Makalah hadis berdasarkan kualitas dan k
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam skema dapat dipahami, bahwa hadits dilihat dari segi kualitasnya terbagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi
dua mutawatir dan ahad yang shahih dan hasan baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang
hadits mardud ada satu yaitu hadits dha’if.
Hadits mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad
saw., bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk
berbuat dusta kepada Rasulullah Saw., karena kebenaran sumber-sumbernya telah
meyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi
mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad, maupun matannya.
Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat
kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap
sanad maupun terhadap matannya, sehingga status ahad tersebut menjadi jelas, apakah bisa
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan :
1.
Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas hadis berdasarkan rawi nya
2.
Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
3.
Untuk lebih memahami pengertian hadits dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
a.
Pengertian Hadits Secara Etimologis :
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang
baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat
seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan alkhabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
b.
Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan
definisi
(ta’rif)
yang
berbeda-beda
sesuai
dengan
latar
belakang
disiplin
ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan,
dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaankebiasaan. Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan
Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa
ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang
dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang
diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka
harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan
kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.
B. Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Dan Kuantitas
1.
Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad.
a. Hadits mutawatir
2
Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriringiringan atau berturut-turut antara satu
dengan yang lain.
Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut
seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan
jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita
yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti
meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka
berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan
haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu
langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau
orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan
tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui
bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat
atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat
diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang periwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang
disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
3
a.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul
Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orangorang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa
mutawatir
itu
memang
ada,
tetapi
jumlahnya
hanya
sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri alMutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir,
susunan
Muhammad
Abdullah
c.Faedah
bin
Jafar
Al-Khattani
(1345
Hadits
H).
Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara
bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti),
dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan
sesuatu
seperti
yang
diriwayatkan
oleh
rawi-rawi
mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir
tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah
bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah
sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
4
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu
daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
A. Hadits Shahih
1.
Pengertian hadits shahih
Menurut bahasa hadits shahih adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit.
sedangkan menurut istilah yang didefenisikan oleh ulama al-mutaakhirin hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berilat.
Kesimpulannya hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari
sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat.
2.
Syarat-syarat hadits shahih
a.
Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima
riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu
sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi dapat dikatakan bahwa rengkaian para perawi
hadis shahih sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis
langsung dari nabi Muhammad saw bersambung dari periwatannya. Persambungan
sanad dalam periwayatan ada 2 macam lambang yang digunakan oleh para
periwayat:
1) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan
syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang
disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Seperti:
= سمعتaku mendengar
= حدثني | أخبرني | حد ثنا | أخبرناmemberitakan kepadaku/kami
= رأيت فلناaku melihat si Fulan, dan lain-lain
Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut atau
sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung)
2) Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari
seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin
mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
= قال فلن | عن فلن | فعل فلنsi Fulan berkata :..../ dari si Fulan / si Fulan
melakukan begini
5
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka
perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu
dengan syaikhnya atau tidak.
Untuk mengetahui persambungan atau tidaknya suatu sanad dapat dicek
dan diperiksa melalui dua teknik:
1) Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau
sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca
terlebih dahulu biografi para perawi hadits dalam buku-buku Rijial Alhadits atau Tawarikh Ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan
kewafatannya.
2) Keterangan seorang perawi atau imam hadits bahwa seorang perawi
bertemu atu tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat
dengan orang yang menyampaikan periwayatan atau tidak melihat.
Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas
keberadaan sanad.
b.
Perawinya adil
Kata adil menurut bahasa adalah lurus, tidak berat sebelah, tidak zhalim, tidak
menyimpang, tulus, dan jujur. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
konsisten (istiqomah) dalm beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak
melakukan muru’ah.
Syarat-syaratnya adalah:
1) Islam
2) Baligh
3) Mukallaf
4) Melaksanakan ketentuan agama
c.
Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa yyang kokoh, yang kuat. Menurut Ibnu Hajar AlAsqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala
sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan
tersebut kepada orang lain. Dhabit terbagi dua macam yaitu dhabit Aa-sadr dan
dhabit fi alkitab.
d.
Tidak Syadz
Menurut Syafi’i Syadz adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi lainyang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e.
Tidak ada ‘illat
Menurut bahasa ‘illat adalah penyakit, sebab, alasan, uzur, cacat, keburukan,
dan kesalahan bacaan. Sedangkan menurut istilah suatu sebab yang tersembunyi atau
6
samar-samar sehingga dapat merusak keabsahan suatu hadits padahal lahirnya
selamat dari cacat tersebut.
