Dasar Hukum Tentang Shalat jamaah jenaza

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sudah kita ketahui Bersama bahwa Ibadah merupakan suatu kewajiban
bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan
mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti.
Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti Shalat, puasa, naik
haji, membaca Al Qur’an, jihad dan lainnya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
baligh berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam keadaan
bagaimanapun.
Shalat adalah ibadah yg agung, ibadah yg dibuka dengan takbir & ditutup
dengan salam, & dia adlh ibadah yg terpenting setelah kedua kalimat
syahadat. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah
& sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, haji & puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari no. 7 & Muslim no. 19).
Shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabbnya, karena ketika
shalat hamba sedang berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla guna berdoa

kepada-Nya.
1.2. Rumusan Masalah:
1. Apa itu Shalat Jamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat Jama’ Qashar ?
2. Apa saja hukum-hukum dari shalat berjamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat
Jama’ Qashar ?

1

3. Apa keutamaan dari shalat jamaah, Shalat Jenazah, dan Shalat Jama’
Qashar ?
4. Bagaimana Ketentuan dan tatacara dalam shalat jamaah, Shalat Jenazah,
dan Shalat Jama’ Qashar ?
5. Apa manfaat dari shalat jamaah
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka kita dapat menarik tujuan penelitian
agar kita lebih memahami konsep shalat berjama’ah, shalat jenazah, dan shalat
jam’ qashar yang ditinjau dari ayat-ayat Al Qur’an, ruang lingkup
pembahasan dan manfaat dari sholat tersebut untuk seorang muslim.

2


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Shalat Jama’ah
A. Pengertian sholat jamaah
Menurut Bahasa sholat berarti doa. Sedangkan menurut istilah syariat,
shalat berarti ibadah kepada Allah dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang
diketahui dan khusus. Diawali dengan takbir dan di tutup dengan salam.
Disebut sholat karena kata itu mencakup doa.
Menurut Bahasa, jamaah berarti jumlah dan banyaknya sesuatu. Kata aljam’u berarti penyatuan beberapa hal terpisah. Sementara al masjid al jami’
berarti masjid yang mengumpulkan jamaahnya, sebagai sifat baginya, karena
ia merupakan tanda untuk berkumpul. Dan boleh juga menggunakan sebutan :
masjid al jami’ sebagai tambahan, seperti ucapan Anda : al-haqqu al
yaqiinudanhaqqu al-yaqiin, yang berarti masjid hari ini yang mengumpulkan
jamaah. Dan al-jamaah berarti sejumlah orang yang dikumpulkan oleh tujuan
yang satu. Sedangkan menurut istilah syariat, jamaah dipergunakan untuk
sebutan sekumpulan orang, yang diambil dari makna itjtima’ (perkumpulan).
Minimal perkumpulan tersebut adalah dua orang, yaitu imam dan makmum.
Disebut sholat jamaah karena adanya pertemuan orang-orang yang sholat
dalam bentuk perbuatan : tempatdanwaktu. Jika mereka meninggalkan

keduanya atau salah satu dari keduanya tanpa adanya sebab, maka menurut
kesepakatan para imam, hal itu dilarang.
B. Hukum sholat berjamaah
Hukum sholat berjamaah adalah fardhu ‘ain bagi orang laki-laki yang
mukallaf dan mampu, baik sedang tidak berpergian maupun sedang dalam
perjalanan. Baik di kala aman maupun di kala penuh ketakutan. Hal itu
didasarkan pada beberapa dalil yang sangat gamblan, dari Al-Qur’an, sunnah
yang shahih, dan juga amalan kaum muslimin dari abad ke abad, serta orang
3

yang datang kemudian dari orang yang lalu. Oleh karena itu, masjid-masjid
dimakmurkan dan para imam dan muadzin diatur. Untuk itu di syariatkan
adzan dengan suara sekeras-kerasnya.
Allah telah memerintahkan kaum muslimin pada saat dicekam rasa takut
untuk tetap shalat berjamaah, di mana Allah berfirman :

“dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat mu) lalu kamu
hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah mereka
pindah dari belakang mu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat dengan

mu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. “(QS. AnNisaa’:102).
Artinya, Allah telah menyuruh kaum muslimin mengerjakan shalat
berjamaah pada saat diliputi rasa takut yang mencekam. Kemudian Allah
mengulangi perintah ini sekali lagi pada kelompok kedua. Karenanya,
seandainya shalat jamaah itu sunat, niscaya alasan yang paling tepat untuk
tidak mengerjakan adalah rasa takut. Jika shalat jamaah itu fardhu kifayah,
niscaya Allah akan menggugurkannya bagi kelompok kedua apa yang telah
dilakukan oleh kelompok pertama. Dengan demikian, hal itu menunjukkan
bahwa shalat jamaah itu wajib bagi masing-masing individu.

4

Disebutkan dalam sebuah hadist muttafaq alaih dari Abu Hurairah
Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya
dan shalat Shubuh. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada dalam kedua
shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak.
Sungguh aku bertekad untuk menyuruh orang melaksanakan shalat. Lalu
shalat ditegakkan dan aku suruh ada yang mengimami orang-orang kala itu.

Aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa seikat kayu
untuk membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jama’ah.”(HR.
Bukhari no.657 dan Muslim no. 651, dari AbuHurairah).
Aspek yang bisa dijadikan dalil berkenaan tentang wajibnya sholat
berjamaah dalam hadits itu ada dua aspek :
1. Orang-orang meninggalkan shalat jamaah disifatkan orang munafik.
Sedangkan orang yang meninggalkan sesuatu yang sunnah tidak dianggap
munafik. Dengan demikina menunjukkan bahwa mereka meninggalkan
yang (hukumnya) wajib.
2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak menghukum orang yang
meninggalkan shalat jamaah. Hukuman hanya akan ada karena
meninggalkan sesuatu yang wajib. Sedangkan larangan Rasulullah
memberikan hukuman karena di dalam rumah-rumah itu ada para wanita
dan anak cucu yang tidak wajib bagi mereka shalat jamaah.
Wajibnya shalat jamaah bagi kamu mukminin berlaku tetap ditengahtengah mereka semenjak awal umat ini. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu
berkata, “telah kami lihat dan tidaklah orang meninggalkan (shalat jamaah)
kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya dan telah ada
5

