Artikel Psikologi Sosial dan konstruksi

Mental Baja... “Katanya”

Untuk Anda yang gemar menonton film layar lebar Indonesia pasti familiar dengan
judul diatas. Bukannya ingin mendompleng judul film bioskop terbaik Indonesia 2012 versi
FFI, tapi lebih bermaksud untuk sedikit mengejek pemuda-pemudi Indonesia masa kini yang
terlihat memiliki mental baja. Namun penglihatan itu dapat dipastikan hanyalah sekadar
penglihatan semu saja karena apa yang kita semua ketahui sekarang mental pemuda-pemudi
Indonesia kini tidak lagi setangguh baja.
Dahulu pada zaman reformasi semua tahu bagaimana gigihnya para pemuda yang
berjuang menggulingkan rezim Soeharto dan antek-anteknya yang sudah kelewat batas. Cara
berpolitik yang kejam oleh Soeharto lama kelamaan semakin tercium bau busuknya oleh
pemuda Indonesia yang oleh sebab itu mereka tak ingin lagi “menyembah” Soeharto. Pemuda
dari seluruh penjuru Indonesia saat itu bersatu padu menyuarakan permintaan agar Soeharto
lengser dari jabatannya.
Yang vokal menyuarakan reformasi kemudian hilang satu per satu ditelan kekejaman
rezim Soeharto. Kecacatan politik saat itu membuat para pemuda-pemudi dari kalangan
mahasiswa, pengusaha, maupun rakyat biasa mulai bergerak menimbulkan gelombang
kehancuran yang sangat besar pada rezim Soeharto. Hingga pada tanggal 21 Mei 1998
perlawanan tersebut mencapai klimaks, Soeharto lengser dan digantikan oleh B.J. Habibie
yang menjadi pertanda dimulainya era reformasi dimana harapan-harapan para pemudapemudi untuk melihat Indonesia dan generasi penerus mereka yang lebih baik dan lebih kuat
dimulai.

Harapan tak berbanding dengan kenyataan. Mungkin jika kini masih ada yang tersisa
diantara mereka, mereka akan sedih melihat hasil tumpah darah mereka yang berbuah tidak
lebih baik dari mereka. Praktik KKN masih merajalela dan mental para penerus mereka yang
melempem seperti kerupuk yang ditiup angin berhari-hari. Alih-alih ikut menjadi pengawas
pemerintahan seperti apa yang mereka lakukan dulu, pemuda-pemudi Indonesia kini sudah
terlalu sibuk dengan urusan “kepemudaan” mereka sendiri.
Galau karena pacar, galau karena dosen, galau karena pelajaran yang tidak disukai,
galau karena status facebook atau twitter teman yang menyindir. Kenapa sedikit sekali yang
galau karena porak-porandanya pilar penyangga negeri ini?

Kesadaran Diri
Mengutip dari artikel bapak Achmad M. Masykur di koran Sindo tertanggal 3 Juli
2012, salah satu resep untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia dan berkualitas, menurut
para penganjur psikologi positif, adalah menjadi diri yang autentik (authenticity). Autentisitas
merupakan terminologi yang dekat dengan dunia filsafat eksistensialis, filsafat seni, dan
psikologi yang berakar dari diksi Latin authenticus atau Yunani authentikós. Autentisitas
adalah derajat di mana seseorang sungguh-sungguh berada dalam kepribadian, jiwa, dan
karakter jati dirinya meskipun menghadapi banyak tekanan dan tantangan dari luar. Dan tidak
ada jalan pintas untuk beroleh autentisitas diri, tutur Paul TP Wong (2009). Pemerolehan
autentisitas diri seringkali bermula dari momen yang membangunkan, memperdalam

