BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Selulosa Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kira – kira 40 – 45 bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa (Eero Sjostrom, 1995). Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga orga

  

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Selulosa

  Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kira – kira 40 – 45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa (Eero Sjostrom, 1995). Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut, , dan bakteri (Fengel dan Wegner, 1995).

  flagellata

  Selulosa banyak ditemukan di alam, merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuh-tumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu tertentu. Selulosa juga menjadi konstituen utama dari berbagai serat alam yang terjadi sebagai rambut-rambut biji yang mengelilingi biji-bijian dari beberapa jenis tumbuhan misalnya kapas, sebagai kulit bagian dalam kayu yang berserat, batang, dan konstituen-konstituen berserat dari beberapa tangkai daun (serat-serat daun).

  Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin dan substansi- substansi mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000, dibandingkan dengan sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu dari lignin menyebabkan penurunan DP ke sekitar 2600 (Stevens, 2001).

  Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit – unit β-D- glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan – ikatan glikosida (1 →4). Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu : 1.

  Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600 – 1500.

  2. Selulosa β (Beta Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan

  NaOH 17,5 % atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 – 90, dapat mengendap bila dinetralkan.

  3. Selulosa γ (Gamma Cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat

  polimerisasinya kurang dari 15. Struktur kimia dari selulosa dapat dilihat pada

gambar 2.1 berikut ini

  

Gambar 2. 1 Struktur kimia Selulosa

  Sifat – sifat selulosa adalah :

  • Tidak berwarna
  • Tidak larut dalam air dan alkali
  • Dapat dihidrolisis sempurna dalam suasana asam menghasilkan glukosa
  • Hidrolisis tak sempurna menghasilkan maltosa

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α

  >92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang / kain (Umar S. Tarmansyah, 2007 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).

  Morfologi selulosa mempunyai pengaruh besar pada reaktivitasnya. Gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah – daerah amorf sangat mudah dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterifikasi (asam) (Eero S

  ĵostrom, 1995 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).

  Ditinjau dari strukturnya, diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa.

  Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidroksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran (Cowd, 1991). Selulosa dengan morfologi yang baru sedang dikembangkan yang dikenal sebagai MFC (Micro Fibrillated Cellulose). MFC adalah selulosa dari pulp yang sudah mengalami proses refiner dan homogenizer sampai ukurannya berskala nano.

  Pembuatannya dari pulp melalui proses mekanik yaitu proses penguraian dan homogenisasi tekanan tinggi dan menghasilkan selulosa yang memiliki luas permukaan yang besar. Pembuatannya selama ini berasal dari selulosa kayu dan pemanfaatannya baru terbatas pada bahan aditif dalam makanan, cat, kosmetik dan produk medis (Adriana, 2011).

  2. 2 Mikrokristal Selulosa

  Mikrokristalin selulosa (MCC) digambarkan sebagai hasil pemurnian, sebagian depolimerisasi selulosa dengan mereaksikan α-selulosa, yang didapat sebagai pulp dari tanaman yang berserat dengan suatu asam mineral. Mikrokristalin selulosa komersial didapat dari berbagai tanaman gymnospermae (umumnya tanaman conifer) dan berbagai

  softwood dan tanaman hardwood dicotyledons.

  Kayu – kayu ini berbeda dari segi komposisi kimianya (proporsi kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan struktur organisasi yang memberikan pengaruh terhadap komposisi α-selulosa yang terekstrak serta komposisi dan kristalinitas MCC yang dihasilkan.

  Hasil penelitian Ohwoavrhua et al, 2011 bahwa mereka telah membuat dan mengkarakterisasi mikrokristalin selulosa yang diperoleh dari serat kasar tanaman

  

Cochlospermum planchonii yang digunakan sebagai bahan pengisi dan bahan pengikat

  dalam tablet obat – obatan. Berdasarkan hasil yang didapat, MCC yang dapat diekstrak sekitar 21% dimulai dari pembuatan serat kasar. Sedangkan hasil mikrokristalin yang diperoleh dari α-selulosa adalah 67%.

