Filsafat Modern Hegel Paper UTS .docx

ADA YANG ABSOLUT
(Konsep Metafisis dalam perspektif G.W.F Hegel)

I.

Pendahuluan
Zaman modern dapat dianggap sebagai sebuah pemberontakan terhadap alam pikir
abad pertengahan. Renaisans yang menghidupkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi
sebagai alternatif terhadap kebudayaan Kristiani bukan hanya merupakan pemberontakan di
bidang nilai-nilai kultural melainkan juga pemicu hadirnya gebrakan intelektual. Apakah
sebenarnya alam pikir yang mendasari zaman modern ini? Para filsuf modern menegaskan
bahwa pengetahuan pada dasarnya tidak berasal dari kekuasaan feodal Gereja melainkan juga
dari diri manusia sendiri (akal budi). Sifat pemikiran tidak lagi ontologis, teologis dan
metafisis, melainkan lebih bersifat kritis rasional.
Secara umum para filsuf modern tidak mengakui pemikiran tentang sesuatu yang
metafisis. Para filsuf tersebut merasa gembira melihat hancurnya metafisika tradisional. 1
Namun tidak semua filsuf modern menolak pemikiran metafisis. Ada pula dari antara mereka
yang ingin mengembalikan integrasi metafisis itu dari puing-puingnya. George Wilhelm
Friedrich Hegel adalah salah satu tokoh yang cukup gigih mempertahankan hal metafisis.
Melalui pemikirannya tentang realitas “Ada Yang Absolut,” ia mencoba menenun gagasan
metafisisnya.


II.

Latar belakang pemikiran Hegel (Kontroversi Seputar Metafisika)
Permasalahan mengenai metafisika pernah menjadi bahan perdebatan yang hangat di
awal abad-17. John Locke, pelopor kaum empiris, mengatakan bahwa metafisika adalah
sesuatu yang tidak mungkin. Metafisika itu membuat suatu klaim yang meliputi keseluruhan
realitas sebagai satu atau banyak, material atau mental, permanen atau dalam perubahan terusmenerus. Pernyataan tersebut menurut John Locke, tidak dapat menjawab pertanyaan para
ahli empiris: “Bagaimana semua itu dapat diketahui? Berdasarkan pengamatan apa atau data
manakah pernyataan tersebut?” Dapat pula dimunculkan pertanyaan yang paling mendasar:
Apakah pikiran manusia juga dilengkapi perjalanan metafisika sampai realitas total atau
sampai di mana batasan pikiran manusia?
1 Contoh yang dapat disebut adalah Hobbes, Nietzche, Kant, Comte dll (Dalam F. Budi Hardiman, Filsafat
Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzche). Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 6.

1|Page

David Hume turut mendukung pandangan John Locke. Hume berpendapat bahwa
metafisika tradisional itu sangat kabur, tidak pasti, melebih-lebihkan kemampuan akal
manusia dan tidak mempunyai arti sama sekali.2 Terminologi “sampah” yang diungkapkannya

semakin menyudutkan posisi metafisika. Usaha metafisika untuk menjelajahi daerah di luar
batas pengertian manusia dimengerti sebagai sesuatu yang sia-sia belaka. Tidak akan mungkin
manusia mampu mengetahui misteri-misteri di luar batas pemikiran manusia.
Berawal dari situasi yang demikian inilah, Hegel mulai tampil dalam pentas filsafat.
Dengan berani, Hegel menawarkan pandangan barunya yang sangat berlawanan dengan
pandangan para ahli empiris. Bagi Hegel, metafisika adalah hal yang mungkin. Pernyataan
tersebut tentu saja menjadi amat mengejutkan dan membuat situasi menjadi memanas. Lalu
apa yang dilakukan Hegel? Jalan untuk mewujudkan teori itu adalah menggabungkan
berbagai macam teori menjadi satu. Ia mulai membangun teorinya melalui filsafat Kant dan
F.W.J Schelling. Keduanya merupakan pemikir-pemikir yang mempengaruhi pemikiran
Hegel. Hegel ingin membangun teori baru dengan memasukkan pengertian-pengertian baru,
modern dari variasi-variasi psikologi, agama, sejarah, budaya dan pengalaman kreatif serta
beberapa macam ilmu baru. Ia pun mengikutsertakan filsafat romantik perlawanan, konflik,
ironi dan paradoks. Disinilah lahir sebuah teori baru yang disebut dengan Konsep Totalitas.
Konsep totalitas yang mulai dibangun oleh Hegel mengalami perkembangan dalam
prakteknya. Hal itu ditandai dengan munculnya teori metafisika yang dikenal dengan sebutan
teori idealisme absolut. Istilah ini diambil dari pemikiran Scheling. 3 Teori ini merupakan visi
absolutnya yang penuh dengan kekayaan keragaman dan detail konkret tentang jiwa absolut,
mengenai Tuhan yang merupakan realitas total dan kebenaran. “Kenyataan adalah hal
rasional dan hal rasional merupakan kenyataan”.4 Kata-katanya yang terkenal ini

