Sistem Temu Kembali Citra Lubang Jalan Aspal Berdasarkan Tingkat Kerusakan Menggunakan Ekstraksi Fitur Gray Level Co-occurrence Matrix

  

Vol. 2, No. 10, Januari 2018, hlm. 3811-3821 http://j-ptiik.ub.ac.id

Sistem Temu Kembali Citra Lubang Jalan Aspal Berdasarkan Tingkat

Kerusakan Menggunakan Ekstraksi Fitur Gray Level Co-occurrence Matrix

1 2 3 Anggita Mahardika , Yuita Arum Sari , Candra Dewi

  Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya 1 2 3 Email: anggitamahardika@gmail.com, yuita@ub.ac.id, dewi_candra@ub.ac.id

  

Abstrak

  Salah satu faktor lamanya proses perbaikan jalan yaitu disebabkan oleh proses pencatatan kondisi kerusakan jalan yang masih dilakukan secara manual oleh tenaga kerja manusia sepenuhnya. Seiring berkembangnya teknologi, banyak penelitian terkait sistem deteksi kerusakan jalan menggunakan pengolahan citra digital. Tujuan penelitian ini yaitu untuk membangun sistem temu kembali citra lubang jalan aspal berdasarkan tingkat kerusakan. Proses diawali dengan melakukan pre-procesing untuk mendapatkan area lubang jalan tersegmentasi. Selanjutnya memanfaatkan ekstraksi fitur tekstur

  

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM). Fitur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak

o o o o

  52 fitur yang berasal dari 13 fitur dengan sudut 0 , 45 , 90 dan 135 . Dari 52 fitur tersebut dilakukan seleksi fitur menggunakan metode Wrapper dan CFS (Correlation Based Feature Selection). Berdasarkan hasil dari pengujian yang telah dilakukan didapatkan citra lubang jalan sebanyak 117 yang berhasil tersegmentasi dengan tepat pada diameter 101x101, = 75 dan =75. Penggunaan metode seleksi fitur Wrapper memberikan hasil rata-rata akurasi dan MAP (Mean Average Precision) yang lebih tinggi dibandingkan menggunakan metode seleksi fitur CFS maupun tidak menggunakan seleksi fitur. Akurasi dan MAP yang dihasilkan dari metode Wrapper dengan d=1 masing-masingnya yaitu sebesar 55,61% dan 0,710.

  

Kata kunci: sistem temu kembali citra, gray level co-occurrence matrix, bilateral filtering, deteksi tepi sobel,

otsu, manhattan distance, wrapper, CFS, lubang jalan

  

Abstract

One factors of the road repair process that takes a long time caused by the process of recording the

condition of road damage that is still done manually by human labor. Along with the development of

technology, many research related to road damage detection system using digital image processing.

The purpose of this research is to build a retrieval system of asphalt pavement image based on

damage level. The process begins with pre-processing to get a segmented hole area. Furthermore,

utilizing feature extraction of Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) texture. Features used in this

o o o o

research are as many as 52 features derived from 13 features with angles 0 , 45 , 90 and 135 . Of the

52 features performed feature selection using Wrapper and CFS (Correlation Based Feature

Selection ) methods. Based on the results of the tests that have been done we get the image of 117 holes

that successfully segmented successfully on the diameter of 101x101, = 75 and =75. Use of the

Wrapper feature selection method gives higher average accuracy and MAP (Mean Average Precision)

results than using the CFS feature selection method or not using feature selection. Accuracy and MAP

resulting from Wrapper method with d = 1 respectively that is equal to 55.61% and 0.710.

  

Keywords: Image Retrieval, gray level co-occurrence matrix, bilateral filtering, sobel edge detection, otsu,

manhattan distance , pothole

  guna memenuhi kebutuhan mobilitas 1. masyarakat seperti pendidikan, kerja atau

   PENDAHULUAN bisnis, wisata dan lain-lain.

  Jalan merupakan sarana transportasi darat Mirisnya, kerusakan jalan terjadi dimana- yang berperan penting dan paling sering mana dan sudah menjadi permasalahan yang digunakan untuk segala aktivitas masyarakat cukup serius. Data kondisi jalan rusak di jalan

  Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya

3811 nasional Jawa Timur tercatat sudah melebihi 40% dari total panjang jalan nasional di Jawa Timur. Hasil yang diberikan belum termasuk ruas jalan pada daerah-daerah (Biro Komunikasi Publik Kementrian PUPR, 2017). Kerusakan perkerasan permukaan jalan terutama berupa lubang sering kali mengganggu transportasi darat, bahkan tidak sedikit pula yang mengalami kecelakaan akibat adanya lubang jalan. Salah satu solusi untuk mengurangi peningkatan kerusakan jalan adalah dengan adanya inspeksi kondisi jalan yang rutin untuk mengumpulkan informasi terkait kondisi jalan yang buruk (Punjabi et al., 2014).

  Dinas Pekerjaan Umum (DPU) mengemukakan, salah satu faktor lamanya proses perbaikan jalan yaitu disebabkan oleh proses pencatatan kondisi kerusakan jalan yang masih dilakukan secara manual. Proses pendekteksian dan pencatatan secara manual oleh tenaga kerja manusia sepenuhnya bisa memakan waktu dua minggu untuk jalan sepanjang 1 km, belum lagi tingkat keakuratan yang rendah (Idestio et al., 2013).

