Kepribadian Radikal dan Kelompok Radikal

Kepribadian radikal dan kelompok radikal 1
Oleh: D.P. Budi Susetyo
Pendahuluan
Pemahaman tentang radikalisme yang berkembang sekarang ini nampaknya lebih
pada sikap reaktif pada radikalisme destruktif, yang secara fenomenal tergambarkan
dalam kengerian aksi pengemboman Word Trade Centre di New York Amerika Serikat
11 September 2001 lalu dan yang masih hangat-hangatnya adalah pengeboman di pantai
Kuta Bali 12 Oktober 2002 yang tidak kalah dasyatnya.
Sebagai fenomena perilaku, radikalisme nampaknya tidak selalu bersifat
destruktif sebagaimana tergambarkan dalam aksi Imam Samudra dan kawan-kawannya.
R.A. Kartini barangkali dianggap gadis pembangkang pada jamannya, ketika ia memiliki
pemikiran yang terlalu maju (radikal) untuk jamannya karena keinginannya untuk
membebaskan para gadis dari pingitan, keterbelakangan pendidikan, poligami. Walaupun
pada akhirnya ia kalah oleh jaman, namun di kemudian hari pemikiran-pemikirannya
memberi inspirasi dan semangat bagi upaya memperjuangkan persamaan hak kaum
wanita. Demikian pula ilmuwan Coppernicus (1473-1543) dianggap melakukan bida’ah
karena kebenaran yang ia temukan (matahari sebagai pusat tatasurya) bertentangan
dengan keyakinan agama Katolik pada waktu itu yang meyakini bumi sebagai pusat
tatasurya. Di India ada Mahatma Gandhi yang memperjuangkan kemerdekaan dengan
cara-cara anti kekerasan. Sementara para pejuang kemerdekaan Indonesia selalu
mendapat ‘cap’ sebagai kelompok ekstremis dari pemerintahan kolonial Belanda karena

kenekatan dan keberaniannya dalam berjuang melaawan kolonialisme. Sekelompok
orang yang memperjuangkan demokrasi di era pemerintahan yang fasis dapatlah
dianggap sebagai kelompok radikal yang mengancam kelangsungan pemerintahan.
Demikian pula, di kalangan generasi muda cenderung memiliki pemikiran yang radikal
(anti kemapanan) yang sering membuat tidak nyaman generasi pendahulunya. Apa yang
dilakukan Greenpeace adalah bagian dari radikalisme bidang lingkungan yang mendapat
banyak dukungan. Jika digali lagi maka radikalisme dapat ditemukan dalam banyak sisi
kehidupan.
Demikianlah sekedar ilustrasi untuk menunjukkan bahwa radikalisme ketika
dipahami dalam konteksnya tidak selalu berkonotasi destruktif, konyol, nekat, asal beda,
asal aneh, karena semuanya tergantung pada gagasan yang melatarbelakangi dan
tindakan yang dilakukan. Dalam radikalisme yang positif maupun destruktif samasama menghendaki perubahan yang total dari keadaan sekarang.
Normal dan Abnormal
Dalam terminologi psikologi maka radikalisme nampaknya cukup relevan
dipahami dalam konteks perilaku normal dan abnormal. Secara statistik normalitas
perilaku ditentukan oleh banyak sedikitnya orang yang memiliki gagasan ataupun
melakukan suatu perilaku tertentu. Ketika suatu perilaku dilakukan oleh sebagian besar /
kebanyakan orang atau ketika suatu gagasan juga dimiliki oleh kebanyakan orang, maka
dapatlah dikategorikan normal. Namun ketika hanya ada sedikit orang berperilaku atau
Disampaikan dalam Diskusi Akhir Tahun – Panel Forum Unika Soegijapranata, Semarang 20

