Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti

Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti
dalam Masyarakat Majemuk Indonesia 1
Parsudi Suparlan
(Universitas Indonesia)
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat
negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang dipersatukan oleh sebuah sistem
nasional sebagai bangsa dalam wadah sebuah negara kesatuan Indonesia.2 Setelah jatuhnya
pemerintahan Orde Baru dari Presiden Suharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami proses
transisi dari coraknya yang otoriter-militeristis menuju masyarakat sipil yang demokratis. Corak
otoriter yang menonjol adalah upaya peredaman atau pembungkaman kesukubangsaan dan
keyakinan-keyakinan keagamaan yang mempunyai potensi untuk menentang kekuasaan
pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, potensi-potensi kesukubangsaan dan keyakinan-keyakinan
keagamaan diperkuat dan diarahkan sebagai kekuatan-kekuatan politik untuk mendukung,
memperkuat, dan mensakralisasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru.
Kejatuhan pemerintahan Orde Baru telah membuyarkan penekanan ideologi otoriter yang
bersemboyan persatuan untuk kesatuan di bawah kekuasaan pemerintah pusat, karena digantikan
oleh pemerintahan sipil yang berazaskan pada demokrasi. Ketidakjelasan prinsip demokrasi dan
konsep masyarakat sipil yang dijadikan ideologi dan operasionalisasinya dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk, dan ke dalam pranata-pranata politik nasional serta pranata-pranata
sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah membuyarkan dan menyamarkan prinsip

demokrasi dan konsep masyarakat sipil itu sendiri, serta membuyarkan ideologi dan integritas
kebangsaan Indonesia. Kebuyaran dan kesamar-samaran ini disebabkan oleh adanya anggapan
bahwa prinsip demokrasi sudah digunakan sebagai landasan ideologi bangsa, dan sudah berlaku
dalam kehidupan masyarakat sipil, karena sudah ada HAM dan pembedaan kewenangan antara
badan-badan eksekutif, legislatif, dan judikatif pada tingkat makro atau nasional.
Anggapan seperti tersebut di atas sebenarnya mengabaikan konsep demokrasi sebagai
sebuah sistem. Demokrasi bukan hanya sebuah ideologi yang menonjolkan hak individual, dan
terutama HAM, melainkan sebuah sistem yang mengatur saling hubungan hak dan kewajiban
antara individu dengan komuniti, negara atau masyarakat luas yang diwakili oleh pemerintah.
1

Tulisan ini merupakan Keynote Address yang disampaikan dalam Sesi Pleno II Simposium Internasional
Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2:’Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Universitas Andalas, Padang, 18-21 Juli 2001.
2

Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam artikel ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada kata
ethnic dalam bahasa Inggris.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001


1

Lebih lanjut, demokrasi adalah sebuah ideologi yang pada dasarnya rasional, yang
pelaksanaannya harus berpegang secara ketat pada aturan-aturan main yang adil dan beradab,
yang terwujud sebagai hukum formal, adat, dan berbagai konvensi sosial yang ada.
Tulisan ini mencoba menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang sekarang sedang
dijalani Indonesia tidak akan mungkin mewujudkan adanya masyarakat sipil yang demokratis,
karena landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk
(plural society) berisikan potensi-potensi kekuatan primordial yang despotik dan otoriter. Untuk
itu, ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman sukubangsa harus
digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam
ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang
diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus
ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman
tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara
hipotetis, dalam wadah masyarakat ‘bhinneka tunggal ika’ Indonesia yang seperti inilah maka
proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan, dikembangkan, dan dimantapkan.
Permasalahan ini menjadi kritikal karena UU No.22 tentang Otonomi Daerah sama sekali tidak
memperhitungkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh diberlakukannya UU ini.


Masyarakat majemuk Indonesia
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang menyolok dari ciri kemajemukan
masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud
dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan
utama bagi jatidiri. Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakangerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan
berbagai simbol-simbol yang digunakan atau dikenakan pada dirinya, dia akan diidentifikasi
sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang
lainnya. Bila ciri-ciri tersebut di atas tidak dapat digunakan oleh seseorang untuk mengidentifikasi
kesukubangsaannya, maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya untuk
dapat mengetahui jatidiri kesukubangsaannya (Bruner 1976; Suparlan 1972).
Hubungan kesukubangsaan adalah hubungan peran yang berlaku dalam kehidupan sosial
yang coraknya berlandaskan pada corak hubungan antarsukubangsa yang berlaku dalam
masyarakat setempat. Hubungan antaranggota sukubangsa dari daerah atau komuniti yang
berbeda juga mempunyai prinsip-prinsip hubungan peran yang sama dengan hubungan
antarsukubangsa. Di samping itu, kesukubangsaan dalam kehidupan orang Indonesia adalah
sebuah dunia yang primordial (yang utama dan yang pertama dikenal dalam proses sosialisasi
dan enkulturisasi). Karena itu, ia mempunyai fungsi menentukan posisi-posisi para pelaku dari
sukubangsa yang sama maupun pelaku dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda, dalam
suatu struktur hubungan peran yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat setempat.
Kesadaran akan kesukubangsaan masing-masing dan pihak lain muncul dan menjadi mantap,

karena kemajemukan sukubangsa bukan hanya terwujud dalam corak masyarakat Indonesia
secara nasional, melainkan juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari masyarakat setempat
atau lokal. Pada masa sekarang, hampir tidak ada lagi komuniti sukubangsa yang secara homogen