merangkum semua teorinya tentang metafisika. Namun, kata-katanya dipandang sebagai
kontroversial oleh kaum empiris. Masalah baru pun muncul terkait dengan pernyataan
tersebut. Jika kenyataan merupakan konsep rasional, kemudian apakah dia merupakan objek
alam rasional konkret yang bisa diamati dan tidak nyata? Namun jika tidak memiliki
kenyataan, bagaimana menjelaskan masuknya mereka pada inti rasional mereka?
Menurut Hegel, kenyataan bisa diketahui oleh struktur rasional. Hegel pun
mempertegas pernyataannya dengan mengutip prinsip rasionalisme: “Apa pun adalah
rasional”. Pernyataan “Apa pun adalah rasional” mengandung arti bahwa segala sesuatu
2 Ibid., hlm. 87.
3 Frederick C. Beiser, “Introduction: Hegel and the Problem of Metaphysics “ dalam Frederick C. Beiser (ed),
The Cambridge Companion to Hegel, Cambridge: University Press, 1993, hlm. 4.
4 F. Budi Hardiman, op.cit., hlm. 180.

2|Page

memiliki struktur yang dapat dipahami atau memiliki inti yang dapat dicerna pemikiran
manusia yaitu dengan kekuatan konsep dan fleksibilitasnya.
III.

Pola pemikiran Hegel : “Ada” yang Absolut

Titik tolak bagi idealisme Hegel adalah Yang Absolut (das absolute).5 Yang Absolut
adalah totalitas, seluruh kenyataan. Ia bukan hanya dipahami sebagai proses melainkan
sebagai tujuan. Keberadaannya tidak bergantung dan diadakan oleh ada yang lain. 6 Ia bukan
saja penyebab dari semesta melainkan semesta itu sendiri. 7 Lebih lanjut lagi, Hegel
memahami “Ada Yang Absolut” sebagai subjek dan objeknya adalah dirinya. Yang Absolut
adalah “pikiran yang memikirkan dirinya sendiri” subjek yang menyadari dirinya sendiri.
Dengan kata lain, Yang Absolut itu adalah Roh.8
Bagaimanakah cara Hegel memproyeksikan Yang Absolut? Dalam mencari
pemahaman tentang Yang Absolut, Hegel memakai metodenya yang terkenal yakni Dialektika
(die Dialektik). Istilah dialektika ini mengacu pada sistem dialog yang sering ditemukan
dalam hidup sehari-hari. Sistem ini dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, diajukan sebuah
pendapat (premis). Tahap kedua, diajukan sebuah pendapat baru. Pendapat yang baru tersebut
sifatnya menentang pendapat pertama. Tahap ketiga, menggabungkan dan memperdamaikan
kedua pendapat tersebut. Untuk selanjutnya ketiga tahap tersebut dikenal dengan sebutan
tesis, antitesis dan sintesis.
Sistem filsafat Hegel diuraikan dalam tiga tahap tersebut. Tiga tahap tersebut
dipandang sebagai tiga tahap kehidupan Yang absolut sendiri. Tahap pertama adalah Idea
(tesis), tahap kedua adalah Alam (antitesis) dan akhirnya tahap ketiga adalah Roh (sintesis).
Sistem filsafatnya pun dibagi menjadi 3 bagian yang adalah berikut ini:
a. Logika (Logic).

Bagi Hegel, logika bukanlah cara berpikir belaka yang terpisah dari metafisika. Logika
adalah metafisika itu sendiri. Mengapa bisa demikian? Menurut Hegel, Yang Absolut itu
Pikiran Absolut, maka ilmu tentang pikiran haruslah ilmu tentang realitas atau Yang Absolut,
dan itulah logika yang adalah metafisika.
b. Filsafat Alam (Naturphilosophie)
Telah dikatakan bahwa logika mempelajari hakikat Yang Absolut “pada dirinya”.
Filsafat alam melanjutkan cara kerja sistem logika yakni mempelajari Yang Absolut yang
5 F. Budi Hardiman, op.cit., hlm 178.
6 Frederick C. Beiser, op.cit., hlm 4.
7 Ibid.
8 F. Budi Hardiman loc.cit.

