BAB II PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI - Representasi Pesan Tradisi Budaya Karo Dalam Film 3 Nafas Likas

BAB II PARADIGMA DAN TEORI KOMUNIKASI

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu

  Kajian penelitian terdahulu merupakan salah satu referensi yang diambil peneliti. Melihat hasil karya ilmiah para peneliti terdahulu yang mana ada dasarnya peneliti mengutip beberapa pendapat yang dibutuhkan oleh penelitian sebagai pendukung penelitian. Tentunya dengan melihat hasil karya ilmiah yang memiliki pembahasan serta tinjauan yang sama.

  Penelitian ini termasuk dalam penelitian analisis tekstual dengan pendekatan studi semiotika. Untuk pengembangan pengetahuan, peneliti akan terlebih dahulu menelaah penelitian mengenai semiotika. Hal ini perlu dilakukan karena suatu teori atau model pengetahuan biasanya akan diilhami oleh teori dan model yang sebelumnya. Selain itu, telaah pada penelitian terdahulu berguna untuk memberikan gambaran awal mengenai kajian terkait dengan masalah dalam penelitian ini.

  Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka pada hasil terdahulu, ditemukan beberapa penelitian tentang representasi budaya dalam film. Berikut ini adalah penelitian mengenai representasi budaya dalam film :

  Nama : Rr. Windhy Prameswari Metode : Kualitatif Studi Semiotika Roland Barthes Judul Penelitian : Representasi Budaya Jepang dalam Kimono Geisha

  (Analisis Semiotik pada Film “Memoirs of a Geisha”)

  Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang 2009 Melalui penelitian terhadap film Memoirs Of A Geisha ini, peneliti mencoba membongkar dan memahami makna sekaligus pesan dibalik tanda-tanda budaya yang direpresentasikan. Untuk itulah metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotic dengan pendekatan subyektif interpretative.

  Dimana dengan metode semiotika Roland Barthes peneliti mendapatkan peluang yang cukup besar untuk mengkaji makna dibalik tanda. Melalui proses pemaknaan denotasi dan konotasi dari penanda dan petanda tersebut diharapkan dapat mengungkapkan mitos dibalik fenomena sebuah film yang luput dari perhatian .

  Representasi budaya Jepang dalam film MOG dari hasil analisis data yang telah diteliti ternyata memiliki tendensi untuk memberikan interpretasi negatif, dimana banyak terdapat mistifikasi didalam tayangannya. Film tersebut dinilai sebagai sebuah kritikan keras sutradara (Amerika) dalam memandang legenda sebuah budaya (sosok geisha) yang absurb, diperlihatkan pula bahwa mizuage dalam budaya Jepang adalah „sesuatu‟ yang bisa diperdagangkan. Sekali lagi penonton dihadapkan pada pilihan ambigu dengan pemahaman profesinya yang masih saja mengambang tanpa batasan yang jelas. Selain itu terdapat pula sebagai jerat ideologi kekuasaan dan kekuatan media yang mengatur apa dan bagaimana penonton berpikir.

  Dari penelitian tersebut terdapat beberapa kesimpulan yakni dalam hal ini Amerika tidak berusaha meluruskan anggapan miring tentang fenomena geisha, namun sebaliknya dengan sengaja telah memberikan pandangan subyektif (dari sudut pandang Amerika) dalam melihat budaya Jepang, dengan kata lain wacana tentang fenomena geisha hanyalah s ebuah „umpan‟ bagi media provokasi

  Amerika. Dengan demikian sutradara telah membentuk pesan budaya yang homogen, dimana penonton tidak mendapatkan kesempatan dalam menilai dan memahami makna representasinya secara sadar, wacana akan geisha dinilai sebagai suatu kesesatan pemikiran terhadap masalah pelacuran yang legal dilakukan oleh bangsa Jepang.

  Nama : Rahmi Dafiza Judul Penelitian : Representasi Budaya Seni Rongggeng Dalam Film

  Sang Penari Program Studi : Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro 2012 Dalam penelitian ini mengkaji tentang kebudayaan berupa tarian ronggeng yang hampir hilang setelah kejadian keracunan massal tempe bongkrek di kampung Dukuh Paruh yang mengakibatkan banyak penerus kebudayaan leluhur tersebut meninggal yang diperankan oleh tokoh utama Prisia Nasution (Srintil). Menurut hasil analisis peneliti dalam film ini diperoleh tanda kebudayaan yang ditampilkan dalam bentuk adegan tari-tarian, kehidupan budayanya serta lirik lagunya. Pada penelitian ini yang menggunakan delapan analisis semiotik Roland Barthes dalam menganalisis tanda.