2

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

hidup sebagai sebuah komuniti sukubangsa, terutama di daerah perkotaan. Konsep mengenai
sukubangsa lain dalam pertentangannya dengan sukubangsanya sendiri sebagai acuan dari
jatidiri untuk berperan dalam hubungan antarsukubangsa, bukan hanya diperoleh dari
pengalaman-pengalaman sebagai perorangan, melainkan juga dari berbagai cerita orang lain,
berita media massa cetak, dan elektronik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sukubangsa
dan kesukubangsaan bagi orang Indonesia bukan hanya sebuah dunia filosofi, melainkan juga
sebuah dunia nyata yang harus mereka hadapi sehari-hari dalam berbagai bentuk ekpresinya,
secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam zaman pemerintahan Presiden Sukarno—atau yang dinamakan sebagai Orde Lama
oleh pemerintahan Presiden Suharto— kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik dilarang
untuk digunakan; demi keutuhan bangsa Indonesia dan memenangkan semangat nasionalisme.
Termasuk di dalamnya, pelarangan kajian-kajian mengenai sukubangsa dan kesukubangsaan.

Yang didorong untuk diungkapkan adalah kesukubangsaan dalam ekspresi-ekspresi seni.
Kebijakan politik kesukubangsaan—demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia pada waktu
itu—adalah politik amalgasi, atau peleburan sukubangsa-sukubangsa menjadi sebuah bangsa,
yaitu Indonesia, melalui perkawinan antarwarga sukubangsa yang berbeda-beda.
Dalam zaman pemerintahan Presiden Suharto, pelarangan penggunaan sukubangsa sebagai
acuan kepentingan politik ditambah dengan pelarangan penggunaan potensi politik dari agama
dan ras (sic!), yang dikenal dengan nama SARA. Pelarangan yang dilakukan secara represif
dengan menggunakan kekuatan militer yang otoriter, sebetulnya hanya meredam berbagai gejolak
primordial yang dirasakan sebagai tantangan terhadap hegemoni kekuasaan pemerintahan
Presiden Suharto. Tetapi, kebijakan SARA ini tidak mematikan potensi kekuatan sosial dan
politik dari kesukubangsaan dan keagamaan yang ada. Bahkan, pemerintahan Presiden Suharto
dalam kebijakan politik kesukubangsaan dan keagamaan justru telah menggunakan Direktorat
Jenderal Kebudayaan, terutama Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional untuk
menghidupkan potensi-potensi sosial dan politik kesukubangsaan. Hal itu ditujukan untuk
mendukung kemantapan pemerintahan Presiden Suharto (pembentukan lembaga-lembaga adat
dari hampir semua sukubangsa, dan pengangkatan serta pemberian berbagai fasilitas dan honor
kepada para tokoh adat dan pemangku adat). Hal yang sama juga dilakukan oleh Departemen
Agama, yang dengan menggunakan kekuatan birokrasinya membangun pengembangan agama,
terutama agama Islam, dan menggalang kekuatan sosial dan politik yang primordial guna
mendukung kemantapan pemerintahan Presiden Suharto. Begitu juga yang dilakukan oleh

Departemen Dalam Negeri yang melakukan berbagai kebijakan pengendalian sosial dan politik
melalui Ditjen Sospol. Demikan pula upaya menyeragamkan corak pemerintahan pada tingkat
pedesaan yang secara tradisional bercorak semi-otonomi, menjadi bercorak seperti pemerintahan
desa Jawa yang dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Ditjen PUOD.
Sadar atau tidak sadar, di satu pihak kebijakan-kebijakan tersebut telah mengembangkan
dan memantapkan kesadaran sukubangsa dan potensi-potensi sosial dan politik
kesukubangsaan. Di lain pihak, kebijakan itu telah mempertegas batas-batas jenjang sosial dan
politik secara jelas antara kyai dan santri, dan antara ulama dengan umat atau orang Islam biasa.
Batas-batas sosial dan politik yang semakin tajam juga muncul dan mantap di antara para
penganut keyakinan keagamaan yang berbeda, antara pusat dan daerah, dan antara Jawa dengan
daerah, karena isu penyeragaman sistem pemerintahan desa.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