seseorang yang dibawa dengan dipapah oleh dua orang hingga diberdirikan di

dalam shaf” Maka, dengan demikian hal itu menunjukkan bahwa wajibnya
shalat jma’ah itu benar-benar sudah melekat dalam sanubari para sahabat
Rasulullah. Mereka tidak mengetahui hal itu melainkan dari Rasulullah. Sudah
sangat dipahami bahwa tidaklah setiap perintah yang ditinggalkan, melainkan
oleh seorang muafik, adalah sesuatu yang wajib hukumnya atas tiap-tiap
individu.
Dibolehkan meninggalkan shalat jamaah karena beberapa alasan :
1. Takut atau sakit. Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Abbas dari Nabi
Shalallahu Alaihi wa Salam, beliau bersabda :

“Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak
ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.”
2. Hujan atau licin
Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Abbas., dia berkata kepada mu’adzin
pada hari hujan deras, “jika kamu sudah mengucapkan : Asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah, janganlah kamu meneruskan dengan :hayya
‘alaa ash-shalat (mari mendirikan shalat), tapi ucapkanlah : shallu fii
buyutikum (shalatlah kalian di rumah kalian sendiri). Seakan orang-orang
menolak, maka Ibnu Abbas berkata, hal itu juga dilakukan oleh orang
yang lebih baik dariku (Rasulullah).

3. Angin kencang pada malam yang gelap gulita lagi dingin.
Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Umar, dia pernah mengumandangkan
adzan shalat pada malam yang sangat dingin lagi gelap, lalu dia
mengucapkan “shalatlah kalian di rumah kalian masing-masing”,
kemudian dia mengatakan “Rasulullah pernah memerintahkan mu’adzin,
jika malam sangat dingin lagi hujan, dengan mengatakan “shalatlah kalian
di rumah-rumah”
6

4. Sudah dihidangkan makanan sementara dirinya sangat tertarik (berselera)
pada makanan tersebut.
Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu umar, dia bercerita, Rasulullah
bersabda :

“Jika salah seorang diantara kalian berada di hadapan makanan, hendaklah
dia tidak tergesa-gesa sehingga dia memenuhi kebutuhannya terhadap
makanan itu, meskipun iqamah shalat telah dikumandangkan”
5. Menahan kencing atau buang air besar.
Hal itu didasarkan pada hadits pada hadits Aisyah, dia bercerita, aku
pernah mendengar Rasulullah bersabda :


“Tidak ada shalat di hadapan makanan serta tidak juga menahan kencing
dan buang air besar”
6. Memiliki kerabat dekat yang dia khawatirkan kematiannya sementara dia
tidak berada disisinya.
Hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Umar, di pernah diberitahukan bahwa
Sai’id bin Zaid bin Amr bin Nufail jatuh sakit pada hari jumat, lalu dia pun
menaiki kendaraan untuk mengunjunginya setelah matahari tinggi dan
mendekati shalat Jum’at dan dia pun meninggalkan shalat Jum’at.
Dengan demikian, terlihat nyata, bahwa shalat

jamaah itu boleh

ditinggalkan karena delapan alasan, yaitu : sakit, takut akan keselamatan diri
sendiri, harta, atau kehormatan, hujan, jalanan licin, angin kencang pada

7

malam yang gelap lagi dingin, dihidangkan makanan sedang diri benar-benar
berselera padanya, menahan kencing dan buang air besar, atau salah satu dari

keduanya, serta adanya kekhawatiran akan kematian kerabat dekat sedang dia
tidak berada disisinya.
C. Keutamaan Shalat Jamaah
Shalat berjamaah diperintahkan oleh Nabi SAW dengan penekanan
khusus. Para alim-ulama Islam semenjak awal sejarahnya telah mencoba
menyelami alasan di balik itu. Ini bukan karena sekadar mencari pembenar
untuk meyakin-yakinkan diri sendiri. Melainkan karena gairah untuk lebih
memahami rahasia di balik perintah Rasul yang maksum itu. Kita di zaman
modern ini ternyata masih saja bisa menemukan makna itu lewat aneka bentuk
pengkajian.
Selama hidupnya Nabi SAW selalu menyerukan ditegakkannya shalat.
Padahal, perintah shalat dalam ayat-ayat Al Quran juga seolah diucapkan
dalam satu tarikan nafas dengan perintah bersedekah. Tidak kurang ada 25
tempat dalam Al Quran yang menyerukan shalat setarikan nafas dengan
bersedekah, berzakat atau memberi kepada sesama. Dengan demikian secara
implisit Al Quran menggariskan adanya “fungsi sosial” dari shalat seperti itu.
Karena melihat fakta demikian, dapat dimaklumi bahwa shalat yang benar
haruslah dilakukan secara berjamaah. Sebab, untuk menunaikan perintah
lanjutan yang sangat erat kaitannya dengan perintah shalat, yakni bersedekah
atau memberi kepada sesama itu, maka shalat harus dilakukan secara

berjamaah. Sudah tentu dengan cara ”berjamaah yang berkualitas”.
1. Shalat jamaah dua puluh tujuh kali lipat dari shalat sendirian.
Hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Ummar, Rasulullah bersabda :

“Shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27
derajat”
8

2. Dengan shalat jamaah, Allah akan melindungi pelakunya dari setan.
Hal itu didasarkan pada hadits Mu’adz bin Jabal, dari Raulullah :
“Sesungguhnya setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi
kambing,
ia akan menerkam kambing yang keluar dan menyendiri dari kawanannya.
Karena itu, jauhilah perpecahan, dan hendaklah kamu bersama jama'ah
dan umat umumnya” (HR. Ahmad & Tirmidzi)
3. Keutamaan shalat jamaah akan bertambah banyak dengan bertambahnya
jumlah orang yang menunaikannya.
Hal itu didasarkan pada hadits Ubay bin Ka’ab, di dalamnya disebutkan :