Contoh hadits shahih :
: سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعت أبي قال: ما أخرجه البخا رى قال حد ثنا مسدد حد ثنا معتمر قال
وأعود بك من فتنة المحيا, والجبن والحرم, اللحم إني أعود بك من العجزوالكسل: كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول
وأعود بك من عداب القبر,والممات
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami
Musaddad, memberitakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: Aku mendengar ayahku
berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi Saw. berdoa: “Ya Allah
sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut,
dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku
mohon perlindnungan kepada Engkau dari azab kubur,”
Hadits di atas dinilai berkualitas shahih karena telah memenuhi 5 kriteria di atas,
yaitu sebagai berikut:
a.
Sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir. Anas seorang sahabat yang
mendengar hadits ini dari Nabi langsung. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya
Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari Anas. Demikian juga
menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Mussadad syaikhnya Al-Bukhari juga
menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir, sedang Al-Bukhari menegaskan
pula dengan as-sama’ dari syaikhnya.
b.
Semua para perawi dalam sanad hadits di atas menurut ulama al-jarhwa at-ta’dil
telah memenuhi persyaratan adil dan dhabit. Anas bin Malik seorang sahabat semua
semua sahabat bersifat adil. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir bersifat
terpercaya dan ahli ibadah. Musaddad bin Musarhad memiliki titel terpercaya dan
penghafal. Sedang Al-Bukhari Muhammad bin Isma’il, pemilik kita Ash-Shahih
terkenal memiliki kecerdasan hafalan yang luar biasa dan menjadi Amir AlMu’minin fi Al-Hadits.
c.
Hadits di atas tidak syadz, karena tidak bertentangan dengan periwayatan perawi
lain yang lebih tsiqah.
d.
3.
Dan tidak terdapat ‘illah (ghayr mu’allal).
Macam-macam hadits shahih
a.
Shahih lidzati (shahih dengan sendirinya) ialah hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan
perawi.
b.
Shahih lighayrih (shahih karena yang lain) ialah hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna persyaratan hadits shahih akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits
shahih karena ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada di
dalamnya.
7
4.
Kehujahan hadits shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai
hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul
dan fiqih. Hadits shahih lighayrih lebih tinggi derajatnya dari pada Hasan lidzati, tetapi
lebih rendah dari pada shahih lidzati. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan
hujah.
5.
Tingkatan Shahih
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari
tingkat tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah:
a.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim;
b.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja;
c.
Diriwayatkan oleh Muslim saja;
d.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim;
e.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja;
f.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja;
g.
Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan
tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
B. Hadits Hasan
1.
Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa kata hasan diambil kata al-husnu bermakna al-jamal yang
artinya keindahan. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada
‘ilat.
2.
Syarat-syarat hadits hasan
a.
Sanadnya bersambung;
b.
Perawinya adil;
c.
Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits shahih;
d.
Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
e.
Tidak ada ‘ilat.
Contoh hadits hasan:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari AlHasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda :
أعما ر أمتي ما بين الستين إلي السبعين إلي السبعين وأقلحم من يجوز دلك
“Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian.”
8
Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah
shaduq = sangat benar. Oleh para ulama hadits nilai ta’dil sahduq tidak mencapai dhabit
tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabit-annya kurang sedikit jika dibandingkan
dengan ke-dhabit-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
3.
Macam-macam hadits hasan
a.
Hasan lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan
b.
Hasan lighayrihi adalah hadits hasan yang tidak memenuhi hadits hasan secara
sempurna.
4.
Kehujahan hadits hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih.
Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit
dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
C. Hadits Dhaif
1.
Pengertian
Menurut bahasa dhaif artinya lemah lawan dari kata kuat. Sedangkan menurut
istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
hadits hasan.
Contoh hadits dhaif:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari
Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:
من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل عل محمد
“Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam sanad hadits di atas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahzhib
memberikan komentar : = فيه لينpadanya lemah.
2.
Macam-macam hadits dhaif
a.
Dhaif dari segi bersambung sanadnya, yaitu:
1) Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin.
2) Hadits munqati’ ialah hadits yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang
gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal
namanya
9
3) Hadits mu’dal ialah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara
berturut-turut.
b.
Dhaif dari segi sandarannya
1) Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada sahabat
2) Hadist maqtu’ ialah hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan
kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya.
c.
Dhaif dari segi-segi lainnya
1) Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi
yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
2) Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya) atau nampak kefasikannya, baik
pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau
banyak ragu.
3) Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul akan
tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya
lebih utama.
4) Hadits maqlub ialah hadits yang lafalnya tertukar pada salah seseorang dari
sanadnya
atau
nama
seseorang
sanadnya,
kemudian
mendahulukan
penyebutannya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan
penyebutan yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat
yang lain.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits shahih, hasan dan dhaif adalah pembagian dari hadits ahad. Hadits shahih adalah hadits
yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat. Hadits hasan adalah
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada
keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat. Dan hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
B.
Kritik dan saran
Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah
kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
-
As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
-
Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Bumi Aksara: Jakarta
10
-
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung
-
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. R
11
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam skema dapat dipahami, bahwa hadits dilihat dari segi kualitasnya terbagi
menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud, hadits maqbul terbagi menjadi
dua mutawatir dan ahad yang shahih dan hasan baik lidzatihi maupun lighayrihi sedang
hadits mardud ada satu yaitu hadits dha’if.
Hadits mutawatir memberikan pengertian yakin bi al-qath’i bahwa Nabi Muhammad
saw., bersabda, berbuat atau menyatakan ikrar (persetujuannya) di hadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk
berbuat dusta kepada Rasulullah Saw., karena kebenaran sumber-sumbernya telah
meyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan diamalkan tanpa perlu lagi
mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad, maupun matannya.
Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya memberikan pengertian (prasangka yang kuat
kebenarannya) mengharuskan kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap
sanad maupun terhadap matannya, sehingga status ahad tersebut menjadi jelas, apakah bisa
diterima sebagai hujjah atau ditolak.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan :
1.
Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas hadis berdasarkan rawi nya
2.
Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
3.
Untuk lebih memahami pengertian hadits dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits
a.
Pengertian Hadits Secara Etimologis :
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang
baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat
seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan alkhabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
b.
Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan
definisi
(ta’rif)
yang
berbeda-beda
sesuai
dengan
latar
belakang
disiplin
ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan,
dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaankebiasaan. Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan
Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa
ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang
dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang
diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka
harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan
kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.
B. Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Dan Kuantitas
1.
Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits
ahad.
a. Hadits mutawatir
2
Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriringiringan atau berturut-turut antara satu
dengan yang lain.
Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut
seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan
jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita
yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti
meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka
berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan
haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu
langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau
orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan
tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui
bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat
atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat
diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang periwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1.
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan
tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang
disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
3
a.
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul
Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal
tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orangorang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak
mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat
bahwa
mutawatir
itu
memang
ada,
tetapi
jumlahnya
hanya
sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat
perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus
menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri alMutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir,
susunan
Muhammad
Abdullah
c.Faedah
bin
Jafar
Al-Khattani
(1345
Hadits
H).
Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara
bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti),
dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan
sesuatu
seperti
yang
diriwayatkan
oleh
rawi-rawi
mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir
tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah
bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah
sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
4
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu
daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
A. Hadits Shahih
1.
Pengertian hadits shahih
Menurut bahasa hadits shahih adalah lawan dari “saqim” artinya sehat lawan sakit.
sedangkan menurut istilah yang didefenisikan oleh ulama al-mutaakhirin hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh
perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berilat.
Kesimpulannya hadits shahih adalah hadits yang muttashil (bersambung)
sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya ingatan) sempurna dari
sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat.
2.
Syarat-syarat hadits shahih
a.
Sanadnya bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadis menerima
riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung seperti itu
sampai akhir sanad dari hadis itu. Jadi dapat dikatakan bahwa rengkaian para perawi
hadis shahih sejak perawi terakhir sampai kepada para sahabat yang menerima hadis
langsung dari nabi Muhammad saw bersambung dari periwatannya. Persambungan
sanad dalam periwayatan ada 2 macam lambang yang digunakan oleh para
periwayat:
1) Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka langsung dengan
syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang
disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Seperti:
= سمعتaku mendengar
= حدثني | أخبرني | حد ثنا | أخبرناmemberitakan kepadaku/kami
= رأيت فلناaku melihat si Fulan, dan lain-lain
Jika dalam periwayatan sanad hadits menggunakan kalimat tersebut atau
sesamanya maka berarti sanad-nya muttashil (bersambung)
2) Pertemuan secara hukum (hukmi), seseorang meriwayatkan hadits dari
seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin
mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
= قال فلن | عن فلن | فعل فلنsi Fulan berkata :..../ dari si Fulan / si Fulan
melakukan begini
5
Persambungan sanad dalam ungkapan kata ini masih secara hukum, maka
perlu penelitian lebih lanjut, sehingga dapat diketahui benar apakah ia bertemu
dengan syaikhnya atau tidak.