  2.2 Manhattan Distance Manhattan distance atau biasa disebut L 1 distance merupakan pengembangan dari metode

  Keterangan:

  (1)

  | − | =1

  2 | + ⋯ | − | = ∑

  2 −

  2 | + |

  1 −

  ( , ) = |

  menghitung jarak yang paling pendek antara dua poin (Sharma & Batra, 2014).

  Lp norm . Metode ini bekerja dengan

  CBIR merupakan temu kembali citra yang membandingkan antara citra yang ada pada basis data dengan citra query. Cara kerja dari CBIR yaitu dilakukan dengan mengukur nilai jarak dari suatu query dengan citra yang ada pada basis data atau bisa disebut dengan image distance measure (Rangkuti, 2011).

  Beberapa tahun terakhir ini banyak peneliti dari berbagai Negara yang telah mengangkat topik mengenai kerusakan jalan dengan metode pengolahan citra. Salah satu penelitian terkait pendeteksian lubang jalan yaitu penelitian oleh Koch & Brilakis (2011). Dengan penerapan ekstraksi fitur tekstur menggunakan pendekatan statistik berupa standar deviasi dari intensitas keabuan dihasilkan akurasi sebesar 86%. Ia mengungkapkan bahwa lubang jalan memiliki tiga ciri yaitu bentuk lubang jalan cenderung elips sebagai akibat dari distorsi perspektif, secara visual lubang jalan memiliki ciri nampak lebih gelap jika dibandingkan dengan area sekitarnya dan teksturnya cenderung lebih kasar dibandingkan tekstur jalan di sekeliling lubang.

  2.1 Content Based Image Retrieval (CBIR)

  2. DASAR TEORI

  Berdasarkan paparan di atas, maka pada penelitian ini dilakukan pengolah citra jalan aspal berlubang dengan mamanfaatkan 13 fitur pada sudut 0 o , 45 o , 90 o dan 135 o menggunakan ekstraksi fitur GLCM. Serta memanfaatkan metode manhattan distance dalam penerapan sistem temu kembali citra lubang jalan aspal berdasarkan tingkat kerusakan. Harapan dari penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi kepada pihak terkait mengenai kerusakan jalan berdasarkan tingkat kerusakan.

  euclidean distance precision tertinggi berkisar 0,47.

  yang mirip sebagai representasi dari sistem temu kembali citra. Hal ini didasarkan pada yang dilakukan oleh Khosla et al. (2014). Dalam penelitian tersebut dilakukan komparasi terkait penggunaan metode manhattan distance dan euclidean distance dalam sistem temu kembali citra dengan kategori orang, pantai, monument, bus, dinosaurus, gajah, bunga, kuda, gunung dan masakan. Hasil yang diberikan dari penggunaan manhattan distance yaitu didapatkan precision tertinggi berkisar 0,60, sedangkan

  manhattan distance . Metode manhattan distance digunakan untuk menemukan citra

  Dalam penelitian ini, setelah nilai tekstur lubang jalan didapatkan, selanjutnya dilakukan perhitungan kemiripan antara citra query dengan citra pada basis data. Perhitungan kemiripan dilakukan menggunakan metode

  banyak digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan nilai tekstur dari citra. Penelitian terkait ekstraksi fitur GLCM diantaranya yaitu penelitian oleh Wen & Guyer (2012) mengenai identifikasi serangga kebun buah berbasis citra menggunakan global feature extraction yang di dalamnya memuat ciri tekstur GLCM, akurasi dari penelitian tersebut bernilai 85.3%.

  Matrix (GLCM). Ekstraksi fitur GLCM sudah

  Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan segmentasi untuk memisahkan area lubang jalan dengan area sekitarnya, serta penerapan eksraksi fitur tekstur untuk mendapatkan nilai tekstur dari citra jalan berlubang. Ekstraksi fitur tekstur yang digunakan yaitu Gray Level Co-occurrence

  = data query = basis data

  2.Membentuk matriks simetris dengan

  2 1( ) =0

  = 0≤ <

  (11) ∗

  2 2( ) −1 =0

  2 ( ) = ∑ [ − 2 ( )]

  2

  (10)

  2 2( ) −1 =0

  2 ( )]

  2 ( ) = ∑ [ −

  2

  1 ( )]

  2 ( )} (12)

  2 ( ) = ∑ [ −

  1

  2 ( )

  2 ( ) ∗

  2

  2 ( ) ∗ 1 ( ) +

  1

  2 =

  (9)

  2( ) −1 = +1

  2 ( ) = ∑

  {

  Keterangan:

  1 ( ) = ∑

  = citra hasil Otsu Thresholding

  1. Menghitung nilai matriks kookurensi awal dengan menggunakan sudut 0 , 45 , 90 , 135 dan d sebagai jarak pixel terhadap tetangga yang diinginkan. Namun biasanya menggunakan d=1.