“sesungguhnya shalat seseorag dengan seorang lainnya adalah lebih suci

dari shalatnya seorang diri. Dan shalatnya dengan dua orang lebih suci dari
shalatnya dengan seseorang. Dan semakin banyak maka akan lebih di
sukai oleh Allah yang maha mulia lagi maha perkasa”
Shalat berjamaah dengan jamaah yang banyak itu dianjurkan jika dijamin
aman dari kerusakan dan tidak ada kemaslahatan yang terganggu.
4. Kebebasan dari neraka dan kemunafikan.
Bagi orang yang mengerjakan shalat karena Allah selama 40 hari dengan
berjamaah, dengan selalu mengetahui takbiratul ihram imam (tidak
terlambat). Hal itu di dasarkan pada hadits Anas, dia bercerita, Rasulullah
bersabda :

"Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah
dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam),
9

maka ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan
kebebasan dari sifat kemunafikan."
Di dalam hadits tersebut terkandung keutamaan ikhlas dalam shalat.
Orang-orang yang penuh keikhlasan, di akhirat kelak dia akan dilindungi
dari siksa yang ditimpakan kepada orang munafik. Selain itu dia juga akan
diberi kesaksian bahwa orang muafik itu juga mengerjakan shalat tapi
dengan penuh kemalasan. Dengan demikian keadaan orang yang shalat
berjamaah itu jelas berbeda dengan orang-orang munafik itu.
5. Berada dalam jaminan dan perlindungan Allah
Barang siapa yang melaksanakn shalat subuh dengan berjamaah maka dia
akan berada dalam jaminan dan perlindungan Allah sampai memasuki
waktu sore. Dan barang siapa yang setelah shalat subuh dengan berjamaah
kemudian duduk sembari berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit,
maka baginya pahala haji dan umrah.
6. Besarnya pahala
Besarnya pahala ketika shalat isya’ dan subuh berjamaah, selain besarnya
pahala juga seakan dia shalat semalam suntuk.
7. Berkumpulnya para malaikat malam dan malaikat siang dalam shalat
subuh dan ashar.
Para malaikat penjaga malam dan siang itu datang silih berganti, dan
mereka akan berkumpul pada waktu shalat subuh dan shalat ashar. Sedang
berkumpulnya para malaikat itu merupakan salah satu bentuk kelembutan
Allah kepada hamba-hamba-Nya terhadap mereka, yaitu dengan
mengumpulkan para malaikat di sisi mereka, serta membiarkan para
malaikat bersama mereka pada waktu-waktu ibadah mereka dan
perkumpulan mereka untuk beribadah kepada Rabb mereka, sehingga
kesaksian yang akan diberikan oleh para malaikat itu atas berbagai
kebaikan yang mereka saksikan.
8. Allah merasa bangga terhadap shalat jamaah
Hal itu disebabkan kecintaan-Nya pada shalat jamaah. Dari Abdullah bin
Umar, dia bercerita, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :

10

“sesungguhnya Allah benar-benar bangga pada shalat yang dilakukan
dengan berjamaah”
Kebanggaan ini merupakan hak Allah, dan tidak ada satu pun makhlukNya dalam hal ini, karena kebanggaan Allah yang maha suci tidak sama
dengan kebanggaan makhluk-Nya. Allah berfirman “Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia”(QS.asy-Syuura:11)
9. Di doakan oleh para malaikat
Para malaikat mendoakan orang yang shalat berjamaah sebelum shalat dan
setelahnya selama dia masih tetap berada di tempat shalatnya, selama dia
belum berhadats atau menyakiti (orang lain).
D. Ketentuan dan tatacara dalam shalat jamaah
1. Penetapan imam.
Untuk menetapkan imam yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak
memiliki hafalan Al Quran dan lebih memahami hukum Islam. Apabila di
kalangan para jamaah itu dinilai setara, maka didahulukan yang lebih
pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi SAW. Kriteria
lainnya adalah didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila
sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.
“Rasulullah SAW berkata kepada kami: “Hendaknya yang menjadi imam
shalat suatu kaum adalah yang paling hafal al Qur`an dan paling baik
bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama, maka yang berhak
menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya. Apabila mereka
sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling
tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada keluarga dan
kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di rumahnya,
kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim].
Hadits di atas sekaligus menyebut adab shalat yang harus kita indahkan.
Yakni, jangan menjadi imam terhadap keluarga seseorang kecuali orang

11

itu mengijinkan atau meminta. Bahkan sekadar “menduduki permadani di
rumah” seseorang pun hendaknya harus seijin si pemilik. Untuk yang
terakhir ini, bisa saja itu dalam konteks shalat; namun bisa jadi tidak
berkaitan dengan shalat.
Karena itu, khususnya dalam komunitas jamaah shalat baru (misalnya di
suatu masjid yang jamaahnya semula tidak saling kenal) seseorang tidak
boleh maju dan mengangkat diri sendiri, melainkan diangkat dan dipilih
jamaahnya. Karena dengan maju mengangkat diri sendiri itu berarti dia
menganggap dialah yang paling memenuhi kriteria imam seperti hadits di
atas.
2. Posisi imam dan makmum (cari di internet gambarnya aja yg ditaruh di
ppt)
 Jika imam dan makmum sama-sama laki-laki, dan makmum pun hanya
seorang, maka dia berdiri di sebelah kanannya sejajar dengan posisi imam.
 Jika imam laki-laki diikuti satu atau lebih jamaah perempuan, maka posisi
makmum berada di belakang imam.
 Jika imam dua orang atau lebih dan semuanya sama jenis kelaminnya:
Makmum berdiri membentuk shaf di belakang imam. Shaf dibentuk
dimulai tepat dari belakang imam, terus dipenuhi ke sebelah kanan, baru
diteruskan dengan memenuhi sebelah kiri imam dan kirinya lagi sampai
penuh.
 Jika makmumnya laki-laki dan perempuan, maka makmum laki-laki di
depan, lalu makmum perempuan di belakang makmum laki-laki. Ini
berlaku untuk jumlah berapapun makmumnya. Cara menyusun shafnya
dimulai dari tengah (tepat di belakang imam), lalu untuk lebih afdal
dengan memenuhi dulu sisi kanan dari belakang imam diteruskan dari
belakang imam ke kiri.

