Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi

48
S UVol.
R V36,ENo.
I 3, 2017
Prisma Prisma

Populisme Islam dan Tantangan
Demokrasi di Indonesia
Abdil Mughis Mudhoffir
Diatyka Widya Permata Yasih
Luqman-nul Hakim

Tulisan ini mendiskusikan kondisi yang memungkinkan berkembangnya populisme kanan (Islam)
di Indonesia serta implikasinya terhadap masa depan demokrasi. Sebagai fenomena umum
dalam era pasar bebas, populisme kanan yang eksklusioner dan rasialis di Indonesia, seperti juga
di berbagai tempat merupakan simtom dan tanggapan terhadap dislokasi neoliberalisme dan
krisis representasi dalam konteks absennya gerakan politik yang progresif. Tidak terbangunnya
basis sosial multi kelas serta borjuasi Muslim yang kuat produk depolitisasi yang panjang serta
dominasi ekonomi oleh borjuasi domestik Cina, menghasilkan aliansi populisme Islam di
Indonesia yang terfragmentasi.
Kata Kunci: globalisasi, mobilisasi identitas, neoliberal, populisme, tantangan demokrasi


D

emokratisasi pasca-Orde Baru berjalan
beriringan dengan menguatnya politik
identitas dalam perebutan dan pertarungan kekuasaan. Belum lama berlalu, mobilisasi kekuatan Muslim konservatif dan retorika
politik yang rasialis dalam Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Jakarta 2017 telah membuka
jalan bagi kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (Anies-Sandi) mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan
Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot). Banyak pengamat dan media mencap kekalahan pasangan
petahana itu sebagai indikasi menguatnya populisme kanan di Indonesia, sebagaimana saat ini
1
juga menjadi fenomena di berbagai tempat.
Tulisan ini berupaya memahami kondisi yang
memungkinkan berkembangnya populisme ka-

1

Lihat, http://nasional.kompas.com/read/2017/
01/16/07444731/populisme.kesenjangan.dan.

ancaman. terhadap.demokrasi (diakses tanggal
24 Juli 2017).

nan dalam era kontemporer. Secara lebih spesifik, akan diperiksa karakter populisme kanan
dan illiberal di Indonesia serta implikasinya bagi
masa depan demokrasi di Indonesia.
Tulisan ini melihat populisme kanan sebagai simtom dan tanggapan terhadap dislokasi
sosial yang diakibatkan oleh globalisasi neoliberal dan krisis demokrasi representasi dalam
konteks absennya gerakan politik progresif.
Fokus utamanya adalah pada konstruksi subjek
politik berupa koalisi multi kelas atas nama
“rakyat” melawan sekelompok “elite” yang
dianggap korup dan menindas. Tentu saja,
konstruksi tersebut dan manifestasi populisme
yang muncul tidak bisa dilepaskan dari transformasi sosial yang spesifik, yang membedakan
karakter dan trajektori politik populisme dari
2
satu tempat dengan tempat lainnya. Argu2

Lihat, sejumlah kajian yang menekankan aspek

dislokasi neoliberalisme, krisis representasi, dan
absennya gerakan kiri dalam menjelaskan popuA R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

mentasi ini mengkritik pendekatan ideasional
dan deskriptif yang lebih menekankan aspek
ide dan retorika para pemimpin populis dalam
mobilisasi politik atas nama “rakyat” melawan
3
“elite”, pendekatan mobilisasi yang menekan4
kan aspek pengorganisasian, dan yang melihat
populisme sebagai “gaya politik”.5 Di samping
itu, tulisan ini juga mengkritik penjelasan yang
6
menekankan pertentangan kultural dan analisis
yang berorientasi keamanan dalam memahami
menguatnya populisme kanan, yang sebenarnya justru memberi landasan bagi reproduksi
narasi populis kanan yang eksklusioner.
Di Indonesia, penjelasan-penjelasan problematik semacam itu mendominasi diskusi publik

serta menjadi basis kebijakan negara yang
didasarkan atas ketakutan berlebih terhadap

3

4

5

6

lisme kanan dalam tulisan Chantal Mouffe, The
Democratic Paradox (London: Verso, 2000);
Chantal Mouffe, On the Political (New York:
Routledge, 2005); Vedi R Hadiz, Islamic Populism
in Indonesia and the Middle East (Cambridge:
Cambridge University Press, 2016); Alejandro
Colas, “The Reinvention of Populism: Islamicist
Responses to Capitalist Development in the
Contemporary Maghreb”, dalam Historical

Materialism, Vol. 12, No. 4, 2004, hal. 231-260.
Lihat, Margaret Canovan, Populism (London:
Junction Books, 1981); Michael L Coniff (ed.),
Populism in Latin America (Tuscaloosa: The
University of Alabama Press, 1999).
Nicos Mouzelis, “On the Concept of Populism:
Populist and Clientelist Modes of Incorporation
in Semi-peripheral Polities”, dalam Politics &
Society, Vol. 14, No. 3, September 1985, hal. 329348; Robert S Jansen, “Populist Mobilization: A
New Theoretical Approach to Populism”, dalam
Sociological Theory, Vol. 29 No. 2, Juni 2011, hal.
75-96.
Lihat, Benjamin Moffit, The Global Rise of Populism: Performance, Political Style and Representation (Stanford: Stanford University Press,
2017).
Lihat, Ronald F Inglehart dan Pippa Norris,
“Trump, Brexit, and the Rise of Populism: Economic Have-Nots and Cultural Backlash”, dalam
Faculty Research Working Paper Series (Harvard
Kennedy School, Agustus 2016).

A R T I K E L


49

menguatnya populisme Islam.7 Faktanya, sebagaimana akan dijelaskan, alih-alih menguat,
fragmentasi justru menjadi ciri populisme Islam
yang menonjol di Indonesia yang mendorong
lahirnya instrumentalisasi sentimen keagamaan
yang eksklusioner dan rasialis dalam kompetisi
elektoral. Walaupun mobilisasi populisme Islam
konservatif berhasil mengantarkan Anies-Sandi
menjadi pemenang Pilkada Jakarta, misalnya,
trajektori politik Islam bisa diramalkan tidak
akan memiliki prospek. Mereka hanya bermakna dalam kompetisi elektoral, namun tidak
menjadi subjek politik penting dalam formulasi
8
dan pengambilan kebijakan publik.

