Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Ke

Dwi Kewarganegaraan dan Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia 
Susi Dwi Harijanti, PhD

A. Pendahuluan
Kewarganegaraan merupakan salah satu unsur yang selalu dikaitkan dengan negara
bangsa (nation state). Akan tetapi sebagai akibat perubahan yang terjadi saat ini,
relasi antara kewarganegaraan dengan negara bangsa tertentu mulai dipersoalkan.
Misalnya, isu mengenai kewarganegaraan Uni Eropa. Transformasi relasi ini terjadi
karena dua sebab, terutama yang berkaitan dengan kondisi yang saling berhubungan
(interconnected conditions), yaitu (1) perubahan ciri kedudukan dan kelembagaan dari
negara bangsa sebagai akibat berbagai bentuk globalisasi yang terjadi mulai tahun
1980-an, serta (2) munculnya aktor-aktor baru dalam hubungan internasional selain
negara.
Sebagai akibat globalisasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan orang atau
kelompok secara lebih mudah, fenomena migrasi menjadi semakin nyata yang
menyebabkan munculnya diaspora di berbagai negara.  Menjadi tidak bermasalah
apabila perpindahan dengan maksud menetap yang diikuti dengan perpindahan
 Disampaikan dalam Workshop “Kewarganegaraan Ganda dan Urgensi Perubahan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2006, diselenggarakan oleh Badan Keahlian DPR RI, Jakarta, 1 September 2016.
Tulisan ini pernah disampaikan dalam acara Diskusi Penyusunan Konsep Naskah Akademik dan RUU
tentang Kewarganegaraan Ganda, diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal DPR, Jakarta, 23 Oktober

2014 dengan beberapa perubahan.
 Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Kewarganegaraan & Keimigrasian FH Unpad, sedang
melakukan penelitian bersama Dr. Olivier Vonk, University of Liege Belgia untuk data base EUDO
CITIZENSHIP.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Bilal Dewansyah, S.H., M.H. atas bantuannya
menyiapkan bahan-bahan tulisan.
 Lihat misalnya, Saskia Sassen, ‘The Repositioning of Citizenship: Emergent Subject and Spaces for
Politics’, Project MUSE, diunduh http://muse.jhu.edu, 20 April 2010.
 Ibid, hlm 1.
 Lihat misalnya, Melvin Ember, et., al (eds), Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugees
Culture Around The World, New York, Springer, 2005

1

kewarganegaraan hanya menimbulkan akibat hilangnya salah satu kewarganegaraan.
Akan tetapi fenomena yang muncul adalah adanya tuntutan pemberlakukan dwi
kewarganegaraan. Tuntutan ini menimbulkan pertanyaan mengenai loyalitas dan
kesetiaan

(loyalty


and

allegiance)

yang

biasanya

melekat

pada

konsep

kewarganegaraan. Haruskah konsep loyalitas dan kesetiaan ini diberi tafsir baru dan
digantikan dengan konsep ‘connectedness’?
Sebagai negara dimana warga negaranya mulai melakukan migrasi, Indonesia
menghadapi masalah yang sama. Beberapa tahun belakangan diaspora Indonesia
mulai


menggagas

pemikiran

mengenai

kemungkinan

penggunaan

dwi

kewarganegaraan. Menyikapi hal tersebut, DPR mulai melakukan kajian-kajian dwi
kewarganegaraan dari berbagai perspektif, seperti Hukum Tata Negara, Hukum
Kewarganegaraan dan Keimigrasian, serta Hukum Internasional.
Terdapat beberapa masalah utama berkenaan dengan isu dwi kewarganegaraan yang
mengantarkan pada pertanyaan inti: apakah UU No. 12 Tahun 2016 perlu diubah?
Pertanyaan inti tersebut dapat dielaborasi menjadi:
(1) bagaimana urgensi pengaturan kewarganegaraan ganda dalam undang-undang

tersendiri?;
(2) bagaimana konsep kewarganegaraan ganda?;
(3) siapa saja yang dapat memperoleh kewarganegaraan ganda?;
(4) bagaimana negara memberikan perlindungan dan fasilitas dalam penerapan
kewarganegaraan ganda di Indonesia?;
(5) bagaimana tujuan dan manfaat kewarganegaraan ganda bagi rakyat Indonesia?:
(6) Bagaimana pemberian kewarganegaraan ganda dari perspektif hak asasi
manusia (HAM)?;
(7) bagaimana tata cara untuk memperoleh kewarganegaraan ganda?; dan
(8) bagaimana tata cara kehilangan kewarganegaraan ganda?

Beberapa permasalahan di atas, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsep kewarganegaraan, serta
2

permasalahan-permasalahan yang bersifat teknis. Masalah no. 1, misalnya, perlu
diawali dengan mendiskusikan konsep kewarganegaraan ganda terlebih dahulu, serta
masalah praktikal yang dihadapi dari penerapan UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan), khususnya yang berkaitan dengan masalah
konflik status kewarganegaraan (conflict of nationality/citizenship) atau fenomena

kewarganegaraan terkini. Dari pembahasan tersebut, baru dapat diketahui apakah kita
perlu mengatur dan menerapkan kewarganegaraan ganda atau tidak di Indonesia. Jika
memang perlu diatur, ada tiga kemungkinan: apakah diatur dengan UU tersendiri,
perubahan parsial atau bahkan penggantian terhadap UU Kewarganegaraan.

