Paradigma lingkungan Deep Ecology dan Ps

Paradigma lingkungan: Deep Ecology dan Psikologi Manusia dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Robby Cahyanto/NPM 1406598554

Pendahuluan
Sejak zaman primitif

a usia telah

elakuka

sera ga

terhadap li gku ga

alam dengan api, air, dan alat-alat buatannya. Akan tetapi sampai dengan
sekarang, lebih setengah abad yang lalu, serangan tersebut hanya berlangsung
pada tempat yang terbatas dan dengan langkah gradual yang pelan. Hubungan
manusia dengan alam masih terasa akrab dengan pola yang di sebut I Thou.
Dewasa ini kegiatan manusia telah sampai pada taraf


memperkosa alam.

Keberingasannya memanfaatkan sumber daya alam secara drastis telah
melampaui kapasitas proses alami dalam pengembalian kesuburan tanah, yang
notabene pembentukkannya memakan waktu ribuan tahun. Hubungan manusia
dengan alam mulai berubah tidak lagi akrab tetapi terkesan eksploitatif, nyaris
bermusuhan, dengan pola disebut I it.
Tidak bisa diingkari kenyataan bahwa salah satu faktor utama penyebab
kerusakan lingkungan adalah ledakan penduduk. Ledakan penduduk adalah satu
dari lima kecenderungan utama yang dihadapi dunia, yaitu: industrialisasi yang
pesat, pertumbuhan penduduk yang makin cepat, kekurangan gizi yang
merajalela, sumber daya tidak bias pulih (unrenewable) yang makin susut, dan
lingkungan hidup yang makin rusak. Semua kecenderungan ini saling mengait.
Mula-mula dibutuhkan waktu 200 ribu tahun untuk mencapai angka milyar
pertama dari jumlah manusia di dunia, tetapi untuk satu milyar berikutnya hanya
perlu waktu 100 tahun (Avril, 1976:13). Bila kecenderungan ini berkelanjutan,
diperkirakan pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia mencapai 12 milyar orang.
Saat ini, 2014, jumlah penduduk dunia sudah mencapai angka 7,2 milyar orang.
Indonesia berkontribusi 241 juta orang. Dari 241 juta orang tersebut, 56,4%-nya
atau sebesar 136 juta orang hidup dan tinggal di Pulau Jawa, dan 11,74%-nya


(15,9 juta orang) berada di Jabodetabek. Jumlah penduduk Jakarta sendiri 9,6
juta orang. Jakarta yang dengan luas wilayah 661,52 km2, dijejali ±13 juta juta
orang pada siang hari, dan ±9,6 juta orang pada malam hari (BPS, 2014).
Semuanya lapar akan lahan, haus air, membutuhkan pasokan udara yang sehat,
dan sumber daya lainnya untuk menopang kehidupan dan interaksinya.
Manusia telah sedikit banyak berhasil mengatur kehidupannya sendiri (birth
control maupun dead control), dan sekarang dituntut untuk mengupayakan
berlangsungnya proses pengaturan yang normal dari alam dan lingkungan agar
selalu dalam keseimbangan, khususnya yang menyangkut lahan, air, dan udara.

Konservasi Lahan
Lahan merupakan benda yang dicari tapi sedikit dimengerti oleh manusia.
Hampir selalu lahan dilihat sebagai pemuas kebutuhan (atau bahkan
keserakahan) manusia akan ruang kehidupannya. Tidak sebagai entitas kehidupan
atau sebagai sumber daya yang terbatas. Dan sering kali yang sangat menentukan
dalam perencanaan dalam penggunaan lahan adalah pertimbangan ekonomis
yang biasanya berjangka pendek. Munculnya tanah-tanah tandus dan kritis di
berbagai tempat di Indonesia merupakan hasil ulah manusia yang kurang peka
lingkungan. Kegiatan yang cukup mencolok adalah penebangan hutan untuk

industri (baik ekspor maupun supply dalam negeri tanpa diikuti peremajaan yang
memadai, dan perluasan kota yang melebar, mencaplok tanah-tanah subur
dipedesaan.

Polis

berkembang

menjadi

metropolis,

untuk

kemudian

membengkak menjadi megapolis (beberapa kota besar luluh jadi satu), dan ecumenopolis (negara kota). Akhirnya, bila tanpa perencanaan dan pengendalian
yang sangat baik, akan menjadi Necropolis (kota mayat).
Tekanan


penduduk

dan

transportasi

yang

mewadahi

pergerakkannya

mengakibatkan semakin sempitnya lahan-lahan yang produktif untuk pertanian
dan perkebunan. Disamping terbatasnya kemampuan untuk menyimpan air.

