BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Suruhan: Sosok Mesianis Nirkekerasan dalam Perspektif Orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Bagaimana rasanya memakai sepatu yang tidak sesuai dengan ukuran kaki? Tentu tidak nyaman dan akan menimbulkan luka di tumit. Hal itulah yang dirasakan ketika agama Kristen memaksakan sepatu agama yang kecil untuk kekayaan budaya dan kepelbagian agama yang besar dalam dunia ini. Akhirnya kekayaan budaya dan agama-agama merasa tidak nyaman dan terluka karena dipaksa masuk dalam pemikiran kekristenan yang sempit. Kenyataan ini terjadi ketika agama Kristen berkembang di Asia. Kekristenan yang beraroma Barat mengalahkan semua keberagaman aroma Asia. Kekristenan mengisolasi semua kebudayaan dan agama lain di dalam tas punggungnya, sehingga terkesanlah kekristenan arogan. Pewartaan Injil di Asia berhadapan langsung dengan kepelbagaian agama dan kemiskinan. Dua situasi inilah yang mustinya mempengaruhi cara kekristenan di Asia meng-ada.

  Kekristenan tidak bisa mengisolasi semuanya dalam tas punggungnya, seolah-olah tidak peduli terhadapnya. Konteks itu harus dihadapi dengan baik dan tepat agar tidak terjadi pemaksaan.

  Kearoganan kekirstenan salah satunya memonopoli pengertian Mesias. Mesias digenggam erat sehingga konsep Mesias dan sosok Mesias hanya miliki kekristenan.

  Padahal, konsep mesias sebenarnya telah ada dan berkembang dalam konteks Asia. Indonesia sendiri telah akrab dengan konsep mesianis ketika munculnya perlawanan

  1

  terhadap penjajahan Belanda. Keadaan sulit dan menderita yang diciptakan oleh penjajahan Belanda menghasilkan pengharapan untuk mencapai kemerdekaan demi hidup yang lebih baik. Konsep mesianis menjadi tenaga untuk melakukan gerakan perlawanan melawan tirani penjajah. Konsep mesianis itu diaplikasikan bagi beberapa tokoh karismatik yang dianggap mampu menjadi pemimpin perubahan dan kemerdekaan, sebut saja Pangeran Diponegoro. Sedangkan gerakan yang menggunakan konsep mesianis adalah gerakan Ratu Adil, gerakan Samin di Jawa, gerakan njuli di Kalimatan, dan gerakan mejapi di Minahasa. Seluruh gerakan ini mempunyai tujuan yang sama yaitu membawa pembebasan dan kelepasan dari situasi terjajah bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bahkan dikatakan mejapi di

  2 Minahasa terinspirasi dari gerakan Yesus sebagai penyelamat.

  Mesias sendiri berarti ‘yang diurapi’. Kenapa harus diurapi? Sebab seseorang yang diurapi akan melakukan tugas yang spesifik. Dan praktik pengurapan ini adalah pratik yang biasa dilakukan di Israel. Nabi, imam, dan raja selalu identik dengan pengurapan. Christopher Wright mengatakan bahwa seseorang yang diurapi adalah

  3

  pilihan Allah. Allah sendiri yang memilih dan memperlengkapi orang tersebut dalam melakukan tugasnya. Seseorang yang diurapi dilindungi dan diberikan kuasa-Nya untuk bertindak atas nama Allah.

  Mesias sendiri pengalami perkembangan makna. Mesias pada awalnya berarti raja yang memerintah di Israel dan merupakan keturunan Daud. Mesias berkembang menjadi Raja Keselamatan yang datang menyelamatkan serta membawa Israel kepada 1 Justus M. van der Kroef, “The Messiah in Indonesia and Melanesia,” The Scientific Monthly, Vol. 75, No. 3 (September 1952): 161. 2 3 Kroef, “The Messiah in Indonesia,” 162.

  Christopher J.H. Wright, Knowing Jesus Through The Old Testament: Rediscovering The

  4

  zaman baru yang lebih baik. Pengharapan Israel itu tumbuh karena kekecewaan terhadap raja-raja yang memerintah dan peristiwa terbuangnya Israel dari tanahnya.

  Pengharapan Mesias Israel adalah seorang raja yang penuh dengan keadilan, yang akan membawa kemenangan kepada musuh-musuh Israel, bahkan menjadi imam sekaligus nabi. Konsep Mesias tersebut tidak lepas dari kerinduan Israel atas sosok raja Daud, yang bagi mereka adalah raja yang ideal.

  Keadaan Israel pada masa pembuangan ternyata terulang lagi pada masa pemerintahan romawi. Penderitaan dan perasaan tertekan menggiring orang Yahudi pada pengharapan datangnya Mesias. Kedatangan Yesus dengan segala kuasa Allah menumbuhkan pengharapan bahwa Yesus adalah Mesias yang selama ini dinantikan.

  Orang Yahudi berharap bahwa Yesus sebagai Yang Diurapi akan menyelamatkan mereka dan mengembalikan kejayaan Israel dengan mengalahkan Kerajaan Roma.