Jika

memang kewarganegaraan ganda (secara penuh) akan diadopsi dalam hukum
kewarganegaraan Indonesia, pilihan – pilihan tersebut tentu saja akan mengubah politik
hukum kewarganegaraan Indonesia yang selama ini didasarkan pada prinsip
kewarganegaraan tunggal, dan hanya mengakui kewarganegaraan ganda terbatas
pada anak dari perkawinan campuran.
Sedangkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan mekanisme pemberian
kewarganegaraan ganda merupakan persoalan teknis yang dapat diselesaikan setelah
persoalan konsep dapat diselesaikan.

B. Kewarganegaraan Ganda: Konsep dan Perkembangan
Kewarganegaraan ganda secara konseptual dapat dimaknai secara sempit dan luas.
Dalam ari sempit, kewarganegaraan ganda mengacu konsep “dwi kewarganegaraan”
(dual


citizenship/

nationality)

pada

status

seseorang

yang

memiliki

dua

kewarganegaraan dari dua negara yang berbeda. Dalam arti luas, kewarganegaraan
ganda diperluas tidak hanya terbatas pada dwi kewarganegaraan, namun juga lebih
dari 2 banyak kewarganegaraan (plural/multiple citizenship/ nationality). Kemungkinan

besar, masalah yang sedang kita diskusikan bukan mengacu pada kewarganegaraan
ganda dalam arti luas, namun dalam arti sempit, yaitu dwi kewarganegaraan. Namun
 Spiro, dalam esainya mengenai dual citizenship (dwi kewarganegaraan) sebagai hak asasi,
mengeneralisasi permasalahan tersebut sebagai masalah plural citizenship pada umumnya. Lihat Peter
J. Spiro, “Dual Citizenship As Human Right”, International Journal of Constitutional Law, Vol. 8 No. 1,
2010, hlm. 111.

3

demikian, oleh karena pengakuan kewarganegaraan ganda pada kebanyakan negara
berupa dwi kewarganegaraan, maka istilah kewarganegaraan ganda lebih banyak
diasosiasikan dalam bentuk dwi kewarganegaraan.

Dwi kewarganegaraan secara umum dapat muncul karena penerapan asas- asas
kewarganegaraan dari segi kelahiran secara timbal balik (interplay), antara asas ius
sanguinis dan ius soli atau naturalisasi seorang warga negara suatu negara ke negara
lain. Namun, sepanjang sejarah masyarakat modern, masalah dwi kewarganegaraan
atau kewarganegaraan ganda pada umumnya, menurut Spiro, dalam makna
terbaiknya, lebih dianggap sebagai suatu anomali, dan paling buruk, dianggap sebagai
suatu kekejian (abomination), atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai the

greatest evil. Hal ini tidak terlepas dari filosofi kewarganegaraan yang didasarkan pada
doktrin “kesetiaan abadi” (perpetual allegiance) yang sebenarnya merupakan masa
feodalisme. Memiliki dua kewarganegaraan, apalagi kewarganegaraan ganda,
dianggap sebuah ketidaksetiaan/ tidak loyal (disloyalty) pada suatu negara, walaupun
klaim tersebut lebih bersifat mekanisme untuk membuat malu (shaming mechanism),
dari pada sanksi hukum. Namun dalam perkembangannya, banyak negara
menerapkan dan mengakui kewarganegaraan ganda, baik implisit maupun eksplisit.
Catatan Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada tahun 2006, dari 198 negara, 53
negara memperbolehkan dwi-kewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak
adanya larangan khusus, 5 negara memperbolehkan dwi-kewarganegaraan secara
umum dengan cukup banyak larangan khusus, 37 negara tidak memperbolehkan dwikewarganegaraan tetapi dengan cukup banyak kekecualian khusus, dan 15 negara

 Lihat P. Weis, Nationality and Statelessness in International Law, Sijthoff & Noordhoff, Alphen aan den
Rijn (the Netherlands), 1979, hlm. 169.
 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 111.
 Ko Swan Sik, sebagaimana dikutip Gouw Giok Siong menegaskan bahwa bipatride pernah dipandang
sebagai kejahatan terbesar daripada kehidupan internasional dewasa ini (the greatest evil of present
international life)‟. Lihat Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, Keng Po, Djakarta, 1960, hlm. 2.
 P. Weis, op., cit, hlm. 30.

 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 115.

4

tidak memperbolehkan dwi-kewarganegaraan dengan tidak adanya atau hampir tidak
adanya kekecualian khusus.
Faktor utama pengakuan atas dwi kewarganegaraan mulai meluas adalah globalisasi
dan