  Nama : Edwina Ayu Dianingtyas Metode yang digunakan : Kualitatif Studi Semiotika Judul Penelitian : Representasi Perempuan Jawa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponogoro 2010 Mengetahui representasi perempuan Jawa dan untuk menjelaskan gagasan- dengan persoalan Ideologi. Penelitian Edwina Ayu Dianingtyas lebih condong meneliti ketidakadilan gender dalam budaya Jawa yang identic dengan ideology patriaki. Ideologi patriaki dalam film R.A Kartini ditampilkan melalui budaya poligami, penggunaan bahasa dalam kebudayaan Jawa.

  Nama : PARAMESWARI PRIMADITA Metode : Semiotika Roland Barthes Judul Penelitian : REPRESENTASI BUDAYA MISTIS

  KUNTILANAK DALAM FILM KUNTILANAK( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak )

  Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah budaya mistis Kuntilanak yang ada dalam film “Kuntilanak ( 2006 )“ Budaya mistis ini adalah Mistis Non- Keagamaan yang masih sering ditemukan dalam lingkup masyarakat. Hal-hal berbau mistis non-keagamaan yang terdapat didalam film ini antara lain; Pesugihan, Kuntilanak, pemakai durma Jawa yang memiliki kekuatan mistis, unsur kesuraman dan ketakutan. penafsiran terhadap mimpimimpi menurut penafsiran Jawa. Metode dalam penelitian ini bersifat analisis semiotic, yaitu penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di film “KUNTILANAK2006”.

  Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film ini menggunakan teori Roland Barthes mengenai mitos dan kerangka analisis semiotik pada film menurut John Fiske. Tehnik pengumpulan data memakai tehnik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam film.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang benar adanya praktekpraktek, serta pemikiran dan ideology Mistis Non-Keagamaan yang berkembang dalam masyarakat kita. Dimana praktek-praktek dan ideology tersebut justru meng-arahkan individu pada perbuatan-perbuatan yang jauh melenceng dari norma ke-Tuhanan, serta kemasyrakatan dan hati nurani yang ada. Kesimpulan yang dihasilkan dari film ini masih banyaknya budaya mistisme yang pola pikir masyarakat kita.

2.2 Paradigma Konstruktivisme

  Teori konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu melakukan interprestasi dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalu bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107).

  Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

  Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu mengintrepretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak mengambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Teori konstruktivisme dibangun berdasarkan teori yang ada sebelumnya, yaiyu konstruksi pribadi atau konstruksi personal (personal

  construct) oleh George Kelly. Iya menyatakan bahwa orang memahami

  pengalamannya dengan cara mengelompokkan berbagai peristiwa menurut kesamaannya dan membedakan berbagai hal melalui perbedaannya (Littlejohn 2009: 180).

  Paradigma konstrukivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dama perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam 3 jenis , yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog

  interpretative . Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian

  komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial (Eriyanto 2004:13) Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya.

  Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan realitas itu secara objektif (Weber, 2006:56).

  Paradigma Konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori- teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Littlejohn mengatakan bahwa Paradigma konstruktivis berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2011: 27).

  Paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis, meski sejumlah penelitian lainnya menggunakan paradigma kritis namun paradigma konstruktivis lebih relevan jika digunakan untuk melihat realitas signifikannya objek yang diteliti,dari paradigma konstruktivis dapat Wibowo, 2010: 28) sebagai berikut:

  1. Ontologis: relativism, relaitas merupakan konstruksi sosial. Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.

  2. Epstemologis: transactionalist/subjectivist, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti.

  3. Axiologis: Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjebatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

  4. Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observasion. Kriteria kualitas penelitian authenticity dan revlectivty: sejauh mana temuan merupakan refleksi otentik dari realitas yang di hayati oleh para pelaku sosial.

