Hermeneutika dan Etika Diskursus Haberma

Hermeneutika dan Etika Diskursus Habermas:
Tinjauan terhadap Buku Strong Hermeneutics, Contingency and
Moral Identity karya Nicholas H Smith
Dr. Herdito Sandi Pratama
Departemen Filsafat, FIB, Universitas Indonesia
herditosandi@gmail.com

Fundamentalisme Pencerahan dan Problem Hermeneutis
Tulisan ini merupakan tinjauan atas karya Nicholas Smith berjudul Strong
Hermeneutics: Contingency and Moral Identity. Tinjauan ini terutama sekali
fokus pada bab 1 dan 6 buku tersebut, khususnya mengenai pandangan Smith
terhadap etika diskursus Habermas.
Filsafat modern dianggap mencapai puncak filosofisnya pada Pencerahan
(enlightenment), yang menampung semua gagasan mengenai totalitas
epistemologis, bahwa struktur pengetahuan (kognisi) manusia tersusun secara
universal. Kant sendiri, yang dianggap sebagai pemikir yang menjembatani
pandangan Lockean dan Cartesian, masih terjebak pada transendensi rasio, yakni
keyakinan bahwa yang membentuk pengetahuan (knowledge) adalah rasio dengan
menerima sumber mentah empiris. Dapat dikatakan secara umum bahwa
Pencerahan menganut suatu ‘kegilaan epistemologis’, keangkuhan, dan totalitas
pengetahuan yang terpusat pada peran rasio. Karakteristik inilah yang kemudian

disebut sebagai ‘fundamentalisme Pencerahan’. Fundamentalisme Pencerahan
mengakui bahwa bahasa yang ada hanyalah ekspresi sebagian kebudayaan atau
petunjuk moral yang menampilkan deskripsi objektivitas dunia dan memandang
perbedaan deskriptif dan fungsi evaluatif bahasa dengan mengakui ethics of rules.
Dalam konteks inilah, kognisi selalu diperlawankan dengan identitas.
Ernest Gellner mengidentifikasi dua komponen yang disebutnya sebagai ethics of
cognition. Pertama, sesuatu mestilah benar sebelum ia digunakan untuk
mengklaim karakter lain; kedua, kebenaran dapat dianggap virtue ketika ia telah
mampu memuaskan kriteria ‘resiko maksimal’ dari legitimasi epistemologis.1
Sinisme yang datang dari Gellner mengatakan bahwa Pencerahan
sebetulnya hanyalah suatu apologia filosofis untuk menerangkan fakta sosiologis.
Sementara dalam perspektif Weber, Pencerahan ditandai dengan maturitas kognisi
manusia hingga mencapai taraf ilmiah dan teknologis, menanggalkan jubah lama
yang dianggap using, yakni tradisionalisme dan religiusitas. Tudingan Gellner
mempertanyakan
kembali
status
kognisi
Pencerahan __dan
dengan

__
demikian menyeret persoalan identitas ke dalam pertanyaan yang sama, sebab
1 Nicholas H Smith. 1997. Strong Hermeneutics: Contingency and Moral Identity (New

York: Routledge), hal. 11.
1

identitas dan kognisi dianggap final oleh semangat Pencerahan. Gellner menyebut
manusia sebagai adaan (being) yang ‘menderita di antara kognisi dan identitas’.2
Pernyataan ini pula yang mengantarkan Pencerahan berhadap-hadapan dengan
kontingensi. Hermeneutika secara umum tentu saja menganggap totalitas
Pencerahan bersifat kontingen, yang dengan demikian memberikan bidang yang
sangat luas bagi intepretasi untuk bekerja.
Hasrat Pencerahan untuk mengklaim pengetahuan sejati ditolak mentahmentah oleh hermeneutika, yang oleh Nicholas H Smith dikelompokkan ke dalam
tiga model: hermeneutika lemah (weak hermeneutics), hermeneutika kuat (strong
hermeneutics), dan hermeneutika dalam (deep hermeneutics). Ketiganya samasama memberikan perhatian pada konsep kontingensi. Hermeneutika lemah
menganggap kognisi dan identitas keduanya bersifat kontingen. Perhatikan,
bahwa keduanya dapat juga dirumuskan sebagai epistemologi dan ontologi.
Sementara, hermeneutika kuat memberi status kontingen pada identitas tetapi
masih mengakui adanya pencapaian epistemologis yang memadai untuk