3

Pemerintahan Presiden Suharto atau Orde Baru dikenal sebagai pemerintahan yang otoriter
dan militeristik. Pemerintahan itu telah dibangun dengan mengorbankan lebih dari satu juta jiwa
dari mereka yang digolongkan sebagai komunis dan Orde Lama, dilanjutkan dengan pemburuan
dan pengisolasian, serta diskriminasi terhadap mereka yang tergolong sebagai G30S/PKI atau

tidak bersih lingkungan. Pemerintahan yang otoriter dan militeristis ini memperkuat dan diperkuat
oleh corak kehidupan yang feodalistis dan paternalistis, atau bapakisme, yang secara tradisional
berlaku dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan
sebagai kekuatan sosial dan politik yang dipelihara dan dikembangkan oleh pemerintahan Orde
Baru untuk mendukung kemantapan pemerintahan dan kekuasaannya, telah secara sadar atau
tidak bergeser menjadi dukungan bagi kemantapan kekuasaan Presiden Suharto dan kronikroninya. Hal itu kemudian berkembang sebagai kekuasaan-kekuasaan perorangan yang absolut,
yang terpusat di tangan Pak Harto dan keluarganya.
Kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan yang korup, baik secara sosial, ekonomi, politik,
dan moral. Untuk itu, jastifikasi (justification) atau pembenarannya dilakukan dengan
menggunakan simbol-simbol dan metafor-metafor keagamaan yang relevan oleh pejabat-pejabat
keagamaan dalam berbagai upacara keagamaan dan upacara sosial. Bila pembenaran secara
keagamaan masih dirasakan belum mantap, berbagai tindakan represif akan dilakukan. Tindakantindakan represif dapat dijastifikasi atau dibenarkan, karena telah diciptakan dan dimantapkannya
musuh bersama sebagai kambing hitam. Musuh bersama itu dinamakan PKI atau sisa-sisa Orde
Lama atau ekstrim kiri, atau ekstrim kanan, dan golongan separatis atau pengacau keamanan.
Dalam zaman Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, yang ada ialah hierarki atau jenjang sosial
yang dimantapkan melalui berbagai bentuk peraturan dan kebijakan politik, serta pemberian
fasilitas dan keistimewaan kepada golongan militer, pejabat dan birokrat, dan partai pendukung
pemerintah. Akibatnya, dengan jelas dapat dibedakan antara yang berkuasa (dengan berbagai
keistimewaannya) dengan yang tidak berkuasa, atau orang biasa (yang harus mengabdi kepada
yang berkuasa). Sebagai catatan, pegawai negeri pun digolongkan sebagai abdi atau hamba

sahaya. Pembedaan jenjang ini terwujud sebagai perbedaan antara militer dan sipil; antara
pejabat dan bukan pejabat; pengusaha konglomerat yang kebanyakan adalah Orang Cina yang
menjadi kroni presiden, dan yang bukan Orang Cina atau pribumi; antara golongan Islam dan
yang bukan; antara warga masyarakat biasa dan yang tidak bersih lingkungan atau yang
berindikasi komunis; atau ekstrim kiri dan ekstrim kanan, serta separatis atau pengacau keamanan.
Dalam masa Orde Baru tidak ada kesetaraan warga, baik secara sosial, legal atau hukum, dan
budaya. Ketidaksetaraan ini terwujud terutama dalam kehidupan politik dan ekonomi dari warga
masyarakat Indonesia.
Walaupun Indonesia mengakui dirinya sebagai negara demokrasi, dunia Barat dan sejumlah
negara lainnya menggolongkan Indonesia sebagai negara dengan pemerintahan totaliter, sama
coraknya dengan negara-negara di Amerika Latin yang juga dikuasai oleh militer. Walaupun
Indonesia mengaku sebagai penganut azas demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila, dunia luar,
terutama dunia Barat, tidak melihat demokrasi Pancasila sebagai demokrasi. Prinsip demokrasi
yang utama, yaitu kesetaraan derajat secara individual dan kebebasan, dan pemerintahan atas
persetujuan rakyat, tidaklah terwujud selama pemerintahan Orde Baru. Selama masa Orde Baru,
yang ada ialah pemerintahan oleh militer, para patron atau bapak, dan para kroni dari presiden.
Mereka melihat corak kebudayaan Indonesia dalam zaman Orde Baru sebagai sebuah kebudayaan

4


ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

yang feodalistik, otoriter-militeristik, dan paternalistik yang didukung oleh sistem ekonomi
kronisme.
Kejatuhan kekuasaan Presiden Suharto yang memorak-porandakan sistem pemerintahan
yang otoriter dan militeristis, diharapkan oleh banyak orang Indonesia akan dapat memunculkan
sebuah pemerintahan sipil yang demokratis dan bersih dari korupsi. Tetapi, pemerintahan Habibie
justru tidak mampu untuk melaksanakan harapan orang banyak tersebut. Primordialisme
kesukubangsaan dan keagamaan justru berkembang. Feodalisme muncul dalam bentuk baru
yang diselimuti oleh primordialisme kesukubangsaan dan keagamaan Islam. Demikian pula halnya
dengan tatanan kehidupan paternalistik yang tetap bertahan. Demokrasi yang terwujud dalam
bentuk HAM atau hak individual ditonjolkan, tetapi kesetaraan warga yang menjadi landasan
filsafat dan pedoman bagi kehidupan demokrasi tidak direncanakan untuk diwujudkan. Sistem
kronisme dalam bentuk yang baru menghasilkan berbagai bentuk korupsi atas nama rakyat dan
kemiskinan.