2.3. Teori Film

2.3.1 Perkembangan Teori

  Rudolph Arnheim, salah satu tokoh pemikir, mengacu kepada adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan. Maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini.

  Lev Kuleshov melakukan eksperimen dengan mengedit rekaman bersama- sama dengan cara yang berbeda untuk menentukan dampak pada penonton. Hal itu menunjukkan bahwa penonton menjadi penentu hubungan dari bidikan satu ke bidikan lainnya.

  Sergei Eisenstein berpendapat bahwa potensi tertinggi dalam pengeditan André Bazin dan Siegfried Kracauer menjelaskan bahwa film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. Dalam hal pengeditan, teori realis juga tidak sepaham dengan teori formatif. Bazin percaya bahwa jika sebuah film harus diedit, maka harus mengalami pengeditan yang berkelanjutan, di mana tindakan pengeditan dibagi persusunannya, lalu kemudian disusun kembali. Oleh karena itu, Bazin menyukai pendekatan sinematik yang mengambil take panjang, yaitu membidik seluruh adegan dalam satu bidikan yang terus-menerus dengan fokus yang nampak sama. Bazin menekankan bahwa para pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.

  Setelah itu, banyak teori bermunculan, teori ini dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. Teori ini juga harus dipahami dalam konteks sejarah, bahwa film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut. Ide-ide tradisional tentang gender dan seksualitas juga menjadi tantangan dalam film.

  Hingga muncul teori baru, Teori Marxis dan Teori Film Feminis. Marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada saat itu. Marxisme mendukung untuk mengakhiri penindasan kaum miskin dan kelas pekerja, sementara feminisme mendukung untuk mengakhiri penindasan perempuan. Kedua perspektif tersebut digunakan dalam berbagai kritik pada film. Teori ini dianggap dapat mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman.

  Setelahnya, Teori Film sekali lagi berubah arah. Teori baru menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun secara implisit mengakui kekakuan sistematis yang mereka bawa ke studi tentang film. Teori baru ini dicontohkan pada karya Gilles Deleuze. Film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. Deleuze

  1930-an, Teori Formatif, yaitu: Film bukan sekedar rekaman gambar, karena adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan, maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini. meskipun teori film dari masa pergantian abad melalui tahun 1930-an berbeda- beda sesuai fokus dari tokoh pemikir masing-masing, tetapi mereka menekankan pada perubahan sebuah film dikarenakan alat-alat yang ada.

  1945-an (Setelah Perang Dunia II), Teori Realis, yaitu: Kualitas film terletak pada kemampuannya menangkap hal-hal yang nyata dan realis film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh penonton. pembuat film harus bebas saat membuat film dengan melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.

  1960-an, Teori Materialis, yaitu: Tindakan dan kesadaran manusia dibentuk oleh materi sebagai kekuatan pokok yang ada di luar kendali individu. Teori dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman tersebut

  Setelah 1970-an, Teori Marxis dan Teori Film Feminis, marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada saat itu

  Teori ini dianggap mendorong kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman. 1980-an, Teori Film kembali berubah arah, yaitu:

  Menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun mengakui kekakuan sistematis film. film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. film sebagai gambar dan suara yang kompleks.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, film berarti (1) selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambaran positif (yang akan dimainkan dalam bioskop), (2) lakon (cerita) gambar hidup (KBBI, 2002: 316). Film adalah gambar hidup dari seonggok seluloid dan dipertontonkan melalui proyektor. Di mana sekarang produksi film tidak hanya menggunakan pita seluloid (proses kimia) tetapi memanfaatkan tegnologi video (proses elektonik) namun keduanya tetap sama yaitu merupakan gambar hidup (Sumarno, 1994: 4). Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasimassa visual dibelahan dunia ini. Kemampuaan film yang melukiskan gambar hidup dan suara menjadikan daya tarik tersendiri.