Neoliberalisme dan Basis Sosial
Populisme Baru
Sebagai fenomena sosial, populisme yang

dipahami sebagai kecenderungan politik yang
menempatkan rakyat banyak berhadapan dengan elite yang menindas memiliki sejarah
panjang. Jika populisme lama bertopang pada
kelas pekerja atau petani, basis sosial populisme baru dalam konteks neoliberalisme
merupakan aliansi multi kelas yang diartikulasikan melalui suatu identitas sebagai basis jalinan
solidaritas. Tidak seperti populisme lama, terasosiasi dengan figur seperti Peron di Argentina dan Vargas di Brasil, yang basis sosial
utamanya adalah kelas pekerja,9 basis sosial
koalisi politik populisme baru sangat kompleks
dan secara internal juga kontradiktif. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kelas tidak
lagi memadai sebagai agen perubahan yang
eksklusif dalam era populisme baru. Keadaan
7

8

Lihat, https://news.detik.com/berita/d-3557028
/pemerintah-resmi-terbitkan-perppu-22017-soalormas (diakses tanggal 24 Juli 2017).
Ketua Tim Pemenangan Anies-Sandi menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kontrak politik
dengan kelompok Islamis, termasuk dengan

Front Pembela Islam (FPI); lihat https://en.
tempo.co/read/news/2017/04/21/057868381/
Anies-Baswedan-Denies-Plans-to-Issue-ShariaBylaws (diakses tanggal 24 Juli 2017).

50

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

itu berlaku, baik untuk populisme sayap kiri
seperti Podemos di Spanyol dan Syriza di
10
Yunani maupun untuk politik yang lebih konservatif kanan seperti yang merebak bela11
kangan di Eropa Barat, Amerika, serta Asia.
Kondisi kelas pekerja yang terfragmentasi
membuatnya tidak lagi memadai untuk menjadi agen utama populisme. Di negara-negara
Eropa Barat, fragmentasi kelas pekerja merupakan produk dari rezim tenaga kerja fleksibel
yang menjadi salah satu penanda neoliberalisme. Di negara-negara pasca-kolonial, seperti
Indonesia, fragmentasi kelas pekerja juga
merupakan akibat dari represi negara kapitalis
12

otoriter. Ekspansi neoliberalisme sejak tahun
1980-an yang mempromosikan kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel, melemahkan
negara kesejahteraan, serta mengurangi akses
kepada berbagai macam layanan sosial13 telah
memperburuk kondisi kelas pekerja di berba-

9

Lihat, Michael L Coniff (ed.), Populism in Latin
America (Tuscaloosa: The University of Alabama
Press, 2012); Kurt Weyland, “Neoliberal Populism
in Latin America and Eastern Europe”, dalam
Comparative Politics 31, No. 4, 1999, hal. 379-401;
Paul Cammack, “The Resurgence of Populism in
Latin America”, dalam Bulletin of Latin American
Research, Vol. 19, No. 2, hal. 149-161.
10
Lihat, https://www.thenation.com/article/
america-in-populist-times-an-interview-withchantal-mouffe/ (diakses 28 April 2017)
11

Lihat, Chantal Mouffe, “In Defence of Left Wing
Populism”, dalam The Conversation, 30 April 2016,
http://theconversation.com/in-defence-of-leftwing-populism-55869 (diakses 17 Juli 2017);
https://www.nytimes.com/2017/07/12/world/
asia/india-yogi-adityanath-bjp-modi.html
(diakses 24 Juli 2017).
12
Indrawati Tjandraningsih, “State-Sponsored
Precarious Work in Indonesia”, dalam American
Behavioral Scientist, Vol. 57, No. 4, 2013, hal. 403419; Chris Manning, “The Political Economy of
Reform: Labour after Soeharto”, dalam Edward
Aspinall dan Greg Fealy (eds.), Soeharto’s New
Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold
Crouch, Indonesian Studies Working Paper
(Sydney: The University of Sydney, 2008), hal.
151-172.

gai tempat. Itu menunjukkan bahwa neoliberalisme tidak semata-mata melahirkan dan
memperparah ketimpangan sosial-ekonomi,
tetapi juga semakin nyata mempertontonkan

kontradiksi modernitas yang berkelindan dengan perkembangan kapitalisme, khususnya
yang berkaitan dengan kualitas kehidupan
sosial. Dengan kata lain, modernisasi telah
menghasilkan semakin banyak jumlah kelas
menengah terdidik, baik di negara maju maupun negara berkembang. Namun demikian, hal
tersebut tidak lantas membuat mereka mampu
melakukan mobilitas sosial ke atas atau setidaknya mempertahankan status sosial sebagai
kelas menengah.
Bukti paling nyata dapat diamati dari meningkatnya jumlah pekerja prekariat—mereka
yang mengalami ketidakpastian, ketidakamanan, dan ketidakstabilan kerja—produk dari
kebijakan neoliberal. Pekerja prekariat merujuk
mereka yang memiliki penghasilan rendah dan
dihadapkan pada berbagai bentuk keterbatasan,
baik dalam soal akses atas jaminan sosial dan
jenjang karier maupun sarana dalam menyampaikan aspirasi politik. Berbagai situasi kerja
14
yang semakin memburuk, menurut Standing,
membuat pekerja prekariat rentan mengalami
kemarahan, kegelisahan, anomie, dan alienasi:
kondisi yang memungkinkan mereka bersatu
dan menentang berbagai kebijakan yang memperburuk situasi mereka, atau untuk digalang
oleh politikus populis. Pemprekariatan (precariatization) juga bisa dilihat sebagai sebuah
proses yang membuat semakin banyak orang
berada dalam kondisi serba tidak pasti, tidak
aman, dan tidak stabil. Itu juga berlaku bagi
orang-orang yang tingkat pendidikan dan konsumsinya relatif tinggi sebagai kelas mene13

Kevin Hewison dan Arne L Kalleberg (eds.),
“Precarious Work and Flexibilization in South
and Southeast Asia”, The American Behavioral
Scientist, edisi khusus, Vol. 57, No. 4, 2013, hal.
395-402; Guy Standing, The Precariat: The New
Dangerous Class (London: Bloomsbury Academic,
2011).
14
Standing, The Precariat ….
A R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

ngah, tetapi sebenarnya juga menghadapi
berbagai situasi kerentanan yang sama. Pola
konsumsi yang tinggi, meski kurang ditopang
kemampuan ekonomi yang stabil, tidak lain
adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan status sebagai kelas menengah.
Di Indonesia, pekerja prekariat dapat ditemui di sektor informal maupun formal. Ketidakpastian, ketidakamanan, dan ketidakstabilan
kerja umumnya merupakan bagian dari kondisi
keseharian pekerja sektor informal di Indonesia
yang, menurut data tahun 2013, proporsinya
cukup besar mencapai 53,6 persen.15 Kondisi
serupa juga dialami banyak negara di Asia yang,
antara lain, disebabkan oleh kegagalan sektor
formal dalam menciptakan lapangan pekerjaan
16
yang lebih stabil. Kondisi serupa di sektor
formal juga meningkat sebagai dampak implementasi kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel melalui sistem outsourcing maupun kon17
trak jangka pendek. Persentase pekerja di
sektor formal yang mengalami “informalisasi”
juga meningkat dari 6,7 persen pada 2009
18
menjadi 11 persen pada 2011.
Dalam menghadapi kondisi yang serba
tidak aman, tidak pasti, dan tidak stabil itu, para
pekerja prekariat dituntut menempuh berbagai
macam strategi untuk bertahan hidup. Salah
satu di antaranya adalah menjalin relasi dengan
kelompok-kelompok yang menyediakan berbagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan
untuk memperoleh akses atas pekerjaan, tambahan penghasilan, maupun berbagai macam

