Kasijanto Kasijanto Media dan monopoli

286

WACANA,
VOL. 10 VOL.
NO. 2,
2008 (287—300)
WACANA
10OKTOBER
NO. 2, OKTOBER
2008

Media dan monopoli dagang
Percetakan dan penerbitan di Indonesia pada masa VOC
KASIJANTO
Abstract
This article addresses the research on media history in Indonesia. The VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) period of the seventeenth/eighteenth
century, also known as the early modern period, is regarded as a starting point
in this study. It was during this time that printing machines were imported from
Europe by the VOC authorities. The availability of paper and printing ink also
made it possible for the production of printed matter such as forms, books, and

other material. The first known printed media was the Bataviasche Nouvelles,
which served as a kind of newspaper. This period saw three types of publishing
houses: (1) urban publishing; (2) publishing houses working under contract; and
(3) royal publishing houses. Basically however, all these different publishing
activities were aimed at supporting the existence of the VOC. Publishing
companies were generally engaged in providing service to the Church and
meeting the VOC’s administrative requirements. Communication media, based
on enhancing freedom of opinion and disseminating information, would pose a
problem as it would come face to face with VOC’s power monopoly.
Keywords
Sejarah media, VOC, percetakan, surat kabar, Bataviasche Nouvelles.

Risalah ringkas ini membahas beberapa aspek perkembangan usaha
percetakan dan penerbitan pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) di Hindia Timur - sebutan untuk Indonesia pada waktu itu.1
Tema ini dipandang penting untuk dikaji dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, dilihat dari segi kurun waktu, masalah yang dipelajari berada dalam
masa modern awal yang ditandai oleh persentuhan masyarakat Indonesia
dengan kebudayaan Eropa. Persentuhan budaya itu diasumsikan berdampak
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, penerbitan dengan

teknologi cetak tergolong unsur budaya baru pada waktu itu sehingga patut
1
Sebutan lain yang juga lazim digunakan ialah Kepulauan Nusantara. Dalam tulisan
ini, berbagai sebutan tersebut digunakan secara berselang-seling sebagai ragam nama, tanpa
bermaksud mengacaukannya secara anakronistik.

KASIJANTO adalah pengajar pada Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia; mempunyai minat pada sejarah sosial-budaya dan kajian Asia Tenggara.
E-mail: kasijanto@ui.edu.

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

287

ditilik apakah terjadi perubahan tertentu yang diakibatkan oleh unsur itu.
Akhirnya, ketiga, dipandang perlu untuk membuka aspek yang relatif jarang
dipelajari dalam kurun abad ketujuh belas dan delapan belas ini, yakni tentang
media komunikasi modern sehingga penelitian singkat ini dapat pula dilihat

sebagai upaya kecil menuju penulisan sejarah media.
Hakikatnya, percetakan, dan penerbitan merupakan dua hal yang berbeda
tetapi berkaitan erat; yang pertama, merupakan alat (tool) atau prasarana
sedangkan yang kedua, merupakan produk fisik dari pengoperasian alat
tersebut. Sebagai usaha ekonomis, keduanya juga merupakan jenis usaha
yang berbeda; yang pertama, merupakan bisnis sektor jasa, sedangkan yang
kedua, merupakan produk barang. Dari segi keilmuan, keduanya merupakan
subjek yang dapat dipelajari secara terpisah, baik dalam bidang ilmu yang
sama maupun yang berbeda. Namun, dalam beberapa studi diperlihatkan
pula bahwa percetakan dan penerbitan dipelajari secara komprehensif sebagai
entitas yang tidak (harus) terpisah, misalnya dalam kajian tentang media
budaya.
Pada dasarnya, media merupakan alat teknis yang digunakan untuk
melakukan mediasi atau menyampaikan pesan; dengan kata lain media
merupakan alat komunikasi. Ketika mediasi itu bersifat masal dan
berlangsung dalam suatu ruang publik, media yang digunakan pun menjadi
media massa. Meskipun demikian, tidak semua alat (media) yang digunakan
secara masal akan dengan sendirinya menjadi media massa, kecuali apabila
alat itu benar-benar diberdayakan untuk berkomunikasi dari sebuah sumber
tertentu kepada sejumlah orang atau khalayak yang anonim. Secara garis

besar, media terbagi menjadi dua jenis kelompok, yakni, pertama, media
cetak yang meliputi surat kabar, majalah, buku, pamflet, billboard, dan alat-alat
teknis lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh
indera penglihatan. Jenis kedua adalah media elektronik yang terdiri dari (a)
program radio dan rekaman yang menyentuh indera pendengaran dan (b)
program televisi, gambar bergerak, serta rekaman video yang menyentuh
indera pandang-dengar.2
Pada masa Revolusi Industri di Inggris abad kedelapan belas, jenis alat
komunikasi itu bahkan mencakup jalur-jalur sungai, kereta api, jaringan pos,
telegraf, mobil, kapal laut, dan kapal terbang yang kemudian lebih tepat
dikategorikan sebagai sarana perhubungan dan alat angkutan (Williams
1973, Bab 1; Briggs dan Burke 2006, Bab 5). Lebih luas lagi jika pengertian
tentang media tersebut diperhitungkan mulai dari bentuk-bentuk komunikasi
lisan yang telah berkembang jauh sebelum ditemukan budaya tulis pada
abad kedua belas dan tiga belas dan mesin cetak pada abad kelima belas.
Jelas bahwa media merupakan suatu sistem yang berubah terus-menerus,
yang disebabkan oleh paling kurang dua faktor, yakni pertama, kemajuan
teknologi untuk menghasilkan alat yang dibutuhkan, dan kedua, tuntutan
tingkat pendidikan di antara sejumlah besar orang yang akan menggunakan
penyebaran informasinya. Cakupan media itu membulatkan konsep media

2

Uraian tentang taksonomi konsep media ini dapat diperiksa antara lain dalam McQuail
(1987, khususnya Bab 2); Littlejohn (1996, Bab 1); Blake dan Haroldsen (2005, Bab 17).

288

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

bukan hanya terbatas sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai media
budaya secara lebih luas.3 Kedudukan dan fungsinya pun dikukuhkan sebagai
salah satu institusi sosial yang berperan utama sebagai media kontrol dan
pendidikan (McQuail 1987: 37–39; Littlejohn 1996: 330–331).