  GLCM merupakan salah satu metode yang digunakan untuk ekstraksi fitur tekstur pada citra . Sudut yang dibentuk dari nilai pixel citra ekstraksi fitur tekstur GLCM adalah 0 , 45 , 90 , 135 (Eleyan & Demirel 2011). Langkah-langkah ekstraksi fitur GLCM adalah sebagai berikut:

  2.7 GLCM

  = erosion

  = dilation

  noise dan menghaluskan kontur (Kadir, 2013).

  Operasi closing berguna untuk menghilangkan lubang-lubang kecil sebagai

  2.6 Closing

  = nilai ambang batas hasil perhitungan metode otsu

  = nilai pixel pada titik ke ,

  ( , )

  ( )

  1 ( ),

  Keterangan:

  ( ) = {1, ( , ) ≥ 0, ( , ) < (13)

  = variance kelas 1 dan kelas 2

  2

  2

  2 ,

  1

  = nilai mean kelas 1 dan kelas 2

  1 ( ), 2 ( )

  = probabilitas kumulatif kelas 1 dan kelas 2

  2 ( )

  1( ) =1

  (8)

  2

  1 2 2 exp (−

  Metode Sobel merupakan metode deteksi tepi yang menggunakan operator sobel. Metode Sobel merupakan metode deteksi tepi yang menggunakan operator sobel (Jo & Ryu, 2015).

  = √| |

  =1 2 ( ) = ∑ −1 = +1

  2 (5) = (

  p dan q ( − )=

  perhitungan geometris jarak antara

  , = intensitas dari p dan q ( − )=

  koordinat pusat pixel (titik tengah) Ω = semua pixel yang berada pada lingkungan kernel

  =

  koordinat

  =

  Keterangan:

  2 2 2 ) (4)

  ∈Ω (3) =

  perhitungan kedekatan fotometrik antara dan

  ∈Ω (2) = ∑ ( − ) ( − )

  1 ∑ ( − ) ( − )

  =

  noise dan memperkuat hasil dari thresholding (Jo & Ryu, 2015).

  Bilateral Filter merupakan salah satu metode untuk menghilangkan derau atau noise pada citra namun tetap mempertahankan struktur (tepi) citra. Penggunaan bilateral filter dapat menghilangkan lubang kecil sebagai

  2.3 Bilateral Filter

  2 , . . , = fitur basis data

  1 ,

  2 , . . , = fitur data query

  1 ,

  pixel ke i

  = banyaknya pixel yang muncul

  1 ( ) = ∑

  2.4 Deteksi Tepi Sobel

  • | |
  • 3
  • 4
  • 6

  2

  ) − ( +

  7

  ) = ( +

  • = ( ⊕ ) ⊖ (14) Keterangan: ⊕
    • 2
    • 5
    • 4

  ) − (

  Metode Otsu merupakan metode untuk mendapatkan nilai ambang batas dengan cara membagi histogram citra gray level menjadi dua daerah (Mirnasari & Adi, 2013). seberapa banyak variasi tingkat keabuan dari nilai rata-rata

  = nilai probabilitas tiap pixel ke i = banyaknya nilai pixel yang muncul pada

  ( )

  Keterangan:

  1 (7)

  256

  ( ) = , ( ) ≥ 0 ∑ ( ) = 1

  2.5 Otsu Thresholding

  6

  = nilai pixel pada lingkungan kernel sobel

  1

  1 …

  ,

  Keterangan: = gradient sobel horizontal = gradient sobel vertikal

  ) (6)

  7

  Sum Variance digunakan untuk mengukur

  8. Sum Variance

  menjumlahkan nilai matriks kookurensi dengan tranposenya.

  3. Melakukan normalisasi terhadap nilai matriks agar tidak menyebabkan ketergantungan, sehingga ketika dijumlahkan nilainya adalah 1.

  4. Menghitung nilai ekstraksi fitur.

  Terdapat 14 fitur ekstraksi tekstur GLCM yang diusulkan oleh (Haralick et al. 1973).

  ketidakaturan bentuk atau distribusi intensitas citra matriks co-occurrence.

  Entropy digunakan untuk mengukur tingkat

  9. Entropy

  2 =2 (22)

  2

  = ∑ ( − )

  • ( )

1. Homogeneity, Angular Second Moment

  2 {

  2 − ( ) −1 =0

  1

  13 = (1 − exp[−2.0( 2 − ]))

  13. Information Measure of Correlation 2

  − 1 max { , } (26)

  12 =

  12. Information Measure of Correlation 1

  (25)

  = − ∑

  −1 =0 −1 =0

  Difference Variance digunakan untuk me variasi pixel lokal.

  11. Difference Variance

  − ( )) (24)

  =0 (

  = − ∑ − ( ) −1

  Difference Entropy digunakan untuk mengukur variasi perbedaan mikro (lokal).