transnasionalisasi,

terutama

gelombang

migrasi

internasional

yang


tak

terbendung, baik karena alasan-alasan yang bersifat sukarela maupun keterpaksaan.
Kewarganegaraan ganda dalam konteks globalisasi, di satu sisi dapat dipandang
contoh “internal globalization” (globalisasi internal) dimana aturan-aturan negara
bangsa merespon ikatan-ikatan berbagai warga negara lintas batas negara , di sisi lain,
kewarganegaraan ganda juga dapat dipandang sebagai “an incident of globalization”
(kecelakaan dari globalisasi), mengingat berbagai persoalan yang berujung pada klaim
atas kewarganegaraan ganda akibat migrasi internasional yang begitu masif dan tak
terhindarkan.
Selain globalisasi dan transnasionalisasi, klaim terhadap dwi kewarganegaraan juga
didasarkan pada pengakuan HAM yang mengglobal yang telah diakui oleh hampir
semua negara. Walaupun hak atas kewarganegaraan ganda secara universal tidak
dijamin sebagai hak asasi, karena dibatasi hanya untuk satu kewarganegaraan,  namun
bukti di berbagai negara, pentingnya dwi kewarganegaraan disituasikan dalam
kerangka pikir hak asasi manusia. Klaim kewarganegaraan ganda sebagai hak asasi
juga tidak terlepas dari tanggung jawab realisasi HAM yang bertumpu pada rezim
negara dalam merealisasikan hak asasi individu. Oleh karena sebagian besar jaminan
hak asasi bersifat universal, maka kegagalan atau ketidakoptimalan suatu negara

dalam merealisasikan hak asasi warga negaranya, menjadi dasar bagi seorang warga
 Aliansi Pelangi Antar Bangsa, “Komparasi Hukum Atau Undang-Undang Tentang Kewarganegaraan
Yang Berlaku Di Indonesia
Dan Negara-Negara Lain”, disusun untuk dipakai sebagai bahan
pertimbangan bagi Badan Legislasi DPR-Rl, 2006, tanpa halaman.
 Thomas Faist, “The Fixed and Porous Boundaries of Dual Citizenship”, dalam Thomas Faist (ed), Dual
Citizenship in Europe From Nationhood to Societal Integration, Ashgate, Hampshire – Burlington, 2007,
hlm. 69.
 Ibid., hlm. 3.
 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 130.
 Pasal 15 (1) UDHR, merumuskan jaminan hak atas kewarganegaraan, dengan norma: “Everyone has
the right to a nationality”, Pasal 24 (3) ICCPR, menegaskan jaminan serupa bagi anak dengan frase
“Every child has the right to acquire a nationality.”
 Peter J. Spiro, op.cit., hlm. 111.

5

negara untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara lainnya, tanpa kehilangan
kewarganegaraan asalnya, agar hak asasinya dapat direalisasikan secara penuh.
Konsekuensi dari prinsip bahwa HAM tidak terbagi (indivisible), saling berkaitan
(interrelated) dan saling bergantung (interdependent), menyiratkan kebebasan untuk
memilih

kewarganegaraan,

termasuk

klaim

atas dwi

kewarganegaraan, pasti

berkorelasi dengan upaya merealisasikan hak asasi lainnya, misalnya hak atas
penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, atau bahkan hak
atas rasa aman.
Walaupun pengakuan terhadap dwi kewarganegaraan mulai meluas, namun sebagian
negara selalu mengkaitkan pengakuan tersebut berdasarkan “ikatan khusus” terhadap
negaranya. Artinya, pengakuan dwi kewarganegaraan sangat dimungkinkan untuk
diberikan dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut selalu dihubungkan dengan ikatan
dengan negara, warga negara atau komunitas politiknya dalam arti luas (misalnya
ikatan bagi negara-negara persemakmuran Inggris). Sebagai contoh, walaupun
Amerika Serikat (AS) mengakui dwi kewargenegaraan karena asas ius soli dalam hal
kelahiran anak di wilayahnya (tanpa melihat kewarganegaraan orang tuanya, kecuali
tidak berlaku bagi diplomat) atau cara lain, namun apabila warga negara AS melakukan
naturalisasi atas permohonan sendiri atau wakilnya ke negara lain atau mengucapkan
janji setia (oath of allegiance) ke negara asing, menyebabkan kehilangan status
sebagai warga negara AS. Bahkan El Savador yang mengakui kewarganegaraan
ganda dalam arti luas (banyak kewarganegaraan/mulitiple citizenship), namun
pengakuan kewarganegaraan ganda tersebut hanya dimungkinkan bagi warga negara
yang mendapatkan kewarganegaraan El Savador karena kelahiran (by birth), dan tidak
berlaku warga negara karena naturalisasi. 

 Lihat Deklarasi dan Program Aksi Wina (1993).
 United States Office of Personnel Management Investigations Service, Citizenship Law of The World,
2001, hlm. 9. Lihat juga Immigration and Nationality Act- 8 U.S. Code § 1481 - Loss of nationality by
native-born or naturalized citizen; voluntary action; burden of proof; presumptions, diunduh pada
.
 United States Office of Personnel Management Investigations Service, ibid., hlm. 71.

