Adrenalin Sudut Pandang dan narasi

Adrenalin Sudut Pandang
Oleh : Abdi Mulia Lubis
PERASAAN itu hadir tanpa terencana, semua seakan mudah jatuh dalam lamunan panjang
tentang kasih sayang, apa-apa udah baper, bawak perasaan dan tak tahu kemana. Nyanyi
tentang oh Tuhan kucinta dia, dianya gak tak tahu kita siapa, kan malu sendiri
memikirkannya karena waktu belum tepat. Maraknya film sinetron, dan film FTV membuat
para remaja terperangkap pada arus "modernitas tak berakhlak". Adik-adik kita yang masih
SD, SMP, hingga SMA yang gak tahu apa-apa dan bahagia dengan kesendirian dan bermain
permainan tradisional kini jadi ikut arus susah move on. Masih SMP maksa orang tua beli HP
android kalau gak dibelikan maksa mogok sekolah. Sehingga sulit kita membayangkan,
menyudutkan pikiran tentang siapa yang salah sebenarnya membawa kita dalam dilema.
Jangan menyalahkan dunia melainkan didik pola pikir terhadap segala ketidakmungkinan.
Film India yang menyebabkan mamak-mamak berkuasa mengkontrol remot TV sehingga
anaknya yang pengen nonton Adit Sopo Jarwo atau Upin Ipin terpaksa ikutan mamaknya
yang nonton film India. Mau nonton, TV cuma satu dan kekuasaan ada pada orang tua.
"Mamak sudah mengikuti acara ini dari awal sampai episode 128, jadi jangan diganggu
mamak nonton India ya nak", ucap mamak membilang kepada anaknya. Pada akhirnya sang
anak ikutan nonton film India sehingga mindset sang anak runtuh, tak dapat dipompa
perspektifnya dengan hal-hal baru. Sehingga sering kita lihat saat ini anak-anak
mempercayakan segala perasaan nya kepada film-film di TV, dan menjadikan sosial media
sebagai "Tuhan kedua" dimana segala sepi, sedih, dan harapan ditulis dan dibagikan begitu

saja.
Cara pandang manusia terhadap kesuksesan dan menganggap sukses itu mudah didapatkan
hanya dengan menonton sinetron adalah kegagalan dalam mempertimbangkan realita, bahwa
hidup tak seperti yang ada di TV. TV bisa jadi suatu candu yang membawa penontonnya
dengan mudah menerima pahitnya kenyataan, namun hal itu penyiaan waktu. Karena pada
prinsipnya untuk memasuki dunia nyata itu ada pada pengalaman baca manusia, apa buku
yang sudah ia baca ? Maka dari itu baik novel, puisi, dan buku yang bertema tentang
kenyataan antara penderitaan dan kenikmatan sangat dianjurkan menjadi bahan lahapan
pikiran. Dengan ketekunan membaca maka mental berpacu. Luas sudut pandang terhadap
segala hal, tak mudah percaya namun mempunyai etika yang tinggi terhadap nilai sosial.
Hidup itu memang sulit namun harus dijalani tanpa merasa putus asa menerima keadaan,

menandakan bahwa membaca buku adalah perjuangan mengenal diri, dengan mengenal diri
maka manusia dengan sadar memahami kinerja dunia.
Anak-anak terlalu mudah jatuh cinta sehingga lupa membangun pondasi utama bahwa
langkah awal yang harus diperjuangkan ialah mengejar cita-cita. Dengan berusaha dan giat
belajar maka manusia dekat dengan kesuksesan. Dunia berubah dengan kecepatan yang tak
mampu kita prediksi, masa depan sungguh mengejutkan dan bila kita tak siap maka akan
tersingkirkan. Masa telah berubah dan sudah saatnya kerja nyata dengan pencitraan itu
dipisahkan, dalam tanda arti bila selama ini kita terpaku pada status apa yang harus

dibagikan, dan foto apa yang harus diupload agar mendapat like terbanyak harus
diminimalkan, maka mulailah dengan banyak membaca buku, membaca beragam opini di
koran-koran lokal dan media online.
Sendiri bersama buku, tidak selain buku, melihat beragam perbedaan, mengetahui setiap sisisisi kisah. Tentang harapan dan membangun nilai-nilai kehidupan. Sehingga orang yang
mencintai buku dan sudah mengalami bahwa kenikmatan baca tak ternilai, tak ingin
waktunya tersiakan dengan sinetron. Lebih baik umur digunakan untuk membaca. Membaca
tidak membawa kita mudah baper, melainkan memacu adrenalin sudut pandang. Bersemesta
nalar kita. Rajin baca, rajin menulis, ilmu yang kita dari membaca dibagi-bagi dan disebar,
karena kita tahu bahwa apa yang kita baca berguna dan layak dibagikan. Membaca adalah
nikmat, dan kita tak ingin menikmati dengan sendiri, semesta harus kebagian, artinya
pengetahuan tentang duka abadi terarah, tidak terlalu tinggi dan tak merendahkan satu
ideologi.
Bayangkan jika sinetron berkuasa melebihi buku? Maka apa yang akan terjadi pada bangsa
kita ? Negara mendidik dan memperjuangkan para penulis yang menguras pikirannya pada
gagasan-gagasan pembangunan mental. Mendoktrin kemalasan pada semangat juang baca.
Merasakan sepenuhnya energi inspirasi itu tanpa mengalami keterpaksaan menjalani.
Seorang yang terbiasa membaca akan mencapai intelejensi sosial tertinggi dimana seorang
pembaca tidak hanya mampu membaca kata demi kata, melainkan seorang pembaca juga
mampu membaca ketimpangan sosial, membaca penderitaan, membaca keberpihakan kuasa
takdir. Membaca mengapa yang terbaik harus tersingkir dan kenapa yang terburuk menjadi

kelas atas. Jadi ketika seorang pembaca melihat seorang yang cacat takdirnya, seorang
pembaca akan membaur untuk menjadi sahabat, mendengar kisah dukanya, bukan untuk
menjauhi karena ia banyak kurangnya melainkan memahami bahwa berbagi ialah dasar

tentang kebahagiaan. Mungkin kita tak bisa menggapai sesuatu dan dengan berbagi mengenai
solusi dari ketimpangan, kita bisa bahagia melihat orang senang, bukan senang melihat orang
susah. Inilah nikmat dan keutamaan membaca sebagai inspirasi. Membaca antara ketulusan
dan keterpaksaan. Semua pengamatan dan tingginya imajinasi tersebut diasah oleh
banyaknya kita membaca.
Membacalah hingga kau temukan sebuah pegangan bahwa dunia bukanlah akhir melainkan
awal dimana waktunya untuk berjuang menebar kebaikan bersama dan menikmati hasil di
akhir kelak. Bersama-sama kita bergerak, bersama-sama kita mengembangkan diri.
Perpustakaan sebagai kuil pengetahuan dan sudah saatnya kita kunjungi selagi masih ada
waktu. Prinsip sebuah inspirasi ialah maju tak berharap dipuji, berjuang tanpa berharap
ekspektasi pada hasil. Apapun itu kecewa atau gagal nya suatu perjuangan adalah hal akhir.
Manusia dianjurkan untuk berjuang. Kalaupun manusia tak berhasil menggapai sesuatu,
namun ia bahagia dengan kerja kerasnya.
Dimuat Koran Harian Analisa pada hari Selasa 12 April 2017