keyakinan diri atas intisari nilai-nilai,dan merasakan perasaan identitas diri sesungguhnya.
John F. Kennedy pernah berkata,“Ask not what your country can do for you. But ask
what you can do for your country.” Kurang lebih artinya adalah jangan tanyakan apa yang
telah negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang telah kau berikan pada negaramu. Mari
kita pemuda-pemudi Indonesia merenung, apa yang sudah kita berikan pada negara kita?
Kreativitas? Mungkin hanya sebatas kata-kata gaul zaman sekarang seperti “ciyus, enelan,
miapah, dll.” Keringat? Mungkin hanya sebatas demonstrasi yang tidak menghasilkan
apapun. Darah? Mungkin hanya sebatas anarkisasi semata yang sering terjadi bahkan
dikalangan para pemuda itu sendiri.
Indonesia tidak butuh pemuda yang mudah terbawa arus, yang ikut demonstrasi hanya
karena ingin diakui kelompoknya atau menurut Shepard adalah teori konformitas dimana
seseorang berprilaku sesuai dengan harapan kelompok atas dasar solidaritas dan takut tidak
diakui oleh kelompoknya. Kita harus pintar beratribusi untuk menentukan sikap kita pada
kejadian-kejadian yang ada di Indonesia ini. Heider (1958) berpendapat bahwa,“Dalam
kehidupan sehari-hari kita membentuk ide tentang orang lain dan tentang situasi sosial. Kita
menginterpretasikan perilaku orang lain dan memprediksikan apa yang akan mereka lakukan
apabila menghadapi sebuah situasi tertentu.” Pemuda-pemudi Indonesia adalah pemudapemudi yang sebenarnya penuh gairah, sangat bertenaga, dan agresif, namun kurang
menggunakan otak dalam setiap tindakan mereka. Terkesan memiliki mental baja memang
jika kita melihat mereka bertarung dijalanan, namun jika sekali lagi kita lihat, betapa
bodohnya mereka bertarung satu sama lain dengan alasan mempertahankan harga diri

almamater, fakultas ataupun kelompok.

Oleh karena itu para pemuda juga harus berhati-hati akan jebakan agresivitas dari
media, dimana menurut Bandura seseorang mempelajari prilaku agresif melalui model baik
itu keluarga, lingkungan, kebudayaan dan media massa. Akan sangat berarti jika mereka
menggunakan agresivitas mereka untuk berjuang menolong negeri ini bangkit dari jurang
pembodohan, untuk lepas dari jerat korupsi, dan kehancuran yang diciptakan oleh para elit.
Batson menyampaikan dalam teori empatinya bahwa egoisme dan simpati berfungsi bersamasama dalam perilaku menolong. Melihat dari segi egoisme menurut Batson perilaku
menolong dapat mengurangi ketegangan diri sendiri. Lalu dari segi simpati menurutnya
perilaku menolong dapat mengurangi penderitaan orang lain. Dan ditambahkan jika segi
egosime dan simpati tersebut digabungkan maka akan menghasilkan empati dimana
seseorang merasakan apa yang orang lain rasakan.
Kita butuh kepala-kepala yang terinspirasi untuk memajukan Indonesia di segala
bidang, bukan hanya otot yang keluar tidak pada tempatnya maupun otak yang dipakai tidak
sebagaimana mestinya. Kita butuh mental baja yang sesungguhnya, yang tidak mudah
digonjang-ganjing oleh isu-isu murahan, yang mampu menopang kembali badan ringkih
Indonesia ini, dan mampu menjadi obat ampuh dari kanker stadium empat yang sudah
merajalela di tanah pertiwi ini. Melihat kenyataan bahwa para pejantan tua dibarisan pejabat
sana tidak bisa lagi diharapkan, kita harus lekas bangun dari tidur berkepanjangan, merubah
mindset bahwa negara ini butuh pertolongan kita, para pemuda-pemudinya lagi. Semoga

disetiap belahan Indonesia akan tumbuh bunga segar bermental baja dari kepala-kepala yang
terinspirasi itu. Semoga.

TUGAS AKHIR PSIKOLOGI SOSIAL II
ARTIKEL SOSIAL

DWI KURNIAWAN
15010111130036

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012