila sasarannya sekedar supaya orang serba ‘memiliki’ saja, bukan menyangkut jati
pribadinya sendiri, dan bila ia ingin menambah- nambah saja miliknya, bukan supaya pribadinya
semakin baik, melainkan supaya hidupnya berlangsung dalam kenikmatan yang mubazir saja.”
Dari dokumen ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Gereja menganggap
konsumerisme sebagai gaya hidup yang dapat merusak kehidupan manusia. Konsumerisme dapat
membuat manusia terjerat dalam penyembahan berhala terhadap barang-barang hasil produksi. 8
6
Gaudium et Spes 246
Bdk. GS 244
8
Bdk. Dokumen ASG, hlm 205. 244
7
Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati daripada menemukan dan mengembangkan
dirinya, maka ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi
maupun hidupnya sendiri.9 Kecenderungan manusia untuk memiliki dan menikmati ini membuat
manusia mudah masuk dalam gaya hidup konsumeris.
Mgr. Ignasius Suharyo dalam bukunya yang berjudul The Catholic Way memandang
konsumerisme dari kacamata ekonomi, psikologi, dan moral kristiani. Dari sudut pandang moral
kristiani diajukanlah beberapa pertanyaan. Pertama, apakah konsumerisme itu memerdekakan?
Jawabannya tidak, karena setiap orang yang terjebak di dalam konsumerisme berarti ia telah
diperbudak oleh ideologi tertentu yang menguasai media massa seperti iklan. Kedua, apakah
konsumerisme adil? Jawabannya tidak, konsumerisme membuat kebutuhan setiap orang seolaholah semakin bertambah banyak dan harus segera dipenuhi. Hal ini dengan sendirinya membuat
perusahaan-perusahaan industri semakin memperbanyak produksinya karena permintaan
konsumen yang semakin bertambah. Meskipun produksi semakin ditingkatkan, tatapi apakah
kesejahteran orang-orang di perusahaan-perusahaan itu meningkat? Yang jelas pemilik modal
akan semakin sejahtera sedangkan pekerja atau buruhnya mungkin sebaliknya. Ketiga, apakah
konsumerisme bertanggung jawab? Jawabannya tidak, karena denga meningkatkan produksi
suatu barang berarti kebutuhan akan bahan baku akan semakin meningkat dan bahan baku
tersebut hanya bisa diperoleh dari sumber daya alam. Sumber daya alam dikuras sebanyakbanyaknya untuk kepentingan produksi yang keuntungannya hanya dinikmati oleh orang-orang
atau kelompok-kelompok tertentu saja. Akhirnya yang menjadi korban adalah negara-nagara
yang miskin yang hutannya ditebang dan sumber daya alamnya diekploitasi tanpa kendali.
Keempat,
apakah
konsumerisme
membahagiakan?
Jawabannya
tidak,
kebahagiaan
mengandaikan relasi yang harmonis dengan Allah, sesama dan alam ciptaan serta bersifat lestari.
Sedangkan konsumerisme itu hanya membuat orang senang sesaat dan tidak pernah memperoleh
kepuasan.
9
Cita Masyarakat Abad 21.
3.1. Situasi Dunia dan Gereja
Globalisasi merupakan salah satu ciri dari situasi dunia jaman sekarang. Globalisasi
mempunyai pengaruh yang kuat bagi segala macam dimensi kehidupan yang ada di dunia. Salah
satu dimensi kehidupan yang sangat dipengaruhi adalah dimensi ekonomi. Dampak dari
globalisasi terhadap bidang ekonomi memunculkan suatu gaya hidup baru yaitu gaya hidup
konsumerisme. Konsumerisme mungkin sudah ada sebelum istilah globalisasi itu muncul. Pada
waktu itu hal itu bukanlah menjadi suatu gaya hidup masyarakat umum melainkan hanya sebatas
golongan-golongan tertentu saja. Tapi, sekarang hal itu tidak lagi menjadi gaya hidup kalangan
tertentu saja melainkan semua kalangan baik kaya ataupun miskin.
Konsumerisme merupakan suatu paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil
produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. 1 Gaya hidup
konsumeris membuat manusia masuk dalam jenis- jenis baru perbudakan sosial dan psikis.2
Teknologi yang semakin maju membuat pasar semakin banyak dalam memproduksi
jenis-jenis barang. Hal ini secara tidak langsung mengakibatkan pilihan kebutuhan semakin
beraneka ragam. Dengan tawaran kebutuhan yang beraneka ragam, manusia semakin sibuk
memenuhi tawaran-tawaran itu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian manusia tidak
hanya sekedar membutuhakan makanan, pakaian, rumah, melainkan juga Hp, leptop, TV, dll.