menjalankan suatu modus baru dalam metode hermeneutika. Lain halnya,
hermeneutika dalam berupaya menjembatani ketegangan antara apa yang disebut
Habermas sebagai monologikal dan dialogikal. Secara sederhana, kedua konsep
itu memiliki wilayah masing-masing: monologikal pada abstraksi teoretis
(misalnya ilmu pengetahuan) dan dialogikal pada dunia sehari-hari.
Menurut Smith, para fundamentalis Pencerahan pada dasarnya mengakui
bahwa gairah nyata untuk memperoleh makna di dalam dunia yang chaotic,
sangatlah keras. Namun, kelompok ini begitu mengakui kapasitas kemuliaan dan
martabat sang subjek penahu. Atas dasar ini, mereka disebut fundamentalis
lantaran menyandarkan diri pada keyakinan universal mengenai esensi subjek.3 Di
sinilah pentingnya hermeneutika, yang oleh Gellner dikatakan merepresentasikan
kegagalan manusia dalam menghadapi kontingensi. Hermeneutika berusaha
merestorasi identitas dan subjek moral dengan cara memisahkan atau menandakurungkan dunia di mana manusia hidup dan menyokongnya dari dalam. Dunia
(lifeworld) menghasilkan sumber daya bagi pembentukan identitas manusia,
sekaligus menjadi arena ekspresi identitas manusia.4 Ini menjadi problem filosofis
karena kita akhirnya menemukan ada perbedaan nyata antara bahasa kognitif dan
bahasa kehidupan; sebuah diskontinuitas antara dunia ilmiah dengan dunia seharihari.5 Dalam situasi intelektual ini tiga model hermeneutika bekerja.6

2 Ibid.
3 Ibid., 13.

4 Ibid.
5 Ibid., 14.

6 Bandingkan dengan pembagian Caputo dalam John D Caputo. 1987. Radical
Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic Project (Bloomington:
Indiana University Press)

2

Tulisan ini akan membahas secara singkat telaah terhadap etika diskursus
Habermas berdasarkan sudut pandang hermeneutika kuat.
KOGNISI

IDENTITAS
MORAL

Fundamentalisme
Pencerahan

Universal-Objektif


Universal-Objektif

Hermeneutika
Lemah

Kontingen

Kontingen

Universal

Kontingen

TRADISI

Hermeneutika
Kuat
Hermeneutika
Dalam

Etika Diskursus

Dialogis
Subject-centred
reason

UniversalKomunikatif
Universal-Formal;
Divalidasi
berdasarkan
prosedur
argumentatif

TOKOH
Kant, Weber
Nietzsche,
Rorty,
Posmodernis
Gadamer,
Taylor, Ricouer

Habermas,
Freud
Habermas

Tabel Pemilahan Karakteristik Pencerahan, Tradisi Hermeneutika, dan Etika Diskursus

Etika Diskursus
Habermas mengajukan pertanyaan sebagai permulaan investigasi
diskursus etika: jika pandangan dunia telah terperosok ke dalam pemisahan
kognisi dari komponen integral sosial, maka bagaimana cara kita mengisi tugas
moral-praktis dalam menyusun identitas pribadi dan kolektif? Bagaimana bisa
sebuah moralitas tanpa berakar pada intepretasi kognitis terhadap alam menjamin
identitas individual dan kolektif? Menurut Smith sendiri, ini adalah pertanyaan
sosiologis dari Habermas. Elaborasi Habermas terhadap etika diskursus sejatinya
adalah suatu upaya justifikasi rasionalitas terhadap sudut pandang moral yang
dipahami sebagai intepretasi kognitif yang independen dari alam, sekaligus
kompatibel dengan individu dan kelompok yang terdesentralisasi dalam
masyarakat modern.7 Etika diskursus yang diajukan sebenarnya mengikuti
pendapat Kant yang mengasumsikan bahwa rasionalitas dari sudut pandang moral
adalah momen tanpa syarat.

