PENGANTAR ILMU POLITIK RESENSI BUKU Tero

PENGANTAR ILMU POLITIK
RESENSI BUKU “Teroris(me) Global : Aktor dan Isu Global Abad XXI”
Dr. Agus Subagyo, S.IP. M.Si

Disusun oleh :
Titis Agustina
6211161135
Universitas Jendral Achmad Yani
Cimahi

DAFTAR ISI
Daftar Isi....................................................................................................................... 2
Identitas Buku............................................................................................................... 3
Pendahuluan......................................................................................... 4
Isi/Subtansi Buku.......................................................................................................... 6
 BAB 1 Hubungan Internasional dan Terorisme........................................ 6
 BAB 2 Dunia dan Terorisme....................................................................... 10
 BAB 3 Osama Bin Laden dan Terorisme................................................... 13
 BAB 4 Indonesia dan Terorisme................................................................. 14
 BAB 5 TNI dan Terorisme........................................................................... 16
 BAB 6 Polri dan Terorisme......................................................................... 19

Kekuatan dan Kelemahan Buku................................................................................... 20
Kontribusi Buku Terhadap Studi Ilmu Politik.............................................................. 21

2

 IDENTITAS BUKU

Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tanggal Terbit
Kota Penerbit
Jumlah Halaman
Tebal Buku
Ukuran Dimensi Buku
ISBN
Jumlah Bab

: Teroris (me) Aktor dan Isu Global Abad XXI
: Dr.Agus Subagyo, S.IP.,M.SI

: ALFABETA, cv
: April 2015
: Bandung
: iii + 106 halaman
: 110 halaman
: 14,5 x 20,5 cm
: 978-602-289-127-7
: 6 Bab

3

PENDAHULUAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resensi itu sendiri diartikan sebagai
pertimbangan atau pembicaraan tentang buku dan sebagainya. Secara garis besar resensi
diartikan sebagai kegiatan untuk mengulas atau menilai sebuah hasil karya baik itu berupa
buku, novel, maupun film dengan cara memaparkan data-data, sinopsis, dan kritikan terhadap
karya tersebut. Resensi bermanfaat agar dapat melatih kita untuk membaca dan menilai suatu
karya dari rang lain. Selain manfaat membaca yang menambah wawasan, membaca juga
dapat membuka pemikiran kita terhadap permasalahan agar permasalahan yang kita hadapi

dapat dipecahkan dengan pemikiran yang luas dan tidak terbatas.
Peningkatan minat studi Hubungan Internasional pada era reformasi saat ini didorong
pula oleh adanya arus globalisasi, pasar bebas, perdagangan bebas, perkembangan teknologi
informasi, dan semakin meningkatnya mobilitas manusia, barang, dan jasa antarnegara
sehingga banyak masyarakat yang terdorong untuk memahami konteks global dan regional
dan setiap permasalahan nasional dan okal.
Dinamika Hubungan Internasional sekarang ini terbelah menjadi dua zona, yakni zona
teroris dan zona anti teroris. Semua negara di dunia ini terpengaruh oleh munculnya isu dan
dan aktor global abad 21, yakni teroris dan terorisme. Berbagai organisasi internasional,
seperti PBB juga setiap tahunnya mengeluarkan daftar hitam nama-nama organisasi terorisme
internasional yang patut untuk dihancurkan. Berbagai organisasi regional, seperti Asean dan
Uni Eropanya misalnya, mengeluarkan berbagai konvensi atau kesepakatan yang menentang
keberadaan terorisme dan melakukan langkah aksi bersama untuk melawan terorisme.
Buku ini mengulas tentang aktor dan isu global abad XXI yang banyak mendapatkan
sorotan oleh publik internasional, yaitu terorisme. Terorisme merupakan salah satu aktor
dalam hubungan internasional dan menjadi isu global yang mewarnai konstelasi hubungan
internasional dewasa ini. Buku ini mengulas tentang terorisme yang dilihat dari prespektif
global dan hubungan internasional. Selain itu, dibahas pula bagaimana dinamika aksi
terorisme di Indonesia dan upaya yang dilakukan oleh Polri, dan juga TNI, dalam melakukan
pemberantasan terhadap terorisme di Indonesia.