Masyarakat majemuk dan demokrasi
Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena
komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa
untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Model yang digunakan sebagai

acuan dari masyarakat majemuk adalah negara jajahan Hindia Belanda, tempat kelompokkelompok atau komuniti dan masyarakat sukubangsa di Nusantara ini dipersatukan dan dikuasai
oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah
pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Hindia Belanda, tidak ada
tatanan kehidupan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang
penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan
atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut
patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.
Corak masyarakat majemuk yang anti demokrasi juga terwujud dalam masyarakat Afrika
Selatan yang didominasi oleh kekuasaan kulit putih sebelum kejatuhannya, dan yang kemudian
digantikan oleh pemerintahan Presiden Mandela. Pembedaan warga masyarakat Afrika Selatan
dalam jenjang sosial, ekonomi, dan politik juga didasari oleh batas-batas rasial, keyakinan
keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.
Dalam sejarahnya, masyarakat majemuk karena kemajemukan kesukubangsaan dan
keagamaan yang merupakan landasan kekuatan politik, selalu mengalami kesulitan untuk
menerapkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suriname misalnya, yang
sampai dengan tahun 1975 dikenal sebagai negara demokrasi yang corak masyarakatnya majemuk,
hancur berantakan oleh konflik politik antara dua sukubangsa yang dominan, sehingga harus
berubah menjadi negara totaliter di bawah kekuasaan rezim militer. Kesukaran berkembangnya
demokrasi dalam kehidupan masyarakat majemuk, seperti Suriname tersebut, dikarenakan oleh
mantapnya primordialitas yang diperkuat oleh keyakinan keagamaan yang melandasinya. Selain

itu, terdapat kemantapan batas-batas kesukubangsaan, orientasi, dan loyalitas politik warga
masyarakat pada sukubangsanya masing-masing. Berkembang pula prinsip paternal atau
bapakisme dengan loyalitas primordial dari para pengikutnya, dan kemantapan jenjang sosial

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

5

yang primordial berdasarkan kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsa yang bersangkutan
(lihat Dew 1978; Suparlan 1995).
Demokrasi di Suriname sebelum tahun 1975 dapat digolongkan sebagai demokrasi
konsosiasional (consociational democracy). Dalam sistem demokrasi ini, para pemimpin
kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda menjadi jembatan penghubung dari segmentasi
oleh kesukubangsaan melalui berbagai bentuk aliansi formal dan informal pada tingkat elit (lihat
Dew 1972, 1974). Model demokrasi konsosiasional ini juga berlaku di Indonesia di bawah label
demokrasi Pancasila, atau di Brazil dengan demokrasi rasial (racial democracy). Masyarakat
Brazil juga tersegmentasi oleh golongan-golongan rasial yang tersusun dalam urutan jenjang
sosial, ekonomi, dan politik. Dalam masyarakat yang paternalistik, otoriter atau militeristik seperti
tersebut di atas, demokrasi dalam pengertian yang sebenarnya tidaklah mudah ditegakkan.
Bila kita melihat Amerika sebagai sebuah negara yang demokratis, maka yang kita lihat
adalah bahwa demokrasi bukan hanya menjadi ideologi atau filsafat kehidupan bangsa itu,
melainkan juga menjadi pedoman bagi kehidupan warganya. Amerika adalah sebuah bangsa
dari kumpulan bangsa-bangsa yang sangat berbeda secara rasial, asal etnis atau sukubangsa,
kebudayaan dan keagamaannya, yang telah dibangun dengan menggunakan prinsip demokrasi.
Dari sebuah bangsa yang pada awal berdirinya menekankan pada monokulturalisme yang
didominasi oleh golongan WASP (White Anglo Saxon Protestant),3 Amerika telah secara bertahap
dan pasti berubah coraknya secara mantap menjadi sebuah bangsa yang menekankan pada
keanekaragaman kebudayaan atau multikulturalisme. Multikulturalisme pada bangsa Amerika
ini menekankan kesetaraan derajat individu dan menoleransi perbedaan-perbedaan kebudayaan.
Di sinilah letak kebesaran kebudayaan bangsa Amerika, yaitu kemampuannya untuk menampung
berbagai perbedaan dan keanekaragaman kebudayaan dalam sebuah kebangsaan dengan suatu
ikatan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi menjadi sebuah ideologi yang menjadi
pedoman hidup mendasar bagi kebersamaan yang sederajat; dan sebuah pedoman yang praktikal
dalam menghadapi kehidupan nyata sehari-hari. Dalam prinsip demokrasi ini, penekanan hak
ada pada individu dan bukannya pada kelompok-kelompok etnis atau keagamaan, sehingga
Amerika sekarang ini dapat kita lihat sebagai sebuah bangsa yang dibangun atas kekuatan dan
kemampuan individu-individu; bukannya berdasarkan pada kekuasaan kelompok-kelompok
sukubangsa atau keyakinan keagamaan.
Prinsip demokrasi hanya mungkin dapat berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah
masyarakat sipil yang terbuka, yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedaanperbedaan dalam bentuk apa pun, karena adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang
saling menghormati, yang diatur oleh hukum yang adil dan beradab yang mendorong kemajuan
dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan hanya
mungkin terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata
hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan
mendorong terwujudnya prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan nyata. Diskriminasi secara
rasial, politik, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang berlaku di masa lampau, secara bertahap
maupun secara radikal dikikis oleh kemauan untuk menegakkan demokrasi demi kesejajaran
3

Monokulturalisme ini bersifat rasis, tetapi berdasarkan prinsip demokrasi yang hanya berlaku bagi mereka
yang WASP (White Anglo Saxon Protestant) atau Kulit Putih.