6

C. Masalah Yang Kita Hadapi dan Perlukah Pengakuan dan Pengaturan Dwi
Kewarganegaraan?
1. Isu Pemicu: Archandra Tahar – Gloria Natapraja Hamel
Menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus 2016, masyarakat Indonesia “dihadiahi” dua
peristiwa menarik di bidang kewarganegaraan yang bertolak belakang. Yang satu
menimpa Archandra Tahar, seorang menteri pejabat negara. Yang lain menimpa anak
muda bernama Gloria Natapradja Hamel calon Paskibraka. Keduanya diterpa persoalan
kewarganegaraan ganda. Apakah dua peristiwa itu sama sehingga tindakan atau
keputusan bagi kedua peristiwa itu juga sama? Kita sudah melihat tindakan yang
diambil oleh Presiden berbeda. Pertanyaan selanjutnya apa yang melatarbelakangi
perbedaan tersebut?
Pejabat negara
Presiden telah memberhentikan Archandra dengan hormat. Dari aspek politik persoalan
ini sudah selesai. Namun, dari sisi hukum diskusi masih berjalan. Misalnya, tentang
syarat menteri. UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara mensyaratkan menteri
adalah warga negara Indonesia. Ketentuan ini berbeda dengan syarat Presiden/Wakil
Presiden dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur syarat yang lebih rinci,
antara lain, warga negara sejak kelahiran(natural born citizen) dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang pernah mempunyai dua
kewarganegaraan karena undang-undang. Misal, di Indonesia, anak yang lahir dari
pernikahan campuran.
Jika beranjak dari syarat yang diatur oleh UU Kementerian Negara, seseorang yang
pernah

menanggalkan

kewarganegaraan

Indonesia,

kemudian

melalui

proses

naturalisasi kembali menjadi warga negara Indonesia, dapat saja menjadi menteri.
Semestinya, syarat kewarganegaraan Presiden/Wakil Presiden mutatis mutandis
berlaku pula untuk menteri, dengan argumentasi utama atas dasar kualifikasi jabatan.
Baik Presiden/Wakil Presiden maupun menteri adalah pejabat-pejabat negara. Dan
7

sebagai pejabat negara, mereka mengemban fungsi, tugas dan wewenang yang
strategis, yang membedakan dengan jabatan-jabatan pemerintahan lainnya. Isu utama
adalah, apakah mungkin seseorang yang pernah menyatakan kesetiaan kepada negara
lain, pantas diangkat sebagai pejabat negara?
Kesetiaan dan hak asasi anak
Kasus Gloria berbeda dengan Archandra. Setelah Presiden dan Wakil Presiden turun
tangan, akhirnya Gloria bergabung kembali dengan Paskibraka. Gloria adalah anak
yang lahir dari hasil pernikahan campuran. Karena ia lahir tahun 2000, maka
terhadapnya berlaku UU No. 62/1958 yang tidak menganut prinsip kewarganegaraan
ganda, melainkan turut kewarganegaraan ayahnya. UU Kewarganegaraan Republik
Indonesia memberikan kesempatan kepada anak-anak seperti Gloria mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, asalkan didaftarkan oleh orang tuanya, selambatlambatnya empat tahun sejak UU ini diundangkan. Sayangnya, orang tua Gloria tidak
melakukannya.
Dalam kasus Gloria, seharusnya prosedur mendapatkan kewarganegaraan dapat
‘direlaksasi’ oleh

negara,

atas

beberapa

alasan.

Pertama;

dari

makna

inti

kewarganegaraan adalah kesetiaan atau allegiance, Gloria pantas mendapatkan status
kewarganegaraan Indonesia meski orang tuanya belum mendaftarkan. Ia secara terus
menerus berada dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak pernah
melakukan tindakan-tindakan yang memperlihatkan ‘permusuhan’. Dalam konteks
tersebut, hubungan antara Gloria dan Negara Republik Indonesia menunjukkan apa
yang disebut sebagai ‘genuine link’. Kedua; argumentasi hak asasi anak. Indonesia
adalah negara pihak pada Konvensi Hak-hak Anak 1989, dan mulai berlaku 1990.
Ratifikasi oleh Indonesia dilakukan melalui Keppres No. 36/1990. Salah satu prinsip
utama sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Konvensi tersebut adalah pengutamaan
kepentingan anak (the best interest of the child). Atas dasar ini, seharusnya pejabat
sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan Gloria sebelum menjatuhkan putusanputusan tertentu. Ketiga; atas dasar telah ditemukannya ‘genuine link’ serta
argumentasi prinsip ‘the best interest of the child’ maka pejabat yang berwenang, dalam
8

hal ini Menteri Hukum dan HAM dapat membuat kebijakan untuk ‘mempercepat’ proses
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Tindakan di bidang kewarganegaraan masuk
pada ranah Hukum Administrasi Negara.

2. Latar Belakang Tuntutan Dwi Kewarganegaraan:
Beberapa tuntutan dwi kewarganegaraan di Indonesia sangat beragam alasannya.
Pertama, tuntutan awal berasal dari eks-WNI yang “dicabut” status WNI-nya karena
dianggap terlibat Peristiwa 1965, melalui penarikan parpor Indonesia.

