View of Hiroshima dan Nagasaki dalam Novel Yoko Kawashima 135 1 10 20171017

102

SUSASTRA

yang kemudian dibukukan menjadi A11gan-Anga11 Budaya Jawa
(Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, April 1999). Bakdi menilai
penggunaan kosa kata bahasa Jawa yang terdapat dalam Pe11gak11an
Pariyem menempatkan Linus Suryadi Ag., pengarang prosa Jirik itu,
berada di antara dua dunia (twin lakes), yakni dunia sastra Indonesia
dan sastra Jawa.
Bahasa, yang menurut Ibnu Wahyudi mernpakan salah satu kriteria
penetapan awal mula sejarah sasra Indonesia selain aksara, identitas
pcngarang, karakteristik karya, dan keindonesiaan (lihat artikelnya,
"Mempertimbangkan KembaliAwal Keberadaan Sastra Indonesia Mod­
em", dalam jumal Malay World, Volume I No. 2, Maret 1999, yang
diterbitkan oleh Korea Association of Malay-Indonesian Studies),
menjadi unsur penring apakah sebuah karya sast:ra bisa dimasukkan ke
dalam khasanah sastra Indonesia atau tidak. Yanusa Nugroho bcrada di
"BatasAngin" itu. Ia banyak bercerita tentang dunia pewayangan, yang
sebagian besar dapat dikatakan sebagai carangan moden, dan
menggunakan bahasa Indonesia. Karenanya, ia dianggap sebagai warga

yang sah dalam sastra Indonesia. Scmentara banyak karya sastra yang
bercerita tentang persoalan serupa, yang menggunakan beraneka bahasa
daerah di Indonesia, belum diakui sebagai warga sastra Indonesia.
Novel Di Batas Angin setcbal 93 halaman ini mcnarik untuk dibaca.
Bukan saja karena ceritanya yang menarik untuk dicermati, tapi juga
gaya bertutur Yanusa Nugroho yang mengalir. Tidak salah kalau Sapardi
Djoko Damono menyebutnya sebagai "dalang edan" dan Budiardjo
menyebutnya sebagai "dalang tulis". Jika dibandingkan dengan novel
karya "dalang edan" lainnya, Hadi Sujiwo Tejo, The Sax, jclas bahasa
yang digunakan Yanusa lebib mengalir, sementara Tejo mengajak
pembacanya merenung hampir di seriap kata.

Hirosima dan Nagasaki dalam Novel Yoko
Kawashima
T. Christomy

Universitas Indonesia

Judul buku: So Far From the Bamboo Grove
Per,u/is: Yoko Kawashima Watkins

Pe11erbit: A Beech Tree Paperback Book
Tahun terbit: 1986
Tebal.· 183 halaman

S

ekiranya tugas novel semata untukmenyampaikan fakta, niscaya penulis
novel sudah bangkmt karena pakar sejarah dan wartawan lebih piawai
menorehkannya. Tapi, pendapat itu mungki.n mulai usang pula. Kctika para
penjaga gawang "akta" pun kedodoran dan melenceng dalam tugasnya,
malah novelis kadang mengambil sebagian tugas tukang catat fakta, tentu,
dengan gayanya sendiri. Yoko Kawashima Watkins, penulis So Far From
the Bamboo Grove, menurut hemat saya, salab satu contoh. Sebuah novel
yang mengisahkan keluarga Jepang saat mengungsi dari Korea ke nege1i
leluhurnya saat Hirosima dan Nagasaki baru saja diatom.
Suami-istri, dua anak, satu Jaki-laki satu perempuan, harus tinggal
di Nanam, sebuah kota kecil dekat pcrbatasan Rusia, sekarang masuk
wilayah Korea Utara. Sang ayah yang bukan tentara itu harus bekerja di
sebuah pabrik di Manchuria. Kawashima, melalui mata seorang gadis
kecil, Little One, melukiskan kehidupan mcreka sebagai normal dan

bahagia di tengah tetangganya orang Korea. Kisah keluarga kecil itu
nenjadi drama, ketika sang Ibu dengan tergesa-gesa memeri.ntahkan
anak-anaknya, Hideyo dan Little One untuk segera angkat kaki dari
rumah kecil yang dicintainya. Scmentara itu, mereka terpisah dengan