12

 Imam perempuan jika diikuti oleh makmum perempuan mengikuti tatacara
sebagai berikut:
1. Untuk makmum seorang, berdiri di sebelah kanan imam
2. Untuk makmum perempuan lebih dari seorang dan bahkan dengan
shaf yang lebih dari satu, posisi imam berada di tengah-tengah shaf
pertama, lalu shaf berikutnya berjajar di belakangnya
3. Cara makmum menyusul karean terlambat (masbuq)
Adab yang dituntunkan Nabi SAW, kita datang ke masjid untuk berjamaah
dengan suasana hati tenang dan tidak tergesa-gesa. Shalat pun diharuskan
untuk tuma’ninah, tenang. Manakala shalat jamaah sudah didirikan, orang
yang datang belakangan hendaknya juga tidak buru-buru, tidak perlu
tergesa-gesa.
Orang yang datang terlambat itu (disebut masbuq), berusaha bergabung
dengan shalat jamaah yang sedang berlangsung dan tidak mendirikan
shalat sendiri. Terlebih lagi kalau dia hanya sendirian. Untuk keadaan
seperti ini sunnah Nabi menuntunkan sebagai berikut:
 Jika makmum masbuq bertakbir ketika imam belum melakukan rukuk,
hendaknya ia membaca surat Al-Fatihah bila imam sudah rukuk maka
hendaknya ia langsung rukuk mengikuti imam.
 Jika seorng makmu masbuq mendapati imam sudah melakukan rukuk
hendaknya ia ikut rukuk walaupun tidak sempat membaca surat AlFatihah,
 Jika menjadi masbuq mengikuti imam sudah rukuk, maka ia harus
mengulangi rakaat itu nanti dikarenakan rakaat yang ia lakukan itu
tidak sempurna dan tidak termasuk hitungan satu rakaat
 Jika mamkum masbuq mendapati imam sudah melakukan tasyahud
akhir, maka ia harus langsung melakukan tasyahud akhir tersebut.
Namun tasyahud tersebut tidak termasuk satu bilangan rakaat.
13

4. Bacaan makmum dalam shalat berjamaah
Ada yang mengatakan, semua bacaan imam merupakan bacaan makmum
juga, sehingga makmum tidak perlu membaca apa-apa. Ada juga yang
mengharuskan makmum membaca Al-Fatihah saja, sedangkan bacaan ayat
Al-Quran yang lain (setelah Fatihah) tidak tidak perlu dibaca, cukup
dengan mendengarkan bacaan imam.
Madzhab Maliki dan Hambali berpendapat, makmum harus membaca
bacaan shalat di belakang imam pada shalat yang sirr (suara imam tidak
dikeraskan),

yaitu

shalat

Dzuhur

dan

Ashar,

sedangkan

pada

shalat jahriyah (bacaan imam dikeraskan --Maghrib, Isya, Shubuh, Jumat,
Id), makmum tidak harus membacanya. Namun, bila pada shalat jahriyah
itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum
wajib membaca bacaan shalat.
Dari Malik dari Abi Hurairah r.a., Rasulullah Saw selesai shalat yang
beliau mengeraskan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Adakah di antara
kamu yang ikut membaca juga tadi?". Seorang menjawab, "Ya, saya, ya
Rasulullah". Beliau menjawab, "Aku berkata, mengapa aku harus melawan
Al-Quran?"Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila
Rasulullah Saw mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR.
Tirmizi).
Madzhab Hanafi: makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di
belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah,
berdasarkan hadits: "Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya
adalah bacaan imam.” (HR. Ad-Daruquthuny dan Ibnu Abi Syaibah).
Madzhab Syafi’i: pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan
shalat, sedangkan pada shalat jahriyah, makmum membaca Al-Fatihah
saja, berdasarkan hadits: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca AlFatihah” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Hakim). “Dan apabila imam membaca
al-Qur'an, maka diamlah.” (HR. Muslim).

14

Dari ‘Ubadah bin Shamit r.a., Rasulullah Saw shalat mengimami kami
siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau
berkata, "Aku melihat kalian membaca di belakang imam". Kami
menjawab,"Ya ". Beliau berkata, "Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah
saja". (Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dan lainnya
dengan isnad yang tersambung shahih).
Pilihan "jalan tengahnya" adalah: pada shalat berjama'ah, ketika imam
membaca Al-Fatihah, secara sirr (pelan) –shalat Dzuhur, 'Ashr, 1 raka'at
terakhir Mahgrib, dan 2 raka'at terakhir Isya, maka para makmum
hendaknya membaca surat Al-Fatihah secara sirr.
Tentang baca surat selain Al-Fatihah, dalam shalat Dzuhur dan Ashar
makmum boleh membaca surat atau tidak, karena hukumnya sunah.
Dalam shalat Magrib, Isya, dan Subuh, setelah Al-Fatihah makmun
mendengarkan saja bacaan imam dan mengikutinya dalam hati jika hafal.
E. Adab wanita shalat berjamaah di masjid
Tempat shalat yang paling baik bagi seorang wanita adalah di dalam
rumhanya.Allah Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Al Ahzab :33)
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada di masjid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, tetapi rumahrumah mereka lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud dan dihasankan di
dalam kitab Irwa Al Ghalil 515)