2

Betapapun majunya perkembangan ilmu dan teknologi, sampai saat ini manusia
masih juga belum dapat menciptakan tanah. Yang sudah bisa dilakukan adalah
sekadar menyuburkan tanah. Sejarah telah membuktikan bahwa degradasi dan

erosi lahan merupakan penyebab hancurnya peradaban.

Air Pemberi Kehidupan
Selain lahan, unsur kedua yang tak kalah pentingnya adalah air. Tanpa air, seluruh
gerak kehidupan akan berhenti. Dua pertiga tubuh manusia terdiri dari air, dan
70% permukaan bumi tertutup oleh air. Hanya sayangnya 97% air yang ada di
dunia ini adalah air asin, dan sepertiga sisanya yang tidak asin membeku dalam
bentuk es atau glacier. Tidak heran, jika sampai saat ini masih banyak juga
manusia, binatang dan tanaman yang kekurangan dan mati kehausan atau
kekeringan.
Yang terasa ironis adalah bahwa kekeringan datang silih berganti dengan banjir.
Alam sesungguhnya telah memberi contoh dalam bentuk siklus hidrologis dari air
yang berlangsung terus menerus. Volume air yang dikandungnya tetap, hanya
bentuknya yang berubah. Air hujan yang jatuh ke tanah akan meresap melalui
tanah, humus, rumput, dan akar pepohonan. Semua berfungsi sebagai semacam
spons yang menyimpan air di musim hujan untuk kemudian melepaskannya
kembali di musim kemarau.
Kisah perjalanan air yang urut dan runtut itu telah memberikan kontribusi yang
sangat vital pada daur kehidupan dan pembaharuan sumber daya alam.
Sedangkan yang dilakukan oleh manusia, dengan saluran drainasenya yang serba

lurus dan berlapis semen kedap air, menyebabkan air mengalir cepat ke laut,
mengingkari fungsinya sebagai pemberi kehidupan (life giving role). Selain itu,
pengaruh negatif yang lain adalah terbawanya lapisan tanah bagian atas yang
subur, menipisnya air tanah, dan semakin parahnya banjir.

3

Polusi Udara
Selain lahan dan air, unsur ketiga yang penting namun sering terlupakan atau
dianggap sepele adalah udara. Padahal, tanpa udara tidak akan pernah ada
kehidupan (di bumi ini). Tanpa udara bersih takkan dapat diperoleh kehidupan
yang sehat. Tidaknya hanya mahluk hidup saja yang memerlukan udara bersih,
beberapa mesin ciptaan manusia juga membutuhkan udara yang bersih agar
dapat beroperasi dengan baik. Setiap hari rata-rata manusia menarik napas
26.000 kali, berkisar antara 18 sampai 22 kali setiap menitnya.
Pentingnya udara sering terabaikan, karena sampai saat ini kita masih bias
memperoleh tanpa harus mengeluarkan uang. Di beberapa Negara maju, saat ini
sudah dijual udara bersih (oksigen) dalam tabung instan (tabung kecil ukuran
minuman kaleng). Pada tempat-tempat penjagaan polisi lalu lintas di daerah yang
sangat padat dengan kendaraan, tersedia tabung oksigen untuk polisi yang

bertugas. Secara periodik, beberapa jam sekali, polisi lalu lintas yang bertugas di
lapangan, kembali ke posnya sekedar untuk menghirup udara bersih.
Tingkat pencemaran udara di Indonesia semakin memprihatinkan. Indonesia
menjadi Negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia, dan
menobatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar polutan/partikel
tertinggi setelah Beijing, New Delhi, dan Mexico City. Polusi udara yang terjadi
telah sangat mengganggu kesehatan (World Bank, 2004). Dari semua penyebab
polusi udara yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang
pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85%. Hal ini diakibatkan
oleh laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang tinggi (10-12% pertahun).
Tahun 2013 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia sebanyak 164,03 juta unit,
roda 4 sebanyak 86,25 juta unit dan roda 2 sebanyak 77,75 unit (Korlantas Polri,
2013). Sebagian besar kendaraan bermotor menghasilkan emisi gas buang yang
buruk, baik akibat perawatan yang kurang memadai ataupun dari penggunaan

4

bahan bakar dengan kualitas kurang baik (misalnya kadar timbal yang tinggi),
disamping kebakaran hutan dan industry juga turut berperan.