  Film atau gambar hidup, bioskop dalam bahasa inggris disebut Moving

  

Pictures , moving pictures or cinema, yaitu serentetan gambar hasil proyeksi pada

  film diatas layar, ialah gambar foto benda atau makluk (obyek) pada taraf-taraf gerak yang diproyeksikan sedemikian cepatnya, sehingga menurut penangkapan mata merupakan rentetan gerak yang tidak terputus. Pemotretan berentet ini dilakukan tahun 1870 dan diperbaiki oleh penemuan-penemuan Thomas A. Edision dan kakak adik Lumiere. Film bioskop ini adalah jenis film teatrikal (threatical film) (Kusnawan, Et,al: 99). Isi dari film akan dikembangkan kalau sarat akan simbol-simbol atau pengertian, dan dapat mengsosialisasikan suatu maksud dari film tersebut di kehidupan sehari-hari. Dengan demikian film akan sangat diterima di dalam kehidupan manusia.

  Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19. Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar kabar yang mengalami unsur- unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhan pada abad ke-18 dan pemulaan abad ke-19 (Sobur, 2004: 126).

  Meskipun dunia perfilman mengalami kemunduran, namun menurut Garin Nugroho, sinema Amerika pasca 1970-an mampu mengalami kebangkitan kembali, yang justru dibangkitkan oleh generasi televisi. mengumbar seks, kriminal dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi komunikasi massa. Sayangnya, perkembangan awal studi komunikasi beberapa dekada, paradigma yang mendominasi dampak media. Selama beberapa dekade, paradikma yang mendominasi penelitian komunikasi tidak jauh beranjak dari “model komunikasi mekanistik”, yang pertama kali diasumsikan oleh Shanon dan Weaver. Komunikasi selalu diasumsikan oleh paradikma ini sebagai entitas pasif dalam menerima pengaruh dari media massa.

  Film merupakan gambar bergerak yakni bentuk dominan dari komunikasi massa visual dibelahan dunia. Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada publik Amerika Serikat adalah The Life Of An American Fireman dan film The Gread Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun1903 (Ardianto, 2004: 134). Tetapi The Gread Train Robbery yang masa putarannya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, karena telah menggambarkan situasi secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik.

  Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang terkenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut sebagai the of age Griffith karena David Wark Griffith- lah yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventure Of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birith of a Nation (1915) serta film Intolerance (1916). Griffith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi berita yang baik dan yang paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik, dengan gerakan-gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan yang baik, dan teknik editing yang baik pula (Ardianto, 2004: 135).

  Pada periode ini pula nama Mack Senneet dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film comedi bisu dengan bintang legendaris Charlie Caplin apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di Broadway Amerika Serikat muncul film bicara yang pertama meskipun dalam Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seseorang yang bernama David. Film ini disusun oleh Eulis Atjih produksi Kruenger Corporation pada tahun 1927/1928. Sampai pada tahun1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu, dan yang mengusahakannya adalah orang-orang Belanda dan Cina (Effendy, 1981: 201).

  Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah penulis Indonesi Saerun. Pada saat perang Asia Timur Raya dipenghujung tahun 1941, perushaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Muliti Film yang diubah nama menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film Feature dan film Dokumenter.

  Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun tatkala Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Republik Indonesia.

  Effendy, pada Komala dalam Karlinah, dkk. (1999) menyebutkan bahwa serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerinta militer Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6

  Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI. Bersama dengan pindahnya Pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta, BFIpun pindah dan bergabung dengan perusahaan milik negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi Perusahaan Film Nasional.

2.3.3. Jenis-jenis Film

  Jenis-jenis film pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut:

  1.Film cerita Film cerita (story film) adalah jenis yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat dalam film cerita biasanya berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari segi alur ceritanya maupun Maret dan lain sebagainya.

  2.Film berita Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Jadi berita juga harus penting atau menarik atau penting sekaligus menarik. Film beritanya bisu, pembaca berita yang membicarakan narasinya. Bagi peristiwa-peristiwa tertentu, peran, kerusuhan, pemberontakan dan lain sebagainya film berita yang dihasilkan kurang baik. Dalam hal ini terpenting adalah peristiwanya terekam secara utuh.

  3. Film dokumenter Film dokumenter (documentary film) didevinisikan oleh Robert Flaherty sebagaimana yang dikutip oleh Andianto dan Erdinaya (2004: 137-139) adalah karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatmen of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyatan, maka film dokumenter merupakan hasil interprestasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Misalnya, seorang sutradara ingin membuat film dokumenter mengenai para pembatik di kota Pekalongan, maka ia akan membuat naskah yang ceritanya bersumber pada kegiatan para pembatik seharihari dan sedikit merekayasanya agar dapat menghasilkan kualitas film cerita dengan gambar yang lebih baik.