4

Secara sistematika, buku ini terdiri dari 6 BAB. Bab pertama berisi tentang Hubungan
Internasional dan Terorisme. Dalam bab ini terdapat subbab yang terdiri dari HAM dan
Hubungan Internasional, Terorisme: Kembali ke High Politics?, HAM versus Terorisme
“Global Antiterrorism Governance”, Konteks Domestik Indonesia. Bab kedua berisi tentang
Dunia dan Terorisme yang terdiri dari Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”,
Terorisme: Konstelasi Baru dalam Politik Internasional, Global Antiterrorism Governance,
Aktor dan Isu Global Abad XXI. Bab ketiga berisi tentang Osama Bin Laden dan Terorisme
yang terdiri dari Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?, Osama Bin Laden: Dalang
Tragedi WTC dan Pentagon. Bab keempat berisi tentang Indonesia dan Terorisme terdiri dari
Reformasi: Radikalisme, Terorisme dan Civil Society, Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi
Bom Bali, Relasi Al Qaeda dan jama’ah Islamiyah. Bab kelima berisi tentang TNI dan
Terorisme terdiri dari TNI, Terorisme dan perkembangan Lingkungan Strategis, TNI,
Terorisme, dan Stabilitas Nasional, Daya Dorong TNI Terlibat Dalam Penanganan Terorisme,
Peluang dan Kendala TNI. Bab keenam berisi tentang Polri dan Terorisme yang terdiri dari
Polri, Densus 88 AT, dan Terorisme, Intelijen Polri dan Terorisme.
Melalui uraian dalam bab-bab buku ini, diharapkan akan dapat memberikan gambaran
dasar pada semua penstudi hubungan internasional tentang betapa luasnya ruang lingkup

kajian hubungan internasional sehingga diperlukan wawasan yang luas, pembacaan yang
komprehensif, dan pengetahuan yang mendalam dari para penstudi hubungan internasional
ketika akan masuk untuk mempelajari, menganalisis,dan menelaah berbagai dinamika dan
permasalahan hubungan internasional.

5

BAB I
Hubungan Internasional dan Terorisme

Peristiwa Selasa, 11 september 2001, yang menewaskan 6.000 orang warga sipil
memang sangat dahsyat. Meski hanya dialami oleh AS, tak urung tragedi WTC dan Pentagon
telah menjadi “teror” bagi seluruh dunia. Kepanikan dan ketakutan mewarnai AS. Presiden
AS, George W. Bush, segera mengumumkan kepada dunia bahwa AS diserang teroris. Tanpa
didukung oleh data dan fakta yang akurat, Bush menuduh Osama bin Laden dan jaringan Al
Qaeda sebagai dalang dibalik tragedi kamikaze itu.
Pasca tragedi tersebut kelabu dan runtuhnya rezim Taliban oleh pasukan koalisi, AS
segera mencanangkan program perang melawan terorisme global. Prinsip-prinsip hak asasi
manusia (selanjutnya disebut HAM) dan kedaulatan negara, yang seharusnya dijungjung
tinggi dalam arena internasional, mulai tidak diindahkan demi membasmi terorisme global.


A. HAM dalam Hubungan Internasional
Dalam literature Ilmu Politik, hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dan hak itu dimiliki oleh seluruh masyarakat tanpa
membedakan bangsa, ras, agama, atau kelamin, kerena itu bersifat asasi atau universal
(menyeluruh).
Secara historis-empiris, tonggak-tonggak penting pemikiran dan gerakan hak asasi
manusia dapat dilacak kembali pada lahirnya Magna Charta 1215, Glorius Revolution
1688, Deklarasi Kemerdekaan AS, pemikiran Trias Politika,dan Kontrak Sosial. Isu
pokoknya adalah bahwa kewenangan negara harus mewujudkan dan sekaligus
memberikan perlindungan atas hak-hak individu, hak-hak politik, sipil maupun hak-hak
ekonomi.
Dalam konteks hubungan internasional, upaya implementasi HAM mengalami
benturan dan perdebatan .
Secara garis besar, perdebatan itu dapat dirangkum dalam dua pandangan berikut.
Pertama, Autonomy of states. Pandangan ini menekankan pada pengakuan atas prinsip
kedaulatan negara dalam hubungan internasional. Pandangan ini bersumber dari

6


pemikiran klasik Thomas Hobbes, yaitu bahwa dalam hubungan internasional, masingmasing negara mempunyai kedudukan yang sama; dalam keadaan states of nature.
Kedua, Cospolitan Perspective. Pandangan ini bertumpu pada pengakuan HAM pada
tingkat individu secara universal. Dalam dunia yang mengalami saling ketergantungan,
tidak relevan membatasi prinsip keadilan dalam batas-batas nasional yang sempit.
Meskipun Autonomy of States dan Cosmopolitan Perspective saling bertolak belakang
baik dilihat dari asumsi-asumsi yang mendasari maupun pemikiran yang dikembangkan,
terdapat kesamaan yang mendasar, yakni keduanya mengklaim HAM sebagai masalah
fundamental dari demokrasi. Ironisnya, kesamaan klaim ini tidak dapat mencegah
pertentangan seputar pengaplikasian isu HAM secara internasional atau proses
internasionalisasi HAM. Dalam arti perdebatan ini kemudian mengundang dua
penafsiran yang berbeda tentang HAM. Pertama, bahwa isu HAM adalah alat negaranegara Barat untuk mengejar kepentingan sendiri sekaligus strategi untuk melakukan
intervensi ke negara lain. Kedua, bahwa isu HAM adalah suatu keharusan sejarah
manusia yang tak terelakan.