104

SUSASTRA

ayahnya yang pada saat pengungs1aan masih berada d1 tanhuria. Saat
hengkang dari kampong kec1l itu, mercka hanya sempat mencangking
ijazah, surat asuransi, dan dokumen pribadi lainnya. Dan, drama berlanjut,
selain mereka terpisah dengan suami dan ayah mereka, anak laki-laki
Hideyo pun terjebak dalam sebuah gudah yang dibombardir. Melalui
sudut pandang pengungsian Ibu dan anak gadisnya in !ah kemudian plot
novel terbcntuk. Berbagai peristiwa menegangkan ditampilkan, misal,
ketika kcluarga 1tu harus menghadapi keJaran tentara Rusia. Cina, dan
sekahgus m.ilisi Korea. Kisah d1tutup dengan kemallan !bu Little One
dan pertemuan dengan Hideyo, sang kakak di Jepang.
Yoko Kawashima Watkins, war survivor, yang kini tinggal di Cape

God dan merukah dengan seorangAmerika itu, punya cukup keberanian
untuk mclihat sis1 perang yang tak lazun tcrutama bagi orang Korea
atau bahkan sekutu sekalipun. Ketidaklaziman itu langsung tercndus
oleh pcmbaca Korea manakala pcngarang bertutur tentang derita seorang
keluarga Jepang yang d1aniaya milts1 komunis Korea dalam
pengungsiannya. Kisah sepcrt1 ini bagi sebagian besar orang Korea bak
mempcrmainkan sejarah. Derita orang Korea selama penjajahan
Niponlah yang ingin mereka dcngar bukan upaya mcmbangun rasa
simpati pada gad1 s kccil dari negeri matahan terbit yang terpaksa harus
pergi dan rumahnya di dekat Nanam yang kini masuk ke w1layah Korut.
Novel ini menjadi perdebatan seru masyarakat Korea. Masyarakat,
akadem1si, terutama sjarahwan, dan pohtisi menyarankan menjauhi
buku 111i karena konon mend1skon beberapa akta seprah. Dalam suatu
konfercnsi intenasional di Seoul, saya mcncoba menunjukkan buku ini
kepada seorang anthropolog, "Saya tidak akan menyarankan buku itu,"
katanya
Tetapi, salah seorang knttkus terkenal yang saya wawancarai, Prod.
Dr. Kim Jae Young, mcngatakan, "We are democratic country. No prob­
lem. We don't need to ban this book." Dan, sebuah art1kcl yang ditulis
seorang profesor Korea dengan spesiahs kajian wilayah mengatakan

bahwa novel seperti ini tidak akan melunturkan nasionahsme kita.
Memang, kita pun mafhum apa reaks1 pembaca Korea, misalnya,
atas lukisan-lukisan seperti berikut:

T. CHRISTOMY

105

"We must get out of Seoul. I saw several Korean men dragging
girls to the thicket and I saw one man raping a young girl. . . .
The girls were screaming/or help in Japanese."
Bagi orang Korea, ha) im pejungkrrbahkan; victim menjadi victimi:er.
Dan, penjungk1rbalikan itu tidak hanya menyangkut isu scnsitif scpcrti itu
tapi juga menyangkut rincian sejarah; sem.isal, apakah bentl kercta yang
dttumpangi dalam pelarian mereka ke negeri sakura 1tu dibombardir 852,
apakah betul mereka dicegat tentara komums Korea dan Rus1a, bahkan
menurut mereka, deskripsi pengarang tentang pohon bambu di Nanam pun
tidak masuk aka! karena bambu tidaklah tl1mbuh di Korea bag1an utara
dekat perbatasan Manchuria, dan seterusnya. Tiba-tiba, sebuah karya sastra
dimterogasi olch "ilmu fakta".

Buku ini mclengkapi pemahaman kita tentang nuansa-nuansa
kemanusiaan yang tak mungkin dijelaskan oleh buku-buku sejarah.
Tidaklah mungkin, setidaknya, kalau kita lihat buku-buku sejarah masa
km1, untuk memasukan, katakanlah, satu dcsknpsi tentang sebuah kclurga
Jepang atau Korea atau siapapun yang mengalami kctidakberuntungan
pada masa-masa sulit sepert1 1tu. Sebagaimana sangat tidakmungkinnya
memasukan k1sah-kisah para guru d1 Indonesia, yang menolak
kecurangan UN di Medan, kc dalam buku sejarah Indonesia. Mengapa?
Karena dianggap tidak mewakili bangsa dan negara? Narasi-narasi kecil
itu hanya bisa dibocorkan melalui wacana lain. Dan, ironisnya, karya
sastra yang dalam beberapa ha) dikerJakan secara mdividual tanpa
dukungan finans 1al dan politik yang gegap gempita itu, justru mampu
mengawal narasi-narasi seperti itu.
Mcmang, sastra seperti ini sangat beresiko bag1 penulisnya karena
representamen yang ditampilkannya "dekat" dengan pengalaman
pembaca Korea. Sama halnya, ketika orang Indonesia membaca karya
J.C. Bijkerk (1988) yang mcnjadikan sang gubemur jcnderal Hindia
Belanda sebaga 1 tokoh panutannya. Bagi scbagian pengalaman orang
Indonesia sangatlah muskil.
Kawasihma Watkins banyak menggunakan bahasa-bahasa ringkas,