15

Lihat, International Labor Organization (ILO)
Employment and Social Trends in Indonesia 2013:
Reinforcing the Role of Decent Work in Equitable
Growth (Jakarta: ILO, 2013).
16
Lihat, Hewison dan Kalleberg, “Precarious Work
and Flexibilization …”.
17
Lihat, Tjandraningsih, “State-Sponsored Precarious Work …”.
18
Lihat, Makiko Matsumoto dan Sher Veric,
Employment Trends in Indonesia over 1996-2009:
Casualization of the Labour Market During an
Era of Crises, Reforms and Recovery (Geneva: ILO
Employment Woking Paper No. 99, 2011).
A R T I K E L

51

bantuan sosial yang dibutuhkan saat mengalami
kesusahan. Di Indonesia, berbagai sumber daya
itu disediakan antara lain oleh kelompok-kelompok kekerasan yang menggunakan simbol
keagamaan dan kesukuan dalam menggalang
anggotanya untuk menekuni bisnis keamanan
maupun untuk pertarungan kekuasaan dalam
19
pemilu. Bagi kelas menengah, masuk ke
dalam kelompok-kelompok pengajian terutama
di perkotaan serta mengonsumsi berbagai komoditas “Islami” menjadi jawaban, setidaknya
dalam mempertahankan status mereka sebagai
kelas menengah. Bahkan, beberapa di antara
mereka menjadikan partai politik Islam sebagai
jawaban untuk menyalurkan aspirasi politik.
Basis-basis pengorganisasian semacam itu
adalah sumber mobilisasi politik populisme baru
yang dapat dibangun oleh para demagog menggunakan narasi dan sentimen keagamaan dalam
kompetisi elektoral. Pertanyaannya, mengapa
sumber mobilisasi utama yang tersedia pada era
demokrasi di Indonesia terletak pada Islam yang
cenderung bersifat eksklusioner dan illiberal?
Bagian berikutnya akan membahas pertanyaan
itu, terutama berhubungan dengan absennya
agenda politik yang progresif.

Absennya Gerakan Politik
Progresif
Sebagaimana telah disinggung, kondisi
kelas pekerja yang kian terfragmentasi produk
dari rezim tenaga kerja fleksibel yang berkelindan dengan kecenderungan politik sayap kiri
yang semakin tidak terkonsolidasi sebagai
produk Perang Dingin telah menghasilkan
proyek politik yang berbasis pada kelas pekerja
tampak melemah, sementara politik identitas
yang menjadi elemen penting populisme baru
cenderung mengarah ke kanan dengan watak
xenofobik dan rasialis.
19

Diatyka Widya Permata Yasih, “Jakarta’s
Precarious Workers: Are they a ‘New Dangerous
Class’?”, dalam Journal of Contemporary Asia,
Vol. 47, No.1, 2017, hal. 27-45.

52

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

Di negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia, tidak terkonsolidasinya proyek politik
kiri sebagai gerakan progresif pada era neoliberalisme terutama disebabkan oleh, menurut
Mouffe, kondisi pasca-politik, yakni ketika
artikulasi politik kiri membangun konsensus
dengan bergerak ke tengah (consensus of the
centre) yang secara langsung justru melang20
gengkan hegemoni neoliberal. Kecenderungan itu muncul sebagai tanggapan atas
kebangkrutan negara kesejahteraan akibat
membengkaknya demografi kelas menengah
non-produktif di satu sisi,21 serta menguatnya
individualisasi dan berkurangnya peran negara
dalam memberikan jaminan sosial kepada warga sebagai produk neoliberalisme di sisi lain.
Mayoritas segmen sosial tersebut membuat
partai-partai konvensional pada akhirnya cenderung lebih memperhatikan kepentingan
kelas menengah non-produktif melalui agendaagenda modernisasi neoliberal untuk memobilisasi dukungan politik dalam kompetisi elektoral ketimbang mengutamakan kepentingan
22
kelas pekerja.
Keadaan itu, menurut Mouffe, membuat
partai-partai kiri di Eropa, semakin meninggalkan agenda reorganisasi tatanan kapitalisme
neoliberal untuk tujuan kesetaraan sosialekonomi. Sebaliknya, dengan menempuh jalan
yang disebut Giddens sebagai politik “jalan
ketiga”, partai-partai kiri tidak menjadikan
neoliberalisme sebagai antagonisme, tetapi
justru turut mendukung agenda-agendanya.
Pada saat berkuasa, kesempatan yang ada tidak
digunakan untuk menjalankan agenda politik
yang lebih progresif dengan mengutamakan
kepentingan kelas pekerja atau mendorong

redistribusi ekonomi yang lebih baik. Akibatnya, partai-partai sosialis semakin kehilangan
basis sosial utamanya yang berasal dari kelas
pekerja, sementara partai-partai liberal juga
tidak menawarkan alternatif yang mampu
mengartikulasikan kepentingan kelompok tersebut. Keadaan demikian membuka jalan bagi
muncul dan menguatnya populisme kanan yang
menunjukkan diri mampu menyediakan alternatif bagi kelompok-kelompok marginal dalam
menyuarakan kekecewaan dengan bingkai identitas bersifat eksklusioner, yang umumnya
mengambinghitamkan subjek tertentu sebagai
23
penyebab berbagai kesengsaraan. Namun
demikian, konstruksi identitas yang eksklusioner itu tidak akan memiliki resonansi jika
tidak ada kondisi gelombang imigran—akibat
peperangan dan gejolak politik di Timur Tengah
—yang menjadi beban demografis karena tidak
dapat dipungut pajak, sementara negara harus
menjamin kehidupan mereka, dan pada akhirnya mengurangi layanan untuk kelas pekerja.
Di Indonesia, sebagaimana juga di negaranegara pasca-kolonial lainnya, tidak terkonsolidasinya tradisi politik kiri berakar dari sejarah
yang lebih panjang. Jika di Eropa kondisi tersebut lahir sebagai konsekuensi dari hegemoni
neoliberalisme dan kebangkrutan negara kesejahteraan, di negara pasca-kolonial partai-partai
komunis umumnya telah direpresi secara keji
oleh rezim otoriter pada era Perang Dingin.
Pembantaian massal terhadap ratusan ribu
korban yang diduga simpatisan partai komunis
di Indonesia pada tahun 1965-1966 adalah momentum yang menandai berakhirnya tradisi
politik kiri sekaligus memberi jalan bagi konsolidasi kapitalisme negara era Orde Baru.24 Pe-