B. Terorisme: Kembali ke High Politics?
Konstelasi politik internasional pasca Perang Dunia II mengalami perubahan yang
besaran, luasan, dan kedalamannya luar biasa. Mengenai dinamika perubahan sistem
internasional pasca perang dunia II beserta dampak ikutannya ini dapat dilihat secara
mendalam.

Namun, berakhirnya perang Dingin, dunia mengalami perubahan-perubahan cept dan
mendasar diberbagai bidang yang pada gilirannya mengakibatkan berlanjutnya proses
transformasi luas pada peta politik dan ekonomi global serta pada pola hubungan antar
negara. Paling tidak terdapat empat perubahan mendasar yang akan turut menentukan
wujud tatanan politik dunia.
Pertama, kecenderngan ke arah perubahan dalam konstelasi politik global dari suatu
kerangka bipolar mengarah ke kerangka multipolar. Kedua, menguatnya gejala saling
ketergantungan (intredependensi) antar negara dan saling keterkaitan (interlink age)
antar masalah global diberbagai bidang, politik, keamanan, ekonomi, dan lingkungan
hidup. Ketiga, meningkatnya peranan-peranan aktor non pemerintah dalam tata
hubungan antar negara. Keempat, munculnya isu baru dalam agenda internasional,
seperti masalah HAM, intervensi humaniter, demokrasi, Good Governance, Civil
Society, lingkungan hidup dan pemberantasan korupsi.

7

C. HAM versus Terorisme: “Global Antiterorism Governance”
Dalam konstruk teoritik, istilah HAM dan terorisme merupakan istilah yang
berlawanan HAM.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara menangani dan mencegah tindak

terorisme itu. Kesulitan yang dihadapi adalah kenyataan bahwa kegiatan terorisme telah
melintas batas antar negara. Masalah “metode” penanganan terhadap terorisme global
inilah yang terus-menerus menimbulkan pro kontra. Substansi dari masing-masing
ngeara terhadap terorisme global yang sama, yakni harus harus dicegah dan diberantas
karena sangat bertentangan dan mengancam perdamaian, stabilitas, dan keamanan
internasional. Namun, cara atau metode yang harus ditempuh belum ada kesepakatan
yang bersifat global.
Di samping itu, PBB juga harus mengambil alih tongkat komando perang melawan
terorisme. Semua hal yang berkaitan dengan terorisme harus didiskusikan lewat forum
PBB sehingga akan tercipta sinergi positif efektif dalam memerangi terorisme global
“global antiterorism governance” juga harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM
baik berskala nasional maupun internasional,

D. Konteks Domestik Indonesia
Perubahan global diawal milenium ketiga ini, tentu saja mendorong setiap negara dan
lembaga internasional, untuk menyesuaikan diri pada konstelasi global tersebut.
Terlebih lagi, pasca tragedi WTC dan pentagon, Indonesia banyak mendapat sorotan
dunia internasional berkait dengan penangkapan Agus Budiman di AS, Faturohman Al
Ghozi dan Tamsil Linrung di Filipina, dan Tuduhan Lee Kuan Yew bahwa Indonesia
sebagai sarang teroris.

Upaya Indonesia dalam memerangi terorisme global yang terdiri dari tiga lapis
strategi terekam dalam laporan yang disampaikan kepada komite kontra terorisme
(Center Terrorism Committe/CTC) DK PBB berikut ini.
Pertma, dalam skala internasional, Indonesia berupaya memperluas kerjasama
dengan ASEAN, Gerakan Non Blok (GNB), Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan
negara-negara Pasifik. Kedua, dalam skala regional, Indonesia juga terlibat secara
intensif

melawan terorisme bersama Filipina, Singapura, dan Malaysia. Bahkan,

Indonesia juga menandatangani sebuah Memorandum of Understanding untuk
memberantas terorisme bersama Australia. Ketiga, dalam skala nasional, Indonesia
secara intensif menggodog RUU antiterorisme, RUU money laundring, dan
memperbaiki sistem keimigrasian.