sepertinya penulis ingin menghadirkan semacam biografi sebuah
keluarga dari sudut pandang seorang bocah 11 tahun, Yoko yang

106

SUSASTRA

menyaksikan berbagai hal yang menyedihkan, tragis, dan lucu baik ketika
mengungsi dengan berjalan kaki dari Nanam yang berbatasan dengan
Manchuria, maupun saat naik kereta api dan kemudian menyeberang
dari Busan-Korea menggunakan fery ke Fukuoka. Scpanjang pc1jalanan
itu, pembaca bisa menangkap atmosfer Korea yang baru saja terlepas
dari Jepang; situasi kacau, kelaparan, rusaknya sanitasi dan keamanan
sipil, orientasi politik sipil yang belum stabil, masuknya pengaruh
komunis Cina-Rusia, serta sentimen anti-Jepang yang memuncak
memberikan dimensi lain pada pembaca saat ini yang selama ini sudah
sarat dijejali "fakta".
Sebuah novel, mau tidak mau, tetaplah novel. ltulah yang hendak
dijawab oleh penulisnya ketika mendapatkan serangan bertubi-tubi dari
berbagai piliak. Dalam scbuah wawancara tertulis kepada sebuah surat

kabar Korea, penulisnya mengatakan, ia tidak ingin menyakiti siapa sja,
ia hanya ingin menulis novel yang diangkat dari pengalaman getir
sewaktu kecil.
Bagi pembaca Indonesia, mengisahkan narasi-narasi kecil seperti
yang dilakukan Kawashima Watkins pada zaman pendudukan Jepang
maupun semasa penjajahan Belanda, serta gegap gempita "perang
saudara" dan tragcdi ideologi tahun 60-an dapat memperkaya narasi­
narasi kecil untuk tampiJ di ruang publik yang lebih luas. Kalau teks
scjarah tidak lagi mampu membuat kita belajar tentang busuknya
peperangan dan ambisi pemimpin politik dunia bagi perorangan, siapa
tahu teks sastra bisa bekerja lebih baik.

Perempuan Nelangsa dalam
Cerpen Happy Salma
Asep Sambodja

Universitas Indonesia

Judul buku: Pulang
Penu/is: y Sa/ma

Penerbit: Koekoesan
Ta/nm terbit: 2006
Tebal.· 120 halaman

r

Oda mulanya adalah kecurigaan. Kita dapat saja curiga kenapa Happy
Salma menulis karya sastra. Kenapa Happy Salma menulis cerpen dn
sudah pula ditcrbilkan dalam kumpuJan cerpen Pulang (Depok: Koekoesan,
2006)? Kalau .ita mengutip lgnas Kleden, setidaknya ada tiga kegelisahan
yang menyebabkan seseorang menulis, yakni kegelisahan eksistensial,
kegelisahan politik, dan kegelisahan metaisik. Yang menjadi persoalan
kemudian adalah kegelisahan macam apa yang melatarbelakangi Happy
Saa ketika menulis cepen?
Sebagai seorang artis sinetron dan bintang iklan, Happy Salma tidak
perlu lagi mencemaskan persoalan eksistensial karena ia sudah eksis di
bidangnya. Namun, sebagaimana Rieke Diah Pitaloka-artis yangjuga
menghasilkan karya sastra berupa puisi dan berpolitik praktis-Happy
Salma tampaknya merasa tidak cukup puas dengan gemerlapan di dunia
selebritis. Ia ingin lebih dari sekadar terkenal sebagai artis dan bintang

iklan, ingin lebib dari sekadar meraih uang dalam jumlah besar, dengan
menulis karya sastra, dalam hal ini cerpen.
Karena apa? Kita tahu bahwa sastra sebagai karya seni berpotensi
menyimpan sekaligus merekam pikiran dan pcrasaan kita lebih lama