Pencabutan

kewarganegaraan tersebut sebenarnya tidak sah, karena dilakukan secara sewenangwenang, karena persoalan politis, dan menyebabkan banyak WNI, terutama para
mantan mahasiswa ikatan dinas, diplomat atau staf Perwakilan RI menjadi exile. Kedua,
tuntutan dwi kewarganegaraan dari diaspora Indonesia, baik eks-WNI atau WNI yang
menetap di luar negeri yang telah berasimilasi dengan negara lain dan warga
negaranya (misalnya menikah dengan WNA, memiliki keturunan di luar negeri). Di
samping itu, ada satu masalah lagi yang walaupun tidak berujung pada tuntutan konkrit
atas dwi kewarganegaraan, namun terkait dengan penerapan ketentuan pengakuan
status dwi kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran.
Untuk tuntutan pertama di atas, sebenarnya Pemerintah RI berdasarkan UU
Kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006) dapat menggunakan prosedur memperoleh
kembali kewarganegaraan RI dengan prosedur yang sederhana, yaitu memberikan
pernyataan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan RI, namun dengan syarat
melepaskan status kewarganegaraan yang terakhir mereka dapat. Kebanyakan dari
eks- WNI kategori pertama ini, tidak menggunakan prosedur ini dengan alasan yang
beragam, salah satunya karena keberatan untuk melepaskan kewarganegaraan
asingnya, karena dapat berakibat hilangnya hak sebagai warga negara dari negara
tersebut, terutama berkaitan dengan hak-hak kesejahteraan, misalnya pencabutan
jaminan sosial. Selain itu, peristiwa penarikan Paspor RI yang dapat dianggap sebagai
pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang (arbitratry), juga mengarah
pada tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Sebagian dari eks-WNI ini
bahkan menginginkan Pemerintah RI untuk memohon maaf secara resmi atas
9

pelanggaraan HAM yang terjadi (pencabutan kewarganegaraan RI).  Tuntutan tersebut
tentu saja sangat berkaitan dengan political will rezim yang berkuasa.
Masalah kedua, tuntutan dwi kewarganegaraan didasarkan pada kelompok diaspora
Indonesia di berbagai negara, baik yang sudah tidak berstatus WNI maupun WNI yang
menetap di negara lain. Sepemahaman saya, tuntutan mereka agak berbeda dengan
tuntutan eks-WNI kategori pertama di atas. Para diaspora Indonesia sebenarnya
menginginkan agar keberadaannya di luar negeri dapat diberdayakan untuk
kepentingan Negara RI. Di sisi lain, ada pula keinginan mereka untuk dapat
menanamkan investasi sekaligus memberdayakan potensi ekonomi mereka untuk
masyarakat Indonesia, yang selama ini hanya dipandang dari segi remitansi. Tentu saja
pemahaman yang lebih tepat mengenai alasan tuntutan diaspora Indonesia atas dwi
kewarganegaraan perlu dielaborasi dari pandangan komunitas tersebut.
Masalah ini pun sebenarnya cukup mendapatkan jalan keluar berdasarkan UU No. 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang menjamin eks-WNI mendapatkan status
sebagai “penduduk” dengan serta merta, tanpa harus memenuhi syarat jangka waktu
bertempat tinggal di Indonesia, dengan berbagai fasilitas keimigrasian yang
memudahkan eks-WNI keluar masuk Indonesia, misalnya izin masuk kembali. Menjadi
penduduk Indonesia (permanent resident), tidak menjadikan eks-WNI tersebut
kehilangan kewarganegaraan existing-nya. Namun demikian, dengan status sebagai
penduduk Indonesia, eks-WNI memiliki hak yang sama dengan orang asing dengan
status penduduk Indonesia. Artinya, hampir tidak ada perbedaan antara penduduk yang
merupakan eks-WNI dengan penduduk yang merupakan orang asing yang tidak
memiliki ikatan khusus (special tie) dengan Indonesia. Bahkan secara pragmatis, status
sebagai penduduk Indonesia membuat eks-WNI dan keturunannya tidak memiliki
beberapa hak mendasar layaknya WNI, seperti hak milik atas tanah, dan hak untuk
memilih dalam Pemilu, dan sebagainya. Bagi diaspora berstatus sebagai WNI,
persoalan jangka waktu perizinan keimigrasian, seperti izin masuk kembali yang
memiliki jangka waktu tertentu, menjadi hambatan tersendiri ketika tuntutan
 Banyak dari eks-WNI dari kalangan eks mahasiswa ikatan dinas, staf Kedubes pada beberapa negara
di Eropa, China atau Uni Sovyet, menjadi exile selama bertahun-tahun karena menjadi stateless,
sebelum mendapatkan status kewarganegaraannya saat ini.

10

mobilitasnya di luar negeri sangat tinggi, dan niat untuk berkontribusi terhadap
kemajuan Indonesia juga tinggi. Tuntutan dwi kewarganegaraan dari komunitas
diaspora Indonesia mencerminkan konsep kewarganegaraan yang bukan hanya
masalah status hukum (citizenship as status), namun juga mencerminkan konsep
kewarganegaraan sebagai identitas dan perasaan yang bersifat kolektif  dari komunitas
ini sebagai bagian dari “Bangsa” Indonesia.
Masalah lainnya sebagaimana dikemukakan di atas, terkait dengan penerapan
ketentuan pengakuan dwi kewarganegaraan bagi anak dari perkawinan campuran.
Adanya ketentuan yang membatasi waktu pendaftaran anak yang lahir dari perkawinan
campuran

sebelum

UU

Kewarganegaraan

diundangkan

untuk

memperoleh

kewarganegaraan Indonesia, menjadi persoalan tersendiri saat batas waktu tersebut
sudah terlampaui. Anak dari perkawinan campuran yang semula diposisikan sebagai
orang asing dan berdasarkan UU Kewarganegaraan (2006) juga mendapatkan status
WNI, menjadi kehilangan haknya atas status WNI akibat prosdur administratif yang
tidak memberikan jalan keluar (exit way). Hal ini mengindikasikan bahwa masalah
kewarganegaraan ganda bagi anak pun, perlu ditata kembali pada level undangundang. Artinya, tanpa adanya tuntutan baru atas dwi kewarganegaraan pun, kita perlu
mengatur ulang ketentuan kewarganegaraan ganda bagi anak dari perkawinan
campuran.
Tuntutan dwi kewarganegaraan pada umumnya, khususnya dari komunitas diaspora
Indonesia perlu direspon dengan cermat. Tuntutan ini perlu dimaknai bahwa komunitas
diaspora Indonesia telah membuka diri kepada “bangsa-nya” (Indonesia), untuk
menjaring kembali dan memberdayakan berbagai potensi sumber daya manusia (SDM)
Indonesia yang