  10. Difference Entropy

  2 ⁄ = − ∑ ∑ ( , )log ( ( , ))

  dan merupakan entropy dari ,

  −1 =0 −1 =0

  Keterangan:

  Maxima Correlation Coefficient tidak

  ( , ) Dari 14 fitur yang diusulkan oleh Haralick tersebut, hanya 13 fitur yang digunakan. Fitur

  , ( ) : Masukan ke i dalam matriks probabilitas marjinal yang diperoleh dari penjumlahan baris

  , : Standar deviasi dari

  : Rata-rata dari ,

  : Nilai rata-rata dari P ,

  G : jumlah tingkat keabuan

  ( , ) ( , ) ( ) ( ) (28)

  1 = − ∑ ∑ ( , )log { ( ) ( )} −1 =0

  2 ⁄ ( , ) = ∑

  1

  14 = (Nilai terbesar kedua dari Q)

  14. Maxima Correlation Coefficient

  −1 =0 (27)

  ∑ ( ) ( )log { ( ) ( )} −1 =0

  −1 =0 2 = − ∑

  (23)

  = − ∑ ∑ ( , ) log ( ( , ))

  −1 =0 ∑ ∑ ( , )}, | − | =

  Variance digunakan untuk mengukur

  IDM atau homogenitas digunakan untuk mengukur homogenitas variasi intensitas citra dengan tingkat keabuan sejenis.

  5. Inverse Difference Moment (IDM)

  (18)

  −1 =0 −1 =0

  2 ( , )

  = ∑ ∑ ( − )

  sebaran atau variasi nilai keabuan pada matiks kookurensi awal. Citra dengan sebaran derajat keabuan yang kecil akan menghasilkan variance yang kecil pula.

  4. Sum of Square, Variance

  1 1+( − )2 ( , )

  (17)

  −1 =0 −1 =0

  = ∑ ∑ { } × ( , )−{ × } ×

  korelasi dan ketergantungan antara pixel dengan tingkat keabuan i dan pixel dengan tingkat keabuan j pada citra.

  Correlation digunakan untuk mengukur

  3. Correlation

  =1 =1 (16)

  = ∑ ∑

  −1 =0 −1 =0

  (ASM) ASM atau energy digunakan untuk mengukur konsentrasi pasangan intensitas pada matriks co-occurrence.

  2. Contrast

  6. Sum Average

  Sum Average digunakan untuk mengukur

  banyaknya nilai rata-rata pixel pada distribusi tingkat keabuan.

  = ∑

  2 =2 (20)

  = ∑ ∑ { ( , )}

  2 −1 =0 −1

  (19)

  =0 (15)

  =

  atau perbedaan intensitas tingkat keabuan dalam citra.

  Contrast digunakan untuk mengukur variasi

  • ( )

  2 =2 ( + ( )) (21) digunakan karena ketidakstabilan dalam komputasi (Haralick et al., 1973)

  Sum Entropy digunakan untuk mengukur banyaknya tingkat keabu-abuan yang acak.

  7. Sum Entropy

  = − ∑ + ( )

3. PENGUMPULAN DATA

  Data diperoleh melalui observasi secara langsung untuk mendapatkan basis data sesuai dengan permasalahan pada penelitian ini. Digunakan data primer berupa pengambilan citra lubang jalan, pengukuran kedalaman dan panjang lubang jalan. Pengumpulan data diperoleh langsung di beberapa ruas jalan jalan Nasional dan jalan Provinsi wilayah Kediri, serta beberapa ruas jalan Kota Malang. Citra lubang jalan diambil menggunakan kamera

  handphone Samsung Galaxy Note 3 SM-N900

  13MP dan Iphone 5 8MP yang diambil dengan jarak 1 meter dan sudut 180 o dari permukaan tanah pada pukul 09.00-12.00 WIB dan 15.00-

  18.00 WIB. Sedangkan untuk pengukuran kedalaman dan panjang lubang jalan menggunakan alat meter ukur. Total citra lubang yang dikumpulkan sebanyak 117 citra yang terdiri dari citra lubang jalan dengan tingkat kerusakan L (Low) atau rusak ringan 33 citra, M (Medium) atau rusak sedang 42 citra dan H (High) atau rusak parah 25 citra. Citra dengan tiga tingkat kerusakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

  (a) (b) (c)

  Gambar 1. (a) Lubang jalan aspal rusak ringan (L), (b) Lubang jalan aspal rusak sedang (M), (c) Lubang jalan aspal rusak parah (H) 4.

  Langkah awal yang dilakukan oleh sistem yaitu pre-processing . Pada tahap pre-

  processing dilakukan pengubahan citra

  masukkan baik citra korpus maupun citra query ke skala keabuan kemudian dilakukan filtering menggunakan bilateral filter guna menghaluskan area sekitar lubang jalan aspal dan mempertajam tekstur kekasaran dari struktur tepi citra. Selanjutnya dilakukan deteksi tepi menggunakan sobel yang bertujuan untuk mendeteksi tepian dari lubang jalan. Setelah didapatkan tepi dari lubang jalan, dilakukan thresholding guna mempertegas tepian yang telah terdeteksi. Hasil dari deteksi tepi yang masih berupa citra keabuan diubah mencari citra biner. Pre-processing yang dilakukan selanjutnya yaitu morfologi dengan menggunakan operator closing guna mendapatkan bentuk dari lubang jalan dengan cara mempertebal area di dalam lubang jalan dan menghilangkan lubang-lubang kecil di luar area lubang jalan. Metode morfologi lain yang diterapkan yaitu erosion guna menghilangkan lubang-lubang kecil yang masih ada setelah proses closing. Pada Gambar 2 menunjukkan hasil pre-processing mulai dari citra lubang jalan asli hingga tersegmentasi.