15

Namun demikian, tidak terlarang bagi seorang wanitaa untuk pergi ke
masjid. Jika seorang wanita hendak pergi ke masjid, ada beberapa adab khusus
yang perlu diperhatikan :
1. Meminta izin kepada suami atau mahramnya
2. Tidak menimbulkan fitnah
3. Menutup aurat secara lengkap
4. Tidak berhias dan memakai parfum
F. Manfaat shalat jamaah
Dalam shalat jamaah terdapat banyak faedah, serta manfaat yang
bermacam-macam. Karenanya, shalat jamaah itu di syariatkan. Diantara nya
hikmah dan manfaatnya sebagai berikut :
1. Untuk menjalin hubungan.
Yaitu kebaikan, kasih sayang, dan penjagaan. Dan juga dalam rangka
membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah baik dalam bentuk
ucapan maupun perbuatan. Allah telah mensyariatkan umat ini untuk
berkumpul pada waktu-waktu tertentu. Di antaranya adalah yang
berlangsung dalam waktu satu hari satu malam, misalnya shalat lima
waktu. Ada juga pertemuan yang dilakukan satu minggu sekali, yaitu
shalat Jum'at. Dan ada juga yang dilangsungkan satu tahun sekali secara
berulang, yaitu shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Dan ada juga yang
berlangsung satu tahun, yaitu wuquf di Arafah.
2. Dengan tujuan mencari pahala dan takut akan adzab-Nya serta
menginginkan apa yang ada di sisi-Nya.
3. Menanamkan rasa saling mencintai.
Dalam rangka mencari tahu keadaan sebagian atas sebagian lainnya. di
mana mereka akan menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, dan
membantu orang-orang yang metnbutuhkan. Selain itu, karena pertemuan
sebgian orang sebagian Iainnya akan melahirkan cinta dan kaslh sayang.

16

4. Ta'aruf saling kenal-mengenal.
Sebab, .jika sebagian orang mengerjakan shalat dengan sebagian Iainnya,
maka akan terjalin ta’aruf. Dengan ta’aruf ini dapat diketahui beberapa
kerabat sehingga akan hubungan yang lebih erat. Dan darinya akan
diketahui orang asing yang jauh dari negerinya sehingga orang lain akan
memberikan haknya.
5. Memperlihatkan salah satu syi'ar Islarn terbesar
Karena seandainya umat manusia ini secara keseluruhan shalat di rumah
mereka masing-masing niscaya tidak akan diketahui bahwa di sana
terdapat ibadah shalat.
6. Memperlihatkan kemuliaan kaum muslimin.
Yaitu, jika mereka masuk ke masjid-masjid dan kemudian keluar secara
berbarengan. Pada hal itu terkandung sikap keras terhadap orang-orang
munafik dan orang-orang kafir. Di dalamnya juga terkandung upaya
menjauhkan diri dari menyerupai mereka serta menghindar dari jalan
mereka.
7. Memberitahu orang yang tidak tahu.
Sebab, banyak orang yang mengetahui beberapa hal tentang apa yang
ditetapkan dalam shalat melalui shalat jamaah. Mereka juga dapat
mendengar bacaan dalam shalat sehingga dengan demikian itu mereka
akan mengambil manfaat sekaligus belajar. Juga mendengar beberapa zikir
shalat sehingga mereka akan mudah menghafal lalu mengikuti imam dan
orang-orang yang ada di samping dan di hadapannya sehingga dia dapat
belajar hukum-hukum shalat. Orang yang tidak mengerti akan belajar dari
orang yang mengerti.
8. Memotivasi

orang

yang

tidak

ikut

shalat

berjamaah

sekaligus

mengarahkan dan membimbingnya.
Dengan berusaha untuk saling mengingatkan agar berpihak pada
kebenaran dan senantiasa bersabar di dalam menjalankannya.
9. Membiasakan umat Islam untuk senantiasa bersatu dan tidak berpecah
belah.

17

Sesungguhnya umat itu bersatu dalam ketaatan kepada ulil amri. Dan
shalat jamaah ini merupakan kekuasaan kecil, karena jamaah ikut kepada
satu imam dan mengikutinya secara persis. Dan itu membentuk pandangan
umum terhadap Islam.
10. Membiasakan seseorang untuk bisa menahan diri.
Sebab, jika seseorang terbiasa mengikuti imam secara detail, tidak
bertakbir sebelumnya. tidak mondahului imam atau sering terlarnbat jauh
darinya. serta melakukan aktivitas shalat berbarengan dengannya tetapi dia
mengikutinya, niscaya dia akan terbiasa mengendalikan diri.
11. Menggugah perasaan orang muslim akan keberadaannya di dalam
barisanjihad
Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan
yang tersusun kokoh. " (QS. ash-Shaaff: 4).
Orang-orang yang mengerjakan shalat jamaah itu berada dalam barisan
jihad. Tidak diragukan lagi, jika mereka membiasakan hal tersebut pada
shalat lima waktu, niscaya akan menjadi sarana untuk menunjukkan
kesetiaan mereka pada komandan mereka dalam barisan jihad, sehingga
mereka tidak mendahului dan tidak juga menunda berbagai perintahnya.
12. Menumbuhkan dalam diri kaum muslimin perasaan sama dan sederajat
Karena mereka telah berkumpul di dalam masjid, di mana orang paling
kaya duduk berdampingan dengan orang paling miskin, pemimpin duduk
dengan yang dipimpin, penguasa dengan rakyat jelata, yang kecil duduk
berdampingan dengan orang besar, dan demikian seterusnya, sehingga
seluruh orang akan merasa sama dan sederajat, hingga akhirnya tercipta
18

kesatuan. Oleh karena itu, Nabi menyuruh menyamakan barisan, sampai
beliau

mengatakan,

"Janganlah

kalian

berselisih

yang

akan

mengakibatkan perpecahan hati kalian”.
13. Bisa memantau keadaan kaum fakir miskin, orang sakit, dan orang-orang
yang suka meremehkan shalat.
Jika orang-orang melihat seseorang memakai pakaian yang compangcamping dan tampak pada dirinya tanda-tanda lapar, niscaya mereka akan
mengasihi serta berbuat baik kepada mereka. Dan jika ada dari mereka
yang tidak ikut shalat berjamaah, niscaya mereka akan mengetahui bahwa
dia jatuh sakit atau sengaja melakukan pelanggaran, sehingga dengan
demikian itu mereka akan memberi nasihat, hingga tercipta sikap tolongmenolong berbuat kebaikan dan takwa, serta sikap saling menasihati
uıntuk berpegang kepada kebenaran serta menegakkan amar ma'ruf nahi
mungkar.
14. Menggugah perasaan orang-orang terakhir dari umat ini akan apa yang
pernah dijalani oleh orang-orang pertama dari umat ini pada zaman dulu.
Sebab, para sahabat senantiasa mengikuti Rasulullah sehingga sang imam
akan merasa berada di posisi Rasulullah sedang makmum akan merasa
berada pada posisi sahabat Dan demikain itü akan menumbuhkan
keinginan keras untuk mengikuti Nabi dan para sahabatnya.
15. Sarana turunnya berbagai macam berkah.
Berkumpulnya kaum muslimin di masjid dengan mengharapkan berbagai
hal yang ada di sisi Allah yang dapat menjadi sarana turunnya berbagai
macam berkah.
16. Menambah semangat orang muslim
Sehingga amalnya akan bertambah saat dia menyaksikan orang-orang
semangat menjalankan ibadah. Dalam hal itu terkandung manfaat yang
sangat besar.
17. Akan melipat gandakan kebaikan dan memperbesar pahala.
18. Dakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ucapan dan perbutan.