3|Page

telah mengasingkan diri dalam Alam. Maksud dari pernyataan tersebut adalah: Yang Absolut
(idea) mewujudkan dirinya dalam Alam. Artinya, Idea itu dengan kebebasannya menjadi
“lahiriah dan material”. Dengan kata lain, Alam merupakan bentuk alienasi diri atau
objektifikasi diri dari Yang Absolut. Melalui pandangan tersebut, Hegel tidak bermaksud
menyatakan bahwa alam itu sama dengan Yang Absolut maka memiliki sifat Ilahi, melainkan
bahwa alam itu hanyalah alienasi dari Yang Absolut.

c. Filsafat Roh (Geistesphilosophie)
Filsafat Roh mempelajari bagaimana Yang Absolut mengenali dirinya kembali
menjadi sesuatu yang ada “pada dan bagi dirinya sendiri”. Filsafat Roh ini dibagi menjadi tiga
bagian. Bagian pertama disebut Roh Subjektif. Roh subjektif ini berpusat pada diri sendiri.
Hegel membagi bagian ini menjadi tiga tahap pula. Tahap terendah adalah suatu peralihan dari
Alam ke Roh. Peralihan ini terjadi dalam “jiwa” manusia. Tapi jiwa dimengerti sebagai subjek
yang mengindrai. Tahap kedua adalah kesadaran diri. Pokok-pokok mendasar tentang
Fenomenologi Roh dibicarakan di sini. Tahap ketiga berbicara mengenai “pikiran” subjektif.
Bagian kedua dikenal dengan sebutan Roh Objektif. Roh mengobjektifkan dirinya di
dalam kehidupan sosial. Filsafat politik dan filsafat hukum terangkum di dalamnya. Di sini
pun Hegel membagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama, Hegel berbicara tentang ”hak”
(die Rechte). Di dalam hak, Roh menyatakan dirinya dalam hal-hal material. Tahap ini
dilanjutkan dengan tahap yang disebut “kontrak” (vertrag). Ini merupakan pernyataan yang
berhubungan dengan kesadaran. Kedua tahap ini kemudian disintesiskan menjadi tahap yang
ketiga, yakni moralitas (Moralitat). Disinikah terjadi kesatuan antara subjektivitas dan
objektivitas. Lahirlah suatu bentuk keseluruhan dari kehidupan etis manusia yang memiliki
dua sifat, subjektif dan objektif. Istilah yang dipakai Hegel adalah “kesusilaan” (die
Sittlichkeit).
Bagian terakhir dari Filsafat Roh adalah Roh Absolut. Bagian ini menjadi puncak
tertinggi dalam bangunan metafisika Hegel. Yang Absolut mengacu pada Yang Ada, dan Yang

Ada itu adalah Roh. Jika dalam bagian Roh Subjektif, Roh dipandang “pada dirinya” yaitu
sebagai subjektivitas dan dalam bagian roh Objektif dipandang sebagai sesuatu yang
mengasingkan diri atau mengobjektifkan diri dalam kehidupan sosial, maka di dalam bagian
terakhir ini Roh dipandang sebagai sebuah totalitas yang menyadari dirinya sendiri. Dari segi
metafisis, “Dia” adalah yang absolut sendiri.

4|Page

Siapakah Yang Absolut itu? Bagi Hegel, Yang Absolut adalah pengetahuan absolut.9
Pengetahuan itu disadari oleh manusia. Namun dengan demikian tidak dimaksudkan bahwa
manusia adalah Yang Absolut, melainkan bahwa Yang Absolut menyadari dirinya sebagai Roh
dengan perantaraan roh manusia. Kesadaran diri ini dengan demikian bukanlah Yang Absolut.
Lebih tepat dikatakan bahwa kesadaran diri ini berada dalam Yang Absolut. Selama individu
hanya menyadari dirinya sendiri, berfokus pada diri sendiri atau hanya menyibukkan diri
dengan kesadaran-kesadaran lain dalam oposisi dengan dirinya, dia belum memiliki
pengetahuan absolut. Individu akan memiliki pengetahuan absolut jika ia menyadari realitas
sebagai suatu totalitas yang mencakup segala sesuatu.
Proses Dialektika ini selanjutnya diterapkan oleh Hegel dalam pemikirannya soal
Sejarah. Kesadaran diri ini oleh Hegel disebut Roh (sintesis), sedangkan Ide-Alam (tesisantitesis) disebut Sejarah. Sejarah dan ide saling memiliki keterkaitan. Ide adalah hakikat
kehendak Tuhan.10 Tuhan menurut Hegel tidak hanya yang memiliki sejarah, tapi dia adalah