8

Berkait dengan RUU antiterorisme, masih menimbulkan perdebatan oleh berbagai
kalangan. Sebagian besar kalangan mengkritisi RUU antiterorisme sebagai anti prinsip
HAM dan nilai demokrasi. Pasal-pasal dalam RUU itu mengarah pada kembalinya

security approach dalam mengelola politik nasional sebagaimana diterapkan rezim Orde
Baru. Oleh karena itu, RUU itu harus memerlukan peninjauan kembali secara
mendalam.
Demikianlah, Indonesia harus melakukan proses-proses penyesuaian diri dalam
berinteraksi dengan negara-negara lain di dunia. Para pemikir dan perumus kebijakan
luar negri menyadari bahwa konteks global pasca serangan 11 September 2001 telah
mengalami perubahan-perubahan mendasar. Isu HAM sudah bergeser menjadi isu
terorisme. Perang melawan terorisme global yang dilakukan oleh AS berimplikasi pada
terpasungnya prinsip HAM. Oleh karena itu, konsep “global antiterrorism governance”
harus segera dirumuskan oleh masing-masing negara melalui prosedur organisasi
internasional, yakni PBB.

9

BAB II
DUNIA DAN TERORISME

A. Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”
Pasca 11 September 2001, perhatian Dunia Internasional tersedot pada isu
seputar aksi terorisme. Peristiwa penghancuran gedung World Trade Center di New
York dan gedung Pentagon, Kantor Departemen Pertahanan AS, di Washington, oleh
pesawat komersial yang diduga dibajak kelompok terorisme pada tanggal 11
September yang lalu, membelalakan mata setiap orang.
Pandangan dan tindakan AS yang positivistik dalam menangani permasalahanpermasalahan internasional telah mengabaikan nilai-nilai hukum dan aturan-aturan
demokratis yang selama ini ia junjung tinggi.
Secara ekonomis, disinyalir bahwa kawasan Asia Tengah dan Laut Kaspia
dikenal menyimpan cadangan minyak bumi terbesar kedua setelah kawasan Arab
Teluk. Jika AS berhasil menancapkan kukunya di Afghanista, negara adidaya ini akan
dengan mudah menguasai sumber-sumber ekonomi dan potensi mineral yang sangat
melimpah dan belum tergarap di kawasan ini. Selama ini, kepentingan-kepentingan
ekonomi AS di Asia Tengah hanya berfokus pada India dan Pakistan. Kepentingankepentingan ekonomi AS di Afghanista terganggu sejak naiknya rezim Taliban
menduduki pemerintahan dengan menggulingkan presiden Burhanudin Rabbani tahun
1996.
Indikasi adanya motif geografis-ekonomis ini tentunya membuat gerah negri
kaum Mullah, Iran. Sebagai negara yang berpengaruh di kawasan ini dan adanya
kepentingan Iran atas Afghanistan, membuat Iran mempunyai kecurigaan yang besar
atas motivasi lain AS dibalik penyerangan terhadap Afghanistan. Kepentingan Iran
akan terancam jika AS hadir secara dominatif di kawasan Asia Tengah dan Laut
Kaspia. Memang, Iran bermusuhan dengan rezim Taliban semenjak peristiwa
penyanderaan dan pembunuhan 8 Diplomat Iran oleh orang-orang Taliban tahun 1998.
Namun, Iran juga tidak menginginkan adanya intervensi dalam hegemoni AS atas
Afghanista.
Dengan demikian, yang patut dijadikan catatan disini adalah semua sepakat
bahwa aksi-aksi terorisme harus dihancurkan. Tapi, cara-cara militer dengan
menyerang negara berdaulat untuk mencari tokoh dan kelompok terorisme global

10

patut disesalkan karena melanggar kedaulatan sebuah negara. Cara-cara militer yang
merupakan bagian besar dari praktek-praktek ideologi “politik realis” demokrasi, AS
seharusnya menerapkan ideologi “humanisme dan moralisme politik” dalam
mempraktekkan politik luar negrinya. Tragedi WTC dan Pentagon merupakan
momentum yang tepat untuk mentransformasi dan meresposisinya politik luar negri
AS.