Permasalahan
Tulisan ini mengarahkan perhatian pada usaha (bisnis) percetakan dan
produk cetakannya - yakni buku dan media pemberitaan - pada masa VOC
dengan alasan objektif bahwa ketika itu belum ditemukan jenis media beserta
teknologinya yang lain kecuali alat cetak dan media cetak.4 Dilihat dari
‘hierarki’ pengaruhnya kepada khalayak pembaca, media cetak, khususnya

surat kabar dan majalah, merupakan media utama bersama-sama (kemudian)
radio dan televisi.5 Secara singkat, dalam tulisan ini dipaparkan tipologi usaha
percetakan pada masa VOC dan produk yang dihasilkannya. Selanjutnya,
secara sekilas dibahas sebuah - dan satu-satunya - media pemberitaan pada
masa itu, yakni Bataviasche Nouvelles, yang mungkin belum sepenuhnya
menyerupai surat kabar tetapi telah menunjukkan ciri-ciri sebagai media
komunikasi, seperti memuat berbagai berita, memiliki kala terbit tetap dan
diedarkan kepada umum.
Permasalahan yang ditemukan ialah adanya kontradiksi antara prinsip
dasar media penerbitan dengan lingkungan yang tidak mendukung
keberadaannya. Pada prinsipnya, media merupakan institusi yang difungsikan
untuk mengembangkan kebebasan berpendapat dan menyebarkan informasi
ke segala arah, yakni kepada publik dan institusi lainnya termasuk pemerintah.
Sebagai institusi, suatu media harus memiliki tenaga profesional, manajemen,
dan infrastruktur. Untuk memenuhi fungsinya, media menjalin hubungan
dengan sumber berita, pembaca, klien, pemilik modal, distributor, dan
pihak-pihak lain. Dengan demikian, juga terlihat bahwa keberadaan media
sebagai institusi sosial berkaitan dengan institusi lainnya, seperti ekonomi,
politik, hukum ataupun khalayak luas (McQuail 1987: 53–55, 142–143, Bagan;
Littlejohn 1996: 330–331; Croteau dan Hoynes 1997: 18–19).

Persoalan yang dihadapi media ialah apakah sinerginya dengan
masyarakat dan institusi lainnya bersifat saling mendukung atau
membutuhkan sehingga media itu dapat menjalankan peran komunikasi
3
Lihat misalnya Grossberg, Nelson, Treichler (1992); Barker (2004) yang memasukkan
media sebagai bagian dari kajian budaya (cultural studies); sedangkan Briggs dan Burke (2006)
memperjelas media sebagai faktor perubahan dalam sejarah sosial, khususnya di Eropa sejak
akhir abad kelima belas, dan seterusnya.
4
Pemancar radio baru ditemukan Guglielmo Marconi pada 1895; demikian pula
penemuan gambar bergerak dalam tempo yang sama; sedangkan stasiun televisi baru
diudarakan pada tahun 1933 oleh RCA di Amerika Serikat. Sementara itu, di Eropa, mesin
cetak telah ditemukan pada abad kelima belas dan mesin pembuat kertas pada tahun 1798
sehingga memungkinkan penerbitan barang cetakan (lihat Croteau dan Hoynes 1997: 9–10;
Briggs dan Burke 2006, Kronologi).
5
Setelah surat kabar dan majalah, tingkat pengaruh media berikutnya adalah buku
dan film, kemudian diikuti media lainnya seperti billboard dan barang cetakan lainnya (lihat
Blake dan Haroldsen 2005: 42; bandingkan Croteau dan Hoynes 1997: 7, dan seterusnya).


KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

289

dan kontrolnya secara optimal. Dinamika masyarakat dan kepentingan
yang berbeda-beda dari berbagai kekuatan tampaknya cenderung membuat
media harus berhadapan dengan kesulitan. Dalam konteks masa VOC, media
jelas memiliki kelemahan dalam kesiapan tenaga profesional; tidak jelas
berapa banyak tenaga yang berkualifikasi untuk mengembangkan tugas
jurnalistik, bagaimana segi bisnis harus dikelola, dan bagaimana media
itu didistribusikan. Demikian pula usaha percetakan tampaknya sangat
tergantung pada ‘kemurahan hati’ penguasa VOC, dan keberlangsungan
hidupnya juga tergantung nilai utilitasnya; jika digunakan untuk tujuan
yang menguntungkan penguasa maka diberi jalan, jika sebaliknya akan
dilarang. Dengan demikian, usaha percetakan dan media harus berhadapan
dengan kekuatan yang bersifat monopolistik dan tak ingin berbagi
kesempatan ataupun kekuasaan dengan pihak lain.


Landasan pemikiran
Sebagai upaya penulisan sejarah media, penelitian ini bertumpu pada
ancangan yang lazim dalam studi komunikasi massa. Secara garis besar,
terdapat dua sudut pandang terhadap media, yakni mediacentric dan
sociocentric (McQuail 1987; Littlejohn 1996). Sudut pandang pertama melihat
media sebagai lembaga independen yang memiliki pengaruh kuat terhadap
masyarakat, dan arah perhatiannya ditekankan pada lingkungan media yang
seakan berdiri sendiri. Di sini, media dilihat sebagai salah satu bagian dari
kekuatan-kekuatan masyarakat. Sementara itu, pandangan kedua melihat
media tidak berdiri sendiri melainkan sebagai refleksi dari kekuatan ekonomi
dan sangat tergantung pada politik yang berkembang di luarnya. Dalam
pandangan ini terdapat keyakinan bahwa media menjadi sarana atau alat bagi
kelompok dominan dalam mengontrol, menguasai, bahkan menyingkirkan,
kelompok yang tidak dominan.
Berlandaskan pemikiran tersebut, media dan infrastrukturnya (percetakan)
lebih tepat dilihat dari sudut pandang sociocentric yang pada intinya belum
terjadi kondisi yang ‘sehat’ untuk bertumbuh dan berkembangnya usaha
percetakan ataupun media. Pertama, dari segi orang Belanda sendiri,
khususnya padagang VOC, muncul kesenjangan yang sangat jauh antara
modernitas yang dialami di Eropa dengan negeri tempat berdagang.