Desember 2002
1

0

memiliki gagasan tertentu, maka inilah yang disebut sebagai abnormal ataupun radikal.
Dalam konteks yang demikian, maka labeling tentang gagasan dan perilaku radikal
kiranya dapat kita kenakan pada R.A. Kartini yang ingin memperbaiki keadaan kaum
perempuan di jaman feodal, pada sedikit pejabat di Indonesia yang berani melawan arus
dengan tidak korupsi, pada sedikit penegak hukum yang kebal suap, para penemu dan
penggagas besar. Di kalangan rakyat, radikalisme bisa dijumpai pada diri Yuyu Yusanah
seorang wanita petani biasa dari desa Cipendeuy Kecamatan Bantarujeg Kabupaten
Majalengka - Jawa Barat. Pada tahun 1987, ia memulai kerja besarnya yang mungkin
dianggap ‘gila’ oleh orang-orang disekitarnya karena kenekatannya membuat
terowongan air menembus bukit seorang diri, hanya beralatkan linggis, pahat batu dan
palu, sehingga desanya bisa mendapatkan air yang cukup untuk bertani dari sungai
Cipicung. Karena ide dan tindakannya tersebut ia bahkan mendapat penghargaan
Kalpataru dari pemerintah dan selalu dikenang dalam berbagai kesempatan.
Namun apakah gagasan, perilaku radikal tersebut bermakna negatif ataukah
positif nampaknya terkait dengan akibat yang ditimbulkannya. Pakar Psikologi Sosial

Sarlito Wirawan Sarwono (dalam Kompas, 25 September 2001) misalnya, menengarai
keberhasilan pengeboman World Trade Centre yang mengejutkan dunia tersebut selain
didukung oleh tekad yang kuat, keberanian, kecerdasan, namun yang paling utama dari
keberhasilan tersebut sebenarnya adalah kreativitas. Demikianlah selalu ada gagasan,
temuan, perilaku kreatif dibalik radikalisme yang akan membawa perubahan yang
mengejutkan. Dalam kreativitas selalu terkandung gagasan-gagasan baru, alternatif,
orisinilitas, berpikir divergen. Namun ketika digunakan untuk tujuan agresi jadinya
bersifat kontra produktif. Di sisi lain radikalisme juga terbukti telah memberikan banyak
manfaat bagi kesejahteraan peradaban manusia.
Alfred Bernard Nobel (1835-1896) tentunya berharap bahwa mesiu dan dinamit
temuannya akan memudahkan pekerjaan manusia antara lain pada waktu itu untuk
membuka tanah, namun ketika kemudian dipakai untuk kepentingan militer justru telah
membawa tragedi kemanusiaan karena digunakan sebagai penghancur manusia dalam
perang. Ia bahkan merasa perlu menebus rasa bersalahnya dengan menghibahkan hadiah
Nobel untuk perdamaian. Tenaga nuklir tentunya lebih bermanfaat ketika dimanfaatkan
lebih dari sekedar bom atom. Temuan-temuan dalam teknologi transportasi, ruang
angkasa, komunikasi nyata-nyata banyak memberikan kemudahan dan memajukan
peradaban.
Namun radikalisme yang telah dipertontonkan Imam Samudra dan kelompoknya,
pelaku pengeboman World Trade Centre, Timmothy McVeigh yang mengebom gedung

federal Oklahoma di Amerika, aksi bom bunuh diri separatis Tamil di Srilangka dan
masih banyak lagi, sungguh merupakan radikalisme yang menyebarkan teror, ketakutan,
kebengisan, melukai perasaan kemanusiaan secara global dan harus dihentikan. Bahkan
radikalisme agama yang marak, yang dilakukan atas nama Tuhan, kesucian, jihad, sacred
violence (kekerasan mengatasnamakan kesucian), membuat pelakunya tampil sebagai
pembunuh berdarah dingin dan tidak merasa bersalah / menyesali tindakannya yang
biadab.
Dan yang lebih penting, Indonesia sekarang ini bukan lagi sebagai penonton,
namun sudah menjadi panggung, korban, pemain bahkan mungkin ‘pentolan’ terorisme
global, yang sungguh sangat kurang menguntungkan bagi upaya pemulihan multikrisis
yang nampak masih jalan di tempat. Apalagi juga ditengarai oleh teror bom semakin
1

makin marak tiga tahun belakangan ini. Radikalisme yang destruktif nampaknya telah
menjadi kerikil dalam sepatu
yang menyakitkan, semakin melukai, semakin
merongrong, sehingga harus segera dihentikan.
Pada dasarnya tidak ada asap kalau tidak ada api. Demikian pula dengan
radikalisme destruktif yang marak di Indonesia khususnya maupun secara global,
tentunya tidak muncul begitu saja ke muka bumi. Ada prakondisi, antecedent yang