  Material selulosa tersusun sebagai serat – serat selulosa yang tidak teratur dengan kandungan kelembapan 7,2% dan kadar abu 0,12%. Densitas yang diperoleh 1,38. Hasil pengujian sifat fisiko-kimia MCC menunjukkan level kemurnian selulosa yang tinggi. Hal ini diduga karena serat kasar dianggap sebagai bentuk selulosa yang paling murni yang mengandung kira-kira 90% dan 7% kelembapan.

  Uji organoleptis dari MCC-CP dihasilkan mikrokristal yang tidak berbau, tidak berasa, putih dan berbentuk granular (Ohwoavrhua et al, 2011).

  Penampilan mikrokristal selulosa dapat kita lihat pada gambar 2.2

  

Gambar 2. 2 Mikrokristalin selulosa

  Secara kimia, MCC merupakan polihidroksialdehid, yang secara reaktivitas sangat mirip sebagai suatu molekul – molekul ampifilik (surfaktan). Tablet yang umumnya mengandung MCC komersial yakni AVICEL PH 102, digunakan sebagai bahan aktif yang baru – baru ini diteliti sebagai bahan yang bersifat terapeutik untuk mengatur kecepatan transit makanan di dalam saluran pencernaan manusia di dalam usus halus (Vecchi et al, 1996).

  Ohwavworhua et al (2005) melaporkan karakteristik fisiko – kimia dari mikrokristalin selulosa dari serat tanaman Cochlospermum planchonii (CP-MCC) yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1 Karakteristik Fisiko – Kimia Mikrokristalin Selulosa (CP-MCC) Ohwavworhua et al (2005) Uji Hasil Uji CP-MCC

  Identifikasi Organoleptik Tidak berbau, putih, tidak berasa, serbuk kasar yang berwarna violet menjadi biru dengan ZnCl

  2 teriodinasi

  Pengotor organik Tidak ada warna merah dengan floroglusinol asam Pati dan dekstrin Tidak ada warna biru / merah coklat dengan larutan iodin pH 7,6 Kelarutan (dalam larutan ammoniakal tetraammin tembaga)

  Larut dan tanpa residu Substansi yang larut air < 0,2% Total kadar abu (%) 0,12 (0,004) Mikroskopi Bentuk partikelnya tidak beraturan dimana berupa campuran partikel – partikel dan agregat berbentuk spheris.

  (Ohwavworhua et al, 2005) Ardizzone et al, 1999 telah meneliti tentang struktur, kondisi permukaan dan kapasitas penyerapan air dari mikrokristalin selulosa AVICEL PH 102 komersial dengan beberapa parameter pengujian. Berdasarkan data penyerapan / desorpsi air dan data eksperimen TGA, berikut ini ada beberapa pertimbangan umum yang dapat dibuat pada interaksi air / MCC : 1.

  Temperatur tidak menjadi parameter kunci dalam mempengaruhi dehidrasi sampel.

  Selain itu, waktu, pada temperatur yang diberikan, sepertinya menjadi parameter dalam mengontrol laju desorpsi air.

  2. Penentuan TGA dan losis air membuktikan adanya perbedaan jumlah air yang dilepaskan.

  3. Adsorpsi / absorpsi dari uap jenuh bersifat reversibel dan menunjukkan perbedaan laju desorpsi selama proses berlangsung.

  4. Interaksi yang terlibat selama proses hidrasi adalah, gaya Van der Waals, didukung oleh adanya jembatan hidrogen (Ardizzone et al, 1999).

  Yakubu et al, 2011 juga telah melaporkan bahwa mikrokristalin selulosa juga dapat dimodifikasi secara kimia dengan proses blending dengan polimer sintetik yakni polietilen menghasilkan kemasan yang biodegradable yang diaplikasikan pada industri tekstil, makanan dan farmasi.

  Hasil blending yang diperoleh antara MCC dengan polietilen menunjukkan peningkatan sifat – sifat fisik seperti fleksibilitas, kehalusan, transparansi, kekuatan dan biodegradabilitas yang mana menunjukkan peningkatan hidrofobisitas relatif terhadap sampel yang non modifikasi. Modifikasi ini sangat penting untuk membawa perubahan terhadap interaksi permukaan antara selulosa dengan HDPE (high density polyethylene) berdasarkan prinsip “like dissolve like” (Yakubu et al, 2011).