Kesenjangan jarak itu bukan hanya dari segi geografi tetapi juga kultural.
Kedua, sifat monopolistik yang dianut oleh VOC juga jelas menjadi muskilnya
asas-asas persaingan yang sehat sebagaimana layaknya dalam usaha bisnis;
atau prinsip-prinsip keterbukaan dan persamaan sebagaimana dituntut
oleh hakikat media. Akhirnya, ketiga, dalam masa modern awal di negeri
yang tingkat keberaksaraannya diperkirakan masih rendah, jelaslah bahwa
pengaruh media terhadap pembacanya sangat rendah, apalagi media itu
disajikan dalam bahasa asing. Alhasil, usaha percetakan ataupun penerbitan
media pada masa itu tak lebih hanya menopang, atau dimanfaatkan, kalangan
terbatas, yakni kekuasaan pedagang.

290

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

Usaha percetakan
Sepanjang diketahui, cetakan dan teknologi pencetakan telah dikenal di negeri
Cina dan Jepang paling tidak sejak abad kedelapan. Terbuat dari potongan
kayu, bentuknya sederhana - biasanya balok segi panjang - yang diukir
dengan tulisan atau huruf-gambar (ideogram) pada salah satu permukaannya;

mirip alat stempel yang dikenal sekarang tetapi berukuran lebih besar.
Penggunaannya secara manual, yakni dengan cara mengoleskan tinta pada
permukaan kayu yang berukir itu kemudian dicapkan pada selembar kertas.
Teknik tersebut dikenal sebagai ‘pencetakan blok’ yang tepat untuk budaya
tulis yang menggunakan ideogram dan bukannya rangkaian alfabet yang
terdiri dari beberapa huruf. Oleh karena itu, sarana pencetakan itu lebih tepat
disebut ‘alat cetak’, bukan ‘mesin cetak’. Barulah pada abad kelima belas,
orang Korea menciptakan suatu bentuk alat cetak yang bisa digerakkan mungkin semimekanis - mirip dengan mesin cetak seperti yang tergambar
pada temuan Johann Gutenberg (1400-1468) dalam abad yang sama.
Dalam sejarah Eropa, Johann Gutenberg di kemudian hari tampil sebagai
penemu mesin cetak, apalagi setelah ia berhasil mencetak kitab Injil pada
tahun 1456. Tetapi bukan tidak mungkin, jika temuan Gutenberg tersebut
didorong oleh berita-berita tentang teknik cetak-mencetak yang dimulai dari
Dunia Timur. Praktik cetak-mencetak itu kemudian berkembang luas di Eropa.
Pada tahun 1500, sekitar 250 usaha percetakan didirikan di berbagai tempat
di Eropa, dan diperkirakan menghasilkan kira-kira 27.000 judul buku. Jika
sebuah judul buku dicetak rata-rata 500 eksemplar maka pada saat itu telah
beredar 13,5 juta eksemplar di Eropa yang berpenduduk sekitar seratus juta
jiwa. Tidak salah lagi jika dikatakan bahwa dalam konteks sejarah kebudayaan
Eropa, percetakan, sama halnya dengan tulisan, diidentifikasikan sebagai salah
satu tonggak sejarah yang membawa kemajuan pemikiran manusia. Seorang
pelarian Eropa Timur yang kemudian tinggal di Inggris, Samuel Hartlib
(1600-1662), mengatakan bahwa percetakan telah menyebarluaskan ilmu
pengetahuan sedemikian rupa sehingga orang biasa, karena mengetahui hak
dan kebebasannya, “tidak mau diperintah lagi dengan cara penindasan”.6
Sementara itu, di Indonesia, mesin cetak mulai didatangkan orang
Belanda sejak masa jaya VOC, terutama menjelang perempat pertama abad
ketujuh belas. Mesin cetak pertama didatangkan pada tahun 1624 oleh para
misionaris Gereja Protestan Reformis Belanda, digunakan untuk mencetak
brosur, almanak, buku, dan materi cetak lainnya untuk menunjang kegiatan
misionaris di Kepulauan Nusantara.7 Mesin-mesin cetak itu telah mendorong
timbulnya usaha percetakan sekaligus penerbitan; jadi belum ada diferensiasi
6

Uraian tentang asal-usul percetakan ini dirangkum dari Salzmann (1998, Bab 11,
terutama hlm. 245–252); Briggs dan Burke (2006, Bab 2, terutama hlm. 18–26); bandingkan
Williams (1973, Bab 2); Gedin (1977, Bab 1). Salzmann menyebutkan bahwa kertas telah
ditemukan dalam abad kedua di Asia Tengah, kemungkinan negeri Cina; sedangkan tinta
diketahui digunakan di Mesir dalam masa yang lebih tua lagi, yakni abad ketiga sebelum
Masehi.
7
Menurut Boxer (1983: 14−15), dalam kapal-kapal VOC ikut serta personel kerohanian
yang kelak bertugas menyebarluaskan ajaran Kristen, selain kelompok pegawai lainnya, yakni
pegawai niaga, personel militer dan maritim, dan tukang/perajin.