20

23

Lihat, Mouffe, On the Political.
Kondisi ini merupakan hasil dari meningkatnya
kualitas kesehatan yang membuat penduduk
usia tua juga banyak.
22
Lihat, penjelasan Mouffe dalam wawancaranya
dalam http://transformations-blog.com/wepropose-democracy-interview-with-chantal-mouffe/
(diakses 28 April 2017).
21

Lihat, wawancara Mouffe dalam http://transformations-blog.com/we-propose-democracy-interview-with-chantal-mouffe/ (diakses 28 April
2017).
24
Vedi R Hadiz, “The Left and Indonesia’s 1960s:
The Politics of Remembering and Forgetting”,
dalam Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 7, No. 4,
2006, hal. 554-569.
A R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

ristiwa pembantaian yang berlangsung secara
terorganisasi itu tidak hanya dilakukan oleh
kalangan militer saja, melainkan juga melibatkan kelompok-kelompok kekerasan sipil
yang menggunakan identitas Islam serta nasionalis-sekuler. Mobilisasi itu dimungkinkan
dengan membangun propaganda yang menempatkan komunisme sebagai ancaman bagi
ideologi negara, Pancasila, serta bagi keberadaan agama yang telah diakui negara. Wacana
anti-komunisme seperti itu juga turut melegitimasi dan mereproduksi penggunaan elemen
kekerasan sipil dalam proses konsolidasi kekua25
saan hingga kini.
Kemampuan Soeharto mempertahankan
kekuasaan selama lebih dari tiga dasawarsa
juga dimungkinkan oleh kebijakan negara yang
berhasil mengeliminasi berbagai kemungkinan
lahirnya antagonisme politik atas nama keamanan dan ketertiban umum, terutama dari
26
kelompok Islam. Tidak hanya melalui represi,
Soeharto juga menerapkan kebijakan yang
mengkorporatkan berbagai organisasi sosial,
termasuk dari kalangan Islam, organisasi buruh,
petani, serta asosiasi-asosiasi lainnya untuk
27
menjadi pendukung rezim. Sejak saat itu,
agenda politik progresif yang mengartikulasikan
tuntutan redistribusi ekonomi di Indonesia
menjadi kosong dan tidak tersedia, selain bertumpu kelompok-kelompok demokrat liberal
yang berbasis pada organisasi masyarakat sipil
dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat
(LSM) atau pada kelompok-kelompok Islam
yang juga telah tercerai-berai.
Pada era demokrasi, narasi anti-komunisme tetap direproduksi. Berbagai kemung-

kinan lahirnya gerakan yang menantang status
quo, misalnya, kerap diberi label gerakan yang
28
ditunggangi oleh komunisme. Kegiatan-kegiatan publik yang mendiseminasikan gagasangagasan kiri juga mendapat berbagai bentuk
intimidasi dan kekerasan. Bahkan, ketika prakarsa membuka sejarah kelam pembantaian
29
komunisme berasal dari pemerintah, tentangan sangat keras muncul dari kalangan
militer serta masyarakat luas, terutama dari
kelompok-kelompok kekerasan sipil, baik yang
nasionalis-sekuler maupun yang Islamis. Intinya, fobia komunisme tetap dipelihara sebagai gagasan yang tidak boleh dihadirkan di
ruang publik demokratis sekalipun. Hal itu
karena relasi oligarkis yang telah berhasil
mereorganisasi diri dalam sistem demokrasi
dibangun di atas landasan sejarah pembantaian komunisme dan penyingkiran berbagai
bentuk proyek politik progresif pada era Perang Dingin. Akibatnya tetap serupa. Alternatif pengorganisasian hanya tersedia, antara
lain, pada kelompok-kelompok sosial keagamaan yang juga sangat terfragmentasi serta
tidak memiliki agenda politik progresif dan
cenderung eksklusioner, di samping kelompok-kelompok kekerasan sipil yang sebagian
besar di antara mereka juga mengasosiasikan
diri sebagai organisasi Islam. Organisasi buruh, karena telah mengalami periode represi
dan korporatisasi sepanjang era Orde Baru,
juga sangat terfragmentasi dan senantiasa
menghadapi stigma sebagai bagian dari gerakan komunis.30

28

25

Abdil Mughis Mudhoffir, “In Indonesia, Free
Speech Ends where Talk of 1965 Begins”, dalam
Media Asia, Vol. 43, No. 1, 2016, hal. 7-9.
26
Lihat, Vedi R Hadiz dan David Bourchier (eds.),
Indonesian Politics and Society: A Reader
(London: RoutledgeCurzon, 2003).
27
Lihat, Ali Moertopo, Dasar Pemikiran tentang
Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun
(Jakarta: CSIS, 1973).
A R T I K E L

53

Lihat, http://nasional.kompas.com/read/2016/
04/06/16020391/Ini.Penjelasan.Polri.soal.Pembubaran. Paksa.Sejumlah.Kegiatan (diakses 26
Juli 2017).
29
Lihat, http://nasional.kompas.com/read/2016/
06/04/22265281/simposium.1965.dan.antipki.jalan.berliku.menuju.rekonsiliasi (diakses 24
Juli 2017).
30
Lihat, Vedi R Hadiz, Workers and the State in New
Order Indonesia (London dan New York:
Routledge, 1997).

54

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

Krisis Representasi dan
Tekanan Elektoralisme:
Mobilisasi Politik Identitas
sebagai Jalan Pintas
Munculnya politik populisme kanan juga
dimungkinkan karena adanya dislokasi demokrasi representatif yang membuat pilihan-pilihan politik yang disediakan melalui mekanisme elektoral sangat terbatas, atau bahkan
tidak ada. Di negara-negara Eropa Barat, kondisi itu juga merupakan produk dari situasi
pasca-politik sebagaimana disinggung di atas.
Dalam konteks Indonesia, krisis politik berbasis
representasi kontemporer setidaknya berakar
dari “depolitisasi”, termasuk kebijakan “massa
mengambang”, dalam wacana developmentalisme Orde Baru yang dilakukan bersamaan
dengan penyingkiran proyek politik progresif
dari tradisi kiri pada era Perang Dingin. Praktik
depolitisasi tersebut tidak hanya menghasilkan
masyarakat yang apolitis serta gerakan sipil
yang tercerai-berai, tetapi juga lembaga-lembaga representatif seperti partai politik kehilangan kemampuan dalam mengorganisasikan
basis politik masing-masing. Di sisi lain, dominasi bisnis kelas kapitalis domestik Cina yang
memiliki keterbatasan masuk ke dalam arena
politik akibat narasi anti-Cina yang terus-menerus direproduksi, membuat partai-partai politik
yang tidak memiliki kelas kapitalis yang kuat
bergantung pada pengusaha-pengusaha Cina
itu membentuk aliansi predatoris dalam kompetisi elektoral. Keadaan tersebut menandai terjadinya krisis representasi di Indonesia yang
terus-menerus direproduksi hingga kini.
Sejak tahun 1980-an, dan semakin masif
pada akhir periode Soeharto ketika wacana
demokrasi dan friksi internal rezim menguat,
kekecewaan dan oposisi terhadap Orde Baru
yang diartikulasikan dengan pelbagai ideologi
31
dan tuntutan mulai meluas. Akan tetapi,
31