6

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

dalam derajat kemanusiaan sebagai bangsa Amerika.
Pada masa sekarang, di Amerikalah terdapat berbagai macam kebudayaan yang berasal dari
hampir seluruh penjuru dunia yang hidup tanpa ada diskriminasi formal dari negara. Hal itu
hanya mungkin terwujud dalam masyarakat seperti Amerika, yang hak untuk hidup berdampingan
secara berbeda sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan menurut kebudayaan masing-masing
dijamin oleh hukum, ditoleransi dan dihargai oleh masyarakat-masyarakat setempat, sepanjang
tidak mengganggu kepentingan umum atau kepentingan bersama.
Apa yang menjadi landasan bagi dan mengikat keberadaan kebudayaan yang beranekaragam
tersebut adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan Amerika, yang menjadi milik bersama
bangsa Amerika. Nilai-nilai budaya itu merupakan patokan penilaian, atau pedoman etika dan
moral dalam bertindak yang benar dan pantas bagi orang Amerika. Nilai-nilai budaya tersebut
terserap dalam hampir semua bidang kehidupan. Secara sadar atau tidak, nilai budaya itu
digunakan sebagai acuan bagi penjelasan yang masuk akal dan pembenaran atas suatu tindakan
yang dilakukan, baik tindakan-tindakan sosial, ekonomi, dan politik, maupun tindakan-tindakan
individual secara pribadi. Di antara serangkaian nilai budaya Amerika yang mendasar, yang
secara aktual diyakini sebagai acuan utama dalam kehidupan mereka sebagai bangsa Amerika,
adalah percaya pada diri sendiri atau self reliance. Tercakup dalam pengertian self reliance
adalah tahu hak dan kewajibannya, tahu dan menghargai hak individu lainnya dan orang banyak,
dapat dan berani menolak atau melawan pada saat haknya dilanggar oleh yang lainnya. Pada
prinsipnya, dalam konsep self reliance juga tercakup pengertian percaya pada kemampuan diri
sendiri, dan dirinyalah yang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Demokrasi sebagai sebuah filsafat atau ideologi yang dimiliki bersama oleh para warga
sebuah masyarakat sipil yang bukan militeristik mencakup prinsip-prinsip:
…berdasarkan atas persetujuan dari rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas yang dibarengi
dengan hak-hak minoritas, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara
konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, budaya, nilai-nilai toleransi atas perbedaan-perbedaan,
pragmatisme, dan kerjasama serta mufakat (Lubis 1994; USIS t.t.).

Akan tetapi, bila demokrasi hanya diperlakukan sebagai filsafat atau ideologi, demokrasi sebagai
sebuah konsep hanya akan ada dalam benak kepala. Di lain pihak, sebuah masyarakat yang
demokratis adalah sebuah masyarakat yang menggunakan konsep demokrasi sebagai pedoman
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terwujud sebagai inti dari, serta didukung oleh
pranata-pranata sosial masyarakat tersebut. Demokrasi tidak mungkin hidup dalam sebuah
masyarakat bila demokrasi tidak terserap ke dalam, dan menjadi kebudayaan serta pranatapranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya bila tidak didukung oleh nilai-nilai
budayanya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal,
ekonomi, dan politik yang berlaku pada tingkat individual, maupun pada tingkat kemasyarakatan.
Di antara prinsip-prinsip mendasar dari demokrasi yang patut dikemukakan di sini adalah:
kesetaraan derajat individu, kebebasan, individualisme dan individualitas, toleransi terhadap
perbedaan-perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab, dan perikemanusiaan. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat
sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan
atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan. Dalam proses
politik yang demokratis, yang terwujud sebagai perbedaan-perbedaan dan konflik-konflik

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

7

pendapat untuk memenangkan sesuatu kebijakan yang dicapai melalui pemilihan suara
konsensus, hak-hak dari individu yang terlibat di dalamnya adalah setara derajatnya. Hal ini
berbeda dari prinsip musyawarah yang kita kenal, dengan individu yang berada pada jenjang
kekuasaan tertinggi cenderung mendominasi dan mengarahkan perbedaan-perbedaan yang
ada menjadi sebuah permufakatan pendapat, yang sesuai dengan kehendaknya.
Konflik-konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip demokrasi harus mengikuti hukum
atau aturan main yang adil dan beradab. Ketaatan atau kepatuhan pada hukum yang berlaku
adalah salah satu syarat mutlak bagi berlakunya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa
adanya ketaatan pada hukum, maka yang ada adalah kekacauan, karena tiap-tiap individu akan
mau menang-menangan sendiri. Melalui hukum inilah sebenarnya perikemanusiaan yang kita
kenal dengan nama HAM itu ditegakkan, yang menjamin terwujudnya kesetaraan derajat individu
demi kesejahteraan bersama.