Untuk mengetahui persambungan atau tidaknya suatu sanad dapat dicek
dan diperiksa melalui dua teknik:
1) Mengetahui orang yang diterima periwayatannya telah wafat sebelum atau
sesudah perawi berusia dewasa. Untuk mengetahui hal ini harus dibaca
terlebih dahulu biografi para perawi hadits dalam buku-buku Rijial Alhadits atau Tawarikh Ar-Ruwah, terutama dari segi kelahiran dan
kewafatannya.
2) Keterangan seorang perawi atau imam hadits bahwa seorang perawi
bertemu atu tidak bertemu, mendengar atau tidak mendengar, melihat
dengan orang yang menyampaikan periwayatan atau tidak melihat.
Keterangan seorang perawi ini dijadikan saksi kuat yang memperjelas
keberadaan sanad.
b.
Perawinya adil
Kata adil menurut bahasa adalah lurus, tidak berat sebelah, tidak zhalim, tidak
menyimpang, tulus, dan jujur. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang
konsisten (istiqomah) dalm beragama, baik akhlaknya, tidak fasik, dan tidak
melakukan muru’ah.
Syarat-syaratnya adalah:
1) Islam
2) Baligh
3) Mukallaf
4) Melaksanakan ketentuan agama
c.
Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa yyang kokoh, yang kuat. Menurut Ibnu Hajar AlAsqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap segala
sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan
tersebut kepada orang lain. Dhabit terbagi dua macam yaitu dhabit Aa-sadr dan
dhabit fi alkitab.
d.
Tidak Syadz
Menurut Syafi’i Syadz adalah suatu hadits yang bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh perawi lainyang lebih kuat atau lebih tsiqah.
e.
Tidak ada ‘illat
Menurut bahasa ‘illat adalah penyakit, sebab, alasan, uzur, cacat, keburukan,
dan kesalahan bacaan. Sedangkan menurut istilah suatu sebab yang tersembunyi atau
6
samar-samar sehingga dapat merusak keabsahan suatu hadits padahal lahirnya
selamat dari cacat tersebut.
Contoh hadits shahih :
: سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال: سمعت أبي قال: ما أخرجه البخا رى قال حد ثنا مسدد حد ثنا معتمر قال
وأعود بك من فتنة المحيا, والجبن والحرم, اللحم إني أعود بك من العجزوالكسل: كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول
وأعود بك من عداب القبر,والممات
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, ia berkata memberitakan kepada kami
Musaddad, memberitakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: Aku mendengar ayahku
berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: Nabi Saw. berdoa: “Ya Allah
sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada Engkau dari sifat lemah, lelah, penakut,
dan pikun. Aku mohon perlindungan kepada Engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku
mohon perlindnungan kepada Engkau dari azab kubur,”
Hadits di atas dinilai berkualitas shahih karena telah memenuhi 5 kriteria di atas,
yaitu sebagai berikut:
a.
Sanad-nya bersambung dari awal sampai akhir. Anas seorang sahabat yang
mendengar hadits ini dari Nabi langsung. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya
Mu’tamir menegaskan dengan kata as-sama’ (mendengar) dari Anas. Demikian juga
menegaskan dengan as-sama’ dari ayahnya. Mussadad syaikhnya Al-Bukhari juga
menegaskan dengan kata as-sama’ dari Mu’tamir, sedang Al-Bukhari menegaskan
pula dengan as-sama’ dari syaikhnya.
b.
Semua para perawi dalam sanad hadits di atas menurut ulama al-jarhwa at-ta’dil
telah memenuhi persyaratan adil dan dhabit. Anas bin Malik seorang sahabat semua
semua sahabat bersifat adil. Sulaiman bin Tharkhan bapaknya Mu’tamir bersifat
terpercaya dan ahli ibadah. Musaddad bin Musarhad memiliki titel terpercaya dan
penghafal. Sedang Al-Bukhari Muhammad bin Isma’il, pemilik kita Ash-Shahih
terkenal memiliki kecerdasan hafalan yang luar biasa dan menjadi Amir AlMu’minin fi Al-Hadits.
c.
Hadits di atas tidak syadz, karena tidak bertentangan dengan periwayatan perawi
lain yang lebih tsiqah.
d.
3.
Dan tidak terdapat ‘illah (ghayr mu’allal).
Macam-macam hadits shahih
a.