Lihat, misalnya, Edward Aspinall, Opposing
Soeharto: Compromise, Resistance, and Regime
Change in Indonesia (Stanford, California:
Stanford University Press, 2005); Arif Budiman

terfragmentasinya oposisi pro-demokrasi dan
terlalu fokusnya gerakan tersebut dalam upaya
menjatuhkan Soeharto, membuat mereka gagal
atau tidak sempat membangun agenda politik
bersama pasca-Soeharto. Di samping itu, terjadi
reorganisasi konstelasi kekuasaan sebelumnya
yang bersifat oligarkis dalam setting politik baru
32
yang demokratis, di antaranya dengan mereproduksi narasi anti-komunisme untuk melanggengkan ketidakmungkinan lahirnya politik
yang progresif. Dalam konteks demikian, aliansi
predatoris yang terdiri dari politikus, birokrat,
dan pengusaha tetap menjadi elemen utama
yang menggerakkan bekerjanya institusi-institusi negara termasuk dalam menjalankan
proses demokratisasi. Elite lama yang berada di
dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru juga
mendominasi institusi-institusi demokrasi,
sementara borjuasi domestik Cina yang menguasai kapital semakin mapan dalam mengem33
bangkan bisnis, sehingga memiliki kedudukan
lebih dominan dalam mengendalikan kekuasaan dibanding era sebelumnya. Akibatnya,
mekanisme politik demokratis dijalankan bukan
untuk membangun kebaikan bersama (common
good), melainkan sekadar arena baru perebutan
kekuasaan dan akumulasi kekayaan untuk
kepentingan para elite predatoris.
Demokratisasi dan desentralisasi memang
telah membuka arena baru bagi artikulasi politik yang lebih beragam, termasuk memberi
jalan bagi lahirnya partai-partai politik baru.
Namun, karena krisis representasi terus-menerus direproduksi sebagai bagian dari reorganisasi relasi kekuasaan yang oligarkis, masyarakat tetap apolitis sementara gerakan sipil
dan Olle Tornquist, Aktor Demokrasi: Catatan
tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia.
(Jakarta: ISAI, 2001).
32
Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz,
Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets (New York:
Routledge, 2004).
33
Lihat, Christian Chua, Chinese Big Business in
Indonesia: The State of Capital (London:
Routledge, 2008).
A R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

progresif tidak terorganisasi. Akibatnya tetap
sama: tidak ada basis sosial yang kuat bagi
lahirnya partai-partai politik baru, terlebih yang
dapat menawarkan agenda politik progresif.
Perbedaannya, para elite politik dan pengusaha
kini menjadi terfragmentasi dan saling bersaing
satu dengan yang lain.
Dalam kondisi terjadinya krisis representasi seperti itu, jalan yang ditempuh untuk
menggalang suara dalam kontestasi elektoral
bukan berdasarkan agenda politik jangka panjang dengan membangun basis sosial yang kuat,
melainkan melalui politik uang, politik keke34
rasan, dan premanisme, serta politisasi sentimen-sentimen keagamaan dan kedaerahan
yang sempit. Hal itu yang dapat menjelaskan
bagaimana politisasi identitas yang eksklusioner
menjadi jalan pintas di tengah tekanan elektoralisme. Orang bahkan bisa menoleransi
kemiskinan dan korupsi, misalnya, tetapi ngotot
terhadap isu politik berbasis identitas. Pada
akhirnya, pertarungan politik lebih banyak
diwarnai isu-isu sektarian daripada upaya membangun tatanan demokrasi dan kesejahteraan
bersama. Implikasinya, perebutan kekuasaan
dan sumber daya dibangun melalui politisasi
moral komunitarian sempit (“kafir”, “non-pribumi”, dan sejenisnya) ketimbang ditujukan
untuk membangun kebaikan bersama melalui
mekanisme politik demokrasi.

Fragmentasi “Umat” dan
Kontestasi Elite Predatoris
Bagaimana memahami fragmentasi populisme Islam dan kontestasi politik yang sarat
dengan politisasi identitas bagi masa depan
demokrasi Indonesia? Warisan politik Orde
34

Lihat, Vedi R. Hadiz, Localising Power in PostAuthoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Stanford: Stanford University Press,
2010); Abdil Mughis Mudhoffir, “Islamic Militias
and Capitalist Development in Post-Authoritarian
Indonesia”, dalam Journal of Contemporary Asia,
http://dx.doi.org/10.1080/00472336.2017.13365
64 (diakses 24 Juli 2017).

A R T I K E L

55

Baru yang menutup kemungkinan lahirnya
agenda politik progresif tidak hanya melahirkan
krisis demokrasi representatif dan memberi
jalan bagi reorganisasi oligarki, tetapi juga
membuat alternatif pengorganisasian menjadi
sangat terfragmentasi, termasuk yang menyangkut aliansi populisme Islam. Fragmentasi
aliansi populisme Islam di Indonesia dapat
diamati dari beragamnya elemen gerakan Islam
yang bisa mendaku merepresentasikan umat:
antara yang menempuh jalur kekerasan dan
terorisme yang menolak negara demokrasi,
kelompok kekerasan sipil, kelompok pengajian
yang cenderung apolitis, hingga partai-partai
Islam. Fragmentasi itu juga dapat diidentifikasi
dari tidak sambungnya Islamisasi pada aras
masyarakat yang meningkat dengan capaian
35
buruk partai Islam dalam kompetisi elektoral.
36
Menurut Vedi Hadiz, fragmentasi aliansi
populisme Islam di Indonesia terjadi karena
tidak terbangunnya basis pengorganisasian
yang kuat produk depolitisasi Soeharto serta
tidak adanya kelas borjuis Muslim yang kuat
karena konsolidasi ekonomi Orde Baru melahirkan dominasi etnis Cina dan kroni-kroni
Soeharto dalam ekonomi. Ketika neoliberalisasi melahirkan aliansi multi kelas yang relatif
solid di Turki dan Mesir, meski dengan tingkat berbeda, ketiadaan kelas borjuis Muslim
kuat di Indonesia membuat aliansi multi kelas
dengan bendera “umat” juga tidak bisa cukup
kuat. Di Turki, misalnya, kebijakan neoliberalisasi dan integrasi terhadap ekonomi global yang dilakukan pemerintah sejak tahun
1980-an banyak melahirkan ketimpangan dan
ketidakpastian pekerjaan. Kebijakan itu juga melahirkan kelompok bisnis Muslim baru yang
diuntungkan dari kebijakan liberalisasi dan
37
Industrialisasi Berorientasi Ekspor (EOI).