menjadi pemicu. Bahkan radikalisme dapat dikatakan sebagai anak salah asuh. Karena
konsekuensinya yang merugikan maka penanganannya dirasa mendesak. Namun
tentunya kita semua perlu memahami secara proposional mengapa mengapa radikalisme
destruktif begitu marak berkembang di Indonesia ? Siapa yang patut dipersalahkan
(dimintai pertanggungjawaban) dalam persoalan ini ? Demikianlah dalam kesempatan
yang baik ini penulis mencoba menyampaikan sumbangan pemikiran untuk melengkapi
pemahaman tentang radikalisme dari sisi psikologi dimana sebagai fenomena perilaku,
radikalisme dapat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan faktor lingkungan sosial
(kelompok).
Pesona Radikalisme
Misteri tentang siapa dalang / pelaku dibalik setiap peristiwa teror selalu menarik
perhatian, karena memancing rasa ingin tahu orang banyak tentang siapa figur dan apa
motifnya. Pemberitaan media massa yang intensif seputar pengungkapan tragedi Bali,
memunculkan Imam Samudra maupun Amrozi sebagai icon publik yang justru menjadi
buah bibir. Artinya selain ada reaksi menghujat, sisi petualangan, keberanian, kenekatan,
ketenangan, kepercayaan diri dan kecerdasan yang ditunjukkan tidak jarang bisa
memunculkan kesan heroik, kharismatik yang menempatkan mereka sebagai public
figure yang mempesona. Ambang benci dan kekaguman bisa jadi bias dan tidak menutup
kemungkinan figur-figur seperti Imam Samudra, Amrozi, menjadi idola bagi kalangan
tertentu sesuai dengan konteks jamannya.

Demikian pula tokoh-tokoh dibalik
radikalisme pada umumnya adalah pribadi yang memiliki pesona dan berkharisma.
Apalagi krisis ekonomi, dekadensi moral, hilangnya makna hidup karena orientasi
materialisme antara lain sering menjadi isu yang memiliki daya magnit kuat bagi para
kaum yang mendambakan figur untuk berlabuh. Mereka inilah yang seringkali mudah
terjebak dalam arus radikalisme yang dangkal.
Kepribadian radikal
Sebagai fenomena perilaku maka radikalisme terkait dengan kepribadian
pelakunya. Kepribadian yang merupakan disposisi individu untuk berperilaku dengan
cara tertentu, terbentuk melalui proses interaksi individu dengan orang lain dan
lingkungannya. Adalah Alferd Adler (dalam Sarwono, 1999) yang mengemukakan
pendapatnya tentang terjadinya inferiority complex pada individu. Dikatakannya bahwa
perkembangan perilaku seseorang diarahkan pada tujuan hidup untuk mendapatkan
pengakuan dari lingkungannya. Kegagalan mendapatkan pengakuan dari lingkungannya
akan menimbulkan masalah bagi orang yang bersangkutan. Upaya untuk mendapatkan
pengakuan ini adalah dengan kompensasi (menutupi suatu kelemahan dengan hal lain)
terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan rendah diri (inferiority feeling).
Namun pada inferiority feeling yang ekstrem akan ditutupi dengan kompensasi yang
ekstrem pula. Hal inilah yang dianggap memberikan kontribusi bagi terbentuknya
kepribadian authoritarian, fasis, radikal, ketika pilihan melakukan kompensasi dilakukan

dengan cara yang defensif dan reaksioner.
2

Dalam persoalan radikalisme Islam, Ketua PP Muhamadiyah Ahmad Syafii
Maarif (dalam Majalah Tempo edisi 16 – 22 Desember) bahkan mengemukakan
pandangan yang konstruktif, yaitu bahwa satu-satunya jalan terbaik agar Islam tidak
kehilangan wibawa dalam percaturan dunia adalah dengan mengejar ketertinggalan
dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi. Menurut pendapat penulis inferioritas
dalam hal ekonomi sebagai hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam situasi
ekonomi global, maka keterbelakangan ekonomi bisa memperkuat perasaan inferioritas
sehingga semakin menyuburkan embrio radikalisme, karena orang akan unjuk diri secara
defensif dengan mengembangkan fanatisme yang berlebihan menurut identitas
kelompoknya (agama, etnis dan sebagainya)
Dalam teori the authoritarian personality yang dikemukakan oleh Adorno dkk
(dalam Taylor dan Moghaddam, 1994, Hogg dan Abram 1988, Leyens dkk, 1994), juga
dikemukakan tentang berkembangnya kepribadian authoritarian yakni individu yang
berpotensi menjadi fasistik. Menurut Adorno hal tersebut berkembang karena adanya
rasa takut, rasa lemah, inferior, rasa terancam, yang kemudian direpresi dan
menumbuhkan suatu perisai irasional (irrational shield) berupa belief yang melindungi
diri dan menyangkal bahwa ciri-ciri tadi ada pada dirinya. Yang terjadi kemudian, untuk