  4. Film kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Dapat dipastikan, kita semua mengenal tokoh Donal Bebek (Donald Duck), Putri Salju

  (Snow White), Miki Mouse (Mickey Mouse) yang diciptakan oleh seniman Amerika Serikat Walt Disney (Andiyanto dan Erdinaya, 2004: 139-140).

2.3.4. Unsur-unsur Film

  1.Sutradara Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Disamping itu sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.

  2. Skenario Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan jugan “shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya, dan lain-lain (Effendi, 1989: 321). Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.

  3. Penata Fotografi Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnmya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.

  4.Penata artistik Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara.

  Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, dilatar depan bagaimana di latar belakang.

  5. Penata Suara hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga- tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedunggedung bioskop.

  6. Penata musik Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film. Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan musik pada adeganadegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliu berulangkalin meraih piala citra untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film.

  7. Pemeran Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film. Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan sutradara dan naskah scenario.

  8. Penyuting Penyuting disebut juga editor yaitu orang yang bertugas menyusun hasil shoting sehingga membentuk rangkaian cerita sesuai konsep yang diinstruksikan seorang sutradara dalam sebuah film

  9. Editor Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa

  Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar

  (rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus

  disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan. Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari:

  1. Audio (Dialog dan Sound Effect)

  a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.

  b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film.

  2. Visual

  a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu: 1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas. 2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang nempak kelihatan mempunyai kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya. 3) Straight Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil Straight Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan Straight Angle secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.

  b. Pencahayaan/Lighting adalah tata lampu dalam film. Ada 2 macam pencahayaan yang dipake dalam suatu produksi film yaitu Natural antara lain:

  1) Front Lighting/cahaya depan yaitu pencahayaan yang merata dan tampak natural atau alami. 2) Side Lighting/cahaya samping Yaitu pencahayaan subjek lebih terlihat dinamis, biasanya banyak dipake untuk menonjolkan suatu benda karakter seseorang. 3) Back Lighting/cahaya belakang Yaitu pencahayaan yang menghasilkan bayangan dan dimensi. 4) Mix Lighting/cahaya campuran Pencahayaan yang merupakan gabungan dari gabungan ketiga pencahayaan sebelumnya, efek yang dihasilkan lebih merata dan meliputi setting yang mengelilingi objek.

  c. Teknik Pengambilan Gambar Pengambilan gambar atau perlakuan kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film.

  d. Setting Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam pembuatan film.

2.3.5. Tujuan dan Pengaruh Film

  Film mempunyai tujuan, selain dapat memasukkan pesanpesan juga mengandung unsur hiburan, informasi dan pendidikan. Film sebagai media komunikasi mempuyai tujuan transmission of values (penyebaran nilai-nilai). Tujuan ini disebut dengan sosialisasi. Sosialisasi ini mengacu pada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok.

  Film memberikan dapat memberikan pengaruh yang sangat besar sekali pada jiwa manusia. Dalam suatu proses menonton sebuah film, terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Kusnawan, et al, 2004: 93). Alasan khusus mengapa seseorang lebih suka menonton film dari pada membaca buku, karena di dalam film terdapat unsur usaha manusia untuk mencari utama seseorang menonton film yaitu untuk memberi nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah seseorang menyaksikan film, maka seseorang tersebut akan memanfaatkan dan mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas kehidupan nyata yang dihadapi. Jadi film dapat dipakai penonton untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru (Sumarno, 1996: 22).

  Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas untuk memuat pesan yang sama secara serempak dan mempnyai sasaran yang beragam dari agama, etnis, status, umur, dan tempat tinggal dapat memainkan peranan sebagai saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia. Dengan melihat film kita dapat memperoleh informasi dan gambar tentang realitas tertentu, realitas yang sudah diseleksi (Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, 2000: 95).

  Film disadari maupun tidak disadari dapat mengubah pola kehidupan seseorang. Terkadang ada seseorang yang ingin meniru gaya hidup dari meniru kehidupan yang dikisahkan dalam sebuah film. Terkadang seseorang meniru atau menyamakan seluruh pribadinya dengan salah seorang pemeran film. Pengaruh sebuah film diantaranya:

  1. Pesan yang terdapat dalam adegan-adegan film akan membekas dalam jiwa penonton, gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologi.