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

291

antara kedua jenis usaha itu. Johan Nieuhof, yang pernah bermukim di Batavia
antara tahun 1667−1670, sempat menyaksikan produk cetakan pertama di
kota tersebut berupa buku-buku almanak yang disebut Tytboek (1659).8 Selain
buku almanak, kamus bahasa Belanda-Melayu mulai diterbitkan (1677),
disusul penerbitan kitab Perjanjian Baru (1693) dalam bahasa Portugis yang
pada waktu itu merupakan bahasa yang banyak digunakan di Hindia Timur;
dan berbagai materi cetakan untuk kepentingan Gereja. Demikianlah, pada
pertengahan abad ketujuh belas telah tumbuh usaha penerbitan di Batavia
yang dikelola oleh individu ataupun Gereja.
Antara tahun 1659−1695 sekurang-kurangnya terdapat enam unit usaha
percetakan/penerbitan di Batavia.9 Mereka adalah kelompok ‘penerbit kota’
(stadsdrukker)10 yang boleh dikatakan relatif independen dari kepentingan
VOC, dan memang tidak melibatkan unsur organisasi dagang itu. Cukup
menarik karena di tengah kekuasaan monopolistiknya, Kompeni (sebutan
populer VOC) memberikan kesempatan kepada usaha percetakan di luar
kendalinya. Barangkali, usaha percetakan pada waktu itu masih dipandang
kecil nilai ekonomisnya, dan tidak digunakan untuk mencetak materi yang
dianggap berakibat membahayakan kedudukan pejabat dan organisasi
dagang tersebut. Cetak-mencetak tidak lebih sebagai kegiatan teknis, dan
belum dilihat sepenuhnya sebagai salah satu unsur yang bisa menyebarkan
gejala perubahan kebudayaan.
Tampaknya, VOC belum mempersiapkan unit percetakannya sendiri
secara profesional, atau paling tidak belum memiliki tenaga pencetak sendiri.
Hal itu terlihat pada penjualan mesin cetak milik Kompeni kepada Hendrik
Brants, seorang penjilid buku di Batavia, yang berasal dari keluarga pedagang
buku di Amsterdam. Kepada Brants itulah kemudian (pada tahun 1688)
Kompeni mengontrakkan pencetakan dokumen VOC selama dua tahun.
Namun, karena hanya memiliki keterampilan sebagai penjilid buku, Brants
mengajak rekanan lain yang piawai dalam teknik pencetakan sehingga timbul
sistem subkontrak dalam cetak-mencetak. Sistem itu ternyata tidak bisa
menjamin mutu produknya; bahkan bisnis Brants gulung tikar dua tahun
kemudian. Beberapa kali pejabat VOC mengganti rekanan percetakannya,
yang bisa diartikan bahwa mereka tidak puas atas hasil pekerjaan para
rekanan itu. Memang terasa ‘aneh’ jika seorang penjilid buku memperoleh
pesanan mencetak dokumen penting dalam jumlah yang cukup besar (volume
dan nilainya) jika dilihat dari total waktu kontrak yang mencapai tahunan.
Diduga, hal-hal seperti itulah yang merupakan wujud nyata penyakit kolusi
dan korupsi yang berjangkit dalam tubuh Kompeni.
Pada tahun 1719, VOC membeli dan membangun unit percetakan sendiri
yang baru. Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang naik
8
Mungkin dari kosakata Belanda tijd ‘waktu’ dan boek ‘buku’. Johan [Joan] Nieuhof
menuliskan kesaksiannya itu dalam Gedenkwaerdige zee- en lantreize door de voornaemste
landschappen van West en Oostindiën (1682); namun eksemplar Tytboek tersebut tidak ditemukan
lagi (lihat Kimman 1981: 69).
9
Menurut penelitian François Valentijn, dikutip dari Kimman (1981: 70 cb).
10
Istilah ini dari F. Valentijn yang meneliti usaha percetakan/penerbitan di HindiaBelanda abad ketujuh belas (lihat Kimman 1981: 69−70).

292

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

ke tampuk jabatannya pada tahun 1743 (sampai tahun 1750) tampak semakin
menyadari akan pentingnya percetakan/penerbitan bagi kelangsungan
kekuasaan VOC. Dikenal sebagai gubernur yang ‘liberal’, Van Imhoff
menampakkan diri sebagai sosok “pencerah dan manusia berbudaya,”11 yang
mencoba keras menghapus gambaran korup pada awak Kompeni, berusaha
menghentikan penyelundupan candu gelap, mendorong penumbuhan
gagasan intelektual dan mengembangkan kehidupan budaya di Batavia. Ia
pula yang menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan kelautan dan seminari
bagi penginjil pribumi.
Meskipun image Gubernur Jenderal Van Imhoff digambarkan demikian
ideal, tetap saja melekat ‘watak asli kompeni’ dalam upaya menegakkan
sifat monopolistik organisasi dagang yang dipimpinnya. Dalam hal usaha
percetakan/ penerbitan, ia meletakkannya secara langsung dalam subordinansi
kekuasaannya; artinya, siapa pun yang akan membuka usaha tersebut harus
memperoleh izin dan tetap dalam pengawasan organisasi VOC. Jenis produk
yang dicetak pun hanya terbatas untuk keperluan administrasi Kompeni
atau kepentingan Gereja. Semua materi cetak harus diperiksa terlebih dulu
oleh pejabat VOC yang ditunjuk. Hal itu melahirkan tipe ketiga dalam usaha
percetakan/penerbitan, yakni ‘penerbit istana’ (castle’s press),12 selain penerbit
kota dan sistem kontrak yang telah berkembang sebelumnya.

Terbitnya Bataviasche Nouvelles
Karakter Gubernur Jenderal Van Imhoff yang liberal tetapi juga tegas ternyata
menarik perhatian salah seorang bawahannya yang segera ‘menangkapnya’
sebagai suatu watak yang memberi peluang terhadap ide yang lebih terbuka.
Jan Erdman Jordens, nama pegawai itu, tidak pernah disebut-sebut dalam
sejarah umum VOC. Ia juga dikenal sebagai pedagang kecil tetapi tidak
pernah ada penjelasan usaha dagang apa yang dikembangkannya, tetapi
merupakan gejala jamak jika aparatus badan dagang ikut pula berdagang.
Namun, yang membedakan Jordens dengan kebanyakan pegawai VOC ialah
bahwa ia memiliki semacam idealisme kultural yang tidak hanya mengejar
materi. Ia berinisiatif menerbitkan suatu media pemberitaan yang dalam
bayangannya bisa menjadi alat komunikasi di antara pejabat dan awak VOC
ataupun dengan masyarakat Hindia lainnya.
Sebenarnya, Jordens bukanlah orang (Belanda) pertama yang berminat
menerbitkan media komunikasi. Sejarawan kolonial, F. de Haan, yang menulis
Oud Batavia (1922-1923), menyebutkan bahwa gubernur jenderal keempat
VOC, Jan Pieterszoon Coen, pernah memerintahkan kepada anak buahnya
untuk membuat lembaran berita internal Kompeni yang disebut Memorie der
Nouvelles. Berbentuk sangat sederhana, Memorie ditulis tangan pada kertas folio
empat halaman, isinya berita ringkas kegiatan perdagangan baik di Batavia
11

Kimman (1981: 70) menyebut Gubernur Jenderal Van Imhoff sebagai “an enlightened
and cultured man”.
12
Lihat Kimman (1981: 70) mengutip F. Valentijn yang menyebutkan bahwa setidaknya
VOC memiliki dua unit usaha percetakan di Batavia yang pengelolaanya dipercayakan kepada
Hendrik Welzing dan Allard Fronnenbroek (1720−1724).