Manusia dan Interaksinya dalam Lingkungan Hidup
Lantas apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam menanggulangi masalah
diatas? Manusia sebagai mahluk sosial selalu terus menerus membentuk alam
tempat

interaksinya.

Namun, bukan

manusia

yang

membentuk alam

lingkungannya sesuai dengan kehendaknya, tetapi sesungguhnya justru cara
manusia menterjemahkan pesan-pesan lingkungan yang membentuknya.
Manusia bukan dibentuk oleh alam lingkungan, tetapi oleh caranya
menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Seluruh pesan-pesan
alam lingkungan sebagai bagian hasil interaksi manusia itulah yang kemudian

diterjemahkan oleh manusia dalam bentuk proses dan tindakan. Proses dan
tindakan yang ditujukan pada lingkungan hidup sebagai media interaksinya yang
dikemudian hari menjadikannya persoalan. Lalu, apa peran manusia dalam
menyikapi persoalan lingkungan hidup sebagai tempat interaksinya.
Persoalan yang terjadi di alam lingkungan ini selalu disebabkan interaksi antar
manusia. Interaksi inilah yang memberikan perbedaan pandangan dari
lingkungan hidup (environmental paradigm). Interaksi manusia memiliki empat
cara pandang, yaitu: psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi
humanistis. Keempat cara pandang terhadap manusia tersebut yang menjadikan
dasar bagaimana environmental paradigm berbeda antara manusia saling
berinteraksi denga alam lingkungannya.
Keempat cara pandang manusia dalam memberikan pandangan lingkungan hidup
(environmental paradigm) salah satunya didasarkan atas hubungan intrapersonal.
Hubungan intrapersonal ini dalam bentuk manusia untuk menerima informasi
dari alam lingkungannya yang kemudian diolahnya, disimpannya sebagai dasar
pemikiran yang kemudian dihasilkan kembali hari informasi dan dasar pikirannya

5

sebagai tindakan. Hal ini terkait dengan sensasi, persepsi, memori, dan berpikir

manusia, dimana bukan lingkungan yang membentuk manusianya, namun justru
bagaimana cara manusia menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang
diterimanya untuk bertindak.
Tabel 1. Konsepsi Manusia memandang Alam Lingkungannya

Psikoanalisis

Konsepsi tentang
Manusia
Homo Volens

Tipologi
Manusia
Manusia
berkeinginan

Kognitif

Homo Sapiens


Manusia
berpikir

Behaviorisme

Homo Mechanicus

Manusia
mesin

Humanisme

Homo Ludens

Manusia
bermain

Teori

Uraian Konsepsi
Melukiskan bahwa manusia sebagai
mahluk yang digerakkan oleh keinginankeinginan yang terpendam.
Lebih dikenal dengan jaru hipder ik ,
yang menyatakan bahwa media masa
sangat berpengaruh, yang juga dilandasi
pada konsep behaviorisme yang
memandang manusia sebagai mahluk
yang digerakkan semaunya oleh
lingkungan.
Konsep
behaviorisme
kemudian
berkembang
dalam
pengolahan
informasinya. Manusia sebagai mahluk
yang aktif mengorganisasikan dan
mengolah stimuli yang diterimanya.
Menggambarkan
bahwa
manusia
sebagai pelaku aktif dalam strategi
transaksional dengan lingkungannya.

Sumber: Jalaluddin, Rahmat (2004:19)

Keempat perilaku manusia terhadap lingkungan hidup dan cara pandangannya
(environmental paradigm) merupakan hasil dari sub sistem dalam kepribadian
manusia, yaitu: id, ego, dan superego. Id adalah bagian kepribadian yang
menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia (pusat instink, hawa nafsu). Di
dalam sub sistem id inilah letak dari dasar-dasar energi manusia untuk kegiatankegiatan konstruktif ataupun destruktif. Ego, adalah mediator antara hasrathasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang mampu
menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (reality
principle). Ketika id mendesak agar manusia membalas perkataan hinaan dengan
perkataan hinaan lagi, maka ego memperingatkan bahwa lawannya (sesame
a usia) adalah