B. Terorisme: Konstelasi Baru Dalam Politik Internasional
Dalam menghadapi kelompok-kelompok terorisme global dan negara-negara
yang dianggap melindungi dan memberikan fasilitas bagi praktek-praktek terorisme
global, George W. Bush, memiliki pemikiran “Kalau anda bukan teman saya,
pastilah anda musuh saya. Saya tidak membedakan terorisme dengan negara yang
melindungi terorisme”. Pemikiran yang sangat subyektif ini telah mengkristal
menjadi sebuah doktrin dan dijadikan sebagai patokan dalam upaya memerangi aksi
terorisme global.
Kampanye antiterorisme AS yang disertai tekanan-tekanan politik telah
menciptakan ketidakharmonisan kawasan. Di Timur Tengah, Rencana AS menyerang
Irak dan konflik berkepanjangan antara Israel Palestina telah menciptakan keresahan
di kawasan paling panas di dunia ini.
Doktrin Bush yang memprioritaskan pada upaya memerangi terorisme global
dalam setiap langkah kebijakan politik luar negri AS, secepat kilat mendorong isu
terorisme menjadi isu global pada awal abad ke-21 ini, mengalahkan isu-isu yang
sebelumnya mendominasi tatanan politik global seperti demokrasi, hak asasi manusia,
good governance, dan lingkungan hidup. Isu terorisme telah mencuat ke permukaan
sehingga sangat mempengaharui konstelasi politik dunia.
Dengan demikian, masing-masing negara dengan disponsori oleh PBB
seharusnya mencetuskan sistem penanganandan pengelolahan yang dapat menangkal
terorisme global (Global Antiterorism Governance). Setelah itu, PBB harus
mengambil alih tongkat komando dalam perang melawan terorisme sehingga sepak
terjang AS dapat dikontrol atau dibatasi.
C. Global Antiterorrism Governance
Dalam ilmu hubungan internasional, organisasi terorisme adalah salah satu
aktor dalam percaturan politik internasional, karena sifatnya yang melintas batas antar

11

negara. Namun, sebagai aktor global, organisasi terorisme baru diakui secara luas
setelah sepak terjangnya pada masa perang dingin dan mencapai klimaksnya ketika
meletus tragedi WTC dan pentagon, AS, pada tanggal 11 September 2001 lalu.
Di samping itu, pengelolaan dan penanganan masalah terorisme secara
globalini harus bertumpu pada pendekatan dialog dan kalaupun memakai cara-cara
militer harus didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB, sehingga tidak
menimbulkan kritik dan resistensi dari berbagai pihak. Dengan begitu, diharapkan
gerakan antiterorisme medapat dorongan semua negara. Dan pada akhirnya, praktekpraktek terorisme global dapat dicegah sedini mungkin.
Dengan demikian, terorisme global akan terus menjadi wacana yang kembali
mengubah mainstream politik internasional dari yang sebelumnya “from high politics
to low politics” menjadi “ from low politics to high politics”.

D. Aktor dan Isu Global Abad XXI
Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan
perubahan cepat dan mendasar pada gilirannya mempengaharui proses transformasi
pada konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara ekonomi, timbul gejala
globalisasi ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan
perdagangan bebas. Perubahan politik dan ekonomi global tersebut telah memapatkan
negara-bangsa pada pola hubungan saling ketergantungan (inter-dependensi) dan
saling keterkaitan (inter-linkage).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa formasi negara dalam interaksi
domestik dan internasional mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian ini
sebenarnya hanya sekedar merespons dinamika eksternal yang berkembang,
khususnya menanggapi kepentingan AS yang secara gencar menggembar-gemborkan
prang melawan terorisme global. Oleh karena itu, kita semua harus mewaspadai
kepentingan asing yang sebenarnya ingin memecah persatuan bangsa.

12

BAB III
OSAMA BIN LADEN DAN TERORISME

A. Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?
Siapa sebenarnya dalang dibalik tragedi WTC dan Pentagon? Apakah benar
Osama Bin Laden pelakunya atau ia hanya korban yang dikambinghitamkan? Apakah
ada sebuah grand opinion design atau hasil rekayasa licik AS-Israel dibalik tragedi
WTC dan Pentagon tersebut? Opini publik yang berkembang di AS menunjukan
bahwa Osama Bin Laden dan Jaringan Al-Qaeda-nyalah yang melakukan perbuatan
biadab tersebut. Hal itu didasarkan pada informasi dan penemuan-penemuan yang
dikembangakn oleh pemerintah AS, diperkuat dengan kesaksian seperti, senator dari
utah, Orrin Hatch, Badan Intelijen AS, CIA, dan penuturan beberapa penumpang
pesawat Boeing 757, seperti Jeremy Glik, warga New Jersey.
Menurut Osama, teroris yang melakukan penyerangan itu dari kelompok
orang-orang AS sendiri. Ia sama sekali tidak memiliki apapun untuk melakukan
serangan dahsyat itu. Meski demikian, Osama menyatakan bersyukur atas tragedi
WTC dan Pentagon sembari mengajak umat islam untuk mempergunakan seluruh
kemampuan mempertahankan invasi dari pasukan perang salib AS di pakistan dan
Afghanistan.