  Yesus sendiri menolak untuk menjadikan dirinya Mesias. Yesus tidak menuruti Mesias berdasarkan pandangan Yahudi. Yesus menjadi Mesias yang menyelamatkan dan membawa orang pada Kerajaan Allah, bukan Kerajaan Israel. Yesus memilih tidak menjadi Mesias yang penuh dengan kekerasan, tapi lebih kepada nirkekerasan. Yesus tampil dengan penuh kesederhanaan, menghindari terjadi konflik, dan menerima dengan taat penderitaan salib. Konsep Mesias Yesus ini jelas ditolak oleh umat Yahudi serta para pemimpin keagamaannya.

  Konsep nirkekerasan Yesus itu menjadi jalan yang dipilih untuk melawan kekerasan Romawi bersama dengan kekerasan para ahli taurat. Yesus tidak menghindari kekerasan namun justru menghadapinya, dan akhirnya menang terhadap 4 S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias Dalam Perjanjian Lama, Cet. 3 (Jakarta: BPK Gunung kekerasan itu. John R.W. Stott berpendapat bahwa kekerasan yang tidak dibalas dengan kekerasan justru dapat mengurangi kekerasan dalam dunia, dan kekerasan yang dibalas dengan kekerasan justru akan menambah kekerasan dalam dunia. Itu terlihat jelas dalam salib, di mana ketaatan Yesus sampai mati membawa keselamatan

  5

  bagi banyak orang. Walaupun tidak mengurangi kejahatan dalam dunia, namun sikap Yesus mengajak setiap pengikut-Nya untuk menempuh jalan nirkekerasan.

  Jalan nirkekerasan selalu mendapat tantangan dari sebuah bentuk kekerasan yang terjadi secara komunal. Kekerasan secara komunal meruntuhkan kepercayaan bahwa jalan nirkekerasan dapat diterima sebagai suatu jalan hidup. Salah satu contoh kekerasan yang terjadi secara komunal dan menggoreskan kenangan yang mengerikan adalah konflik etnis antara Dayak dan Madura. Mengapa hal ini terjadi? Dove berpendapat ini adalah ulah regim Orde Baru yang bekerja sama dengan para pemilik modal yang akan membuka lahan perkebunan kebun sawit. Kebanyakan lahan itu berada di wilayah konflik. Dove menyimpulkan bahwa konflik etnis antara Dayak dan

6 Madura itu bersifat politis. Dayak dikatakan sebagai suku yang anti negara karena menimbulkan konflik besar, apalagi berkonflik dengan sesama etnis Indonesia.

  Namun kesimpulan berbeda disampaikan oleh IDRD (Institute for Dayakologi

  

Research and Development ). Menurut IDRD konflik etnis yang terjadi adalah

  persoalan adat. Kesimpulan IDRD ini sulit diterima oleh berbagai pihak. Kesimpulan IDRD membuat Dayak tidak dipersalahkan dan melihat bahwa Dayak adalah korban.

  5 6 John R. W. Stott, The Cross of Christ (England: Inter-Vasity Press, 1986), 301.

  Michael R. Dove, “’New Barbarism’ or Old Agency Among The Dayak?: Reflection on Post- Soeharto Ethnic Violence In Kalimantan,” Berghahn Journalas Social Analysis, Vol. 50, Issue 1 Secara adat, Dayak merasa ‘diserang’, sehingga akhirnya Dayak menggunakan adat mereka untuk melawan Madura.

  Konflik ini akhirnya memunculkan dua gambaran Dayak. IDRD menyebutnya sebagai gambaran tradisional dan gambaran modern. Gambaran tradisional adalah gambaran Dayak sebagai kumpulan yang menjadi satu, selalu bergerak/bersatu karena kesadaran kolektif. Gambaran modern adalah gambaran Dayak sebagai etnis barbar yang menggunakan kekerasan. Hal ini didukung dengan prajurit-prajurit Dayak yang bertindak kanibal karena kerasukan roh. Dove menjelaskan tentang pandangan terhadap konflik etnis ini dengan menggunakan pendekatan “ethnographic refusal”. Pendekatan itu melihat bahwa kekerasan yang terjadi dalam konflik itu adalah hasil bagaimana Dayak memahami kediriannya di tengah kehidupan modern yang dihadapinya. Sehingga kegamangan itu berakhir pada sikap kembali pada adat mereka. Ini dikarenakan tindakan yang dilakukan saat itu mirip dengan kegiatan adat

  7 mereka di masa lampau yaitu pencarian kepala.