  Selulosa fibril secara alami memiliki polaritas permukaan yang tinggi (hidrofilik) dimana tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan permukaan yang bersifat hidrofobik yang umumnya digunakan dalam polimer sintetik. Mikrokristalin selulosa sebagai penguat polimer komposit menarik perhatian lebih karena kelebihannya yang potensial seperti sifat terbarukan, biodegradabilitas, sifat mekanik yang baik dan kapasitas luas permukaannya yang memungkinkan penyesuaian atau grafting secara kimia (modifikasi kimia) untuk meningkatkan sifatnya sebagai penahan (Galina et al dan Robert et al, 2011).

  Hasil penelitian dari Yakubu et al, 2011 yang memodifikasi mikrokristalin selulosa yang telah diasetilasi dan diblending dengan polietilen yakni Acetylated

  

Microcrystalline Cellulose Polyethylene Blend (AMCCPB) memperlihatkan kenaikan

  sifat mekanik dan sifat kimia, sebagai contoh dihasilkannya tekstur yang halus, transparan, fleksibel, dan biodegradabel.

  Karakteristik yang dihasilkan dari proses blending antara mikrokristalin selulosa terasetilasi dengan polietilen mengindikasikan bahwa sifat penahan dalam selulosa dapat berinteraksi dengan polimer sintetik dan karenanya, dimungkinkan untuk proses

  

blending dalam aplikasi untuk kemasan pada makanan, farmasi dan industri tekstil

(Yakubu et al, 2011).

  2. 3 Tanaman Kelapa

  Kelapa (Cocos nucifera Linn.) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau dan adalah anggota tunggal dalam marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat. Tanaman kelapa memiliki taksonomi sebagai berikut yang dapat dilihat pada Tabel 2. 2 :

  Tabel 2. 2 Klasifikasi Taksonomi Kelapa

  Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arecales Famili : Arecaceae suku pinang-pinangan) Genus : Cocos Spesies : Cocos nucifera L.

  Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang bercabang. Serabut, tebal dan berkayu, berkerumun membentuk bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai. Batang beruas-ruas namun bila sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil dengan pembuluh menyebar (tidak konsentrik), berkayu.

  Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan. Daun tersusun secara majemuk, menyirip sejajar tunggal, pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada batang, warna daun hijau kekuningan. Bunga tersusun majemuk pada rangkaian yang dilindungi oleh bractea; terdapat bunga jantan dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di pangkal karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari pangkal.

  Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai kayu dengan mutu menengah, dan daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah dikeringkan. Daun muda kelapa, disebut janur, dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali dalam berbagai upacara, dan menjadi bentuk kerajinan tangan yang berdiri sendiri (seni merangkai janur). Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi satu menjadi sapu.

  Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan lebih, berwarna kuning, hijau, atau coklat; buah tersusun dari mesokarp berupa serat yang berlignin, disebut sabut, melindungi bagian endokarp yang keras (batok) dan kedap air, endokarp melindungi biji yang dilindungi oleh membran yang melekat pada sisi dalam endokarp. Endospermium berupa cairan yang mengandung banyak enzim, dan fase padatannya mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua, embrio kecil dan baru membesar ketika buah siap untuk berkecambah (kentos) (Anonim, 2012). Gambar 2.3 menunjukkan tanaman kelapa dan tandan kelapanya.

  Tandan kelapa

  

Gambar 2. 3 Tanaman Kelapa dan tandan kelapa

2. 3. 1 Komposisi Kimia dari Serat Kelapa

  Konstituen utama dari serat kelapa adalah : Selulosa, Hemiselulosa, Lignin dan komponen - komponen vital lainnya yang disebut dengan “building block” dalam struktur sel. Serat kelapa secara alami merupakan multiselular dan diameternya dan panjang seratnya berbeda dimensinya dan biasanya sangat tebal pada bagian tengah serat. Serat kelapa mengandung volume lignin dengan persentase yang tertinggi, dimana membuat serat kelapa ini sangat kuat dan kaku jika dibandingkan dengan serat alami lainnya.