35

Lihat, Andi R Alamsyah, “Islamic Parties at an
Impasse, Need Reform to Avoid the Worst,” dalam
Jakarta Post, 25 Februari 2013.
36
Lihat, Hadiz, Islamic Populism in Indonesia....
37
Tentang perbandingan populisme Islam di
Indonesia dan Turki; lihat, Vedi R Hadiz, “No

56

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

Keberadaan kelompok borjuis itu, yang menjadi
salah satu pilar utama pendukung Adalet ve
Kalkýnma Partisi/AKP (Partai Keadilan dan
Pembangunan), banyak menjalankan programprogram sosial kesejahteraan khususnya bagi
masyarakat miskin kota. Hasilnya, AKP meraih
suara lebih dari lima puluh persen di wilayahwilayah miskin perkotaan yang umumnya dianggap sebagai area paling terdampak gelombang neoliberalisme.38
Fragmentasi populisme Islam juga perlu
dilacak dari perbedaan relasi kekuasaan kelompok-kelompok Islam terhadap kekuasaan negara Orde Baru. Perbedaan relasi kekuasaan tersebut juga berkontribusi pada ketidakmungkinan membangun aliansi politik bersama yang
solid dengan bendera Islam untuk menantang
atau menjadi alternatif terhadap developmentalisme Orde Baru, misalnya. Populisme atas
nama Islam tidak bisa menjadi ideologi perlawanan yang eksklusif terhadap negara Orde
Baru, karena ada bentuk Islam lain yang juga
menjadi elemen diskursif Orde Baru. Islam
justru selalu menjadi penanda kosong (empty
signifier) yang bisa digunakan oleh beragam
aktor untuk negosiasi dan kontestasi politik.
Namun demikian, politisasi identitas Islam
dalam kontestasi politik hanya mungkin dilakukan jika tersedia sumber daya yang bisa
dimobilisasi, yaitu pada sejumlah besar kelompok prekariat yang menemukan Islam sebagai
jawaban atas berbagai situasi ketidakamanan
yang mereka hadapi sebagaimana telah disinggung sebelumnya.39

Turkish Delight: The Impasse of Islamic Party
Politics in Indonesia”, dalam Indonesia, No. 92,
Oktober 2011, hal 1-18.
38
Umut Bozkurt, “Neoliberalism with a Human
Face: Making Sense of the Justice and Development Party’s Neoliberal Populism in Turkey”,
dalam Science & Society, Vol. 77, No. 3, 2013, hal.
373.
39
Lihat, Inaya Rakhmani, “Mainstream Islamic
Narratives and their Divisive Consequences”,
dalam Indonesia at Melbourne, 14 Maret 2017,
http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/

Politisasi dan instrumentalisasi identitas
Islam juga terjadi saat neoliberalisme hadir dan
mengubah konstelasi kekuasaan ekonomipolitik Orde Baru. Resesi ekonomi global akibat
merosotnya harga minyak dunia yang membuka jalan bagi globalisasi neoliberal tahun
1980-an membuat kapitalisme negara Orde
Baru yang terutama ditopang oleh industri
minyak dan gas bumi mengalami kebangkrutan,
sehingga mengubah aliansi ekonominya menjadi bertumpu pada borjuasi domestik Cina
yang sekaligus menandai lahirnya aliansi ekonomi-politik oligarkis.40 Dalam menghadapi
kapital asing, kelas borjuasi domestik yang
mulai tumbuh hanya mungkin mengembangkan investasi dengan membangun aliansi bersama penguasa. Itu membuat kekuasaan politik
dan ekonomi semakin terkonsentrasi pada
keluarga dan kerabat Soeharto yang pada akhirnya melahirkan kekecewaan di kalangan militer,
elemen utama penopang kekuasaan politik
Soeharto pada era kapitalisme negara. Respons
atas friksi tersebut mendorong Soeharto membangun aliansi dengan elemen populisme Islam
untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya.41
Karena kelompok Islam yang segala kepentingannya diakomodasi oleh rezim merepresentasikan secara terbatas kalangan konservatif
yang basis utamanya kelas menengah Muslim
perkotaan tanpa ditopang oleh adanya borjuasi
Muslim yang kuat, ruang negosiasi dalam

mainstream-islamic-narratives-and-their-divisiveconsequences/ (diakses 24 Juli 2017); Abdil
Mughis Mudhoffir, Luqman-nul Hakim, dan
Diatyka Widya Permata Yasih, “Identity Politics:
Mobilising Religious Sentiment in Democratic
Indonesia”, dalam Indonesia at Melbourne, 14 Juni
2017, http://indonesiaatmelbourne.unimelb.
edu.au/identity-politics-mobilising-religioussentiment-in-democratic-indonesia/ (diakses 24
Juli 2017).
40
Lihat, Richard Robison, Indonesia: The Rise of
Capital (Sydney: Allen & Unwin, 1986).
41
Lihat, Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and
Democratization in Indonesia (New Jersey:
Princeton University Press, 2000).
A R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

57

mengadvokasi kepentingan mereka juga menjadi terbatas sejauh memperkuat konsolidasi
kekuasaan oligarki. Lembaga-lembaga yang
terasosiasi dengan agenda Islamisme memang
berhasil didirikan atas sponsor negara, seperti
dalam pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Bank Muamalat, dan
42
harian Republika. Akan tetapi, dukungan
semacam itu patut dipahami sebatas sebagai
upaya mempertahankan aliansi politik yang
secara tidak langsung telah memoderasi agenda Islamisasi kelompok konservatif, selain
disebabkan adanya faksi Islam lain yang menjadi
43
pendukung rezim melalui ICMI.
Partai-partai Islam baru bermunculan pada
era demokrasi, namun tak satu pun yang berhasil
merepresentasikan diri sebagai saluran politik
dari aliansi populisme Islam yang terkonsolidasi.
Lemahnya kapasitas representatif partai-partai
Islam jelas membuka ruang bagi berkembangnya
kendaraan-kendaraan politik lain yang mendaku
bahwa mereka lebih mewakili dan membela
kepentingan umat, termasuk dalam bentuk ke44
lompok vigilante dan teroris. Hal itu pula yang
membuat organisasi seperti Front Pembela Islam
(FPI) bisa memiliki daya tarik dibanding partai
politik, karena berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari masyarakat Muslim miskin kota.45
Implikasinya, populisme Islam semakin terfrag-