Masyarakat majemuk, kesetaraan warga, dan hak budaya komuniti
Corak masyarakat majemuk (plural society) Indonesia yang ditandai oleh penekanannya
pada kesukubangsaan dan kelompok-kelompok sukubangsa yang beranekaragam kebudayaannya, mungkin harus dipelajari kembali mengingat potensinya yang dapat dimanipulasi secara
sosial dan politik untuk memecah-belah kebangsaan Indonesia dan anti demokrasi. Potensi
yang destruktif tersebut dikarenakan oleh:
• Masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas sukubangsa yang didasari oleh stereotip
dan prasangka, yang menghasilkan penjenjangan sosial secara primordial yang subyektif,
dan bila berkembang lebih lanjut dapat menghasilkan stigma sosial dan pengambinghitaman
yang dilakukan oleh suatu sukubangsa yang ditujukan pada suatu sukubangsa lainnya.
• Setiap kelompok sukubangsa atau komuniti sukubangsa menempati sebuah wilayah yang
menjadi tempatnya hidup, yang secara tradisional diakuinya dan diakui oleh kelompok
sukubangsa lain sebagai hak ulayatnya. Konsep hak ulayat ini, secara politik hubungan
antarsukubangsa, dapat berkembang menjadi pembedaan yang diskriminatif antara warga
sukubangsa asli setempat dengan warga sukubangsa pendatang. Berbagai bentuk
diskriminasi dapat terwujud antara yang asli dengan pendatang, dengan pihak yang asli
yang harus unggul, dan pendatang yang harus asor.
• Berbagai konflik antarsukubangsa yang memakan korban jiwa dan raga serta harta benda
yang telah terjadi sejak zaman pemerintahan Habibie sampai saat ini, berintikan pada
permasalahan hubungan antarsukubangsa yang asli setempat dengan yang pendatang.
Dalam konflik sukubangsa ini, seperti kasus Sambas, Ambon, dan Kalimantan Tengah
(lihat Suparlan 2000), kelompok sukubangsa setempat menuntut pengakuan atas keunggulan
kebudayaan mereka, dengan ungkapan: ‘...di mana bumi dipijak, langit dijunjung’, atau
‘adat sukubangsa setempat harus diikuti’. Dalam hal ini, kebudayaan sukubangsa menjadi
ideologi politik sukubangsa. Orang Melayu di Sambas, setelah berakhirnya konflik dengan
orang Madura dengan keberhasilan orang Melayu mengusir mereka dari wilayah Sambas,
mengambil kebijakan politik kesukubangsaan yang memutuskan untuk tidak menerima
kedatangan kembali orang-orang Madura yang mengungsi untuk hidup di wilayah Kabupaten
Sambas. Sebuah kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan

8

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

prinsip kebangsaan Indonesia. Apakah barangkali Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat
merupakan sebuah negara Melayu yang mempunyai peraturan keimigrasian tersendiri?
• Politik kebudayaan yang menekankan homogenitas, yang dilakukan melalui penataran P4
dalam masa pemerintahan Orde Baru, yaitu yang mengupayakan pemberlakuan prinsip
Pancasila sampai ke dalam kehidupan keluarga, sama dengan upaya mereduksi
keanekaragaman kebudayaan di Indonesia secara sewenang-wenang. Inilah sebuah upaya
penyeragaman kebudayaan yang akan dapat digunakan untuk mendukung corak
keseragaman pemerintahan Orde Baru yang otoriter-militeristis.4
Masyarakat majemuk, termasuk Indonesia, tidak menghasilkan tatanan kehidupan yang
egalitarian dan demokratis, tetapi sebuah masyarakat yang berpotensi otoriter dan despotik
karena corak struktur sosial kelompok-kelompok sukubangsanya yang beranekaragam dari
feodalistis dan paternalistis sampai dengan yang etnosentris dan tribalistis. Coraknya yang
feodalistis dan paternalistis terserap dalam sistem nasional Indonesia yang bercorak otoritermiliteristik yang nampak jelas dalam pemerintahan Orde Baru. Corak ini digunakan untuk
mengimbangi dan meredam gejolak politik kesukubangsaan yang etnosentris dan tribalistis.
Dengan cara yang otoriter dan militeristis tersebut, maka potensi-potensi perpecahan bangsa
Indonesia berdasarkan politik kesukubangsaan dapat diredam. Masalahnya adalah, pada waktu
sistem nasional Indonesia menjadi lemah karena coraknya yang otoriter dan militeristis itu
diganti dengan sistem yang lebih demokratis, seperti dalam zaman pemerintahan Habibie, maka
gejolak etnosentrisme dan tribalisme memunculkan dirinya ke permukaan arena politik Indonesia, yang secara langsung atau tidak langsung mengancam integrasi sistem nasional dan
kebangsaan Indonesia.
Lambang negara dan bangsa Indonesia, ‘bhinneka tunggal ika’ atau masyarakat majemuk
yang menekankan keanekaragaman sukubangsa dan kebudayaannya, sudah sepatutnya dikaji
untuk diubah atau digeser penekanannya pada keanekaragaman kebudayaannya. Bersamaan
dengan itu, perlu diupayakan untuk melemahkan atau mengesampingkan keanekaragaman
sukubangsa dan kesukubangsaanya. Penekanan pada keanekaragaman kebudayaan harus
mencakup bukan hanya kebudayaan-kebudayaan sukubangsa, melainkan juga berbagai
kebudayaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat-masyarakat setempat di Indonesia,
baik yang secara tradisional berlaku setempat, maupun yang berasal dari luar. Hal itu haruslah
dibarengi dengan suatu kebijakan politik secara nasional yang akan meletakkan posisi-posisi
kebudayaan seperti apa pun coraknya untuk berada dalam kesetaraan derajat, selama tindakantindakan para pelaku yang mengacu pada kebudayaan tersebut tidak mengganggu, atau
merugikan orang banyak dalam kehidupan masyarakat setempat.
Bersamaan dengan itu, prinsip demokrasi dalam arti yang sebenarnya harus dijadikan
kebijakan politik nasional. Kebijakan itu harus terwujud dalam ketentuan-ketentuan hukum
yang operasional dalam berbagai pranata sosial, baik secara nasional maupun lokal, yang akan
menjamin terwujudnya individualisme dan individualitas. Hal itu diharapkan mendorong
terwujudnya nilai budaya percaya pada diri sendiri (self reliance) dan berbagai nilai budaya
yang mendukungnya. Hak-hak individu untuk berbeda dari individu lain atau masyarakat harus
4