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

293

maupun di berbagai factorijen (pos-pos perdagangan Belanda), kedatangan
dan keberangkatan (kembali) kapal-kapal niaga, dan berita serupa lainnya.
Semacam kronikel, Memorie diedarkan di kalangan pejabat dan pegawai
Kompeni setelah melalui proses pemeriksaan staf di kantor sekretariat. Tidak
pernah ditemukan keterangan tentang jumlah tiras dan frekuensi penerbitan
tersebut.13 Proses ‘penerbitan’ yang dilakukan dengan menulis secara manual,
bisa dipastikan menjadikan media itu sangat terbatas peredarannya.
Jordens membayangkan media yang digagasnya itu lebih lengkap
daripada Memorie; semacam koran yang berfungsi sebagai alat komunikasi
yang lebih luas peredarannya. Ternyata, ia tidak bertepuk sebelah tangan
karena Gubernur Jenderal memberikan peluang kepadanya untuk
mewujudkan impiannya. Ringkas cerita, pada pagi hari, 7 Agustus 1744, edisi
perdana Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen - nama penerbitan
itu; biasanya cukup disebut dua penggal nama pertama - beredar di Batavia.
Bentuknya sederhana, berukuran sedikit lebih besar daripada folio, empat
halaman, dicetak dalam layout dua kolom - seperti newsletter atau buletin dalam
ragam penerbitan media sekarang. Berkala terbit mingguan, tetapi Jordens
bercita-cita akan menjadikannya harian; jumlah tirasnya tidak diketahui
secara pasti.14 Isi utamanya mengenai berbagai ketentuan administrasi VOC
pada umumnya, berita-berita tentang perdagangan, kedatangan kapal,
pengangkatan dan pemberhentian pejabat VOC; juga pemecatan dan kematian
pegawai kantor dagang itu. Selain itu, dimuat beraneka ragam berita seperti
pesta-pesta, jamuan, obituari, dan doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan
berlayar jauh menyeberang ke negeri induk. Sebagai koran dagang, Bataviasche
Nouvelles memenuhi sebagian besar halamannya dengan iklan dan berita
lelang. Dalam beberapa edisi, koran itu juga menerbitkan karangan tentang
sejarah awal koloni, dan sejarah gereja secara singkat - semacam feature yang
banyak ditulis dalam media sekarang.
“Tidak ada [tulisan] komentar atau diskusi”, tulis Von Faber mengenai
isi Bataviasche Nouvelles, dan karena itu ‘debat politik’ sesuai arti dua patah
nama terakhir, Politique Raisonnementen, tidak pernah terjadi. Artinya, opini
yang kritis - apalagi terhadap penguasa kompeni - tidak akan ditemukan
dalam surat kabar itu. Mungkin Jordens juga ‘tahu diri’ dengan menghindari
isu-isu yang tergolong sensitif seperti korupsi di kalangan pejabat VOC pada
13
Sumber keterangan tentang awal penerbitan media pada masa VOC berasal dari G.
H. von Faber, A short history of journalism in the Dutch East-Indies (t.t. [1930?]), khususnya Bab
“The ‘Bataviasche Nouvelles’ 1744–1746”, yang dimuat kembali secara lengkap (tetap dalam
edisi Inggris) dalam Assegaff (1978: 36–42); juga artikel H. Mohammad Said, “Jaman Gelap
Jajahan” dalam buku yang sama (hlm. 43–66). Kajian Smith (1986 [1969]) tentang sejarah
pembredelan pers di Indonesia (khususnya Bab III, hlm. 49–58) juga banyak memanfaatkan
karya Von Faber. Oleh karena buku Von Faber tidak berhasil ditemukan dalam beberapa
perpustakaan di Jakarta, uraian dalam studi ini mengacu kepada sumber-sumber sekunder
tersebut, ditambah sumber lain yang akan disebutkan kemudian.
14
Menurut Boxer (1988: 89), pada tahun 1622 terdapat kira-kira 200 personel militer
di barak Batavia; sementara kajian Boxer yang lain (1983: 148) menyebutkan terdapat 25.000
sampai 30.000 orang Belanda yang bekerja pada factorijen VOC, termasuk di luar Batavia.
Sebagian, kalaupun bukan seluruhnya, di antara mereka itulah yang dibidik Jordens sebagai
pembaca korannya.