  Hal ini menjadi pelengkap fakta bahwa lignin membantu menyediakan jaringan tanaman dan sel – sel individu dengan kekuatan yang baik dan juga kekakuan dinding sel serat melindungi karbohidrat dari kerusakan secara fisik maupun kimia. Kandungan lignin juga mempengaruhi struktur; sifat; fleksibilitas, laju hidrolisis dan dengan kandungan lignin yang tinggi menjadikannya lebih halus dan lebih fleksibel (Rajan et al, 2005 dan Abiola, 2008).

  Tabel 2. 3 Komposisi Kimia dari Berbagai Jenis Serat Lignoselulosa Daun Daun Batang Hardwood kelapa Kelapa Softwood nenas pisang

  (%) sawit (%) (%)

(%) (%)

(%)

  0,1 – 7,7

  Ekstraktif 4,5 6,4 5,5 10,6 0,2 – 8,5

  71 - 89

  Holoselulosa 83,5 56,3 80,5 65,2 60 – 80

  31 – 64 49,8 44,2 73,4 63,9 30 – 60

  α-selulosa

  14 – 34

  Lignin 20,5 32,8 10,5 18,6 21 – 37

  < 1

  Abu 2,4 2,2 2,0 1,5 < 1 (Tsoumis, 1991) 2. 3. 2 Pemanfaatan Tanaman Kelapa

  Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat sebagai kopra, minyak kelapa, kelapa parut dan santan. Seiring perkembangan pasar dan dukungan teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti dalam bentuk nata de coco, Virgin Coconut Oil (VCO), tepung kelapa

  (desiccated coconut), hydrogenated coco oil, paring oil, crude glycerine, coco chemical, alkoholamide, serat sabut, arang tempurung dan arang aktif.

  Sejak tahun 2000, penggunaan kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan tepung kelapa meningkat dengan laju 21,9% per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Sebaliknya penggunaan minyak kelapa cenderung berkurang. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah.

  Produksi arang aktif dan arang tempurung selama ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri sehingga penggunaan di dalam negeri hampir tidak ada. Demikian pula untuk produk serat sabut,walaupun terdapat indikasi bahwa penggunaan serat sabut di dalam negeri mulai berkembang sejak terjadi krisis ekonomi.

  Bagian tanaman kelapa atau hasilnya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif adalah daging buah untuk minyak dan bahan bakar nabati, minyak kelapa dapat dijadikan cocodiesel, sebagai campuran maupung pengganti solar. Tempurung dan serabut serta pelepah daun kelapa dijadikan bahan bakar padat. Bagian lainnya adalah hasil nira, yang dapat dijadikan bahan pembuatan bioetanol. Walaupun kadar energinya berbeda, tetapi bagian tanaman tersebut berpotensi sebagai sumber energi alternatif.

  Hasil bioenergi kotor yang dihasilkan dari kelapa, termasuk nira, tempurung, dan sabut diperkirakan sebesar 316,1 MJ / pohon (Soerawidjaja, 2006 dan Prastowo, 2007). Penanaman kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi, diperhitungkan sekitar 25% dari luas areal tanam dan sekitar 25% yang memerlukan peremajaan, karena sudah tua, rusak, dan kurang terawat, sehingga diperhitungkan menghasilkan bioenergi sekitar 0,13 EJ atau 130 juta GJ (Prastowo, 2007).

  Biomassa lignosellulosik dari tanaman kelapa seperti tandan kelapa, lembaran daun, dan sabut kelapa telah diujikan sebagai substrat untuk pembudidayaan jamur tiram

  

Pleurotus sajr-caju (Fr.) yang dilaporkan oleh Thomas et al (1998). Budidaya jamur

  konsumsi adalah salah satu proses yang secara ekonomis dapat berjalan terus sebagai biokonversi dari limbah lignosellulosik.