menutupi sifat lembeknya tadi dilakukan proyeksi dengan menyerang, memusuhi
outgroup (biasanya minoritas yang dipandang lemah) selaku kambing hitam. Sementara
diri sendiri atau kelompok sendiri tetap dianggap suci, unggul dan bermoral. Sindrom
authoritarian biasanya berkembang dalam lingkungan dimana mereka tidak dapat
mengekspresikan perbedaan pendapat, sementara pihak otoritas sebagai pihak yang
selalu benar karena hanya satu nilai yang diberlakukan.
Dalam beberapa penelitian, sebagaimana dikemukakan dalam Lindgren (1973),
ditengarai bahwa kepribadian authoritarian banyak ditemukan pada mereka yang
berpendidikan rendah, memiliki kemampuan intelektual yang rendah. Sementara jika
dilihat dari klas sosial maka kepribadian authoritarian lebih kuat ditemukan pada kelas
sosial rendah dibandingkan kelas sosial menengah dan atas.
Nampaknya juga cukup relevan untuk mengacu pada teori open-closed mind
yang dikemukakan oleh Rokeach, yang menjelaskan bahwa kepribadian radikal dapat
disamakan dengan kepribadian dogmatis (closed mind), dimana orang / kelompok ini
sulit menerima gagasan baru yang tidak sesuai dengan yang sudah dianut, diyakini
selama ini.
Demikianlah kepribadian authoritarian dan dogmatis nampak menjadi ciri dalam
radikalisme agama. Sebagaimana dikemukakan oleh Ulil Abshar-Abdalla seorang tokoh
muda Islam yang liberal (dalam Majalah Tempo, 16 - 22 Desember 2002), dimana ia
berpendapat bahwa Islam radikal memiliki pemahaman keagamaan yang literal, harfiah,

memandang kelompoknya sebagai paling benar dan kelompok di luar dirinya yang
berbeda pandangan (bisa seagama maupun berbeda agama) sebagai yang salah. Mereka
juga mengesahkan penggunaan kekerasan untuk mengeliminasi orang-orang yang
berbeda pendapat. Dalam rangka mendapatkan pengakuan, maka ditempuh dengan jalan
radikal, sempit, subyektif dan kurang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi kemanusiaan.
Mengacu pada pandangan psikoanalisa dari Sigmund Freud, trauma masa lalu
membangun kompleks kepribadian regresif yang akan memicu terbentuknya kepribadian
patologis seperti psikopat, paranoid, skizoprenia yang bisa menjadi pemicu perilaku
radikal. Hal tersebut misalnya ditemukan pada kepribadian regresif pemimpin sekte
3

(agama sempalan) People Temple Jim Jones yang paranoid, halusinatif, sehingga ketika
ia menjadi patron bagi komunitasnya bisa mempengaruhi pengikutnya dengan gagasangagasan yang regresif, radikal, termasuk ajakan untuk melakukan bunuh diri massal di
tahun 1978. Sekte ini ditengarai mulai berkembang di Amerika Serikat di tahun
enampuluhan dengan pengikut kebanyakan orang-orang frustrasi, putus asa. Kemudian
sekte ini berpindah ke Guyana Amerika Selatan, membangun komunitas pertanian yang
tertutup. Sisi penampilan Jim Jones yang kharismatik, hangat, bersahabat dan ramah,
mampu menjadi figur pelindung yang mempesona pengikutnya. Namun demikian ia
ternyata menyimpan kompleks kejiwaan yang patologis (dalam Hoog dan Abram, 1988,
Majalah Tempo, 8 Juli 1993 )