os/pi pi a

ya g dapat

e e at ya. Sedangkan superego

adalah polisi kepribadian, mewakili yang ideal. Superego adalah hati nurani
6

(conscience) yang merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural
masyarakatnya (Jalaluddin, 2004:19-39).
Namun, apa yang terjadi hubungan interaksi manusia dengan alam lingkungan
tempat hidupnya. Id mendorong manusia untuk pemenuhan kebutuhannya dan
didasari dengan dukungan ego. Ego manusia dalam hal ini bahwa manusia
memandang lingkungan hidup (alam) sebagai mesin produksi. Superego yang
seharusnya menjadi conscience tidak memberikan kesempatan bagi manusia
untuk berpikir jangka panjang tentang manfaat lingkungan hidup. Dengan
tahapan psikoanalisis diatas, menempatkan manusia diatas segala di muka bumi
ini. Namun bila tahapan psikoanalisis tercipta hubungan yang saling
mengingatkan, tanpa melihat bahwa alam adalah benda mati dan mesin
produksi, maka terjadilah siklus ekologi yang baik.

Gambar 1: Psikoanalisis manusia dalam siklus ekologi
Sumber: http://www.ecohustler.co.uk/wp-content/uploads/2011/06/Ego-2-Eco.jpg

Manusia dan Paradigma Lingkungan (Environmental Paradigm)

7

Ekologi industri mengidentifikasi beberapa pilihan untuk mengurangi dampak
lingkungan terhadap masyarakat. Dalam beberapa kasus banyak pilihan teknologi
tersedia untuk mengurangi dampak lingkungan. Bagaimana kita memilih opsi
yang terbaik dalam pengelolaan lingkungan hidup dari sudut pandang ekologi
industri?
Ekologi industrial itu sendiri adalah adalah proses industri yang sifatnya alur
tertutup (close ecosystem), yang berarti bahwa buangan industri menjadi
masukan proses industri lain. Ini berbeda dengan alur terbuka (open ecosystem),
di mana sumberdaya dan modal yang ditanam bergerak melalui sistem dan
menghasilkan buangan yang tidak terpakai. Ekologi industri merupakan sebagai
analisis yang sistematis mengenai operasi industri dengan memasukkan faktorfaktor seperti teknologi, lingkungan, sumberdaya alam, aspek biomedis, aspek
institusi, hukum, dan sosio-ekonomi pada seluruh prosesnya.
Ekologi industrial tidak memandang sistem industri sebagai hal yang terpisah dari
biosfer, melainkan sebagai bagian dari ekosistem. Berbeda dengan ekologi dalam
konteks alam yang berdasarkan modal alam, ekologi industri adalah berdasarkan
modal infrastruktur. Seperti halnya alam yang sejatinya tidak memiliki sampah,
sistem industri seyogianya juga meniru model ini apabila ingin senantiasa lestari
dan berkelanjutan.
Seiring dengan mencuatnya tujuan penghematan energi dan penghematan
bahan baku, dan juga seiring dengan penjabaran-ulang pasar komoditas dan
konsep produksi terutama dalam konteks ekonomi jasa, ekologi industri adalah
salah satu tujuan dari Kapitalisme Natural. Strategi ini menekankan untuk
melihat dampak luas dalam produksi industri, menekankan penghargaan pada
modal alam, dan bergantung pada modal pengetahuan untuk merancang dan
merawat ekologi-ekologi industri yang terbentuk.
Dalam evaluasi pemilihan opsi terbaik diperlukan sistem nilai. Paradigma
memberikan pandangan bagaimana sistem nilai tersebut bervariasi atau

8

berubah. Environmental paradigm memiliki lima klasifikasi paradigm, yaitu:
Frontier Economics, Externality Control, Resource Management, Eco-development
(industrial ecology), dan Deep Ecology (Colby, 1988).
Untuk dapat menilai masyarakat/individu memberikan penilaiannya terhadap
lingkungan melalui pemilihan opsi environmental paradigm, maka perlu
mengetahuinya dengan cara teori pendekatan budayanya. Teori pendekatan
budaya tersebut yaitu: individualism, hierarchy, egalitarianism, dan fatalism
(Thompson, 1988).