  Masyarakat Dayak di daerah Ketapang

  • – Kalimantan Barat disebut sebagai Dayak Pesaguan. Masyarakat Dayak Pesaguan tinggal di sekitar sungai Pesaguan. Berdasarkan pengakuan masyarakat Dayak Pesaguan, mereka memiliki pandangan untuk hidup berdamai ataupun hidup dengan cara nirkekerasan. Hal itu terlihat dalam praktik hukum adat ataupun falsafah hidup masyarakat Dayak Pesaguan. Ketika dua pihak berkonflik, maka hukum adat pun dapat juga dijalankan. Ketika proses itu berjalan, kedua pihak itu tidak boleh bertemu secara langsung namun diwakilkan oleh orang lain. Hal ini dipercaya untuk menghindari konflik yang lebih meruncing lagi dari kedua belah pihak. Interaksi dilakukan melalui wakil dari masing-masing pihak.
Wakil masing-masing pihak itu disebut Suruhan. Suruhan menjadi sosok yang akan menjadi penghubung antara kedua pihak yang berkonflik. Suruhan akan menyampaikan maksud atau keinginan salah satu pihak yang berkonflik kepada pihak lainnya. Suruhan menjadi sosok yang berperan penting dalam rekonsiliasi kedua pihak yang berkonflik. Sosok Suruhan dalam orang Dayak Pesaguan merupakan konsep untuk melakoni hidup nirkekerasan. Sosok Mesias itu ternyata juga ada dalam perspektif orang Dayak Pesaguan. Sosok Suruhan dapat dipakai dalam menjelaskan konsep Mesianis nirkekerasan dalam perspektif orang Dayak Pesaguan.

  Berdasarkan deskripsi di atas maka penulis merumuskan judul tesis ini adalah

  Suruhan :

Sosok Mesianis Nirkekerasan dalam Perspektif Orang Dayak Pesaguan

di Dusun Pengancing

  1.2. Perumusan Masalah

  Tulisan ini akan berisi tentang penjelasan tentang makna Suruhan bagi orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Sosok Suruhan itu juga akan dijelaskan bahwa

  

Suruhan adalah sosok Mesias nirkekerasan di Dusun Pengancing. Suruhan adalah

  konsep yang dipakai untuk memahami mesias nirkekerasan bagi orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing.

  1.3. Pembatasan Masalah

  Penulis menyadari bahwa masyarakat Dayak Pesaguan tersebar di berbagai daerah Kabupaten Ketapang. Oleh karenanya, penulis hanya membatasi masyarakat Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Dusun Pengancing adalah salah satu dusun di Kecamantan Tumbang Titi yang mayoritas pemeluk agama Kristen. Dusun Pengancing juga masih kuat menjalankan adat istiadat Dayak Pesaguan. Pembahasan konsep mesias hanya akan dilakukan pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

  Ketika membahas konsep mesias dalam Perjanjian Baru hanya akan membahas konsep mesias dalam Injil Sinoptik. Injil Sinoptik dipilih karena tiga Injil tersebut menyusun kisah Yesus berdasarkan teologi masing-masing penulis Injil.

  1.4. Tujuan Penulisan

  Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan mesias nirkekerasan dan

  

Suruhan. Tulisan ini juga menunjukkan bahwa orang Dayak Pesaguan di Dusun

Pengancing mempunyai konsep mesias nirkekerasan yaitu konsep Suruhan.

  1.5. Manfaat Penulisan

  Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Dayak Pesaguan semakin menghayati imannya namun tidak tercabut dari akar budayanya. Mereka bisa menjadi umat Kristen yang taat dan menjadi masyarakat adat yang luhur. Erabolarasi Mesias yang nirkekerasan dan makna Suruhan yang nirkekerasan bisa menjadi sumbangan tersendiri bagi orang Dayak Pesaguan untuk hidup dalam nirkekerasan.

  1.6. Metode Penelitian Penggalian pokok Mesias Nirkekerasan akan dilakukan melalui studi pustaka.

  Nilai-nilai masyarakat Dayak Pesaguan ditinjau dari studi pustaka dan wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam menggali makna Suruhan adalah wawancara kualitatif kepada orang Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing dengan jumlah sekitar dua puluh orang.

1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini akan terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan.

  Bagian ini akan memaparkan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua akan membahas Nirkekerasan Mesias. Awal-awal bab ini akan menjelaskan mengenai konsep Mesias termasuk di dalamnya pemahaman Mesias yang berkembang di Israel. Dan bab berlanjut menjelaskan konsep Mesias yang nirkekerasan. Bab tiga akan menjelaskan Dayak Pesaguan yang mencakup latar belakang dan kebudayaannya. Bab tiga juga akan memamparkan hasil penelitian tentang konsep Suruhan dan mesias nirkekerasan. Bab empat akan membahas bagaimana nilai nirkekerasan Mesias dan kebudayaan Dayak Pesaguan berelaborasi dan menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Dayak Pesaguan di Dusun Pengancing. Bab lima akan berisi kesimpulan umum dari keseluruhan tulisan ini dan refleksi atas hasil elaborasi nilai nirkekerasan Mesias dan kebudayaan masyarakat Dayak Pesaguan. Dalam bab lima ini juga akan diberikan saran dari hasil elaborasi nilai Mesias yang nirkekerasan dan kebudayaan Dayak Pesaguan.