294

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

waktu itu. Lagi pula, pejabat Kompeni telah menempatkan petugas sensor
yang mengawasi usaha percetakan/penerbitan secara ketat termasuk terhadap
Bataviasche Nouvelles. Bukan hal yang mengherankan karena koran itu pada
dasarnya merupakan penerbitan istana (meski tidak pernah dinyatakan secara
resmi), sementara Jordens sendiri merupakan ‘orang dalam’ VOC. Sebenarnya,
ia pun pada awalnya hanya “coba-coba” sambil menjajaki apakah korannya
itu akan mendapatkan sambutan dari khalayak pembaca. Ternyata, tanggapan
pembaca dan pejabat VOC cukup antusias; langkanya media pemberitaan
bagi orang-orang Belanda pada waktu itu telah membuat Bataviasche Nouvelles
praktis sebagai satu-satunya bacaan terpilih. Antusiasme itu juga terlihat dari
perpanjangan izin usaha yang diberikan kepada Jordens hingga tiga tahun
kemudian. Kontrak perpanjangan ditandatangani pada tanggal 9 Februari
1745; artinya Bataviasche Nouvelles masih akan terbit sampai tahun 1748.
Namun, lain di koloni, lain pula di negeri induk. Di Amsterdam, De Heeren
Zeventien (‘Tuan-tuan XVII’, yakni tujuh belas anggota dewan direktur VOC)
merasa khawatir dengan peredaran Bataviasche Nouvelles yang semakin meluas.
Ada kemungkinan para petinggi VOC di Negeri Belanda merasa ‘was-was’ jika
berita-berita tentang kegiatan perdagangan - meskipun bersifat positif - akan
membuka informasi yang bersifat ‘rahasia’ bagi pesaing mereka. Pada tanggal
20 November 1745, para direktur VOC melayangkan sepucuk surat kepada
Gubernur Jenderal G. W. Baron van Imhoff yang berisi permintaan agar
Gubernur Jenderal melarang pencetakan dan peredaran Bataviasche Nouvelles
karena koran itu dipandang “berdampak membahayakan bagi negeri”.15
Surat dari Amsterdam tersebut cukup mengejutkan bagi Gubernur Jenderal
ataupun Jordens khususnya karena ia merasa tidak pernah memberitakan
sesuatu yang sifatnya “berbahaya” sebagaimana dituduhkan oleh Tuantuan XVII itu; juga belum terbukti ada keberatan apa pun dari pembaca
atas pemberitaan Bataviasche Nouvelles sampai saat itu. Meskipun Gubernur
Jenderal Van Imhoff dikenal berwawasan liberal, bagaimanapun, akhirnya, ia
harus tunduk kepada perintah atasannya di tingkat pusat. Gubernur Jenderal
tidak mempunyai pilihan lain kecuali menutup usaha Jordens yang telah
dirintis dengan susah-payah. Jordens pun, apa boleh buat, harus menelan
kenyataan pahit: sejak tanggal 20 Juni 1746 Bataviasche Nouvelles tidak lagi
menjadi bagian dari sarapan pagi pembacanya.16
15
Von Faber mengutip isi pokok surat De Heeren Zeventien kepada Gubernur Jenderal
Van Imhoff tersebut sebagai berikut, “Since we have already traced the harmful consequences in
this country of the printing and publishing of the newspaper at Batavia [Bataviasche Nouvelles],
Your Excellency will immediately on receipt of this forbid the printing and publishing of that
newspaper [...]” (lihat Von Faber dalam Assegaff 1978: 42).
16
Dokumen arsip Bataviasche Nouvelles yang tersisa sangat terbatas. Menurut Von Faber
(dalam Assegaff 1978: 37), tinggal No. 39 (28 September 1745) dan No. 42 (19 Oktober 1745)
yang tersimpan di kantor Algemeen Rijksarchief (ARA), Den Haag, Negeri Belanda. Tetapi
beruntunglah, karena Kees Bliek, seorang penggali kubur pada makam orang Portugis di
Batavia, sempat mengirimkan beberapa edisi kepada kerabatnya di Amsterdam, yang kemudian
mereproduksinya dalam bentuk buku. Beberapa edisi lainnya (4 Januari sampai 8 Maret 1745),
juga dalam bentuk buku reproduksi, tersimpan di Perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde), Leiden, Negeri Belanda. Informasi tersebut membuktikan
bahwa Bataviasche Nouvelles memang pernah terbit sebagai koran pertama di Indonesia.

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

295

Setelah pelarangan terhadap Bataviasche Nouvelles, kegiatan pencetakan
berbagai produk penerbitan - yang dihasilkan percetakan kota - di Batavia
dalam abad kedelapan belas tetap berlangsung, tetapi tidak ditemukan dalam
bentuk media berita. Oleh karena jumlah percetakan atau penerbit relatif
sedikit,17 penguasa VOC merasa tidak perlu mengaturnya dalam bentuk aturan
hukum yang ketat; lagi pula percetakan/penerbit kota itu hanya memroduksi
barang cetakan yang tergolong “tidak berbahaya” menurut Kompeni. Namun,
karena lama-kelamaan percetakan luar itu mampu menyaingi percetakan
istana, Gubernur Jenderal - yang waktu itu dijabat Jacob Mossel, menggantikan
Van Imhoff yang telah meninggal dunia - mengeluarkan peraturan tentang
percetakan/penerbitan pada tahun 1761 untuk menghindari “perselisihan
dan pertengkaran” di antara pencetak/penerbit.18 Tidak dijelaskan lebih
lanjut apa dan bagaimana peraturan Gubernur Jenderal itu, tetapi pengaturan
tersebut menegaskan kembali bahwa bagaimanapun kendali atas monopoli
usaha tetap menjadi asas penting bagi VOC. Penerbitan yang sekiranya
‘bersih’ dari isu politik, tidak mengganggu kemapanan kepentingan pejabat,
dan tidak menggerus keuntungan ekonomis Kompeni dipersilakan terus
berlanjut. Untuk memperluas penyebaran agama Kristen, misalnya, Gubernur
Jenderal memerintahkan pencetakan kitab Ta’limuddin Al-Masehi dalam
bahasa Melayu beraksara Arab sehingga dapat dibaca kalangan non-Eropa.
Mesin cetak berhuruf Arab memang telah didatangkan dari Negeri Belanda
sejak tahun 1746 oleh Seminarium Theologicum Batavia - lembaga ini pula
yang berperan menyebarluaskan kitab-kitab ajaran Kristiani. Sementara itu,
Lodewijk Dominicus, seorang pengusaha percetakan kota sejak tahun 1773,
meneruskan usahanya dengan menerbitkan kumpulan puisi, kamus, dan
almanak. Dua tahun kemudian, tahun 1775, ia menerbitkan dwimingguan,
Het Vendunieuws (Berita Lelang), yang lebih ‘kompatibel’ dengan kepentingan
para pedagang dan pejabat Kompeni.

Penutup
Riwayat singkat Bataviasche Nouvelles dan bermacam usaha percetakan pada
masa VOC mencerminkan beberapa hal. Pertama, bagaimanapun VOC telah
memperkenalkan alat baru, yaitu mesin cetak, yang kemudian menandai
babak baru dalam teknologi penerbitan dan komunikasi di Indonesia. Dilihat
dari saat pengoperasian mesin cetak pertama di Batavia pada tahun 1650an, terdapat selisih hanya kurang dari satu abad dari penemuan awalnya
di Eropa; bahkan lebih cepat daripada yang beroperasi pertama kali di St.
Petersburg, Rusia, pada tahun 1711. Namun, tidak seperti di Eropa yang telah
17

Menurut Kimman (1981: 70 cb), mengutip F. Valentijn, sampai tahun 1719, setidaknya
terdapat enam usaha percetakan di Batavia miliki pedagang Belanda dan misionaris yang
dioperasikan secara komersial. Jumlah itu tidak termasuk dua unit percetakan milik VOC
seperti yang telah disebutkan.
18
Lihat Kimman (1981: 71) mengutip J. A. van der Chijs, “[. . .] that in 1761 an instruction
was handed down by the Governor General to regulate the competition between both printers
[penerbit-kota dan penerbit-istana] in order to avoid ‘discord and disputes’”.