Etika diskursus mencoba untuk menggabungkan pendirian dari normanorma yang mengatur sikap individu dan kelompok untuk tetap atau mengikuti
prinsip rasional moralitas, dengan cara menegakkan prinsip moralitas. Pertama,
etika diskursus harus lepas dari kemungkinan empiris. Kedua, etika diskursus
menunjukkan komitmen bahwa kebenaran moral terlepas dari kemungkinan
sejarah dari adat-istiadat, kebiasaan, dan tradisi yang terjadi pada masyarakat dan
waktu tertentu.8
7 Smith. 1997. Op.cit., 121.
8 Ibid., 29-34.

3

Strategi etika diskursus adalah merekonstruksi aturan universal dari inti
moral dalam pengertian asumsi-asumsi yang dibuat oleh partisipan dalam bentuk
aktivitas, yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif. Kapanpun
diskursus itu terjadi, ketidakmungkinan tuntutan moral dapat diklarifikasi. Tetapi
dalam situasi yang plural, kemungkinan konflik mengenai norma dan moral dapat
terjadi. Di bawah kondisi demikian, rasionalitas dari ide dasar moral dijamin
karena adanya pemisahan dari muatan visi khusus mengenai ‘kehidupan yang
baik’. Sudut pandang moral kemudian dianggap sebagai sesuatu yang adil dan
universal.

Habermas sependapat dengan Gellner bahwa perbedaan sistematis dari
deskripsi, perspektif, dan evaluasi fungsi lingustik dipakai pada pencapaian
pengetahuan dari modernitas. Perbedaan antara Habermas dan Gellner tampak
dalam pembelaan mereka terhadap proyek Pencerahan. Etika diskursus, secara
sederhana kembali pada kenaifan hermeneutis fundamentalisme Pencerahan.
Tidak sama dengan fundamentalisme Pencerahan, etika diskursus
menyebarkan konsep ‘dunia kehidupan’ (lifeworld) secara sederhana. dunia
kehidupan bagi Habermas adalah horison dari ‘sedikit atau banyak kata-kata’,
tidak problematik, dan didasari pendirian.9 Dunia kehidupan sendiri mendapat
banyak revisi, yang bagi Habermas merupakan lokus pertemuan antara pengucap
dan pendengar. Ide ini adalah konstruksi filsafat yang bertujuan menjaga
kognisi/pengetahuan dari skeptisisme.10
Berbeda dengan asumsi Gellner yang mengatakan bahwa dunia kehidupan
dibutuhkan tidak untuk melindungi para filsuf yang lari dari dunia yang
mekanistik, Habermas dengan hati-hati memisahkan konsep dunia__yang menjadi
referensi asumsi klaim kebenaran__dari konsep dunia kehidupan. Sesuai dengan
teori habermas, dunia (world) adalah klaim korelasi ontologi yang dapat
dibenarkan melalui pertimbangan kriteria kebenaran dan keadilan yang tidak
dapat direduksi lagi. Sementara, dunia kehidupan dengan kata lain adalah
permainan tanpa aturan ontologi. Dunia kehidupan dapat meningkatkan