  Gambar 2. Hasil tahapan pre-processing Gambar 3. Diagram alir keseluruhan

RANCANGAN ALGORITME

  Hasil pre-processing yang didapatkan yaitu berupa citra lubang jalan keabuan tersegmentasi. Dari hasil pre -processing kemudian dilakukan ekstraksi fitur tekstur GLCM menggunakan 13 fitur dengan sudut 0 o ,

  45 o , 90 o dan 135 o sehingga didapatkan 52 fitur. Dari 52 fitur tersebut dilakukan seleksi fitur menggunakan tool WEKA 3.8 dengan metode CFS dan Wrapper. Setelah didapatkan fitur terseleksi dilakukan perhitungan jarak untuk mencari kemiripan antara citra query dan citra korpus menggunakan manhattan distance. Hasil yang diberikan oleh sistem yaitu citra memberikan dampak yang terlalu besar dalam lubang jalan yang memiliki tingkat kerusakan melakukan penghilangan derau. Dan ketika yang mirip dengan dengan citra query. Sistem nilai = 100, banyaknya citra lubang jalan diimplementasikan menggunakan Bahasa tersegmentasi dengan tepat tidak lebih banyak pemrograman Python . Pada Gambar

  3 dibandingkan ketika = 75. Hal tersebut menunjukkan alur dari sistem secara dikarenakan objek berupa lubang jalan semakin keseluruhan. kabur dan tepian objek yang seharusnya dipertahankan juga menjadi kabur.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengujian nilai diameter kernel bilateral

  filter,

  dan Pengujian nilai diameter kernel bilateral

  filter ,

  dan dilakukan pada proses perhitungan bilateral filter . Pengujian dilakukan dengan diameter kernel operasi closing sebesar 15x15 dan erosion sebesar 3x3.

  Gambar 4. Hasil bilateral filtering dan pre-

  Tujuan dilakukan pengujian ini untuk

  processing akhir dengan ukuran diameter kernel mengetahui kualitas citra pre-processing. yang berbeda-beda pada basis data ke-27 Tabel 1. Hasil Pengujian nilai diameter kernel bilateral filter

  Diameter kernel bilateral filter dan 75 101 125 50 dan 50

  28

  32

  30 50 dan 75

  25

  35

  33 50 dan 100

  24

  35

  30 75 dan 50

  29

  84

  80 51 117

  80 75 dan 75 75 dan 100

  48

  93

  75 100 dan 50

  56

  82

  75 Gambar 5. Hasil bilateral filtering dan pre-

  51

  81

  79 100 dan 75 procesing akhir dengan nilai yang berbeda-beda

  100 dan 100

  40

  81

  74 pada data ke-27

  Berdasarkan Tabel 5, citra lubang jalan aspal yang berhasil tersegmentasi dengan tepat yaitu sebanyak 117 citra dengan nilai diameter= 101, = 75 dan =75. Apabila berdasarkan diameter kernel, penggunaan kernel dengan ukuran 75x75 masih didapati banyak citra dari hasil proses bilateral filter yang belum menutupi area selain objek lubang jalan. Hal ini dikarenakan ukuran diameter yang terlalu kecil, sehingga penggunaan nilai parameter dan

  Gambar 6. Hasil bilateral filtering dan pre-

  belum memberikan dampak pengaburan yang

  procesing akhir dengan nilai yang berbeda-beda

  tepat pada beberapa citra dan masih didapati

  pada data ke-27

  adanya derau. Sedangkan apabila nilai Sedangkan ketika = 50, banyaknya citra diameter kernel terlalu besar dengan ukuran lubang jalan tersegmentasi dengan tepat lebih

  125x125, kemungkinan citra hasil proses sedikit. Hal tersebut dikarenakan nilai yang σ

  bilateral filter akan semakin memperlebar r

  terlalu kecil memberikan dampak dalam tepian yang dipertahankan atau semakin penghilangkan derau, namun masih didapati memperburam citra hingga menutupi objek derau pada area selain objek lubang jalan. lubang jalan.

  Sedangkan ketika nilai = 100, banyaknya Ketika nilai = 50, banyaknya citra citra lubang jalan tersegmentasi dengan tepat lubang jalan yang tersegmentasi dengan tepat cenderung menurun dibanding ketika = 75. cenderung paling sedikit. Hal tersebut

  Hal ini dikarenakan nilai terlalu besar, dikarenakan nilai yang terlalu kecil tidak σ

  s walaupun mampu menghilangkan derau pada area selain objek dengan baik pada beberapa

  5.3 Pengujian metode seleksi fitur

  citra, namun pada citra lainnya menyebabkan

  Tabel 3. Hasil fitur yang terbentuk dari seleksi fitur derau muncul kembali.