296

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

menimbulkan semacam ‘revolusi’ dalam komunikasi,19 efek percetakan beserta
produknya di Tanah Hindia pada waktu itu masih sangat terbatas. Percetakan
lebih dimanfaatkan untuk menopang monopoli VOC terutama untuk melayani
keperluan administrasi, menunjang kegiatan misionaris, dan penerbitan
bacaan bagi sedikit pejabat dan pegawai kongsi dagang tersebut. Pada sisi
lain, masyarakat di Kepulauan Nusantara memiliki tradisi tulis-menulis
sendiri yang telah berlangsung jauh hari sebelumnya dalam bentuk tulisan
tangan, ragam aksara dan bahasa setempat tanpa ‘sentuhan’ mesin cetak.20
Berbagai serat, kitab, babad, dan sebagainya, masih terus dianggit para empu,
pujangga kraton, dan golongan cerdik pandai lainnya, tanpa terpengaruh
oleh mesin-mesin cetak yang berdatangan di Batavia. Di Eropa, sementara
itu, percetakan telah menimbulkan kesadaran akan pentingnya publisitas
di kalangan pengusaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi ataupun bagi
lingkaran elite politik untuk membangun image kekuasaannya.
Hal kedua, berkaitan erat dengan keberadaan mesin cetak, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa penerbitan media cetak di Indonesia pun
sesungguhnya memiliki akar yang menjalar dari kurun waktu yang panjang
- meskipun penerbitan itu diusahakan oleh orang Belanda. Dengan segala
kesederhanaan dan keterbatasannya, Bataviasche Nouvelles lahir sedini yang
terjadi di Eropa, dan tidak terlalu salah jika dikatakan sezaman dengan The
Spectator, majalah terkenal yang terbit pertama kali di Inggris pada tahun 1714;
atau bahkan lebih awal dari Encyclopaedia Britannica edisi pertama yang terbit
pada tahun 1771.21 Di samping untuk memenuhi keperluan akan publikasi
perdagangan, khususnya berkaitan dengan monopoli VOC, penerbitan
Bataviasche Nouvelles mungkin didorong oleh semangat orang Belanda sendiri
bahwa negerinya merupakan salah satu pelopor penerbitan media komunikasi
massa di Eropa pada abad ketujuh belas. Terbitnya La Gazette d’Amsterdam
pada tahun 1662, misalnya, menandai kepeloporan itu; sedangkan Les Gazettes
de Hollande sengaja diterbitkan dalam bahasa Prancis supaya dapat dibaca
masyarakat Prancis yang waktu itu merasakan media di negerinya sendiri
masih ‘dicengkeram’ oleh sistem monarki absolut.
Ketiga, reputasi Bataviasche Nouvelles sebagai koran pertama di Indonesia
tidak dengan sendirinya mencerminkan tumbuhnya kebebasan menyatakan
pendapat publik sebagaimana prinsip dasar media pemberitaan. Dengan kata
lain, koran itu tidak mampu membangun ruang publik yang bisa memediasi
berbagai kepentingan pembacanya sekalipun pembacanya itu relatif homogen
yakni orang-orang (pedagang) Belanda sendiri. Barangkali, ketidakmampuan
membangun ruang publik itu bukanlah ‘kesalahan’ Bataviasche Nouvelles
(Jordens dan kawan-kawan) sepenuhnya tetapi kedudukannya sebagai
19
Lihat Briggs dan Burke (2006, terutama Bab 2). Kedua penulis itu menyebut masa
antara tahun 1450–1789 sebagai “dari ‘revolusi percetakan’ sampai Revolusi Prancis dan
Revolusi Industri”.
20
Kitab Tjandrakarana, misalnya, yang berisi tembang dan semacam kamus, diperkirakan
ditulis pada 700 Saka. Tentang riwayat berbagai kitab dalam bahasa Jawa (kuno, tengahan,
modern), lihat dalam R.M. Ngabehi Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa ( 1957);
bandingkan Salzman (1988: 253–255) untuk pembahasan etnografi tulisan yang lebih umum.
21
Lihat data dalam Gedin (1977: 13); Briggs dan Burke (2006: 36–37).