  2. Pesan film dengan adegan-adegan penuh kekerasan, kejahatan, dan pornografi, apabila ditonton dengan jumlah banyak akan mengundang keprihatinan bayak pihak. Sajian tersebut memberikan dampak buruk dan kecemasan bagi gaya hidup manusia modern. Kecemasan tersebut berasal dari keyakinan bahwa isi film seperti itu akan mempengaruhi efek moral, psikologi, dan sosial yang sangat merugikan, khususnya pada generasi muda dan akan menimbulkan anti sosial.

  3. Pengaruh terbesar yang ditimbulkan film yaitu imitasi atau peniruan.

  Peniruan yang diakibatkan oleh anggapan bahwa apa yang dilihatnya wajar dan pantas untuk dilakukan setiap orang. Jika film yang isinya tidak sesuai dengan norma budaya bangsa (seperti seks bebas, generasi muda Indonesia bisa rusak (Aep Kusnawan, 2004, 95).

2.3.6 Film sebagai Representasi Budaya

  Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.

  Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Kedua, film diartikan sebagai lakon atau gambar hidup.

  Film sebagai media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara usaha penyampaian pesan malalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak film.

  Film merupakan media komunikasi massa memiliki beberapa fungsi komunikasi (Effendy,212:1981) sebagai berikut : a. Hiburan Fungsi film sebagai hiburan bermaksud menghibur sasaran utamanya dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar penonton mendapat kepuasan psikologis. Film-film seperti inilah yang banyak dihadirkan di bioskop-bioskop, maupun dalam format video compact disc (VCD) dan digital versatile disc (DVD). Film jenis inilah yang menjadi objek dagang para produser dan dunia industri film.

  Film pendidikan atau sering disebut film ilmiah adalah film yang berisi uraian atau penjelasan ilmiah tentang suatu objek untuk mendapatkan pengetahuan dengan taraf yang lebih tentang subjek tersebut.

  c. Penerangan Film penerangan adalah film yang memberikan penjelasan kepada penonton tentang suatu hal atau masalah, agar penonton menjadi mengerti atau paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya.

  d. Propoganda Film propaganda adalah film dengan sasaran utama untuk mempengaruhi penonton, agar penonton merima atau menolak sesuatu ide atau barang, membuat senang atau tidak senang kepada sesuatu , sesuai dengan keinginan si propogandis. Film propaganda biasanya digunakan untuk kampanye politik atau promosi barang dagangan.

  Di dalam sebuah film terkandung pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara. Penonton harus bisa menyaring pesan dan informasi yang terkandung dalam film tersebut. Ini menyadarkan kita bahwa apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari media yang kompleks

  Budaya dapat diciptakan dan dipelihara melalui komunikasi, termasuk komunikasi massa. Salah satu media massa yang berperan dalam pembelajaran budaya yaitu film. Film dapat merepresentasikan suatu budaya tertentu. Film juga digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Melalui film sebenarnya kita juga bisa banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi paham perbedaan dalam budaya masyarakat terutama melalui film.

  Representasi budaya merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah film, tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan dalam film tersebut.

  Dalam film sebagai representasi budaya, film tidak hanya mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai representasi budaya.

2.4 Semiotika

  Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau

  seme

  yang berarti „penafsir tanda‟. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Semiotika adalah studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan, dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009:27).

  Konsep dasar yang menyatukan tradisi semiotika ini adalah „tanda‟ yang diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek- objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).

  Semiotika didefenisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in

  General Linguistic , sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari

  semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2012:300). Saussure dengan model dyadic, menyatakan bahwa tanda terdiri atas : signifier (signifiant) yaitu forma atau citra tanda tersebut, atau dengan kata lain wujud fisik dari tanda; dan signified (signifie) yaitu konsep yang direpresentasikan atau konsep mental (Birowo, 2004:45). Tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari bidang penanda (signifier) dan bidang petanda (signified). Suatu penanda tanpa petanda tidak memiliki arti apa-apa.