B. Osama Bin Laden: Dalang Tragedi di WTC dan Pentagon?
Osama Bin Laden yang bernama asli Usamah bin Muhammad Awad bin
Laden, adalah anak ke-17 dari 50 bersaudara. Dia lahir di Riyadh tahun 1957, saat
ayahnya, Moehammad bin Laden telah sukses menjadi konglomerat Arab Saudi yang
berkecukupan dalam segi ekonomi dan kasih sayang.
Tragedi WTC dan Pentagon sempat menimbulkan pertanyaan dan keraguan
akan kemampuan sistem pertahanan rudal nasional AS yang menelan biaya sekitar U$
$60 Miliyar itu. AS yang dapat menguasai semua titik rawan di seluruh dunia ternyata
kecologan di dalam negri sendiri. Ibarat pepatah, musuh disebrang lautan nampak,
teroris di pelupuk mata tidak terlihat. Mungkin kejadian ini dapat menjadi shock
therapy bagi AS untuk membenahi diri dan mawas diri.

BAB IV
13

INDONESIA DAN TERORISME

A. Reformasi: Radikalisme, Terorisme, dan Civil Society
Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme, dan militasi yang merebak di
Indonesia adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan
kolektif dan kerusuhan sosial di Sampit, Poso, dan Ambon.
Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu redup digeser oleh
radikalisme teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah
ada secara dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman diberbagai
Gereja pada malam natal, peledakan Bom di Atrium Senin, pengeboman Masjid
Istiqlal, dan bom di Kedubes Filipina di Jakarta.
Prespektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralisme,
melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme
tidak memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan langsung pada tindak
kekerasan yang membahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan prespektif
multikulturalisme yang mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan,
kemanusiaan, penghormatan antar manusia, dan pengakuan akan perbedaan.
Bagaimanapun juga, kita semua tidak menginginkan bangsa ini menjadi
bangsa yang memiliki cap “Republik Teror”. Oleh karena itu, tragedi bom bali harus
dijadikan momentum yang tepat untuk menyadarkan kepada bangsa Indonesia bahwa
isu-isu terorisme akan sangat membahayakan semangat multikulturalisme di tengahtengah kehidupan sosial masyarakat. Terorisme adalah musuh baru multikulturalisme.

B. Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali
Secara umum, masyarakat pasca tragedi bom Bali turut prihatin atas peristiwa
bom Bali yang menurut berbagai kalangan merupakan aksi teror paling besar kedua di
dunia setelah tragedi WTC dan Pentagon di AS; dan juga merupakan aksi teror paling
besar dalam lembar sejarah terorisme di Indonesia. Selain itu, diterbitkannya Perpu
Antiterorisme oleh pemerintah Indonesia menyusul tragedi bom Bali juga banyak
dipuji dan didukung oleh masyarakat internasional. Paling tidak, hal ini tercemin
dalam rangkaian pernyataan para kepala negara dan pemerintahan disidang APEC
bebrapa waktu yang lalu.
Melihat berbagai peristiwa secara mendalam, perlu diciptakan wahana dialog
antara berbagai kelompok dan stake holders yang terkait dalam upaya mendamaikan

14

dan mengahrmoniskan relasi Islam-negara. Perlu kiranya diciptakan sarana mediasi
untuk menjembatani antara berbagai presepsi dan kepentingan masing-masing pihak
sehingga tercipta keharmonisan hubungan masing-masing pihak. Kita semua tentu
menginginkan sebuah kerjasama dari seluruh komponen bangsa dalam memberantas
terorisme, termasuk kerjasama antara pemerintah dengan kelompok islam garis keras
yang selama ini dituduh sebagai kelompok teroris. Jika pemerintah berhasil
menggandeng kelompok-kelompok islam ini, niscaya akan dapat dijadikan modal
yang kuat dalam mencegah praktek-praktek terorisme tanpa mengganggu proses
demokratisasi yang sedang berlangsung dalam usaha membentuk tata pemerintahan
Indonesia baru. Dengan kata lain, pemerintah haruskooperatif dan persuasif terhadap
kelompok islam, bukan agresif sebagaimana yang selama ini dipertontonkan.

C. Relasi Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah
Sebagai negara yang terbuka terhadap perkembangan lingkungan strategis,
Indonesia sangat terpengaruh oleh isu terorisme global. Keamanan dalam negri
Indonesia sangat terancam oleh aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah
Indonesia, mulai dai Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan, Bom JW Marriot, Bom
Poso, Bom Atrium Senin, dan lain-lain (Laporan Menkopolliulkam, 2006).
Jamaah Islamiyah atau sering disebut pula dengan Al Jamaah Al Islamiyah (JI)
adalah organisasi keagamaan radikal yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Baasyir pada tahun 1993. Organisasi ini beroperasi di Malaysia, Singapura,
Indonesia, Philipina dan Thailand. Pada tahun 2001, JI dimasukan dalam daftar 10
organisasi teroris oleh PBB atas desakan AS.