  Seleksi Fitur yang terseleksi Fitur

5.2 Pengujian pada nilai d

  o CFS Sum of Squares: Variance sudut 0 , Sum o o

  Average sudut 0 , Entropy sudut 0 ,

  Pengujian nilai d merupakan pengujian

  Information Measure of Correlation 1 sudut

  parameter ekstraksi fitur GLCM yang o o

  , Entropy sudut 45 , Information Measure o

  menentukan hasil pembentukan nilai matriks

  of Correlation 1 sudut 45 , Sum Variance o

  awal berdasarkan jarak pixel. Pengujian ini

  sudut 135 , Information Measure of o Correlation 1 sudut 135

  dilakukan dengan data yang telah dilakukan o seleksi fitur menggunakan Wrapper. Variasi

  Wrapper Sum of Squares: Variance sudut 0 , Sum of o

  nilai d yang digunakan pada pengujian ini yaitu Squares: Variance sudut 45 , Sum of o

  Squares: Variance sudut 90 , Sum of d =1, d=2, d=3, d=4 dan d=5.. Pengujian ini o

  Squares: Variance sudut 135 , Information

  dilakukan dengan nilai parameter bilateral filter o

  Measure of Correlation 1 sudut 135 diameter =100, = 75, =75, dan parameter n

  yaitu n=5, n=10, n=15, n=20 dan n=25. Tujuan

  Tabel 4. Pengujian metode seleksi fitur

  dari pengujian ini yaitu untuk mengetahui

  menggunakan unranked retrieval Akurasi, d=1

  pengaruh nilai parameter GLCM d terhadap

  Akurasi n (%) Rata- hasil akurasi. Metode rata Seleksi Akura

  Tabel 2. Hasil pengujian nilai d

  5

  10

  15

  20

  25 si (%)

  Akurasi n (%) Rata- Nilai

  50,5 44,1 42,7 43,8 42,5 rata 44,77

  Sebelum d

  9

  2

  5

  2

  9

  5

  10

  15

  20

  25 Akurasi Seleksi (%) 37,6 37,9 38,5

  40 40 38,84 1 63,52 58,24 54,90 51,76 49,65 55,61

  5

  4

  9 CFS 2 50,58 50,59 48,63 44,41 44,94 47,83

  63,5 58,2 54,9 51,7 49,6 55,61

  2

  4

  6

  5 Wrapper 3 50,58 52,35 47,45 43,82 45,65 47,97 4 51,76 52,35 47,45 44,41 45,41 48,28

  Tabel 5. Pengujian metode seleksi fitur

52,94 51,76 47,83 44,71 45,65 48,58 menggunakan ranked retrieval MAP, d=1

  5

6 63,52 58,82 54,51 50,88 48,47 55,24 MAP n Rata-

Metode rata 7 62,35 57,06 54,51 50,29 48,00 54,44 Seleksi Akura

  5

  10

  15

  20

  25 si (%)

  Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa 0,61 0,57 0,56 0,52 0,51 0,558

  Sebelum

  4

  7

  6

  3

  nilai akurasi tertinggi terjadi saat nilai d=1

  Seleksi

  dengan hasil akurasi rata-rata yang didapatkan

  0,62 0,50 0,50 0,48 0,46 0,515

  6

  6

  1

  5

  yaitu sebesar 55.08%, sedangkan pada saat d=6 CFS dan d=7 akurasinya mendekati saat nilai d=1.

  0,80 0,73 0,69 0,66 0,64 0,710

  Hal ini dikarenakan hasil nilai matriks awal

  5

  9

  8

  4

  3 Wrapper dengan d=6 dan d=7 hampir sama dengan d=1.

  Sedangkan ketika d=2 nilai akurasi menurun Pengujian metode seleksi fitur merupakan karena dari nilai matriks awal yang didapatkan pengujian pada perhitungan GLCM yang tidak mereprepresentasikan nilai yang tepat dilakukan sebelum seleksi fitur dan sesudah untuk didapatkan ekstraksi fitur yang baik. Dari seleksi fitur. Fitur yang digunakan sebelum pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai dilakukan seleksi fitur yaitu sebanyak 52 fitur. jarak pixel (d) memengaruhi akurasi dari

  Metode seleksi fitur yang digunakan yaitu CFS penerapan algoritma GLCM. Selain itu dan Wrapper. Dengan nilai parameter bilateral didapatkan nilai rata-rata akurasi tertinggi yaitu

  filter diameter =100, = 75, =75, nilai

  55.08% dengan nilai d=1 walaupun ketika nilai parameter GLCM d=1 dan nilai parameter n

  d=1 sistem membutuhkan waktu komputasi

  yaitu n=5, n=10, n=15, n=20, n=25. Tujuan dari yang lebih lama dibandingkan dengan nilai d pengujian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh yang semakin besar. seleksi fitur terhadap hasil temu kembali citra yang ditunjukkan dengan unranked retrieval menggunakan akurasi dan ranked retrieval menggunakan MAP.

  Jika dilihat berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, hasil seleksi fitur menggunakan metode CFS memiliki rata-rata akurasi dan MAP yang lebih rendah dibandingkan dengan metode seleksi

  Dari kedua metode seleksi fitur yang diterapkan, keduanya memberikan hasil seleksi fitur yang saling beririsan satu sama lain. Fitur yang beririsan yaitu Sum of Squares: Variance sudut o dan Information Measure of

  filter diameter =100, = 75, =75, parameter

  Pengujian berdasarkan waktu pengambilan citra dilakukan menggunakan metode seleksi fitur Wrapper dengan nilai parameter bilateral

  5.4 Pengujian waktu pengambilan citra

  Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa metode Wrapper menghasilkan nilai MAP berbeda-beda pada nilai n yang berbeda. Nilai MAP tertinggi yaitu ketika nilai n=5 dengan nilai MAP=0,797. Sedangkan nilai MAP terendah yaitu ketika nilai n=4 dengan nilai MAP=0,637. Nilai MAP yang rendah disebabkan karena data yang tidak relevan berada pada peringkat atas.

  Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, ditunjukkan pada Tabel 3 bahwa penggunaan metode Wrapper ketika nilai n semakin besar, akurasi yang dihasilkan justru semakin kecil. Hal ini dikarenakan citra pada basis data dengan tingkat kerusakan yang sama dengan citra query tidak semakin bertambah ketika nilai n semakin bertambah. Munculnya citra yang tidak relevan pada urutan atas dikarenakan nilai tekstur berupa distribusi tingkat keabuan pada beberapa dataset dengan tingkat kerusakan yang berbeda dinilai memiliki kemiripan.

  . Tidak adanya kedua fitur tersebut menyebabkan performa sistem menjadi menurun. Sehingga, penggunaan kedua fitur tersebut menjadi penting karena dapat meningkatkan performa dari sistem temu kembali.

  Correlation 1 sudut 135 o

  yang tinggi karena 4 dari 5 fitur yang terbentuk merupakan fitur Sum of Squares: Variance dengan sudut 0 o , 45 o , 90 o dan 135 o . Dimana fitur tekstur Sum of Squares: Variance merepresentasikan tingkat keabuan yang beragam dari nilai rata-rata citra lubang jalan aspal. Terbentuknya fitur Sum of Squares dengan empat sudut tersebut memberikan kontribusi satu sama lain sehingga mampu meningkatkan performa sistem.

  Wrapper . Hasil tersebut diperoleh setelah

  Wrapper mampu memberikan nilai dan akurasi

  metode seleksi fitur CFS maupun tanpa menggunakan metode seleksi fitur. Hal ini dikarenakan metode seleksi fitur Wrapper membentuk subset fitur-fitur terbaik. Metode

  relative lebih tinggi dibandingkan dengan

  Metode seleksi fitur Wrapper lebih efektif untuk digunakan dibandingkan dengan metode seleksi fitur CFS. Meskipun hanya terbentuk 5 fitur, metode seleksi fitur Wrapper mampu menghasilkan nilai akurasi dan MAP yang

  Gambar 7. Hasil temu kembali citra pada data ke 10 menggunakan metode Wrapper, n=10, d=1

  Dalam hal ini terlihat bahwa metode seleksi fitur CFS kurang efektif apabila digunakan untuk kasus sistem temu kembali lubang jalan aspal. Hal ini dikarenakan metode seleksi fitur CFS membentuk fitur yang memiliki korelasi rendah dengan fitur lainnya. Fitur yang terbentuk justru menyebabkan performa sistem menjadi menurun. Fitur tersebut yaitu Sum Variance pada sudut 135 o . Selain itu, fitur lain yang terbentuk tidak memiliki korelasi dengan fitur lainnya . Fitur tersebut yaitu Entropy dengan sudut 0 o dan sudut 45 o . Akibat tidak memiliki korelasi dengan fitur lain, fitur tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap performa sistem.

  dilakukan percobaan sebanyak lima kali dengan nilai n yang berbeda-beda pada masing-masing metode seleksi fitur. Bahkan, metode seleksi fitur CFS cenderung memiliki hasil akurasi dan MAP yang lebih kecil dibandingkan dengan sebelum dilakukan seleksi fitur.

  GLCM d=1 dan n=10. Waktu pengambilan citra terbagi menjadi tiga yaitu pukul 9-12, pukul 12- 15 dan pukul 15-18. Tujuan pengujian ini yaitu untuk mengetahui keragaman waktu pengambilan citra dari tiap-tiap data uji saat hasil temu kembali citra sama dengan tingkat kerusakan lubang jalan aspal pada citra query. Tabel 6. Pengujian berdasarkan waktu pengambilan citra Waktu Waktu pengambilan citra hasil (WIB) Banyaknya Citra Data

  Banyaknya Citra pengambilan dengan Waktu Uji yang Sama 09- 10- 11- 15- 16- 17- citra query

  Pengambilan yang ke- dengan Query

  10

  11

  12

  16

  17

  18 (WIB) Berbeda

  1

  10.24

  1

  1

  4

  1

  7

  6

  2

  10.27

  1

  2

  2

  5

  4

  3

  11.08

  2

  1

  2

  5

  5

  4

  15.30

  3

  3

  6

  3

  5

  15.31

  3

  1

  1

  5

  2

  6

  15.35

  1

  3

  1

  5

  4

  7

  15.38

  1

  1

  3

  1

  6

  5

  8

  15.46

  4

  1

  1

  6

  2

  9

  15.52

  3

  2

  1

  6

  3

  10

  15.27

  1

  2

  4

  1

  8

  6

  11

  16.17

  1

  1

  1

  3

  1

  7

  4

  12

  16.08

  1

  1

  1

  2

  5

  3

  13

  16.46

  5

  1

  6

  5

  14

  16.55

  1

  3

  4

  1

  15

  16.55

  5

  1

  6

  5

  16

  16.08

  2

  3

  1

  6

  6

  17

  16.10

  3

  1

  1

  5

  4

  terhadap sistem temu kembali citra karna sistem Berdasarkan hasil pengujian terhadap masih mampu mengenali citra dengan waktu pengambilan waktu citra pada Tabel 6 pengambilan yang berbeda dengan citra query. menunjukkan bahwa waktu pengambilan citra yang lebih sering muncul yaitu antara pukul