Apa yang dialami oleh dunia secara tidak langsung juga dialami oleh Gereja karena
Gereja hidup di dalam dunia dan tidak bisa terlepas dari dunia. Situasi dunia sudah dipengaruhi
oleh konsumerisme. Hal ini juga berpengaruh dalam Gereja terutama bagi mereka yang terlibat
secara langsung di dalam dunia. Oleh karena itu Gereja tidak bisa berdiam diri melainkan harus
segera mangambil sikap terhadap situasi ini. Gereja sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan
bertindak di dalamnya harus selalu merefleksikan dirinya.
3.2. Pandangan Gereja Sejak Jaman Pra Konsili – Konsili Vatikan II
1
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumerisme
Dokumen ASG, hlm 274.
Seiring dengan perkembangan jaman, Gereja berusaha untuk ikut terlibat di dalamnya
dengan memberi pandangan-pandangan kritis tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia. Di
dalam dokumen-dokumennya, Gereja tidak pernah membahas secara khusus mengenai
konsumerisme. Meskipun demikian hal tersebut tetap dibahas di dalamnya.
Pada tahun 1869 dilaksanakanlah Konsili Vatikan I. Tujuan utama paus menghimpunkan
konsili ini adalah untuk memperoleh konfirmasi akan sikap yang telah ditetapkannya dalam
Syllabus Errorum (1864), yang mengutuk serangkaian aliran rasionalisme, liberalisme, dan
materialisme.3 Istilah Konsumerisme pada tahun ini tidaklah terungkap secara jelas. Namun
dalam Syllabus Errorum (Ikhtisar kesalahan- kesalahan yang dikecam oleh Paus Pius IX) ada
satu bagian yang menggambarkan munculnya gejala konsumerisme, yaitu pada artikel 58:
Tidak ada kekuasaan yang dapat diakui selain dari apa yang ada dalam materi, serta seluruh
kebenaran dan kebaikan dari moralitas haruslah ditempatkan dalam penimbunan dan
peningkatan kekayaan melalui berbagai cara dan pemenuhan hasrat.4
Pada tahun 1950 para uskup sedunia sudah menghadapi tantangan yang sangat besar dari
perubahan politik, sosial, ekonomi dan teknik. Beberapa uskup mengusulkan perubahan dalam
struktur dan perubahan dalam struktur dan praktek gerejawi untuk menghadapi tantangantantangan tersebut.5 Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang melatarbelakangi
diadakannya Konsili Vatikan II.
Gereja melihat bahwa barang-barang hasil produksi itu pada dasarnya baik. Namun
menjadi tidak baik ketika barang- barang tersebut tidak dinilai menurut kenyataan yang
sesungguhnya atau fungsi yang sebenarnya. Dengan kata lain berarti benda tersebut hanya
dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan nafsu atau keinginan sesaat dan bukan karena adanya
suatu kebutuhan yang memang benar-benar harus dipenuhi. Hal ini dapat ditemukan dalam
dokumen resmi Gereja yaitu Gaudium et Spes:
Gereja mengajarkan, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesejahteraan
jasmani yang dihasilkannya adalah baik, dan menandai tahap penting dalam peradaban
manusiawi. Akan tetapi Gereja mengajarkan pula, bahwa harta kekayaan semacam itu harus
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsili_Vatikan_I
http://katolisitas.org/2011/03/03/syllabus-errorum/#vii-kesalahan-kesalahan-mengenai-dasar-dan-etika-kristiani
5
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsili_Vatikan_II
4
dinilai juga menurut kenyataanya yang sesungguhnya: sebagai upaya bagi manusia untuk
dengan lebih baik meraih tujuannya; sarana-sarana yang membantunya menjadi manusia yang
lebih baik dalam tata kodrati maupun adikodrati.6
Dengan adanya konsumerisme manusia menjadikan barang-barang hasil produksi tidak
lagi sesuai dengan kebutuhannya. Manusia berlomba-lomba untuk memiliki aneka kebutuhan
yang akhirnya membuat mereka kehilangan jati dirinya. Manusia jatuh dalam suatu berhala
seperti yang terungkap di dalam Mzm 113:4, “Berhala mereka perak dan emas; buatan tangan
manusia”.7
Paus Yohanes Paulus II secara eksplisit membahas tentang Konsumerisme dalam
esikliknya yang berjudul Centesimus Annus:
“Tuntutan akan hidup yang lebih memuaskan dan lebih bermutu itu sendiri memang wajar. Akan