  Charles Sanders Pierce, pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda (simbol), objek dan makna. Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang menginterpretasikannya (interpreter). Pierce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek dengan interpretant. Tanda merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Tanda dan referen harus saling bekerja sama agar suatu tanda dapat berfungsi. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya dimana keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda- tanda tersebut. Ia menggunakan istilah icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan symbol untuk asosiasi konvensional.

  Pembagian tipe-tipe tanda berdasarkan objeknya menjadi ikon, indeks dan simbol menjadi sangat bermanfaat dan fundamental mengenai sifat tanda. Tanda merupakan suatu yang mewakili sesuatu yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu misalnya A adalah asap hitam yang mengepul dari kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yang misalnya sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam ini dapat disebut sebagai indeks yakni antara A dan B ada ketertarikan (contiguity). Tanda juga bisa berupa lambang ataupun simbol, seperti contoh burung dara yang sudah diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian. Burung dara tidak dapat begitu saja digantikan dengan burung atau hewan yang lainnya.

  Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41).

  Contohnya saja potret foto seseorang yang dapat dikatakan sebagai suatu ikon, begitu juga dengan peta atau gambar yang ditempel pada pintu kamar kecil pria dan wanita yang merupakan sebuah ikon. Pada dasarnya ikon adalah suatu tanda yang bisa menggambarkan ciri utama dari sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim yang disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang dipresentasikannya. Model tanda objek interpretant dari Pierce merupakan sebuah ikon dalam upayanya mereproduksi dalam konkret struktur relasi yang abstrak diantara unsur- unsurnya. Dapat pula dikatakan sebagai ikon atau tanda yang memiliki ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Contohnya: Peta Indonesia yang merupakan ikon dari wilayah Indonesia yang tergambar dalam peta tersebut, atau foto Megawati sebagai ikon presiden perempuan pertama di Indonesia.

  Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara

  tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Sobur, 2004:42). Contohnya yang paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Selain itu, tanda tangan (signature) merupakan indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tanda tangan tersebut.

  Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda

  dan petandanya. Simbol juga merupakan tanda yang berdasarkan konvensi (perjanjian) atau peraturan yang telah disepakati bersama. Simbol dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya seperti burung Garuda bagi masyarakat Indonesia adalah sebagai lambang Pancasila yang memiliki makna, namun bagi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda sepeti orang indian, mereka menganggap burung garuda dianggap seperti burung yang biasa saja dan tidak memiliki arti apa-apa.

  Hubungan antara ikon, indeks dan simbol tersebut memiliki sifat konvensional. Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran atau referensi) dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui bagan semiotic

  Gambar 1 Kategori Tipe Tanda Pierce

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN METODE WEIGHTED PRODUCT DAN SIMPLE MULTI- ATTRIBUTE RATING TECHNIQUE DALAM MENENTUKAN LAHAN TERBAIK UNTUK TANAMAN KARET SKRIPSI SAMSUL BAHRI 101401053

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perpindahan Panas - Pengujian Pemanas Air Tenaga Surya Sistem Pipa Panas Menggunakan Fluida Kerja Refrigeran R-718 pada Tekanan Vakum 45 cmHg, 40 cmHg dan 35 cmHg dengan Variasi Kemiringan Kolektor 400 dan 500.

0 0 32

PENGUJIAN PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM PIPA PANAS MENGGUNAKAN FLUIDA KERJA REFRIGERAN R-718 PADA TEKANAN VAKUM 45 cmHg, 40 cmHg DAN 35 cmHg DENGAN VARIASI KEMIRINGAN KOLEKTOR 40 DAN 50

0 0 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 1 54

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Memengaruhi Potensi Kecelakaan Kerja pada Pengemudi Truk di PT Berkat Nugraha Sinar Lestari Belawan Tahun 2015

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi - Analisis Operasional Angkutan Umum Kota Medan Jenis Mobil Penumpang Umum (Studi Kasus: KPUM 04 Amplas – UMA)

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum - Analisis Operasional Angkutan Umum Kota Medan Jenis Mobil Penumpang Umum (Studi Kasus: KPUM 04 Amplas – UMA)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Ruang Jalan Dengan Konsep Livable Street (Studi Kasus Jalan Jamin Ginting)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Customer Retention, Switching Cost, dan Trust in Brand terhadap Customer Retention Produk Kartu Seluler Prabayar simPATI pada Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 0 9