sejarah itu sendiri. Hal inilah yang menjadi nilai lebih dari Hegel. Dengan cerdik ia
mempertemukan pemikiran filsafat dengan sejarah. Karena Ide baru menjadi dirinya sendiri
hanya ketika berada dalam sejarah dan teralienasi dalam sejarah pula. Seorang penulis modern
mengatakan bahwa sejarah adalah “otobiografi Tuhan”.11 Tuhan menurut Hegel tidak hanya
yang memiliki sejarah, tapi Dia adalah sejarah itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sejarah bukanlah apa yang tampak, tetapi sejarah adalah realitas Tuhan.
Sejarah kehidupan manusia harus dipandang secara optimistik. Ketakutan tak
beralasan pada peristiwa-peristiwa dalam hidup merupakan hal yang harus dihindari. Manusia
harus sadar bahwa hidup pasti mengalami pasang surut. Adakalanya hidup itu menyenangkan
dan ada pula saat dimana manusia mengalami penderitaan. Lalu, bagaimana sikap kita dalam
menanggapi semuanya itu? Pemikiran Hegel ternyata memang dapat menjawab pertanyaan
tersebut. Hegel berpendapat bahwa segala peristiwa dalam sejarah manusia itu merupakan
aktualisasi atau bentangan rencana Ilahi. Karena merupakan rencana Ilahi, maka hasil
akhirnya adalah kebaikan. Hanya kebaikan yang diperlukan dan kebaikanlah yang akan
menang. Kebinasaan dan penderitaan hanyalah sebuah langkah menuju kebaikan.

9 Frederick C. Beiser, op.cit., hlm 5.
10 Hegel, G.W.F, Nalar dalam Sejarah, Jakarta: Teraju, 2003. hlm. xxxviii.
11 Ibid., hlm. 23.


5|Page

IV.

Relevansi
Akhir-akhir ini banyak peristiwa terjadi di berbagai belahan dunia. Barangkali
peristiwa

yang

dapat

diambil

sebagai

contoh

adalah


peristiwa-peristiwa

yang

memprihatinkan. Peristiwa yang benar-benar mampu menggugah rasa empati kita. Setiap hari
kita dijejali dengan banyak berita di media massa. Salah satu jenis berita yang cukup menyita
perhatian adalah berita yang mengupas permasalahan penderitaan manusia. Perang yang
berkepanjangan di Timur Tengah, terorisme ataupun konflik antar suku di berbagai daerah di
Indonesia, rasanya memang menggugah hati nurani kita. Belum lagi permasalahanpermasalahan lain yang setiap hari kita jumpai seperti permasalahan kemiskinan, pendidikan
yang kurang memadai dan permasalahan kriminalitas.
Pertanyaan-pertanyaan pun bermunculan ketika kita melihat realitas-realitas tersebut.
Apakah makna dari semua peristiwa itu? Dimanakah Tuhan ketika semuanya itu terjadi?
Adakah karya keselamatan Tuhan dibalik semuanya itu? Menurut Hegel, Tuhan itu memiliki
rencana yang baik bagi manusia. Melalui peristiwa-peristiwa hidup itulah Tuhan menetapkan
rencana-Nya. Semuanya itu demi tujuan akhir yakni kebaikan. Pemikiran semacam ini
memang dapat dibenarkan. Dan menurut pemahaman saya, pemikiran Hegel ini sangat
Kristiani.12 Hanya saja pemikiran tersebut memiliki kekurangan. Pemikiran Hegel ini hanya
bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari tuduhan bahwa ia telah membiarkan kejahatan dan
penderitaan berkuasa di dunia. Pandangan yang demikian ini adalah pandangan yang buta.
Bagaimana mungkin ia dapat mengatakan bahwa sejarah itu rasional dan penuh tujuan

kebaikan? Tujuan baik apakah yang mungkin diperoleh dari begitu banyak penderitaan?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu memang tidak mudah dijawab. Jika dijawab pun
pasti akan menimbulkan ketidakpuasan bagi banyak orang. Kita perlu menyadari keterbatasan
kita sebagai manusia. Masih banyak misteri Ilahi yang belum bisa dipecahkan oleh manusia.
Manusia perlu mengakui kebesaran Allah dalam setiap peristiwa. Sikap pasrah memang perlu,
namun itu tidak berarti hanya berhenti sampai di situ. Manusia perlu untuk berusaha.
mengatasi semua permasalahan tersebut. Memang sulit dan membutuhkan banyak waktu.
Namun, disinilah kita ditantang untuk menghadapi semuanya dengan penuh keberanian.

12 Dalam G.W.F Hegel, Filsafat Sejarah (terj. Cuk Ananta Wijaya-Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001, hlm. ix,
ditulis : “Hegel dikatakan ingin menjadi filsuf Kristen. Dia percaya pada satu Tuhan yang berpribadi, Roh Kudus
ajaran Kristen, yang roh-Nya bekerja membentuk nasib manusia.”

6|Page

DAFTAR PUSTAKA
Frederick C. Beiser. The Cambridge Companion to Hegel. Cambridge: University Press,
1993.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzche). Jakarta: Gramedia,
2004.
Hegel, G.W.F. Nalar dalam Sejarah (terj. Salahuddin Gz). Jakarta: Teraju, 2003.
Hegel G.W.F, Filsafat Sejarah (terj. Cuk Ananta Wijaya). Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001

7|Page