15

BAB V
TNI DAN TERORISME

Perkembangan

lingkungan

strategis

yang

ditandai

dengan

adanya

saling

ketergantungan antar negara dimana setiap perubahan yang terjadi pada suatu negara akan
mempengaharui negara lain merupakan gambaran kondisi dunia yang telah menapaki era
globalisasi, yang diakselerasi khususnya teknologi informai dan komunikasi. Sebagai negara
yang telah masuk dalam lingkaran arus globalisasi, Indonesia tidak dapat terlepas dari
pengaruh perkembangan lingkungan strategis tersebut. Setiap perubahan yang terjadi pada
tataran global dan regional sangat mempengaharui kondisi nasional bangsa Indonesia,
khususnya di era reformasi saat ini.

A. TNI, Terorisme, dan Perkembangan Lingkungan Strategis
Permasalahan pelanggaran HAM telah dijadikan oleh negara-negara maju,
termasuk AS untuk menekan dan mengintervensi negara-negara berkembang dengan
melakukan embargo militer dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang
terkena dampaknya. Sejak tahun 1999, khususnya ketika terjadi kerusuhan pasca jajak
pendapat di Timor-Timur, Indonesia dituduh oleh negara-negara Barat melanggar
HAM sehingga dijatuhi embargo persenjataan yang tentunya berdampak negatif
terhadap sistem persenjataan negara.
Perkembangan di wilayah Asia Tenggara menunjukkan kondisi yang memanas
dengan adanya aksi teror yang semakin meningkat di negara Philipina dan Thailand.
Kuat adanya dugaan bahwa terdapat jaringan antara kelompok teroris yang ada di
Thailand dan Philipina yang mempunyai hubungan dengan kelompok terorisme yang
ada di Indonesia.

B. TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional
Menguatnya radikalisme, fundamentalisme, dan militansi agama, khususnya
agama Islam yang dipraktekan secara keliru oleh sebagian kecil pemeluknya telah
mendorong adanya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. Aksi teror
dipahami secara salah kaprah sebagai “jihad” dimana mati dalam aksi teror

16

merupakan “syahid”. Islam telah salah digunakan sebagai ideologi oleh sekelompok
orang melakukan aksi teror. Islam yang sebenarnya merupakan ajaran agama yang
tidak mengajarkan kekerasan dan justru mengutamakan perdamaian antar umat
manusia telah menjadi “momok” dan “monster” yang menakutkan hanya
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penanganan terhadap aksi
terorisme belum mewadahi secara eksplisit unsur satuan khusus anti teror TNI. UU
terorisme tersebut masih sangat terbatas dan belum detail dalam penanganan aksi
teror di Indonesia. UU terorisme tersebut belum dijabarkan dalam aturan perundangundangan dibawahnya seperti PP, Perpres atau peraturan di bawah lainnya.

C. Daya Dorong TNI Terlibat dalam Penanganan Terorisme
Aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia telah membuat
semua pihak sadar dan paham akan pentingnya suatau mekanisme dan prosedur
penanggulangan aksi terorisme. Namun demikian, masih sangat terbatas pihak-pihak
yang menyadari bahwa dalam penanggulangan aksi terorisme perlu melibatkan semua
pihak, khususnya TNI.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah gagasan tentang pemberdayaan
satuan penanggulangan teror TNI untuk mengatasi aksi terorisme dalam rangka
stabilitas nasional. Diperlukan aturan pelibatan satuan penanggulangan teror TNI
ketika suatu wilayah mengalami goncangan akibat aksi terorisme untuk membantu
pihak Kepolisian RI.
Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua macam TNI, yakni Operasi
Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
D. Peluang dan Kendala TNI
Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang yang dapat
dimanfaatkan sehingga akan dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain:
Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan peluang
bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional, termasuk AS, bahwa
penanganan aksi teror tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata,
melainkan memerlukan keterlibatan satuan khusus anti teror TNI. Perhatian
masyarakat internasional, khususnya AS dalam penanganan aksi teror di dunia dapat
dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meloby agar supaya AS sesegera mungkin
mencabut embargo senjata secara total sehingga dapat memberikan kekuatan bagi
satuan khusus anti teror TNI dalam menangani aksi teror.