Deindividuasi
Tertangkapnya Imam Samudra memunculkan sisi-sisi menarik. Menurut orangorang yang mengenalnya Imam Samudra termasuk pribadi yang normal-normal saja,
tidak ada disposisi untuk berperilaku sebagai teroris. Bahkan dari surat yang ditujukan
kepada istrinya, ia adalah suami yang romantis. Ditulisnya dalam surat itu:
“Ingatlah bahwa kehidupan ini teramat panjang dan meletihkan dan amat bersyukur
memilikimu sayang. I love you. I love you …………”.
Demikianlah sosok Imam Samudra adalah pribadi yang penuh kontradiksi.
Memang dalam diri setiap individu yang memposisikan diri seperti Imam Samudra yaitu
menjadi pengikut fanatik suatu kelompok tertentu (bisa kelompok agama, politik atau
yang lainnya), selalu melekat kepribadian individual dan kepribadian kelompok yang
mempengaruhi perilakunya. Penampilan Imam Samudra yang sangat berani, dingin,
tidak merasa bersalah, percaya diri, sangat yakin bahwa tindakannya ini merupakan
tindakan jihad, suci, merupakan bentuk deindividuasi. Menurut pendapat penulis, apa
yang menjadi dasar perilaku radikal dari Imam Samudra lebih karena pengaruh
kelompok bukan karena pengaruh kepribadian patologis.
Mengacu pada pendapat Diener (dalam Hogg dan Abram, 1988) maka
deindividuasi adalah keadaan menurun atau menghilangnya kesadaran pribadi (self
awareness) yang terjadi dalam situasi kelompok yang mendukung terjadinya anonimitas
dan berkurangnya perhatian pada patokan berperilaku yang bersifat individual.
Selanjutnya menurut Zimbardo, kesadaran diri yang menurun ini ditandai dengan

melemahnya kontrol diri yang berkaitan dengan rasa malu, rasa bersalah, rasa takut,
komitmen individual. Munculnya deindividuasi antara lain terkait dengan:
1) Jumlah kelompok, yaitu ketika seseorang berada dalam kelompok massa yang
jumlahnya ratusan ataupun ribuan orang.
2) Anonimitas, suatu keadaan dimana identitas pribadi seseorang tidak dikenali.
Anonimitas bisa dilakukan dengan sengaja misalnya dengan menggunakan nama
samaran, nama alias, memalsukan identitas. Juga bisa tersembunyi dalam pakaian
seragam atau ketika seseorang berada di daerah dimana tidak banyak/tidak ada orang
yang mengenalnya sebagai pribadi.
3) Adanya aktivitas dalam kelompok yang membangkitkan perasaan, sentimen dan
mendistorsi pikiran.