19

19. Berkumpulnya kaum muslimin pada waktu-waktu tertentu akan mendidik
mereka untuk senantiasa mengatur waktu.
2.2.

Shalat Jenazah

A. Pengertian
Shalat Jenazah merupakan salah satu praktik ibadah shalat yang
dilakukan umat Muslim jika ada Muslim lainnya yang meninggal dunia.
B. Hukum Shalat Jenazah
Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah bagi semua orang muslim
yg hidup. Jika telah dikerjakan oleh satu orang sekalipun maka gugurlah
kewajibannya dari yg lain. Salat ini mempunyai beberapa syarat rukun dan
sunnah serta keutamaan sebagaimana akan kami sebutkan. Dari Salamah
bin Al-Akwa:

Dari Salamah bin Al-Akwa’,”pada suatu saat kami duduk-duduk dekat
Nabi Saw.Ketika itu dibawa seorang mayat, beliau berkata kepada kami,
‘shalakanlah teman kamu’.’(riwayat Bukhari)
C. Keutamaan Shalat Jenazah
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Khabab , ia
berkata bahwasanya Rasullah bersabda :

“ Siapa yang mengantar jenazah dan menyalatinya, maka baginya satu
qirath. Siapa mengantar jenazah samapai selesai (proses pemakaman),
maka baginya dua qirath. Yang paling kecil adalah seperti gunung Uhud
atau salah satu dari keduanya adalah seperti gunung Uhud.”
Ibnu Umar lalu mengirim Khabab kepada Aisyah untuk
menanyakan kebenaran perkataan Abu Hurairah tersebut. Ketika kembali
20

dari rumah Aisyah, Khabab bercerita bahwa apa yang dikatakan Abu
Hurairah itu benar. Mendengar apa yang dikatakan Khabab, Ibnu Umar
berkata, sungguh kami telah kehilangan banyak kesempatan untuk
mendapatkan beberapa qirath.
Dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang putranya meninggal di
Qalid atau ‘Usfan dan yang menyalatinya sebanyak empat puluh orang ,
Rasullah bersabda :

“ Tidaklah seorang muslim mati lalu jenazahnya di shalatkan empat
puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah, melainkan Allah
memberikan syafaat kepadanya lantaran mereka.”
D. Tuntunan Syari’at
Sangat diutamakan diutamakan mensahalatkan jenazah hingga
berjumlah empat puluh orang, dan dilaksanakan dengan berjamaah yang
diatur menjadi tiga shaf.
Imam pada shalat jama’ah jenazah, atau seorang diri berdiri dekat
pada bagian kepala apabila pada jenazah pria, dan dekat pada pinggang
apabila jenazah wanita.
Bila bersamaan ada beberapa jenazah pria dan wanita, maka dapat
dilakukan secara bersamaan dalam sekali shalat jenazahnya dengan diatur
sebagai berikut:
Yang terdekat dengan imam adalah jenazah pria, kemudian
disebelah kiblat (baratnya) jenazah wanita, dengan digeser ke tengah
supaya bagian pinggangnya sejajar arah kiblat dengan Imam.
Tempat Shalat Jenazah, dapat dilakukan dirumah, musholla, ataupun
masjid menurut maslahat dan kewajaranyayang meninggal dunia.
Shalat jenazah diatas kuburan dimungkinkan serta diijinkan bagi pelayat/
ta’ziyah yang ketinggalan pada waktu datang di keluarga rumah duka.
21

E. Tata Tertib Shalat Jenazah:
1. Telah menepati syarat sahnya seperti shalat fardlu.
2. Berdiri menghadap kiblat dengan jenazah berada didepan Iman.
3. Jenazah diletakan membujur mengadap kiblat dengan kepala
disebelah kanan kiblat (utara indonesia di sebelah utara).
4. Bila berjama’ah, sebagai Imam adalah yang terdekat hubungan
keluarga dengan jenazah, seperti ayah, anak, kakak, adik, paman
dst.
5. Diatur dengan sekurang-kurangnya tiga shaf.
F. Adab Tata Tertib Pelaksanaan Shalat Jenazah.
1) Niat Sholat Jenazah :
Niat untuk jenazah laki-laki :
"Ushalli 'alaa haadzal mayyiti arba'a takbiiraatin fardhal kifaayati
makmuuman/imaaman lillaahi ta'aalaa"
Artinya : Saya niat shalat atas mayyit (laki-laki) ini empat takbir
fardhu kifayah karena Allah SWT.
Niat untuk jenazah perempuan :
"Ushalli 'alaa haadzihil maytati arba'a takbiiraatin fardhal kifaayati
makmuuman/imaaman lillaahi ta'aalaa"
Artinya : Saya niat shalat atas mayyit (perempuan) ini empat takbir
fardhu kifayah karena Allah SWT.
2) Takbiratul Ihram, dengan niat ikhlas karena Allah SWT menshalatkan
jenazah, kemudian Setelah takbir dilanjutkan dengan membaca
ta'awudz lalu dilanjutkan dengan membaca al fatihah, tanpa disertai
dengan doa iftitah ataupun surat pendek seperti sholat pada umumnya.
ini berdasarkan pendapat banyak ulama bahwa dalam sholat jenazah
tidak diwajibkan membaca doa iftitah.