Tabel 2. Pendekatan budaya dan opsi environmental paradigm
Environmental Paradigm
Teori Pendekatan
Budaya

Frontier
Economics

Externality
Control

Resource
Management

Ecodevelopment
(industrial
ecology)

Deep
Ecology

Individualism

Hierarchy


Egalitarianism


Fatalism

Sumber: Jalaluddin Rakhmat, 2004; Chairil Abdini, 2015; Sety S. Moersidik, 2015. (diolah)

Bagaimana manusia menggunakan sumber dayanya untuk memecahkan
persoalan lingkungan berdasarkan interaksinya dengan alam lingkungan? Seperti
perilaku manusia yang lain, pemecahan persoalan dipengaruhi oleh faktor-faktor
situasional dan personal. Faktor-faktor situasional terjadi, misalnya pada stimulus
yang menimbulkan masalah, pada sifat-sifat masalah: sulit-mudah, baru-lama,
penting-kurang penting, melibatkan sedikit atau banyak masalah lain.

Pendekatan Budaya dalam Pemilihan Environmental Paradigm
Hal mendasar dan dipengaruhi oleh ekologi industri inilah yang cukup
menjadikan rujukan bagaimana manusia memilih paradigmanya dan memberikan
pandangan melalui sistem nilai yang terkandung didalamnya. Pendekatan budaya
dan pilihan opsi environmental paradigm cukup besar dipengaruhi oleh faktor-

9

faktor biologis dan sosiopsikologis manusia yang menjadikan lingkungan hidup ini
sebagai media tempat hidupnya serta memecahkan berbagai persoalan hasil
interaksi.
Motivasi yang rendah dapat mengalihkan perhatian. Motivasi yang tinggi
membatasi fleksibilitas. Para cendikia yang terlalu bersemangat untuk melihat
hutan dan sungai menjadi hijau dan jernih kembali penuh dengan keanegaraman,
sering tidak dapat/sulit menerapkan kemampuannya dilapangan.
Asumsi yang salah dapat menyesatkan setiap manusia. Kerangka rujukan yang
tidak cermat menghambat efektivitas pemecahan masalah. Banyak para cendikia
lingkungan, pemegang kebijakan-kebijakan lingkungan, yang karena kurang
kepercayaan pada diri sendiri akan cenderung menolak informasi baru,
merasionalisasikan kekeliruan, dan mempersukar penyelesaian.
Kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat
masalah hanya dari satu sisi saja, atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa
kritis pada pendapat otoritas, akan menghambat pemecahan masalah yang
efisien. Ini

menimbulkan

kujumudan

pikiran (rigid

mental

set), dan

mengesampingkan kekenyalan pikiran (flexible mental set). Kebudayaan banyak
menentukan kejumudan pikiran. Cara kita memandang dan mengatasi persoalan
dibatasi oleh cultural setting kita. Sering kali cara itu kita jadikan pandangan dan
pegangan sebagai cara yang paling baik dan benar.
Untuk memahami nilai-nilai alam lingkungan guna pemilihan opsi environmental
paradigm, tidak terlepas dari alam pikiran manusia itu sendiri. Saya berpendapat
bahwa alam pikiran manusia dalam hal ini adalah psikologi manusianya sendiri.

Manusia untuk memilih opsi pandangannya terhadap lingkungan (environmental
paradigm) sangat bergantung pada konsep diri. Konsep diri dalam hal public
(diketahui orang lain), privat (tidak diketahui orang lain), serta pada konsep
dirinya sendiri memandang (Johari Window).

10

A. Konsep Diri (Johari Window)
B. Paradigma Pengelolaan Lingkungan

C. Aktualisasi Konsep Diri dalam menentukan Opsi Pemahaman Lingkungan
(dengan dasar Psikologi Manusia)

Gambar: Aktualisi Diri dalam menentukan Opsi Pemahaman Lingkungan
(environmental Paradigm, dasar psikologi dan paradigm lingkungan.
Sumber: Jalaluddin Rakhmat, 2004; Chairil Abdini, 2015; Sety S. Moersidik, 2015. (diolah)

Deep Ecology dan Psikologi Manusia
Istilah Deep Ecology muncul pada tahun 1972 dari filsuf Norwegia, Arne Naess.
Deep ecology muncul sebagai bentuk untuk mengekspresikan ide-ide bahwa alam
memiliki nilai intrinsik, yaitu nilai selain kegunaannya bagi manusia, dan bahwa
semua bentuk kehidupan harus dibiarkan untuk berkembang dan memenuhi
nasib evolusi mereka. Deep Ecology memiliki delapan prinsip yang mendasarinya.