Militer dikenal karena keseragamannya, sedangkan masyarakat sipil yang demokratis dikenal karena perbedaanperbedaan dan keanekaragamannya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

9

dijamin oleh ketentuan hukum, selama tindakan-tindakan individual tersebut tidak melanggar
ketentuan hukum yang berlaku, atau kepentingan umum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat setempat.
Dengan kebijakan politik kebudayaan seperti tersebut di atas, maka diharapkan tidak akan
muncul dan berkembang lagi ideologi politik kesukubangsaan yang menekankan pembedaan
antara mereka yang asli dan lebih berhak, dengan mereka yang pendatang dan karena itu harus
didiskriminasi. Bukan kekuasaan komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sukubangsa dan
kesukubangsaanya yang utama dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi, melainkan
individu-individu dengan keanekaragaman kebudayaannya yang setara derajatnya yang harus
menjadi landasan bagi terwujudnya kehidupan demokrasi. Bukan kelompok-kelompok
sukubangsa atau komuniti-komuniti sukubangsa dengan kebudayaannya yang secara tradisional
mendominasi corak kehidupan masing-masing wilayahnya, melainkan berbagai kebudayaan
dari kelompok asal mana pun yang sama-sama mempunyai hak untuk hidup dalam wilayah mana
pun di Indonesia, sesuai dengan ketentuan hukum dan adat atau konvensi sosial yang berlaku
setempat.
Dengan demikian, hak budaya komuniti mana pun dan dalam wilayah Indonesia mana pun
harus dijamin keberadaan dan kehidupannya oleh sistem nasional dengan mengacu pada
ketentuan hukum yang dibuatnya. Dalam kehidupan demokratis, yang digolongkan sebagai
sakral atau sokoguru demokrasi bukan hanya individu, melainkan juga masyarakat (yaitu negara
yang diwakili oleh pemerintah), dan komuniti atau masyarakat setempat. Komuniti atau masyarakat
setempat ini merupakan kumpulan dari individu-individu yang hidup secara bersama dengan
berpedoman pada kebudayaan yang mereka miliki bersama (Suparlan 1991). Hubungan antara
individu, negara, dan komuniti atau masyarakat setempat adalah hubungan konflik kepentingan
yang saling tergantung satu sama lainnya, tempat masing-masing akan berupaya mendominasi
lainnya. Karena itu, berbagai ketentuan politik dan hukum harus dibuat dan dibangun untuk
menciptakan suatu keseimbangan hubungan kepentingan yang akan menguntungkan ketiga
unsur sakral dalam kehidupan demokrasi tersebut.
Komuniti dapat dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan berskala kecil yang menempati
suatu wilayah. Komuniti dapat juga dilihat sebagai perkumpulan profesi, kepentingan, atau
lainnya. Hak budaya komuniti dimaksudkan mencakup dua pengertian tersebut, tetapi terutama
ditujukan untuk pengertian komuniti sebagai satuan kehidupan. Dalam kehidupan manusia
sebagai individu, dalam komunitilah dia hidup, dibesarkan, dan dijadikan manusia, sehingga
dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna. Oleh karena itu, ia dapat
melestarikan dan mengembangkan kehidupan komunitinya, masyarakat dan negaranya. Sebuah
komuniti atau masyarakat-negara tidak mungkin akan ada bila tidak berproduksi untuk menghidupi
individu-individu yang menjadi anggota atau warganya. Posisi komuniti dapat disetarakan
dengan posisi masyarakat-negara dalam fungsinya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
hak budaya komuniti berkenaan dengan keberadaan dan kehidupannya harus dilindungi secara
hukum. Dalam masyarakat yang demokratis, seperti Amerika dan negara-negara di Eropa Barat,
hak budaya komuniti ini dilindungi secara hukum dan politik, karena prinsip demokrasi dalam
kehidupan nyata tidak akan terwujud tanpa adanya komuniti dan hak-hak hidupnya.
Mengapa hak budaya komuniti itu harus dilindungi secara hukum? Karena, dalam berbagai
konflik atau kerusuhan sosial, baik yang terwujud dalam bentuk konflik antarsukubangsa,