mentasi karena bersinggungan dengan fragmentasi elite predatoris yang saling bersaing dengan
memobilisasi sentimen-sentimen keagamaan
dalam kompetisi elektoral, seperti dapat diamati
pada kasus Pilkada Jakarta 2017. Selain kasus terakhir itu, instrumentalisasi populisme Islam juga
terjadi di berbagai daerah seperti dapat diamati
pada merebaknya peraturan-peraturan daerah
46
bernuansa syariah serta mobilisasi kelompok
vigilante Islam yang memberi jalan lahirnya
peraturan yang memungkinkan tindakan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Pilkada Jakarta 2017 menunjukkan contoh
yang jelas bagaimana populisme Islam melayani
kepentingan elite predatoris ketimbang mendorong agenda politik untuk membangun tatanan ekonomi-politik yang menyejahterakan
47
“umat”. Sentralnya tokoh-tokoh yang semula
hanya berada di pinggiran seperti Rizieq Shihab
(FPI) dan Bachtiar Natsir (GNPF-MUI) dalam
48
politik nasional, yang menjadi simpul mobilisasi populisme Islam, tidak hanya menunjukkan
kegagalan fungsi representasi partai-partai
Islam, melainkan juga bercerita bagaimana jenis
populisme itu memberi ruang bagi kelompok
predatoris, termasuk membuka jalan bagi keluarga Cendana yang berusaha kembali ke
gelanggang politik.49 Sering kali, wacana anti-

42

Capital, Authority and Street Politics (Abingdon:
Routledge, 2015).
46
Lihat, Michael Buehler, The Politics of Shari’a
Law: Islamist Activists and the State in Democratizing Indonesia (Cambridge: Cambridge
University Press, 2016).
47
Lihat, Vedi R Hadiz, “Indonesian Oligharcy’s
Islamic Turn”, dalam Australian Outlook, 23 Mei
2017, http://www.internationalaffairs.org.au/
australian_outlook/indonesian-oligarchysislamic-turn (diakses 24 Juil 2017).
48
Abdil Mughis Mudhoffir, “Should we Worry
about Islamism in Indonesia?”, dalam The
Conversation, 12 Mei 2017, https://theconversation.com/should-we-worry-about-islamism-inindonesia-77480 (diakses 24 Juli 2017).
49
Lihat, http://www.thejakartapost.com/news/
2017/03/13/soeharto-family-gains-momentumfor-political-revival.html (diakses 17 Juli 2017).

Kebijakan Orde Baru yang sektarian mendorong
lahirnya respons tidak hanya dari kelompokkelompok pro-demokrasi, tetapi juga dari beberapa tokoh yang merepresentasikan organisasi
Islam besar, seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, yang sekaligus menegaskan
fragmentasi populisme Islam.
43
Lihat, Douglas Ramage, Politics in Indonesia:
Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance
(New York: Routledge, 1995).
44
Vedi R Hadiz, “The Organisational Vehicles of
Islamic Dissent: Social Bases, Genealogies and
Strategies”, dalam Khoo Boo Tiek, Vedi R Hadiz,
dan Yosihiro Nakanishi (eds.), Between Dissent
and Power: The Transformation of Islamic Politics
in the Middle East and Asia (London: Palgrave
Macmillan, 2014), hal. 42-65.
45
Lihat, Ian D Wilson, The Politics of Protection
Rackets in Post-New Order Indonesia: Coercive
A R T I K E L

58

Prisma Vol. 36, No. 3, 2017

komunisme direproduksi menjadi semacam
jembatan simbolik yang mempertemukan kepentingan pragmatis antara kelompok Islamis
dan oligarki produk Orde Baru. Bahkan, kelompok populis Islam juga tidak segan membangun
kongsi pragmatis dengan konglomerat Cina
non-Muslim, yang dalam retorika mereka sendiri berada di luar horizon subjek politik Islam
50
(umat).
Fragmentasi populisme Islam dan reaksi
yang berkembang sebagai respons terhadapnya tentu saja kontra-produktif bagi demokrasi.
Secara performatif, artikulasi dan retorika
populisme Islam, sebagaimana juga jenis populisme kanan pada umumnya, sangat eksklusionaris. Dengan kata lain, Islam yang diartikulasikan jenis populisme itu lebih memiliki
efek memecah, bukannya menyatukan elemenelemen politik melalui isu keadilan dan kesejahteraan bersama. Dalam kasus Pilkada Jakarta
2017, misalnya, kontestasi wacana “Islam radikal” versus “Islam plural/toleran” membentuk
blok politik anti-Ahok dan pro-Ahok dalam
politik elektoral; mereka sama-sama menggunakan Islam sebagai penanda politik (political
signifier). Retorika eksklusioner yang secara
khusus terkait isu kepemimpinan politik dan
agenda Islamisasi mendorong penguatan artikulasi Islam pluralis dalam rangka mempersempit ruang gerak dan manuver kelompok
yang pertama. Kekhawatiran akan menguatnya
praktik eksklusioner populis Islam yang juga
diekspresikan di beberapa daerah Indonesia
Timur, jelas membuka jalan bagi pemerintah
untuk berlaku lebih keras membendung arus
politik Islam atas nama keutuhan NKRI. Dengan
dukungan kelompok Islam pluralis dan “populisnasionalis”, pemerintah pun mengambil sejumlah kebijakan mengeksklusi bentuk Islam
politik lainnya, seperti pelarangan organisasi
kemasyarakatan (ormas) “anti-Pancasila” dan
50

Lihat, https://www.cnnindonesia.com/nasional/
20170714151014-12-227942/alumni-212-harytanoe-banyak-bantu-berita-kita (diakses 17 Juli
2017).

penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Undang-Undang No.
17/2013 tentang Ormas. Dengan demikian,
artikulasi Islam pluralis/toleran yang seakanakan merekognisi perbedaan politik sebenarnya juga sama-sama memainkan logika eksklusionaris serta turut melanggengkan praktik
politisasi identitas dan instrumentalisasi kelompok predatoris. Dengan kata lain, mengingat
fragmentasi dan instrumentalisasi elite predatoris adalah karakter populisme Islam di
Indonesia yang menonjol, kekhawatiran berlebih terhadap menguatnya fenomena itu yang
terus-menerus direproduksi oleh pemerintah
bukan saja tidak perlu, tetapi bahkan bisa
menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi
di Indonesia karena mempertajam polarisasi
sosial dan menghasilkan ekstremisme dalam
bentuk lain.