11

Filsafat pokok Deep Ecology lebih sering disebut dengan ecosophy. Eco yang
berarti rumah tangga dan sophy yang berarti kearifan. Artinya, ecosophy adalah
kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai rumah tangga dalam arti
luas. Sehingga ecosophy ini bukanlah hanya sekedar teori, melainkan juga
menjadi kearifan (wisdom). Kearifan manusia itu nantinya diharapkan tidak
merusak lingkungan. Ecosophy juga disusun untuk memperbaiki kecenderungan
cara pandang ekologi yang lebih komprehensif dan revolusioner, agar mampu
menjawab semua masalahlingkungan. Kecenderungan ini disebut sebagai
ekologisme. Sebagai sebuah teori, Deep Ecology adalah teori yang normatif, teori
kebijakan dan teori gaya hidup. Hal itu dikarenakan Deep Ecology memberikan
pandangan normatif bahwa alam semesta dan segala isinya bernilai pada dirinya
sendiri. Deep Ecology disebut juga teori kebijakan karena cara pandang dan
perilaku ecosphy tidak hanya untuk individu,namun harus menjiwai dan
mempengaruhi kebijakan publik.
Deep Ecology tidak hanya mengkritik teori-teori pembangunan yang antilingkungan, namun juga mengkritik teori lingkungan sendiri yang ia anggap
kurangmendasar dalam melihat permasalahan.
Deep Ecology memiliki delapan platform aksi. Platform pertama adalah
kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan mahkluk lain
di bumi, memiliki nilai pada dirinya sendiri. Nilai-nilai ini tidak bergantung apakah
dunia selain manusia mempunyai kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia.
Platform kedua adalah kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan
mempunyai sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga nilai pada
dirinya sendiri, serta mempunyai sumbangsih bagi perkembangan manusiadan
mahkluk lain di bumi.
Platform yang ketiga disebutkan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk
mereduksi kekayaan dan keanekaragaman alam, kecuali untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan vital.

12

Sedangkan platform keempat menyebutkan perkembangan kehidupan manusia
dan kebudayaanya berjalan seiring dengan penurunan yang cukup berarti dari
populasi penduduk. Perkembangan kehidupan mahkluk lain, membutuhkan
penurunan tersebut.
Platform kelima disampaikan bahwa kehadiran manusia dalam mencampuri
dunia diluar manusia sudah berlebihan. Hal tersebut berlangsung terus
memburuk dengan cepat.
Platform keenam memberikan informasi bahwa perubahan yang signifikan untuk
kondidsi lingkungan yang lebih baik, dibutuhkan perubahan kebijakan. Sehingga
akan mempengaruhi dasar dari struktur ekonomi, teknologi dan idologi.
Platform yang ketujuh menyebutkan bahwa tujuan utama perubahan ideologi
adalah mencapai kualitas hidup yang baik, bukanya menetapkan standar
hidup. Selanjutnya akan ada kesadaran perbedaan antara suatu hal yang besar
dan suatu yang hebat.
Platform kedelapan adalah dimana orang-orang yang telah menerima pemikiran
deep ecology, memiliki kewajiban secara langsung maupun tidak langsung untuk
ambil bagian dalam memperjuangkan perubahan penting ini.
Prinsipi-Prinsip Keilmuwan Dari platform-platform menentukan prinsip-prinsip
dalam

Deep

Ecology-nya.

Pertama,

prinsip

biosoheric

egalitarianism,

pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup (human, non human,
biotic, a biotic), adalah anggota yang sama status dan derajatnya, sehingga
memiliki martabat yang sama pula. Pengakuan ini menunjukkan adanya sikap
hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan. Artinya semua mahkluk
memiliki hak yang sama dalam hidup dan berkembang.
Kedua, prinsip non-antroposentrisme, yaitu manusia adalah bagian darialam,
bukan diatas atau terpisah dari alam. Manusia tidak dipandang sebagai mahkluk

13

penguasa alam semesta, tetapi memiliki status sama dengan makhluk lain
sebagai ciptaan Tuhan. Bahkan manusia harus menyadari bahwa dirinya
tergantung dengan alam, bukan sebaliknya (perspektik bioregional).
Ketiga, prinsip realisasi diri (self-realization), manusia harus merealisasikan
dirinya dengan menemukan dan mengembangkan potensi dirinya. Hanya dengan
merealisasikan dirinya manusia dapat melangsungkan kehidupanya. Realisasi diri
tersebut harus dilakukan dengan komunitas ekologis. Apabila manusia telah
melakukan self-realization maka musia telah menuju pada individu yang
sempurna.
Keempat, live and let live, yaitu pengakuan terhadapat kehidupan dan
keberagaman alam dalam hubungan simbiosis yang kompleks. Manusia harus
melihat yang telah hidup, biarkanlah hidup. Manusia juga harus merasakan
bahwa adanya keguncangan apabila terjadi kerusakan pada aspek-aspek alam,
baik itu karena hal yang alamiah, atau karena ulah manusia itu sendiri.
Kelima, adalah prinsip ecopolitics, prinsip yang mengatur tentang politik hijau.
Hal ini dipaparkan karena konsep politik saat ini lebih banyak mengedepankan
aspek ekonomi dan aspek sosial, bukan aspek ekologis. Oleh karena ini sangat
diperlukan adanya pemikiran