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

297

penerbitan istana telah membuatnya terpaksa harus menunduk kepada VOC
yang berperan mutlak sebagai pemegang saham tunggal, patron, pengawas
sekaligus konsumen yang menentukan hidup-matinya penerbitan itu.
Kompeni telah menjadikan Bataviasche Nouvelles sebagai satu-satunya sumber
informasi publik yang terbatas, baik dari segi isi maupun peredarannya dan
tidak memberikan peluang bagi penerbitan media pemberitaan alternatif yang
lebih netral. Ditambah dengan belum adanya regulasi mengenai penerbitan
media (pemberitaan), sangat memungkinkan bagi penguasa VOC untuk
dengan gampang menghentikan langkah suatu penerbitan media dengan
alasan “membahayakan negara” meskipun tidak pernah jelas apa maksud
alasan itu dan barangkali juga “bahaya” yang pernah disangkakan terhadap
Bataviasche Nouvelles tidak pernah ada.22 Bagaimanapun, Jordens pantas dicatat
sebagai ‘agen perintis’ yang berusaha membuka ruang publik tetapi terantuk
oleh sikap monopolistik yang ditunjukkan oleh bangsanya sendiri.
Akhirnya, patut pula diingat bahwa selain upaya Jordens untuk
mendorong komunikasi lebih terbuka dan bersikap egaliter, ada upaya serupa
- meskipun tak sama - yang dilakukan Dirk van Hogendorp23 yang datang ke
Tanah Jawa saat-saat menjelang penguburan VOC pada tahun 1799. Ia banyak
melontarkan kritik pedas kepada Kompeni, misalnya menuntut supaya rakyat
(penduduk tempatan) diberi kebebasan untuk bekerja sesuai pilihannya
dengan cara menghapuskan perbudakan. Persentuhannya dengan berbagai
bacaan intelektual,24 mendorong Van Hogendorp menulis novel Kraspoekol of de
slavernij: een tafereel der zeden van Neerlands Indiën (1800, tentang ‘Pukulan keras
atau perbudakan’) yang melukiskan kekejaman seorang majikan terhadap
budaknya. Tidak salah lagi, novel itu merupakan kritikan tajam terhadap
sistem perbudakan VOC. Ia juga mengecam keras pendidikan di Hindia,
khususnya di Batavia di bawah Kompeni, yang dikatakannya “lebih buruk
daripada neraka,” dan lebih memilih “mematahkan leher orok saya yang baru
lahir daripada sengsara membawanya ke Batavia”.25
Semangat yang membela dan mungkin sarkasme Van Hogendorp yang kemudian sangat dikenal sebagai tokoh liberal pada masa kolonial
Belanda - boleh saja berkobar; tetapi layaknya suatu proses, perubahan dari
‘rezim dagang’ menjadi pemerintahan (negara kolonial) tidak serta-merta
terwujud. Hanya terjadi perubahan kecil pada waktu itu karena personel yang
22
Von Faber menyimpulkan, “What the harmful consequences alluded to actually were
they did not say, and probably they never existed [...]” (dalam Assegaff 1978: 42).
23
Dirk van Hogendorp (1761–1822), pernah menjadi kadet dalam tentara Prusia,
kemudian bertugas di India dan Hindia. Ia bahkan mengawini seorang wanita Batavia di
kemudian hari (lihat Boxer 1983: 143; Boxer 1988: 253).
24
Menurut Boxer (1983: 143), Van Hogendorp sangat terpengaruh buku yang dikarang
oleh penulis avant garde Prancis, Abbe Raynal, Histoire philosophique et politique des établissements
et du commerce des Européens dans les deux Indes (‘Sejarah Filsafat dan Politik tentang Kedudukan
dan Perdagangan Orang-orang Eropa di Kedua Hindia’ [Timur dan Barat], 1770 ). Melalui
buku itu, Van Hogendorp menilai sepak terjang perdagangan dan kolonialisme Eropa.
25
Boxer (1988: 253) mengutip pernyataan tersebut ketika Van Hogendorp masih bertugas
di Patna, India, “A Batavian education is worse than Hell, and I will rather break the neck of
my new born infant than suffer it to be brought to Batavia”. Ungkapan sarkastis tersebut tentu
sekadar ekspresi kejengkelan yang luar biasa bagi seorang yang tidak dapat memahami sepak
terjang VOC.

298

WACANA VOL. 10 NO. 2, OKTOBER 2008

menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan masih orang-orang
lama dari ‘sisa-sisa’ VOC; mereka juga masih berpola pikir dan mengikuti
cara-cara lama. Dengan kata lain, kelompok konservatif yang menentang
gagasan liberal sebagaimana dilancarkan Dirk van Hogendorp masih bercokol
kuat. Dalam bidang media cetak, Het Vendunieuws yang terbit sejak tahun
1775 masih tetap bertahan tetapi kemudian dibeli oleh pemerintah tanpa
pertimbangan yang jelas; kemungkinan untuk memudahkan pengawasan.
Landasan berpikir yang diletakkan oleh De Heeren Zeventien untuk mengontrol
media secara keras tampaknya tidak seketika sirna, bahkan kemudian menjadi
‘inspirasi’ bagi pemerintahan kolonial yang menggantikan VOC dalam
menangani penerbitan selanjutnya.

Daftar pustaka
Assegaff, Dja’far Husin (red.). 1978. Bunga rampai sejarah media massa. Jakarta:
Mecon Press.
Barker, Chris. 2004. Cultural studies; Theory and practice. Cetakan ulang.
London: Thousand Oaks; New Delhi: Sage.
Blake, Reed H. dan Edwin O. Haroldsen. 2005. Taksonomi konsep komunikasi.
Diterjemahkan oleh Hasan Bahanan. Cetakan kedua. Surabaya:
Papyrus.
Boxer, C. R. 1983. Jan Kompeni: sejarah VOC dalam perang dan damai 1602–1799.
Diterjemahkan oleh Bakri Siregar. Jakarta: Sinar Harapan.
Boxer, C. R. 1988. The Dutch Seaborne Empire: 1600–1800. Cetakan ulang.
London: Penguin Books.
Briggs, Asa dan Peter Burke. 2006. Sejarah sosial media: dari Gutenberg sampai
internet. Diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Croteau, David dan William Hoynes. 1997. Media/Society: industries, images,
and audiences. London: Thousand Oaks; New Delhi: Pine Forge.
De Haan, Frederik. 1922-23. Oud Batavia: gedenkboek uitgegeven door het
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van
het driehonderd-jarig bestaan der stad in 1919. Batavia: Kolff. 3 jilid.
Gedin, Per. 1975. Literature in the Market Place. Diterjemahkan dari Swedia
oleh George Bisset. Amsterdam: Van Gennep.
Grossberg, Lawrence; Cary Nelson, dan Paula A. Treichler. (red.). 1992.
Cultural studies. New York/ London: Routledge.
Kimman, Eduard J. J. M. 1981. Indonesian publishing: economic organizations in
a Langganan Society. Baarn: Holandia.
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of human communication. Cetakan kelima.
Belmont: Wadsworth.
McQuail, Denis. 1987. Mass communication theory: an introduction. Cetakan
kedua. London: Sage.
Nieuhof, Johan [Joan]. 1682. Gedenkwaerdige zee- en lantreize door de voornaemste
landschappen van West en Oostindiën. Amsterdam: Voor de Weduwe van
Jacob van Meurs.

KASIJANTO, Media

dan monopoli dagang

299

Salzmann, Zdenek. 1998. Language, culture, and society. Boulder, Colorado/
Oxford: Westview.
Smith, Edward C. 1986. Pembreidelan Pers di Indonesia. Diterjemahkan oleh
Atmakusumah, Alex A. Rakhim, dan Arie Wikdjo Broto. Cetakan kedua.
Jakarta: Pustaka Utama Graffiti.
Williams, Raymond. 1973. Communications. Cetakan ulang. Middlesex:
Penguin Books.