Shahih lidzati (shahih dengan sendirinya) ialah hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan
perawi.
b.
Shahih lighayrih (shahih karena yang lain) ialah hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna persyaratan hadits shahih akan tetapi naik derajatnya menjadi hadits
shahih karena ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada di
dalamnya.
7
4.
Kehujahan hadits shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai
hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadits dan sebagian ulama ushul
dan fiqih. Hadits shahih lighayrih lebih tinggi derajatnya dari pada Hasan lidzati, tetapi
lebih rendah dari pada shahih lidzati. Sekalipun demikian ketiganya dapat dijadikan
hujah.
5.
Tingkatan Shahih
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, dari
tingkat tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah:
a.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim;
b.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari saja;
c.
Diriwayatkan oleh Muslim saja;
d.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari dan Muslim;
e.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja;
f.
Diriwayatkan oleh orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja;
g.
Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan
tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
B. Hadits Hasan
1.
Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa kata hasan diambil kata al-husnu bermakna al-jamal yang
artinya keindahan. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada
‘ilat.
2.
Syarat-syarat hadits hasan
a.
Sanadnya bersambung;
b.
Perawinya adil;
c.
Perawinya dhabit tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an hadits shahih;
d.
Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
e.
Tidak ada ‘ilat.
Contoh hadits hasan:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari AlHasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda :
أعما ر أمتي ما بين الستين إلي السبعين إلي السبعين وأقلحم من يجوز دلك
“Usia umatku sekitar antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian.”
8
Para perawi hadits di atas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah
shaduq = sangat benar. Oleh para ulama hadits nilai ta’dil sahduq tidak mencapai dhabit
tamm sekalipun telah mencapai keadilan, ke-dhabit-annya kurang sedikit jika dibandingkan
dengan ke-dhabit-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
3.
Macam-macam hadits hasan
a.
Hasan lidzatihi adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan
b.
Hasan lighayrihi adalah hadits hasan yang tidak memenuhi hadits hasan secara
sempurna.
4.
Kehujahan hadits hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadits shahih.
Semua fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit
dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
C. Hadits Dhaif
1.
Pengertian
Menurut bahasa dhaif artinya lemah lawan dari kata kuat. Sedangkan menurut
istilah adalah hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan
hadits hasan.
Contoh hadits dhaif:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari
Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:
من أتى حا ئضا أو امرأة من دبر أو كا هنا فقد كفر بما أنزل عل محمد
“Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam sanad hadits di atas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahzhib
memberikan komentar : = فيه لينpadanya lemah.
2.
Macam-macam hadits dhaif
a.
Dhaif dari segi bersambung sanadnya, yaitu:
1) Hadits mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah tabiin.
2) Hadits munqati’ ialah hadits yang pada sanadnya terdapat seorang perawi yang
gugur atau pada sanad tersebut disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal
namanya
9
3) Hadits mu’dal ialah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara
berturut-turut.
b.
Dhaif dari segi sandarannya
1) Hadits mauquf ialah hadits yang disandarkan pada sahabat
2) Hadist maqtu’ ialah hadits yang diriwayatkan dari tabiin dan disandarkan
kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya.
c.
Dhaif dari segi-segi lainnya
1) Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi
yang dhaif) yang bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
2) Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh
dusta (terhadap hadits yang diriwayatkannya) atau nampak kefasikannya, baik
pada perbuatan atau pada perkataannya atau orang yang banyak lupa atau
banyak ragu.
3) Hadits syadz ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul akan
tetapi bertentangan matannya dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya
lebih utama.
4) Hadits maqlub ialah hadits yang lafalnya tertukar pada salah seseorang dari
sanadnya
atau
nama
seseorang
sanadnya,
kemudian
mendahulukan
penyebutannya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan
penyebutan yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat
yang lain.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits shahih, hasan dan dhaif adalah pembagian dari hadits ahad. Hadits shahih adalah hadits
yang muttashil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit (kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya selamat dari kejanggalan dan ‘illat. Hadits hasan adalah
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil, kurang dhabit, tidak ada
keganjilan (syadz), dan tidak ada ‘ilat. Dan hadits dhaif adalah hadits yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat hadits shahih dan hadits hasan.
B.
Kritik dan saran
Kami sebagai penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan yang tertulis dalam makalah
kami ini, dan kami sangat berharap atas kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
-
As-Shalih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus: Jakarta
-
Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Bumi Aksara: Jakarta
10
-
Mudasir. 2008. Ilmu Hadis. Pustaka Setia: Bandung
-
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. R
11