“berpindah” ke negara lain. Karena persoalan keterbatasan

kemampuan internal Indonesia dalam memberdayakan SDM potensial di dalam negeri,
sebagian WNI menetap di luar negeri demi mendapatkan penghidupan dan apresiasi
 Linda Bozniak mengemukakan empat konsep kewarganegeraan, yakni: (1) kewarganegaraan sebagai
status hukum; (2) kewarganegaraan sebagai hak; (3) kewarganegaraan sebagai aktivitas politik; dan (4)
kewarganegaraan sebagai bentuk identitas dan perasaan yang bersifat kolektif. dalam Lihat dalam Susi
Dwi Harijanti, Rahayu Prasetianingsih, Bilal Dewansyah, Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia,
Laporan Akhir Penelitian, FH Unpad, Bandung, 2007, hlm. 28 – 29.
 Berdasarkan Pasal 41 UU Kewarganegaraan (2006), masa pendaftaran anak berkewarganegaran
ganda, dibatasi paling lama 4 tahun setelah UU Kewarganegaraan diundangkan.

11

yang lebih baik atas kemampuannya. Padahal mereka tidak pernah merasa melepas
ikatan kebangsaannya dengan Indonesia, walaupun menetap di luar negeri atau
bahkan telah berganti kewarganegaraan. Pada negara-negara yang mengakui dwi
kewarganegaraan, umumnya tingkat partisipasi imigran dalam Pemilu di negara
tersebut sangat rendah. Artinya, sebagian besar imigran, baik yang berstatus sebagai
penduduk tetap atau warga negara, tetap lebih terikat dengan “negara asalnya”,
dibandingkan ‘negara barunya.”
Dwi kewarganegaraan sebenarnya bukan merupakan satu-satunya faktor keberhasilan
memberdayakan

potensi

diaspora

bagi

negara

asalnya.

Negara

asal

perlu

mengupayakan berbagai tindakan aktif untuk menjaring potensi diaspora demi
kepentingan negara asal dan masyarakatnya. Artinya, tanpa upaya serius untuk memaintaince hubungan dengan diaspora, termasuk dengan negara tempat tinggalnya,
negara asal sangat mungkin tidak mendapatkan apa-apa, kecuali berharap semua
diaspora berkontribusi secara sukarela bagi negara asalnya. Namun demikian, Dwi
Kewarganegaraan memudahkan para diaspora untuk memelihara hubungan-hubungan
dengan negara asalnya, dari berbagai hubungan yang bersifat rasional, seperti transfer
ilmu pengetahuan, investasi di bidang sektor-sektor potensial, hingga hubungan –
hubungan yang bersifat emosional dengan keluarga dan masyarakat asalnya.
Secara umum, pengaturan dwi kewarganegaraan dalam hukum kewarganegaraan
Indonesia menjadi penting untuk diakomodasi. Bahkan dari perspektif hak asasi
manusia dalam hukum nasional, dwi kewarganegaraan di Indonesia mendapatkan
ruang pengaturan yang lebih luas, mengingat jaminan hak atas kewarganegaraan
dalam UUD 1945 Perubahan, tidak dibatasi pada klaim atas “satu kewarganegaraan”,
namun hak untuk memilih kewarganegaraan. Artinya, pilihan satu atau dua
 Peter J. Spiro, “Citizenship and Diaspora: A State Home for Transnational Politics?”, 2011, hlm. 3,
diunduh dari http://ssrn.com/abstract=1755231, 20 Oktober 2014.
 Seperti ditegaskan oleh Spiro, bahwa “When states have changed citizenship laws to allow dual
citizenship, it has arguably been a defensive move. In most cases, external citizens who naturalize in
their new state of residence maintain their original citizenship as a default; they are not required to
undertake an affirmative act to evidence the vitality of the tie to their homeland state”. (cetak tebal oleh
penulis). Ibid.
 Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak

12

kewarganegaraan, sangat berkaitan politik hukum nasional kita untuk merespon
globalisasi, melindungi hak asasi manusia, termasuk mengantisipasi implikasi dari
migrasi internasional, sekaligus memberdayakan sumber daya manusia Indonesia di
luar negeri untuk kepentingan nasional.
Kembali

pada

masalah

akomodasi

dwi

kewarganegaraan

dalam

hukum

kewarganegaraan Indoensia, menurut saya hal tersebut dapat dilakukan sepanjang
pengakuan tersebut memiliki kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud terkait dengan
kriteria subjek yang diakui memiliki kewarganegaraan Indonesia dan secara simultan
memiliki kewarganegaraan asing. Menurut saya, oleh karena asas kewarganegaraan
yang menjadi dasar politik hukum kewarganegaraan Indonesia adalah ius sangunis,
maka pengakuan dwi kewarganegaraan harus didasarkan pada asas tersebut. Artinya,
dwi kewarganegaraan hanya dimungkinkan bagi orang yang kewarganegaraan asalnya
(sejak kelahiran) adalah Indonesia (original acquisition), dan kemudian mendapatkan
status kewarganegaraan asing di kemudian hari, termasuk bagi keturunannya (generasi
kedua) yang sebelumnya telah dijamin oleh UU Kewarganegaraan (2006). Dengan
demikian, status

dwi

kewarganegaraan

dikecualikan

bagi

orang

asing

yang

mendapatkan status WNI melalui perolehan kewarganegaraan secara derivatif
(derivative acquisition), seperti naturalisasi atau karena perkawinan campuran.
Penegasan kualifikasi di atas menjadi penting, untuk menghindari upaya-upaya
penyelundupan hukum bagi orang asing yang memiliki maksud terselubung tertentu,
misalnya status WNI yang diperoleh karena perkawinan campuran demi memperoleh
hak tertentu yang hanya dimiliki oleh WNI, seperti hak milik atas tanah. Ketentuan ini
mungkin dapat dikecualikan: perkawinan campuran dengan WNI dapat menyebabkan
orang

asing

menjadi

mendapatkan

status

WNI,

tanpa

melepaskan

status

kewarganegaraan asingnya, namun perlu diatur bahwa yang bersangkutan akan
kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila telah bercerai, dan hak-haknya
sebagai WNI tidak berlaku lagi.
kembali.”
 P. Weis membedakan dua jenis cara memperoleh kewarganegaraan, yaitu mendapatkan
kewarganegaraan sejak kelahiran (original acquisition), dan mendapatkan kewarganegaraan baru karena
mengganti kewarganegaraan asalnya (derivative acquisition). Lihat P. Weis, op.cit., hlm. 95 – 96.
 Ibid.

13

Kualifikasi pengakuan dwi kewarganegaraan dengan kriteria tersebut juga penting
untuk mencegah negara menjadikan status WNI sebagai komoditas (commodification
of citizenship), misalnya Kamboja pada tahun 1995 memberikan status temporary
Cambodian nationality kepada para pengusaha dan penanam modal Cina yang telah
mengajukan

permohonan

menjadi

warga

negara

Kamboja. 

Walaupun

dasar

kewarganegaraan tidak lagi bertumpu pada doktrin “perpetual allegiance” (kesetiaan
abadi), namun konsep kewarganegaraan sebagai dasar konstitutif negara tetap berlaku.
Warga negara adalah anggota tetap dari suatu negara, sehingga upaya – upaya untuk
menjadikan status kewarganegaraan sebagai komoditas, tidak sejalan dengan konsep
kewarganegaraan yang multifaset, yang tidak hanya sekedar status, namun sebagai
identitas dan perasaan yang bersifat kolektif, dan aspek-aspek lainnya. 

D. Alternatif: UU Tersendiri, Perubahan UU Kewarganegaraan atau Penggantian
UU Kewarganegaraan?
1. Politik Hukum Kewarganegaraan
Dalam studi hukum kewarganegaraan dikenal bahasan mengenai politik hukum
kewarganegaraan. Terdapat beberapa politik hukum kewarganegaraan: 
Pertama; Indonesia sebagai non-immigrant state. Artinya, Indonesia bukan tujuan akhir
perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari suatu negara.
Kedua;

kebijakan

selektif

(selective

policy).

Kebijakan

ini

bermakna

bahwa

pewarganegaraan hendaknya sungguh-sungguh memperhatikan kualitas sumber daya
yang bersangkutan, baik kualitas pribadi maupun berbagai “nilai tambah” yang akan
ada sebagai akibat pewarganegaraan.
Ketiga; kewarganegaraan Indonesia tidak hilang dengan cara yang sangat mudah.
Keempat; tidak ada kewarganegaraan rangkap serta tidak ada orang tanpa
kewarganegaraan.
 Susi Dwi Harijanti, Rahayu Prasetianingsih, Bilal Dewansyah, op.cit., hlm. 115.
 Ibid, hlm. 28 – 29.
 Bagir Manan, “Pembaharuan Hukum Kewarganegaraan”, Makalah pada Seminar Nasional “Hukum
Kewarganegaraan dan Hukum Keimigrasian di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Surabaya,
Surabaya, 20 September 1997, hlm 16-18.

14

Kelima; hubungan darah dan garis lurus ke bawah (ius sanguinis)
Keenam; perkawinan tidak menghilangkan kewarganegaraan.
2. Bagaimana Ke Depan?
Masalah selanjutnya, apakah perlu mengatur dwi kewarganegaraan dalam undangundang tersendiri? UU Kewarganegaraan saat ini tidak mengatur pengakuan dwi
kewarganegaraan, selain anak yang lahir dari pernikahan campuran. Tentu saja
pengakuan dwi kewarganegaraan selain kepada anak dalam konstruksi UU
Kewarganegaraan saat ini tidak diperkenankan/ bertentangan dengan asas dan kaidah
dalam UU tersebut. Namun pengaturan dwi kewarganegaraan dalam perspektif politik
hukum, diposisikan sebagai ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan. Oleh
karena itu, dwi kewarganegaraan perlu diatur sekurang-kurangnya pada level undangundang, mengingat perubahan UUD secara umum lebih sulit dilakukan, dibandingkan
dengan perubahan undang-undang.