22

3) Takbir yang kedua, dan Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad
s.a.w

Artinya:
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya,
sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan
keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.
Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak
dan istri atau umatnya), sebagaimana Engkau telah memberi berkah
kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
dan Maha Agung.
4) Takbir ketiga, dengan membaca doa:

Artinya: Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkanlah dia,
ampunilah kesalahannya, muliakanlah kematiannya, lapangkanlah
kuburannya, cucilah kesalahannya dengan air, es dan embun
sebagaimana mencuci pakaian putih dari kotoran, gantilah rumahnya
dengan rumah yang lebih baik, gantilah keluarganya dengan keluarga
yang lebih baik, gantilah istrinya dengan isri yang lebih baik,
hindarkanlah dari fitnah kubur dan siksa neraka.
5) Takbir keempat, dengan membaca doa:

Artinya:
Ya Allah, janganlah Engkau haramkan Kami dari pahalanya, dan
janganlah Engkau beri fitnah pada kami setelah kematiannya.

23

6) Kemudian mengucap salam.
2.3.

Shalat Jama’ Qashar

Konsep Sholat Jama’ Qashar
I.

Pengertian Sholat Jama’
Shalat yang digabungkan, yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu yang
dilaksanakan dalam satu waktu. Misalnya, shalat Dzuhur dan Ashar
dikerjakan pada waktu Dzuhur atau pada waktu Ashar. Shalat Maghrib dan
Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib atau pada waktu Isya’.
Sedangkan Subuh tetap pada waktunya dan tidak boleh digabungkan dengan
shalat lain. Shalat Jama' ini boleh dilaksankan karena beberapa alasan
(halangan) berikut ini :
a.

Dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat

b.

Apabila turun hujan lebat

c.

Karena sakit dan takut

d.

Jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni kurang lebihnya 81 km (begitulah

yang disepakati oleh sebagian Imam Madzhab sebagaimana disebutkan dalam
kitab AL-Fikih, Ala al Madzhabhib al Arba’ah, sebagaimana pendapat para
ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali).
Tetapi sebagian ulama lagi berpendapat bahwa jarak perjalanan (musafir)
itu sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau dua marhalah, yaitu 16
(enam belas) Farsah, sama dengan 138 (seratus tiga puluh delapan) km.
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya, baik
musafir atau bukan dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi
dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya
disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang
tidak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur.
Apabila seseorang membutuhkannya (adanya suatu keperluan) maka
dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh

24

maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau
sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebabsebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan yang
dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya
adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat
tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll),
dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul
Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah : ”Sebagian Imam (ulama)
berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila
diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim,
imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar dan
antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam
riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu
Abbas beliau menjawab : ”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’
1070).
A. Shalat Jama' Dapat Dilaksanakan dengan 2 (dua) Cara :
1. Jama' Taqdim (Jama' yang didahulukan) yaitu menjama' 2 (dua) shalat
dan melaksanakannya pada waktu shalat yang pertama. Misalnya shalat
Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Dzuhur atau shalat Maghrib
dan Isya’ dilaksanakan pada waktu Maghrib.
Syarat Sah Jama' Taqdim :
a. Berniat menjama' shalat kedua pada shalat pertama
b. Mendahulukan shalat pertama, baru disusul shalat kedua
c. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain,
kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting

25

d. Niat jama' yang dibarengkan dengan Takbiratul Ihram shalat yang
pertama, misalnya Dhuhur.
2. Jama' Ta’khir (Jamak yang diakhirkan), yaitu menjamak 2 (dua) shalat
dan melaksanakannya pada waktu shalat yang kedua. Misalnya, shalat
Dzuhur dan Ashar dilaksanakan pada waktu Ashar atau shalat Maghrib
dan shalat Isya’ dilaksanakan pada waktu shalat Isya’.
Syarat Sah Jama' Ta’khir :
a. Niat (melafazhkan pada shalat pertama) yaitu : ”Aku ta’khirkan shalat
Dzuhurku diwaktu Ashar.”
b. Berurutan, artinya tidak diselingi dengan perbuatan atau perkataan lain,
kecuali duduk, iqomat atau sesuatu keperluan yang sangat penting.
Catatan :
Dalam Jama' ta’khir tidak disyaratkan mendahulukan shalat pertama atau
shalat kedua. Misalnya shalat Dzuhur dan Ashar boleh mendahulukan
Ashar baru Dzuhur atau sebaliknya. Muadz bin Jabal menerangkan
bahwasanya Nabi SAW dipeperangan Tabuk, apabila telah tergelincir
matahari sebelum beliau berangkat, beliau kumpulkan antara Dzuhur dan
Ashar dan apabila beliau ta’khirkan shalat Ashar. Dalam shalat Maghrib
begitu juga, jika terbenam matahari sebelum berangkat, Nabi SAW
mengumpulkan Maghrib dengan Isya’ jika beliau berangkat sebelum
terbenam matahari beliau ta’khirkan Maghrib sehingga beliau singgah
(berhenti) untuk Isya’ kemudian beliau menjama'kan antara keduanya.
B. Hukum menjama’ sholat jumat dengan ashar
Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar
dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada
keperluan lain. Walaupun dia adalah orang yang diperbolehkan menjama’
antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at
dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan

26

antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena
sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan
dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan
dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu
dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Barangsiapa
membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari
padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang
tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.”
(HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada
waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk
menjama’ dengan shalat lain.(Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369378).
C. Hukum musafir sholat dibelakang mukim
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir,
apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia
mengikuti shalat imam tersebut yaitu 4 raka’at, namun apabila ia shalat
bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini
didasarkan atas riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma.
Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama
Ibnu Abbas, lalu aku bertanya :”Kami melakukan shalat 4 raka’at apabila
bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami
(bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu Abbas
Radhiallahu Anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim
(Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dengan
sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL
ALbani 317).

27

D. Hukum musafir menjadi imam mukim
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia
meng-qashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan
shalat mereka sampai selesai (4 raka’at), namun agar tidak terjadi
kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya
bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim)
meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah
dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi
imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata :
“Sempurnakanlah shalatmu (4 raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena
kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat
raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan
Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan
makmumnya dan dia shalat 4 raka’at (tidak meng-qashar) maka tidaklah
mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib.
(lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam
2/294-295).
E. Hukum sholat jum’at bagi musafir
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi
musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal disuatu daerah yang diadakan
shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama
mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq,
Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar
Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh
Utsaimin 15/370).