10

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

antarpenganut keyakinan keagamaan yang berbeda, ataupun antardesa atau tawuran, yang
menjadi sasaran untuk dihancurkan bukan hanya orang-orang yang dianggap sebagai musuh,
melainkan juga rumah-rumah, berbagai fasilitas umum dan tempat-tempat beribadat yang ada.
Atau dengan perkataan lain, yang dihancurkan dalam konflik atau kerusuhan tersebut mencakup
juga komunitinya. Dihancurkannya komuniti pihak lawan sama dengan dihancurkannya
kehidupan pihak lawan itu.

Penutup: kesetaraan warga, hak budaya komuniti, dan multikulturalisme
Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam
prinsip demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau
warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanekaragaman. Pada hakekatnya, masyarakat
majemuk yang secara sukubangsa beraneka ragam mempunyai potensi menjadi sebuah
masyarakat otoriter-militeristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial.
Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah
belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi
kekuatan primordialitas untuk pemecah belah bangsa disebabkan oleh hakekat keberadaan
masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan dari upaya sistem nasional untuk
mempersatukan kelompok-kelompok sukubangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan
kelompok-kelompok sukubangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Masyarakat Amerika dikenal sebagai sebuah masyarakat multi-etnis atau bersukubangsa
banyak. Tetapi, masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat
tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara mempersatukan sukubangsa-sukubangsa
yang dilakukan oleh sistem nasionalnya. Pada masa kini, yang ditonjolkan di Amerika bukanlah
coraknya yang multi-etnis atau bersukubangsa banyak, melainkan beranekaragamnya
kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam
itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jatidiri sukubangsa atau rasial dari
individu menjadi tidak relevan. Seseorang atau sekelompok orang Kulit Putih yang tergolong
keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan yang merupakan kombinasi kebudayaan
WASP dengan unsur-unsur kebudayaan India, Cina, dan Jepang, atau yang lain.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jatidiri rasial atau
sukubangsa, dan sebaliknya, menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat
multikulturalisme, dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensipotensi konflik rasial dan sukubangsa. Sebaliknya, kebijakan tersebut menonjolkan kekayaan,
potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekaragaman kebudayaan yang
memang sejalan dengan, dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan
masyarakat.
Model masyarakat multikultural atau beranekaragam kebudayaan ini—yang telah berhasil
meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan—perlu kita pelajari dengan seksama
dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk, dan yang akhir-akhir ini telah dilanda
oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat
merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001

11

idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beranekaragam kebudayaan sebagai sebuah
kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, akan memungkinkan
diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu
atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya
dengan kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat yang multikultural tersebut,
demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya, demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang
multikultural. Hal itu disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan;
konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang
tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.

Kepustakaan
Bruner, E.M.
1974
‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A. Cohen (peny.) Urban Ethnicity.
London: Tavistock. Hlm. 251–280.
Dew, E.
1972
1974
1978

‘The Test of Consociational Democracy’, Plural Societies (3):25–56.
‘The Struggle for Ethnic Balance and Identity’, Plural Societies (5):3–17.
The Difficult Flowering of Suriname: Ethnicity and Politics in a Plural
Society. The Hague: Martinus Nijhoff.

Dijk, K. van
2001
A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Leiden: KLTV Press.
Glazer, N.
1997
We are All Multiculturalists Now. Cambridge, Massachusets: Harvard UniversityPress.
Lubis, M. (peny.)
1994
Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Milikan, M.F.
n.d.
‘Keadilan Sosial dan Produktivitas dalam Pembangunan’, dalam M.W einer (peny.)
Modernisasi: Dinamika Pertumbuhan. Voice of America Lecture Series. Hlm. 181-194.
Suparlan, P.
1972
The Javanese in Bandung: Ethnicity in a Medium Sized Indonesian City. Tesis MA tidak
dipublikasikan. University of Illinois.
1991
‘Yang Sakral Dalam Nilai-Nilai Budaya Amerika’, Jurnal Studi Amerika 1(2):4–11.
1995
The Javanese in Suriname: Ethnicity in an Ethnically Plural Society.Tempe, Arizona:
Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University.
1999
‘Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme’, Jurnal Studi
Amerika (5):43–52.
2000a ‘Masyarakat Majemuk dan Perawatannya’, Antropologi Indonesia 25(63):1–13.
2000b ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85.
Reed, I. (peny.)
1998
Multi America: Essays on Cultural Wars and Cultural Peace.Pinguin.
USIS
t.t.

12

Apakah Demokrasi Itu? Brosur.

ANTROPOLOGI INDONESIA 66, 2001