tetapi mau tak mau harus dikemukakan juga pokok-pokok tanggung jawab dan risiko-risiko yang
menyertai tahap sejarah sekarang ini. Dibalik cara-cara munculnya dan ditentukannya kebutuhankebutuhan baru, selalu ada paham yang kurang lebih senada tentang manusia serta apa yang
sungguh baik baginya. Dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi,
tampaklah kebudayaan tertentu yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situ
muncullah gejala konsumerisme. Adapun dalam menyingkapkan kebutuhan-kebutuhan baru dan
cara-cara baru untuk memenuhinya, setiap orang harus berpedoman pada citra manusia yang
seutuhnya, yang mengindahkan semua dimensi hidupnya sebagai manusia, dan membawakan
aspek- aspek jasmani dan alamiah kepada segi- segi batiniah dan rohani. Akan tetapi yang
langsung dianut ialah selera-seleranya sendiri, sedangkan kenyataan pribadi yang berakal- budi
dan bebas tidak dihiraukan, dapat muncul sikap-siakp konsumeristis dan corak-corak hidup, yang
secara obyektif tidak pantas atau merugikan kesehatan jiwa- raga. […] Memang tidak kelirulah
menginginkan hidup yang lebih baik. Tetapi tidak dibenarkan cara hidup, yang dianggap lebih
baik, bila sasarannya sekedar supaya orang serba ‘memiliki’ saja, bukan menyangkut jati
pribadinya sendiri, dan bila ia ingin menambah- nambah saja miliknya, bukan supaya pribadinya
semakin baik, melainkan supaya hidupnya berlangsung dalam kenikmatan yang mubazir saja.”
Dari dokumen ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Gereja menganggap
konsumerisme sebagai gaya hidup yang dapat merusak kehidupan manusia. Konsumerisme dapat
membuat manusia terjerat dalam penyembahan berhala terhadap barang-barang hasil produksi. 8
6
Gaudium et Spes 246
Bdk. GS 244
8
Bdk. Dokumen ASG, hlm 205. 244
7
Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati daripada menemukan dan mengembangkan
dirinya, maka ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap sumber-sumber daya bumi
maupun hidupnya sendiri.9 Kecenderungan manusia untuk memiliki dan menikmati ini membuat
manusia mudah masuk dalam gaya hidup konsumeris.
Mgr. Ignasius Suharyo dalam bukunya yang berjudul The Catholic Way memandang
konsumerisme dari kacamata ekonomi, psikologi, dan moral kristiani. Dari sudut pandang moral
kristiani diajukanlah beberapa pertanyaan. Pertama, apakah konsumerisme itu memerdekakan?
Jawabannya tidak, karena setiap orang yang terjebak di dalam konsumerisme berarti ia telah
diperbudak oleh ideologi tertentu yang menguasai media massa seperti iklan. Kedua, apakah
konsumerisme adil? Jawabannya tidak, konsumerisme membuat kebutuhan setiap orang seolaholah semakin bertambah banyak dan harus segera dipenuhi. Hal ini dengan sendirinya membuat
perusahaan-perusahaan industri semakin memperbanyak produksinya karena permintaan
konsumen yang semakin bertambah. Meskipun produksi semakin ditingkatkan, tatapi apakah
kesejahteran orang-orang di perusahaan-perusahaan itu meningkat? Yang jelas pemilik modal
akan semakin sejahtera sedangkan pekerja atau buruhnya mungkin sebaliknya. Ketiga, apakah
konsumerisme bertanggung jawab? Jawabannya tidak, karena denga meningkatkan produksi
suatu barang berarti kebutuhan akan bahan baku akan semakin meningkat dan bahan baku
tersebut hanya bisa diperoleh dari sumber daya alam. Sumber daya alam dikuras sebanyakbanyaknya untuk kepentingan produksi yang keuntungannya hanya dinikmati oleh orang-orang
atau kelompok-kelompok tertentu saja. Akhirnya yang menjadi korban adalah negara-nagara
yang miskin yang hutannya ditebang dan sumber daya alamnya diekploitasi tanpa kendali.
Keempat,
apakah
konsumerisme
membahagiakan?
Jawabannya
tidak,
kebahagiaan
mengandaikan relasi yang harmonis dengan Allah, sesama dan alam ciptaan serta bersifat lestari.
Sedangkan konsumerisme itu hanya membuat orang senang sesaat dan tidak pernah memperoleh
kepuasan.
9
Cita Masyarakat Abad 21.