28

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar
(bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau
SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat
Dhuhur yang dijama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama
Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73).
Demikian pula para Khulafaur Rasyidin (4 khalifah) Radhiallahu Anhum
dan para sahabat lainnya serta orang-orang yang setelah mereka, apabila safar
tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu
Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata : “Aku
tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas Radhiallahu Anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua
tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir Rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’
(kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shahih dalam hal ini sehingga
tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
II.

Pengertian Sholat Qashar
Shalat yang diringkas, yaitu shalat fardhu yang 4 (empat) rakat (Dzuhur,

Ashar dan Isya’) dijadikan 2 (dua) rakaat, masing-masing dilaksanakan tetap
pada waktunya. Sebagaimana menjamak shalat, meng-qashar shalat hukumnya
sunnah. Dan ini merupakan rushah (keringanan) dari Allah SWT bagi orangorang yang memenuhi persyaratan tertentu.
Syarat Meng-qashar :
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 88,5 km
3. Shalat yang di-qashar adalah ada' (bukan qadla') yang empat rakaat.
4. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).
Perhatikan Hadist Nabi SAW :

29

”Rasulullah SAW tidak bepergian, melainkan mengerjakan shalat dua
raka’at saja sehingga beliau kembali dari perjalanannya dan bahwasanya beliau
telah bermukim di Mekkah di masa Fathul Mekkah selama delapan belas
malam, beliau mengerjakan shalat dengan para Jama’ah dua raka’at kecuali
shalat Maghrib. Kemudian bersabda Rasulullah SAW : ”Wahai penduduk
Mekkah, bershalatlah kamu sekalian dua raka’at lagi, kami adalah orang-orang
yang dalam perjalanan.” (HR. Abu Daud).
Cara Melaksanakan Shalat Qashar :
1. Niat shalat qashar ketika takbiratul ihram.
2. Mengerjakan shalat yang empat rakaat dilaksanakan dua rakaat kemudian
salam.
Firman Allah SWT :
”Bila kamu mengadakan perjalanan dimuka bumi, tidaklah kamu berdosa jika
kamu memendekkan shalat...” (QS. An-Nisa: 101).
Nabi SAW bersabda :
”Dari Ibnu Abbas R.A. ia berkata : ”Shalat itu difardhu-kan atau diwajibkan
atas lidah Nabimu didalam hadlar (mukim) empat rakaat, didalam safar
(perjalanan) dua rakaat dan didalam khauf (keadaan takut/perang) satu rakaat.”
(HR. Muslim).
Jarak diperbolehkan meng-qashar sholat
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir baik safar dekat atau safar
jauh, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi
seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa
disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan
batasan dengan safar yang lebih dari 80 km agar tidak terjadi kebingungan dan
tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat
Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua

30

Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar
160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak
atau batasan diperbolehkannya meng-qashar shalat maka tidak mengapa kita
mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar
80 atau 90 Km, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan
Ulama yang layak ber-ijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang

musafir

diperbolehkan

meng-qashar

shalatnya

apabila

telah

meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.
(Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir : “Aku tidak mengetahui (satu dalil-pun) bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam meng-qashar dalam safarnya
melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas Radhiallahu ‘Anhu : “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam di kota Madinah 4 raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota
Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
III.

Syarat dan ketentuan sholat jama’ qashar
Salah satu rukhsah/keringanan yang Allah berikan kepada umat muslim

adalah adanya kebolehan mengqashar (meringkas) shalat yang terdiri dari
empat rakaat menjadi dua rakaat serta menjamak shalat dalam dua waktu
dikerjkan dalam satu waktu.
Beberapa Ketentuan Sholat Qashar :
1.

Kebolehan qashar shalat hanya berlaku bagi musafir/orang dalam
perjalanan yang jarak perjalanan yang ditempuh dipastikan mencapai 2
marhalah; 16 parsakh atau 48 mil.
Dalam menentukan berapa kadar 2 marhalah terjadi perbedaan pendapat
yang tajam dikalangan para ulama. Sebagian kalangan berkesimpulan
bahwa 2 marhalah adalah 138,24 km (ini berdasarkan analisa atas
pendapat bahwa 1 mil 6.000 zira` dan satu zira` 48 cm).

31

Pendapat lain berkesimpulan bahwa 2 marhalah adalah 86,4 km, pendapat
ini berdasarkan kepada pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar
bahwa kadar 1 mil adalah 3.500 zira`. 1 Zira` 48 cm. Selain itu ada juga
beberapa pandangan yang lain.
Shafar/perjalanan yang dibolehkan qashar shalat adalah :
 Safar/perjalanan yang hukumnya mubah, sedangkan safar dengan
tujuan untuk berbuat maksiat (ma`shiah bis safr) misalnya perjalanan
dengan tujuan merampok, berjudi dll) tidak dibolehkan untuk
mengqashar shalat. Baru dikatakan safar maksiat (ma`shiah bis safr)
bila tujuan dari perjalanannya memang untuk berbuat maksiat,
sedangkan bila tujuan dasar perjalanannya adalah hal yang mubah
namun dalam perjalanan ia melakukan maksiat (ma`shiat fis safr)
maka safar yang demikian tidak dinamakan safar maksiat sehingga
tetap berlaku baginya rukhsah qashar shalat dan rukhsah yag lain
selama dalam perjalanan tersebut.
 Perjalanannya tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas, sehingga
seorang yang berjalan tanpa arah tujuan yang jelas tidak dibolehkan
qashar shalat.
 Perjalanan tersebut memiliki maksud yang saheh dalam agama
seperti berniaga dll.
2.

Telah melewati batasan daerahnya. Sedangkan apabila ia belum keluar
dari kampungnya sendiri maka tidak dibolehkan baginya untuk jamak.

3.

Mengetahui boleh qashar
Seseorang yang melaksanakan q