4

Deindividuasi juga terjadi karena pengaruh hipnotis pemimpin yang karismatik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sigmund Freud, pemimpin yang karismatik akan
mengambil alih superego individu anggota kelompok. Dengan demikian perilaku
individu anggota kelompok akan dikendalikan menurut standar pemimpinnya. Bahkan
deindividuasi seringkali dipicu oleh gejala collective regression, yaitu ketika secara
bertahap anggota kelompok juga menginternalisasikan kompleks ketidaksadaran yang
patologis sang pemimpin yang terbentuk pada masa kecil/ remaja. Misalnya, gejala
paranoid, delusi, ketakutan bahwa dunia sebagai tempat yang berbahaya, gagasas obsesif
yaitu dalam bentuk gagasan bunuh diri masal sebagai cara untuk melarikan diri dari
kekuatan musuh dan bencana alam global yang ada dalam diri Jim Jones secara bertahap
diinternalisasikan kepada anggota sekte People Temple dengan cara-cara intimidatif,
ancaman, hukuman, brainwashing sehingga menciptakan collective madness
(radikalisme destruktif yang sifatnya kolektif). Hal yang sama kiranya juga terjadi pada
gerakan-gerakan radikal seperti yang dilakukan Imam Samudra dan kawan-kawan,
dimana secara langsung maupun tidak langsung kelompok-kelompok seperti ini pasti
tidak lepas dari pengaruh indoktrinasi, intimidasi dari sang pemimpin yang mereka
kagumi.
Menabur angin menuai badai
Radikalisme ditengarai tumbuh subur di kalangan kelompok minoritas, kelompok
marjinal, kelompok pemberontak, pembangkang, bangsa yang terjajah, kelompok Islam
yang selalu dipojokkan Amerika Serikat, GAM di Aceh yang merepotkan Indonesia,
Palestina yang selalu diteror Israel dan sebagainya. Hal ini mengindikasikan bahwa
merebaknya radikalisme yang destruktif, tidak bisa semata-mata dipersalahkan dari sisi
pelaku. Hal ini karena dalam interaksi antarkelompok berlangsung secara resiprokal, ada
aksi maka ada reaksi, ibarat menabur angin menuai badai. Gaya kepemimpinan Presiden
Amerika Serikat, misalnya ditengarai mempengaruhi pasang surutnya radikalisme. Dapat
saja dikatakan radikalisme adalah anak salah asuh karena sikap penguasa yang kurang
adil, sewenang-wenang, represif.
Tajfel (1982) menjelaskan bahwa dalam relasi antarkelompok, antarpihak, selalu
mengacu pada terjadinya recognition (pengakuan) dan social equality (kesetaraan sosial).
Namun tidak jarang terjadi suatu proses yang disebut perceived illegatimacy yaitu ketika
suatu kelompok merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil, sewenang-wenang oleh
kelompok lain. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara pihak penguasa dan rakyat,
kelompok mayoritas – mayoritas, dalam hubungan antaragama, hubungan antarnegara
dan lain sebagainya. Pada dasarnya selalu terjadi social comparison dalam setiap
hubungan antarkelompok, dimana antarkelompok saling menilai tentang status,
kekuatan, dominasi satu kelompok dibanding ataupun terhadap kelompok lain, yang
pada akhirnya menjadi pertimbangan utama yang menentukan bentuk relasi. Ketika
dalam relasi tersebut dipersepsikan terjadi perbandingan yang tidak seimbang (insecure
comparison) maka persepsi tentang terjadinya relasi yang penuh kecurangan,
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, arogansi ini muncul. Dikemukakan oleh Tajfel
(dalam Hogg dan Abram, 1988) indikasi adanya ketidakadilan hubungan ditandai oleh
munculnya stereotip dalam bentuk permusuhan dan prasangka dalam intensitas yang
kuat. Dalam keadaan yang demikian maka ketika mempersepsi ingroup-outgroup akan
dilakukan secara hitam dan putih. Kebenaran adalah milik kelompoknya sementara
kesalahan milik kelompok lain. Dalam radikalisme agama misalnya tergambarkan dalam
5

sebutan kafir untuk kelompok agama lain. Keadaan inilah yang memicu
perilaku/tindakan radikal, karena menempatkan outgroup sebagai musuh yang harus
dihancurkan atas nama keyakinan ingroup yang selalu benar.
Penutup
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa radikalisme sebagai fenomena
perilaku bisa memberi manfaat positif bagi kesejahteraan manusia dan kemajuan
peradaban karena kontribusi dari temuan, gagasan yang inovatif dan kreatif. Nampaknya
setiap jaman akan lahir sang inovator, pendobrak, pelopornya masing-masing. Namun
sisi destruktif dari radikalisme memberikan konsekuensi yang memprihatinkan, sehingga
mendesak untuk dicarikan solusi. Untuk mengeliminir berkembangnya radikalisme
destruktif yang sempit, maka kunci penyelesaiannya sebenarnya adalah: sejahterakan
kehidupan rakyat, berantas kebodohan, hindari tindakan ataupun kebijakan represif,
diskriminatif yang menempatkan suatu kelompok menjadi semakin terpinggirkan. Jika
hal tersebut diabaikan, maka karakter masyarakat menjadi rentan, fragile, sehingga
mudah terprovokasi pada ajakan, hasutan radikal yang kontra produktif.
Daftar Pustaka
Hogg, M.A. & Abram, D.(1988). Social identification: A social psychology of intergroup
relation and group processes. London: Routledge.
Lindgren, H.C.(1973). An Introduction To Social Psychology. New Delhi: Wiley Eastern
Limited
Leyens, J.P., Yzerbyt, V & Schadron, G.(1994). Stereotype and social cognition. London:
Sage Publications Ltd.
Sarwono, S.W.(1999).Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Balai Pustaka
Kompas. Koran Harian. 25 September 2001.Keunggulan Kreativitas atas Kecerdasan.
Tempo.Majalah Mingguan.Edisi 8 Juli 1993
Tempo. Majalah Mingguan. Edisi 16 – 22 Desember 2002
Tajfel, H.(1982). Social identity and intergroup relations. London: Cambridge University
Press.
Taylor, D.M. & Moghaddam, F.M.(1994). Theories of intergroup relations. London:
Praeger.

6