17

Citra positif masyarakat internasional terhadap kepemimpinan nasional yang
dinilai sangat komit terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM dan good governance
menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggalang dukungan internasional dalam
menyelesaikan aksi teror secara mandiri tanpa ada intervensi dari negara lain.
Masih adanya perpsepsi negatif sebagian kecil masyarakat yang menyatakan
bahwa pemberian porsi yang besar bagi satuan khusus anti teror TNI akan dapat
mendorong pelanggaran HAM. Kondisi yang demikian tentunya dapat menjadikan
hambatan bagi TNI untuk berperan serta aktif dalam menangani aksi teror. Sebagian
masyarakat belum tahun dan belum paham bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan
teror merupakan amanat UU TNI sehingga perlu ada kecurigaan terhadap TNI dalam
menangani aksi teror.
Kondisi masyarakat yang masih tradisional pola pikir dan pola tindaknya
sehingga menyulitkan bagi semua pihak untuk menangani aksi teror secara
komprehensif. Kondisi masyarakat yang masih belum modern, belum matang, dan
belum mandiri membuat provokasi teror dapat dengan mudah masuk ditengah
masyarakat sehingga menyulitkan penanganan terhadap aksi teror. Sentuhan agama
merupakan alat yang cukup jitu dan manjur dalam mempengaharui masyarakat untuk
melakukan tindakan teror.

18

BAB VI
POLRI DAN TERORISME

A. Polri, Densus 88 AT dan Terorisme
Indonesia sangat rawan terjadinya aksi terorisme sehingga harus ditanggulangi
sedini mungkin. Sejarah terorisme di Indonesia diawali dari adanya DI/TII
Kartosuwiryo yang kemudia terjadi berbagai pemberontakan dengan tujuan mengubah
dasar negara Pancasila menjadi dasar agama Islam. Tindak pidana terorisme saat ini
mengalami perubahan modus operandi dari alat bom menjadi senjata api, bom buku,
dan dari sasaran asing menjadi sasaran domestik, dimana Polri dianggap sebagai
musuh yang harus dibunuh.
Kemampuan analisis Densus 88 AT selama ini sebenarnya sudah cukup bagus
terbukti dari terungkapnya dan tertangkapnya berbagai jaringan dan pelaku terorisme
serta mengungkap berbagai rencana pengeboman yang dirancang oleh para teroris
sehingga dapat mencegah terjadinya aksi terorisme.

B. Intelijen Polri dan Terorisme
Perkembangan lingkungan strategis di tingkat global, regional, nasional, dan
lokal yang semakin dinamis memerlukan kemampuan prediksi dan antisipasi yang
dilakukan oleh polri sehingga setiap efek, dampak, dan implikasi negatif dapat
terdeteksi secara dini.
Fungsi satuan intelkam adalah pengamanan dan penggalangan untuk
keperluan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama penegak hukum,
pembinaan kamtibnas, serta keperluan tugas bantuan pertahanan dan kekuatan sosial.
Intelijen adalah segala upaya dan kegiatan dalam mempelajari masa lalu
kemudian mengelola berbagai permasalahan masa kini dan mengantisipasi masa
depan. Fungsi Intelkam Polri diperankan secara berjenjang oleh Baintelkam di tingkat
Mabes Polri, DirIntelkam di tingkat Polda, dan Kasat Intelkam di tingkat Polres.

19

KEKUATAN DAN KELEMAHAN BUKU

Kekuatan Buku:
o Isi buku ini menjelaskan se1ara jelas isi materi dan 1ontoh kasusnya sehingga
2emba1a da2at membayangakan isi materi tersebut.
o Penulis juga mencantumkan sumber-sumber referensi dengan lengkap sehingga
isi/substansi buku jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kelemahan Buku:
o
o
o
o

Isi buku banyak yang mengulang dan bertele-tele sehingga membuat pembaca bosan.
Ada beberapa kata yang salah.
Cover buku memang cukup menggambarkan isi buku, namun kurang menarik.
Kurangnya tersediaan buku.

20

KONTRIBUSI BUKU DALAM STUDI ILMU POLITIK

Kontribusi buku terhadap hubungan internasional sudah sangat jelas. Seperti dalam
literature Ilmu Politik, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirn atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat. Begitu pula topik buku ini mengangkat tentang isu global saat ini yaitu
Terorisme. Terorisme yang merupakan salah satu aktor dalam ilmu hubungan internasional
sangat berpengaruh besar dalam kehidupan global masyarakat ini, bisa dilihat dari peristiwa
yang dialami oleh AS beberapa waktu lalu yang secara tidak langsung mempengaruhi
kehidupan banyak masyarakat.
Buku ini berguna untuk menambah pengetahuan bagi masyarakt umum,terlebih
kalangan TNII maupun Polri yang berhubungan dengan isu keamanan ini. Bagi penstudi HI,
buku ini akan menjadi salah satu bahan analisis yang dapat menambah pengetahuan
mengenai isu global, dan memikirkan dengan baik.

21