green politic. Ecopolitics juga mengharapkan

adanya pengakuan asasi yang setara dari pemerintah, antar manusia, hewan dan
tumbuhan.
Keseluruhan prinsi-prinsip Deep Ecology diatas, apabila dibenturkan dengan sifatsifat manusia yang didasarkan pada psikologisnya di bumi ini, akan menciptakan
kekeliruan dan kesalahan pengelolaan yang berdampak bagi alam lingkungan
tempat hidupnya. Terutama bagi masyarakat yang hidup di kota besar seperti
Jakarta. Kesalahan tidak hanya bagi lingkungan hidup, namun memberikan efek
bagi manusianya dalam bentuk kekacauan informasi yang diberikan alam.
Kesalahan dalam perencanaan pembangunan yang ditimbulkan manusia inilah

14

disebut sebagai dosa perencanaan pembangunan (architecture and planning
development sins).

Gambar 1. Diagram Deep Ecology Paradigm
Sumber: http://www.ucpress.edu/img/excerpts/zim01a.jpeg

Dalam pengelolaan lingkungan hidup pun mengenal tujuh dosa lingkungan
(environmental sins). Environmental sins masyarakat tersebut, secara psikologi
akan timbul dengan adanya stimulus dalam manusia itu sendiri. Stimulus ini akan
menciptakan dampak kegiatan sebagai bagian dari proses sensasi, persepsi,
memori, dan berpikir. Kegiatan hasil dari proses itulah yang berdampak pada
lingkungan hidup sebagai media manusia.
Dosa yang pertama yaitu keputusasaan. Bagi individu atau kelompok yang miskin
yang hidup dalam serba kekurangan, merisaukan kondisi lingkungan terasa
bagaikan suatu kemewahan. Bagi Negara berkembang seperti Indonesia yang
sedang berperang melawan kemiskinan dengan mengejar pertumbuhan
ekonomi, tiba-tiba harus dihadapkan pada kebutuhan akan teknologi dan
peralatan anti polusi yang mahal, dampak rumah kaca, menipisnya lapisan ozon,
15

perubahan iklim yang terasa merupakan kemewahan tersendiri. Tetapi
pembangunan harus tetap berlangsung, kepentingan ekologi dan ekonomi
memang harus berjalan beriringan. Keputusasaan apalagi sampai menyerah pada
nasib justru akan memperburuk keadaan.
Dosa yang kedua, adalah godaan. Para industriawan cenderung tergoda untuk
membuang limbahnya tanpa mengolahnya terlebih dahulu, terutama di daerahdaerah yang mekanisme law inforcement-nya belum berjalan sebagaimana
mestinya. Ditambah dengan social budaya masyarakatnya yang mudah sekali
tergoda untuk membuang limbah dan sampahnya sembarangan. Selama ini kita
baru menggunakan separo dari sisi gunting kita untuk memecahkan masalah
lingkungan, yaitu: peraturan. Sebagian pengusaha memang telah mematuhi
berbagai pertauran tersebut, namun masih banyak yang lalai, mengabaikan, atau
pembiaran. Untuk itu perlu kita gunakan separo lagi dari sisi gunting kita, yaitu
memberikan penyuluhan pengembangan bisnis yang berwawasan lingkungan
kepada para pengusaha. If you want to stay in business, yaou have to make
products that are gentle to the environment (Bruce, 1991).
Dosa ketiga yaitu kerakusan. Kerakusan para pengusaha dalam melahap sumber
daya alam (sumber daya terbaharukan maupun tak terbaharui) guna memasok
keperluan konsumsi penduduk yang juga rakus akan kebutuhan primer maupun
sekunder.
Dosa keempat yaitu keangkuhan. Perasaan angkuh/arogan dari sementara orang
yang merasa dapat menundukkan alam dapat menyebabkan kerusakan alam.
Dosa kelima yaitu kelalaian. Membiarkan para industriawan dan masyarakat
membuang limbahnya ke badan-badan air, udara, dan tanah tanpa terkontrol
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan yang fatal.
Dosa keenam adalah keirihatian. Dalam rangka mengejar ketinggalan dengan
daerah lain, maka pertumbuhan ekonomi pun menjadi satu-satunya tujuan,