Sepengetahuan saya, tidak ada negara yang memiliki undang-undang khusus tentang
dwi kewarganegaraan. Pengakuan dan pengaturan dwi kewarganegaraan merupakan
sub-sistem dalam hukum kewarganegaraan, sehingga materi tersebut biasanya diatur
dalam Konstitusi atau undang-undang tentang kewarganegaraan. Pengaturan dwi
kewarganegaraan secara khusus dalam UU tersendiri dapat dianggap sebagai
inkonsistensi politik hukum kewarganegaraan, kecuali jika UU Kewarganegaraan telah
mengatur ketentuan pokok tentang

dwi

kewarganegaraan. Oleh karena

UU

Kewarganegaraan tidak mengakui dwi kewarganegaraan selain bagi anak, maka UU
Kewarganegaraan tersebut yang perlu diubah. Jika disepakati bahwa status dwi
kewarganegaraan harus didasarkan pada status WNI sebagai kewarganegaraan asal,
maka dwi kewarganegaraan modal tersebut merupakan “pengecualian” dari asas
kewarganegaraan tunggal yang dianut UU Kewarganegaraan (2006). Dalam hal ini,
walaupun mengubah politik hukum dari UU Kewarganegaraan, namun pengaturan dwi
kewarganegaraan tidak mengubah prinsip pokok politik hukum kewarganegaraan
Indonesia yang masih didasarkan pada prinsip kewarganegaraan tunggal. Artinya,
perubahan yang dilakukan terhadap UU Kewarganegaraan adalah perubahan parsial,
15

bukan perubahan komprehensif/ penggantian. Namun secara teknis, jika perubahan
tersebut mengubah sebagian besar batang tubuh UU Kewarganegaraan, maka tidak
menutup kemungkinan dilakukan pengantian UU Kewarganegaraan dengan yang baru.
E. Apa Saja Yang Perlu Diatur?
Dalam Perubahan UU Kewarganegaraan, beberapa hal pokok mengenai Dwi
Kewarganegaraan yang perlu diatur mencakup:
1. Subjek dwi kewarganegaraan (WNI, eks WNI dengan status kewarganegaraan
asing, anak dari perkawinan campuran antara WNI dengan WNA);
2. Kondisi-kondisi yang dapat diperbolehkan perolehan dwi kewarganegaraan
(termasuk tata caranya), seperti memperoleh kewarganegaraan dari suatu
negara asing yang juga mengakui Dwi Kewarganegaraan melalui kelahiran,
pewarganegaraan/ naturalisasi, perkawinan campuran/ antar bangsa.
3. Kondisi-kondisi yang menyebabkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia
yang memiliki dwi kewarganegaraan (termasuk tata caranya), seperti melakukan
pengkhianatan

negara,

dan

alasan-alasan

kehilangan

kewarganegaraan

Indonesia, selain larangan dwi kewarganegaraan.
4. Ketentuan tentang kerja sama dengan negara-negara yang menerima dwi
kewarganegaraan untuk memastikan dwi kewarganegaraan diakui secara
timbalk balik, termasuk ketentuan tentang hak dan kewajiban tertentu dari
pemegang status dwi kewarganegaraan, seperti perjanjian masalah pajak (untuk
menghindari persoalan double taxation).
5. Ketentuan peralihan yang mengatur proses pengakuan dwi kewarganegaraan,
misalnya pendaftaran bagi eks-WNI, anak dari hasil perkawinan campuran
berkewarganegaraan asing yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia
sebelum UU tersebut diundangkan.

Bahan Bacaan

A. Buku dan Artikel
16

Bagir Manan, “Pembaharuan Hukum Kewarganegaraan”, Makalah, 1997
Melvin Ember, et., al (eds), Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugees Culture
Around The World, New York, Springer, 2005
Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Keng
Po, Djakarta, 1960
Peter J. Spiro, “Dual Citizenship As Human Right”, International Journal of Constitutional
Law, Vol. 8 No. 1, 2010
____________, “Citizenship and Diaspora: A State Home for Transnational Politics?”, 2011,
diunduh dari http://ssrn.com/abstract=1755231
P. Weis, Nationality and Statelessness in International Law, Sijthoff & Noordhoff, Alphen aan
den Rijn (the Netherlands), 1979
Saskia Sassen, ‘The Repositioning of Citizenship: Emergent Subject and Spaces for
Politics’, Project MUSE, diunduh http://muse.jhu.edu

B. Laporan Penelitian
Aliansi Pelangi Antar Bangsa, “Komparasi Hukum Atau Undang-Undang Tentang
Kewarganegaraan Yang Berlaku Di Indonesia Dan Negara-Negara Lain”,
disusun untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi Badan Legislasi DPRRl, 2006
Susi Dwi Harijanti, Rahayu Prasetianingsih dan Bilal Dewansyah, Politik Hukum
Kewarganegaraan Indonesia, FH Unpad, 2007
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

17