rasionalisasi yang menjadi tujuan etis menyangkut kesediaan untuk suatu aksi
komunikasi. Dunia kehidupan dirasionalisasikan oleh Habermas melalui aksi
komunikasi.11 Habermas menyanjung Gellner karena dia mengaitkan antara
metode ilmiah dengan perspektif dari potensi rasional tindakan komunikasi.
Habermas berpikiran bahwa kesalahan dari fundamentalisme Pencerahan
dapat dilihat kembali dari kesalahan tesis Weber.12 Kesalahannya terletak pada
oposisi yang dibuat antara identitas dan metafisika. Proyek Habermas ingin
merasionalisasikan dunia kehidupan sekaligus menegaskan bahwa etika diskursus
lebih baik dibandingkan fundamentalisme Pencerahan.
9 Bandingkan dengan Andrew Edgar. 2006. Habermas: Key Concepts (New York: Routledge),
hal. 17.
10 Smith. 1997. Op.cit., 31.
11 21-22
12 Ibid., 33.

4

Etika diskursus mengasumsikan bahwa jika memang ada muatan objektif
dari keyakinan moral, maka hal ini tidak merepresentasikan secara akurat a pregiven natural order of things.13 Dunia dengan karakter hukum-hukum fisikal yang
intelejibel tidak secara serta-merta menampilkan keteraturan alamiah yang mampu

menjamin legitimasi keyakinan moral. Oleh karena itu, Habermas melihat penting
dan perlunya sebuah standar yang berdiri di luar kontingensi sejarah dan budaya. 14
Alasan lanjutannya adalah bahwa sebuah masyarakat yang dikarakterisasi oleh
wajah plural nilai-nilai yang dianutnya, menghadapi masalah untuk
menyelesaikan situasi konflik potensial yang muncul sebagai akibat adanya
perbedaan-perbedaan nilai. Untuk menyelesaikan masalah ini, etika diskursus
menempuh jalan yang sama dengan etika deontologi bahwa kita harus
memisahkan the right dari the good;15 menyusun intelejibilitas the right melalui
sebuah konsepsi prosedural mengenai kebutuhan moral dalam menghadapi
kontingensi sejarah dan alam melalui pemisahan domain moral dari domain the
good.16 Dengan begitu, etika diskursus sebetulnya adalah spesifikasi dialogis dari
etika normatif rasio praktis-deontologis.
Menurut Smith, menilik pada proyek etika Habermas demikian__yang
mendasarkan intelegibilitas moral secara independen dari sejarah __merupakan
sebuah titik keberangkatan dari hermeneutika. Bagi Habermas sendiri, status dan
tujuan dari etika diskursus merupakan konsekuensi koherensial dari
pandangannya terhadap filsafat. Filsafat bekerja dalam dua garis. Pertama, filsafat
berdiri untuk teori empiris keras yang berusaha merekonstruksi kondisi-kondisi
(atau syarat-syarat) percakapan dan tindakan rasional. Kedua, filsafat memediasi
dan mengintepretasikan dunia kehidupan. Etika diskursus pada dasarnya
menekankan pada garis pertama; yakni berupaya membuat rasionalisasi terhadap
normative rightness agar menjadi intelegibel.17 Dalam hal ini, disiplin filosofis
seperti epistemologi, filsafat bahasa, dan filsafat moral, dianggap Habermas
berdiri untuk teori-teori ilmiah yang membantu kita menyusun teori umum
mengenai rasionalitas. Khususnya, filsafat moral memiliki tugas untuk
mengeksplisitkan__yakni merekonstruksi__kondisi-kondisi yang membuat validitas
klaim normative rightness menjadi intelegibel.
Dengan dasar demikian, etika diskursus yang diajukan Habermas berusaha
merekonstruksi basis rasional dari konstitusi otonomi sudut pandang moral yang
bersifat kuat (universal) tetapi minimal (karena hanya menyangkut formal). 18
Habermas mengidentifikasi diskursus praktis dengan sebuah prosedur formal
argumentasi di mana para partisipan berusaha untuk sampai pada konsensus yang
13 Edgar. 2006. Op.cit., 44-47.
14 Smith. 1997. Op.cit., 122.
15 Ibid.
16 Bedakan dengan James Gordon Finlayson. 2005. Habermas: A Very Introduction
(New York: Oxford University Press), hal. 76.
17 Smith. 1997. Op.cit., 122.
18 Ibid., 124.
5