16

sehingga pengrusakkan sumber daya alam akan terjadi tanpa memperhatikan
daya dukung alamnya. Manusia tidak boleh membabi buta menentang
kemajuan/pertumbuhan (ekonomi), tetapi justru manusia harus menentang
kemajuan/pertumbuhan (ekonomi) yang membabi buta (Brower, 1991).
Dosa yang terakhir adalah kebencian. Pada saat perang Irak-Kuwait, karena rasa
benci Saddam Hussein telah mengkomando tentaranya untuk menghancurkan
700 sumur minyak Kuwait. Tindakan ini telah menyebabkan asap hitam
mencemari udara, mematikan burung-burung dan serangga serta menimbulkan
sakit pernafasan bagi penduduk sekitarnya. Berjuta-juta gallon minyak
mencemari perairan teluk, memusnahkan kehidupan yang ada diperairan
tersebut. Untuk membersihkan kembali semua pencemaran tersebut diperlukan
waktu yang lama, hingga saat ini.
Dalam rangka pengelolaan lingkungan, ketujuh dosa yang mematikan tersebut
haruslah dihindari. Untuk apa kita selama ini berjuang begitu gigih untuk
memenangkan begitu banyak peperangan di dunia ini, jika pada akhirnya hanya
untuk mendapatkan diri kita berada diambang kehancuran lingkungan (Hayes,
1990).
Kesimpulan
Kelangkaan sumberdaya alam, dari sudut pandang Deep Ecology sudah sangat
mengkhawatirkan, bahwa saat ini sudah dirasa pada fase gawat. Dari delapan
platform Deep Ecology sendiri lebih menempatkan manusia dalam sistem
ekologis yang utuh dalam lingkungan, tidak mengenal dominasi antar mahluk
hidup dan semua benda yang ada di bumi.
Deep ecology sebagai environmental paradigm sangat dipengaruhi oleh budaya
dan psikologis manusia untuk memilih opsinya. Mulai dari proses kegiatan yang
tercipta dari sensasi, persepsi, memori, dan berpikir, serta sampai kegiatan
manusia dalam hal menetapkan keputusan (decision making), memecahkan

17

persoalan (problem solving), dan berpikir kreatif (creative thingking) untuk
mengelola lingkungan hidup menjadi media yang bersahabat.

Daftar Pustaka
Meadows, Dennis L. 1982. The Limits to Growth. A Report fo the Club of Romes
Project on the Predicament of Mankind.
Barnhill, David and Roger Gottlieb. Deep Ecology and World Religions. Albany: SUNY
Press. 2001.
Bookchin, Murray. “ocial Ecology ve sus Deep Ecology. Green Perspectives (4 & 5,
Summer 1987).
Devall, Bill and George Sessions. Deep Ecology: Living As If Nature Mattered. Salt
Lake City, UT: Peregrine Smith. 1985.
Drengson, Alan, and Yuichi Inoue, eds. The Deep Ecology Movement: An Introductory
Anthology. Berkeley, California: North Atlantic. 1995.
Maris, Masri. M.T.Zen. 1982. Batas-batas Pertumbuhan. Sebuah laporan untuk
proyek The Club of Rome mengenai bahaya yang mengancam umat manusia.
Gramedia. Jakarta.
Jalaludin, Rakhmat. 2004. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Jakarta.
Sessions, George, ed. Deep Ecology for the 21st Century. Boston: Shambhala
Publications. 1995.
Shepard, Paul. Coming Home to the Pleistocene. San Francisco: Island Press. 1998.
Snyder, Gary. Turtle Island. New York: New Directions. 1969.
Snyder, Gary. The Practice of the Wild. San Francisco: North Point Press. 1990.
Taylor, Bron, ed. Ecological Resistance Movements: The Global Emergence of Radical
and Popular Environmentalism. Albany, New York: State University of New
York Press. 1995.
Taylor, Bron, Deep Ecology As “ocial Philosophy: A C iti ue. In Eric Katz, Andrew
Light and David Rothenberg, eds. Beneath the Surface: Critical Essays on
Deep Ecology. Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 2000, 269-99.

18