Penutup
Tulisan ini memahami fenomena populisme
kanan yang anti-demokratik dan illiberal di
Indonesia sebagai simtom dari dislokasi neoliberalisme dan krisis demokrasi representatif
dalam konteks absennya agenda politik progresif. Kemunculan populisme kanan di berbagai tempat dimungkinkan dalam kondisi
terjadinya kekosongan agenda politik yang
progresif, baik dari suatu gerakan sosial maupun dari berbagai saluran representasi formal.
Kekosongan itu memberi peluang kepada para
demagog untuk mengartikulasikan berbagai
kekecewaan rakyat sebagai suatu keadaan yang
disebabkan oleh kehadiran kelompok lain yang
mengancam ketimbang oleh elite yang serakah.
Argumentasi ini merupakan kritik terhadap
analisis yang semata-mata menekankan ide
yang digunakan untuk memobilisasi populisme
kanan serta bentuk-bentuk pengorganisasiannya. Pandangan seperti itu jelas mengabaikan
trajektori sosial spesifik yang memungkinkan
narasi-narasi eksklusioner digunakan untuk
memobilisasi masyarakat lintas-kelas.
A R T I K E L

A Mughis M; Luqman H; Diatyka Widya; Populisme Islam dan Tantangannya

Dalam konteks Indonesia, fobia komunisme yang terus-menerus direproduksi sejak
Orde Baru bersamaan dengan kebijakan depolitisasi tidak hanya telah mengamputasi
agenda politik progresif, tetapi juga menyebabkan masyarakat menjadi apolitis dan tidak
terorganisasi. Di sisi lain, aliansi oligarki yang
berhasil mereorganisasi diri dalam sistem
demokrasi menempatkan dominasi borjuasi
domestik Cina yang terbentuk sejak Orde Baru
semakin mapan menguasai dan mengendalikan kontestasi elektoral. Hal ini menyebabkan
partai-partai politik dan politikus yang tidak
memiliki basis sosial dan kapital kuat menjadi
sangat bergantung pada bangunan aliansi dengan para pengusaha predatoris itu. Dalam
konteks ini, politisasi identitas yang eksklusioner menjadi jalan pintas yang digunakan
untuk memobilisasi suara, selain melalui politik uang dan kekerasan, di tengah tekanan
elektoralisme. Namun demikian, mobilisasi
politik populisme Islam oleh para elite predatoris itu tentu saja tidak mungkin bisa dilakukan tanpa adanya basis sosial kelompok prekariat yang menemukan Islam pada berbagai
bentuk subjek politik yang berbeda-beda
sebagai jawaban atas berbagai kesengsaraan
yang mereka hadapi.
Pada titik ini, instrumentalisasi tersebut
adalah gambaran sangat jelas mengenai fragmentasi aliansi populisme Islam di Indonesia
ketimbang menguatnya fenomena itu. Diban-

A R T I K E L

59

dingkan dengan Turki, aliansi populisme Islam
di negeri itu sangat terkonsolidasi dan dapat
memenangi serta “merebut” kekuasaan negara
melalui jalur elektoral karena kemampuannya
mengorganisasi basis sosial lintas-kelas yang
kuat serta ditopang oleh kelas borjuis Muslim
yang juga kuat. Dua hal pokok tersebut tidak
ada pada aliansi populisme Islam di Indonesia.
Bertolak dari sini, amat sangat tidak berdasar
menyatakan bahwa kemenangan pasangan
Anies-Sandi dalam Pilkada Jakarta 2017 yang
didukung oleh aliansi atas nama “umat”, misalnya, sebagai kemenangan Islam dan indikator menguatnya populisme Islam. Sejak Orde
Baru hingga era neoliberalisme kini, populisme
Islam sangat terfragmentasi dan tidak pernah
menjadi subjek politik yang dapat bernegosiasi
dengan aliansi oligarkis, apalagi menawarkan
tatanan sosial alternatif. Mobilisasi identitas
Islam, seperti dalam kasus-kasus yang telah
dibahas sebelumnya, untuk membangun aliansi
dengan elite predatoris pada akhirnya hanya
bermakna dalam kompetisi elektoral. Kelompok-kelompok Islam yang dimobilisasi dalam
aliansi predatoris itu akan tetap berada di
pinggiran politik. Dengan demikian, reaksi yang
didasarkan atas pandangan tentang ancaman
populisme Islam yang menguat hanya membawa pada bentuk eksklusionarisme yang lain,
mempertajam polarisasi sosial, serta membuka
kemungkinan lahirnya rezim totaliter baru yang
memobilisasi nasionalisme berlebih•

Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,
ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengundang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis
secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak
selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tulisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
© Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Bangkitnya Populisme dan
Krisis Demokrasi
Vol. 36, No. 3, 2017

ISSN 0301-6269

TOPIK

KITA

Daniel Dhakidae

2

Sejarah Berakhir dan Sejarah Baru Berawal

F Budi Hardiman

3

Kebangkitan Populisme Kanan dalam
Negara Hukum Demokratis

Luky Djani

10

Persenyawaan Politik Identitas dan Populisme:
Tawaran Kerangka Analisis

Wasisto Raharjo Jati

19

Trajektori Populisme Islam di Kalangan
Kelas Menengah Muslim Indonesia

Nur Iman Subono

28

Gelombang Ketiga “Populisme” di Amerika Latin

Abdil Mughis Mudhoffir,
Diatyka Widya Permata Yasih &
Luqman-nul Hakim

48

Populisme Islam dan Tantangan
Demokrasi di Indonesia

DIALOG
60

Kebangkitan Populisme Islam:
Menantang atau Diserap Oligarki?
ARTIKEL

Emile Schwidder

82

Menunda Perjuangan Indonesia Merdeka
BUKU

Iqra Anugrah

88

Menyoal Kembali Populisme

Muhammad Al-Fayyadl

95

Kiri Eropa dan Muslim Progresif

100 P A R A
Sumber Gambar sampul:
GM Sudarta

PENULIS

Vol. 37, No. 1, 2018: Budaya Humor
Vol. 37, No. 2, 2018: Kedaulatan Energi

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Redaktur Senior: Ismid Hadad
• Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal
(Malaysia), Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Australia) • Redaktur Pelaksana Jurnal & Portal: Harry Wibowo • Redaktur Ekonomi:
Fachru Nofrian Bakarudin • Redaksi: E Dwi Arya Wisesa, Nezar Patria, Rahadi T Wiratama • Direktur Bisnis & Pengembangan:
Elya G Muskitta • Produksi: Awan Dewangga
Alamat: LP3ES, Jalan Pangkalan Jati No. 71, Pondok Labu-Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 27654031
Email: [email protected]; [email protected]; Website: www.prismajurnal.com; www.prismaresource.com
Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 117-000-800-046-5 a/n Prisma