dimotivasi rasionalitas dalam menghasilkan legitimasi dari suatu norma (moral).
Dengan kata lain, etika diskursus berusaha menderivasi universalitas sudut
pandang moral dari presuposisi pragmatik argumentasi moral. 19 Kode moral
universal dicapai melalui argumentasi komunikatif.
Kritik Hermenutika Kuat terhadap Etika Diskursus
Terhadap etika diskursus Habermas__dengan bekal gagasan hermeneutika
kuat sebagaimana Taylor__Smith mengajukan kritik. Baginya, peralihan dari
hermeneutika dalam teori-teori komunikasi, termasuk etika diskursus Habermas,
adalah sebuah upaya yang keliru. Tujuan terakhir dari teori Habermas adalah
mengklarifikasi dasar-dasar normatif bagi kritik terhadap rasio instrumental.
Sebagai sebuah objek kritik, defisiensi dan deformasi rasio instrumental tersebut
harus didemonstrasikan dari dalam rasio murni. 20 Karenanya, Habermas percaya
bahwa rasio komunikatif yang kritis harus memiliki karakter prosedural murni.
Kritik Smith adalah bahwa sangat sulit bagi kita untuk melihat bagaimana
kritik terhadap rasio instrumental bisa secara efektif dilaksanakan di dalam sebuah
basis prosedur normatif. Kritik terhadap rasio instrumental tidak serta-merta pada
saat bersamaan menjadi kritik terhadap rasio prosedural. Smith bermaksud
menggunakan kritik hermeneutis Taylor terhadap hakikat dan kelemahan rasio
prosedural guna membaca Habermas.
Ada dua konteks berbeda di mana Taylor menguji hakikat dan kelemahan
konsepsi prosedural dari rasio. Pertama, ia mengasosiasikan proseduralisme
dengan ideal Cartesian dan Lockean dalam konsepsi mengenai punctual self; diri
yang dibayangkan sebagai diri yang memiliki kekuatan untuk mengobjekkan dan
mencipta.21 Kedua, penggambaran rasio prosedural dalam konteks ini nyaris
identik dengan gambaran Habermas mengenai subject-centred reason.
Serangan Taylor terhadap etika prosedural secara umum terfokus pada
pernyataan bahwa hanya mungkin masuk akal untuk berbicara mengenai prosedur
sebagai suatu yang etis, sejauh prosedur ini berkontribusi terhadap konsepsikonsepsi substantif dari hidup yang baik (good life); ada gagasan-gagasan
mengenai kebaikan yang secara implisit tidak diakui yang bekerja di dalam teoriteori proseduralis.22 Validitas dalam etika hanya tampak terpahami semata dalam
pengertian bahwa hal-hal substantif seperti kebebasan (freedom) dan kebajikan
(benevolence) secara implisit diasumsikan memiliki validitas tanpa syarat.23
Prosedur hanya bisa dikatakan memiliki signifikansi moral dan etis, jika
dan hanya jika, agen-agen yang terlibat yakin bahwa merupakan suatu hal yang
baik untuk mematuhi prosedur tersebut. Karenanya, bagi Taylor, teori proseduralis
19 Ibid.
20 Ibid., 144.
21 Ibid.
22 Ibid., 145.
23 Ibid.

6

harus pertama-tama menyediakan alasan untuk mendukung keyakinan mengenai
prosedur tersebut.24

Referensi
Teks Utama
Smith, Nicholas H. 1997. Strong Hermeneutics: Contingency and Moral Identity
(New York: Routledge)
Sekunder
Caputo, John D. 1987. Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and
the Hermeneutic Project (Bloomington: Indiana University Press)
Edgar, Andrew. 2006. Habermas: Key Concepts (New York: Routledge)
Finlayson, James Gordon. 2005. Habermas: A Very Introduction (New York:
Oxford University Press)

24 Ibid.

7