  6. KESIMPULAN

  15.00-18.00 WIB. Hal tersebut dikarenakan Berdasarkan pengujian dan analisis yang basis data pada pukul tersebut lebih banyak dibandingkan dengan basis data pada pukul telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 09.00-12.00 WIB. Selain itu, basis data pada

  1. Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, pukul 09.00-12.00 WIB lebih didominasi dengan tingkat kerusakan H atau rusak parah penggunaan ekstraksi fitur tekstur saja dalam sistem temu kembali citra lubang yaitu sebanyak setengah lebih dari basis data pukul 09.00-12.00 WIB. Sedangkan, data uji jalan berdasarkan tingkat kerusakan masih kurang dapat memberikan hasil citra temu citra query untuk tingkat kerusakan H hanya kembali dengan tingkat kerusakan yang terdapat 2 data. Hal tersebut menjadikan citra yang muncul antara pukul 09.00-12.00 WIB sesuai dengan citra query. Hal ini berdasarkan dari nilai rata-rata akurasi menjadi sedikit. Waktu pengambilan citra yang masih rendah yaitu 44,77% dan nilai memberikan pengaruh terhadap intensitas pixel citra karena pengaruh pencahayaan. Namun, MAP 0,558. Akurasi yang rendah tersebut disebabkan karena nilai tekstur pada pada penelitian ini apabila dilihat berdasarkan tingkat kerusakan yang berbeda memiliki waktu pengambilan perjamnya, hasil temu kembali citra dengan tingkat kerusakan yang kemiripan. Waktu pengambilan citra tidak memberikan pengaruh terhadap sistem sama dengan citra query masih dapat mengenali temu kembali citra lubang jalan aspal, citra dengan waktu pengambilan yang berbeda dengan citra query. Dari pengujian yang telah meskipun waktu pengambilan citra mempengaruhi nilai pixel akibat dari dilakukan dapat disimpulkan bahwa waktu perbedaan cahaya. Hal ini berdasarkan pengambilan citra tidak memberikan pengaruh bahwa sistem mampu mengenali citra

  • –621. Available at: http://ieeexplore.ieee.org/document/43093 14/.

  Pengukuran Luas Lubang Jalan Berbasis Data Video Menerapkan Threshold-based Marking dan GLCM. INKOM, 7(2), p.235.

  Electronics in Agriculture , 89, pp.110 –

  Wen, C. & Guyer, D., 2012. Image-based orchard insect automated identification and classification method. Computers and

  Sharma, M. & Batra, A., 2014. Analysis of Distance Measures in Content Based Image Retrieval. Global Journal of Computer Science and Technology: G Interdisciplinary, 14(2).

  Rangkuti, A.H., 2011. Analisis Seleksi Citra Mirip Dengan Memanfaatkan Konsep Cbir Dan Algoritma Threshold. ComTech, Vol.2 No.2, pp.715 –725.

  of Emerging Technology and Advanced Engineering , 4(7).

  Punjabi, H. et al., 2014. Intelligent Pothole Detection System. International Journal

  Mirnasari, N. & Adi, K., 2013. Aplikasi Metode Otsu untuk Identifikasi Bakteri Tuberkolosis Seceara Otomatis. Youngster Physics Journal , 2(1), pp.13 –20.

  Engineering Informatics , 25(3), pp.507

  Koch, C. & Brilakis, I., 2011. Pothole detection in asphalt pavement images. Advanced

  Evaluation of Euclidean and Manhanttan Metrics In Content Based Image Retrieval System. Int. Journal of Engineering Research and Applications, 4(9), pp.43

  Khosla, G., Rajpal, N. & Singh, J., 2014.

  Kadir, Abdul & Adhi Susanto. 2013. Teori dan Aplikasi Pengolahan Citra. Yogyakarta: Penerbit Andi.

  Jo, Y. & Ryu, S., 2015. Pothole detection system using a black-box camera. Journal of Emerging Trends in Computing and Information Sciences, 15(11), pp.29316 – 29331.

  Idestio, B.D., Agung, T. & Wirayuda, B., 2013.

  3(6), pp.610

  • – 49.

  Systems, Man, and Cybernetics , SMC-

  Haralick, R.M., Shanmugam, K. & Dinstein, I., 1973. Textural Features for Image Classification. IEEE Transactions on

  Eng & Comp Sci , 19(1), pp.97 –107.

  Eleyan, A. & Demirel, H., 2011. Co-occurrence matrix and its statistical features as a new approach for face recognition. Turk J Elec

  Biro Komunikasi Publik Kementrian PUPR, 2017. Tim Sapu Lubang Kementrian PUPR Selesaikan 99,08 Persen Penutupan Lubang di Jawa Timur. Available at: https://www.pu.go.id/berita/view/11359/ti m-sapu-lubang-kementerian-pupr- selesaikan-99-08-persen-penutupan- lubang-di-jawa-timur

  8. DAFTAR PUSTAKA