  Berikut tabel kandungan selulosa dari bagian tanaman kelapa seperti yang dilaporkan oleh Thomas et al, 1998 pada Tabel 2.4 berikut ini:

  Tabel 2. 4 Komposisi kimia berbagai bagian dari tanaman kelapa Selulosa Lignin Nitrogen Fenol Rasio selulosa : Bagian tanaman lignin (%) (%) (%) (%)

  Tangkai daun 31,73 25,08 1,31 0,31 2,84

  Tandan 29,18 31,28 0,97 0,55 2,26

  Pucuk daun muda 23,83 38,68 0,58 1,00 8,45 Sabut kelapa 22,00 34,73 0,06 0,41 1,28

  (Thomas et al, 1998)

  2. 4 Bahan Pengisi

  Bahan pengisi dapat diklasifikasikan menurut sifat - sifat kimia dan fisikanya. Pada awalnya pengisi dibagi atas pengisi organik dan anorganik tetapi dapat juga dibagi atas pengisi berserat dan partikulat seperti pada Gambar 2. 4 berikut ini.

  Pengisi

  Organik Anorganik Berserat: Tidak Berserat: Tidak Berserat: Berserat:

  • kapas -karbon hitam -asbestos -silika
  • serbuk kayu -grafit -serat kaca -tanah liat
  • kelapa s>kalsium
  • abu sekam padi -serat ke
  • dsb -dsb -serat aramid -mika

  Ber -dsb -dsb

  Gambar 2. 4 Skema bahan pengisi polimer

  Menurut Maulida, et al, 2000, penggunaan pengisi alamiah sebagai penguat pada material komposit memberikan beberapa keuntungan dibanding bahan pengisi mineral, yaitu: kuat dan pejal, ringan, ramah lingkungan, sangat ekonomis dan sumber dapat diperbaharui. Tetapi disisi lain menurut Belmares et al, 1983, pengisi alamiah juga memiliki kelemahan dan kekurangan yaitu, mudah terurai karena kelembaban, adhesi permukaan yang lemah pada polimer hidrofobik, ukuran pengisi yang tidak seragam, tidak cocok dipakai pada temperatur tinggi dan mudah terpengaruh pada serangan serangga dan jamur. Diantara berbagai jenis bahan pengisi yang umum digunakan dalam komposit ialah serat kaca, serat karbon, serat kevlar, dan serat alamiah seperti serat kelapa, serat nenas, sera kelapa sawit, serat pohon karet, serbuk kayu dan sebagainya.

  Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan pengisi alami sebagai penguat pada komposit seperti: nenas, sisal, sabut kelapa, tempurung kelapa, rami, kapas, sekam padi, bambu dan tandan kosong kelapa sawit. Luo dan Netravali, 1999 telah meneliti dan membuktikan bahwa sifat-sifat regangan dan fleksibilitas yang dihasilkan pada komposit dengan kandungan serat nenas yang berbeda-beda, lebih baik dibandingkan dengan resin tanpa pengisi. Belmeras et al, 1983 menemukan bahwa serat-serat sisal dan kelapa sawit memiliki sifat regangan, sifat kimia dan fisika yang sama sehingga baik digunakan sebagai bahan pengisi.

  Perkembangan teknologi dewasa ini yang menuntut dihasilkannya produk yang ramah lingkungan dan lebih ekonomis, membuat setiap industri berusaha memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di dalam pembuatan komposit, bahan pengisi yang mengandung selulosa menjadi perhatian yang besar karena kemampuannya sebagai penguat pada polimer – polimer termoplastik dengan titik peleburan yang rendah, salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi adalah selulosa yang diperoleh dari tandan kelapa (Abu Bakar 2009 dan Hidayani, 2012).

  2. 4. 1 Selulosa / Mikroselulosa sebagai bahan pengisi

  Serat selulosa saat ini banyak digunakan sebagai material penguat yang potensial karena memiliki banyak keuntungan seperti ketersediaan yang melimpah, massa yang rendah, biodegradabel, murah, dapat diperbaharui, abrasif rendah, merupakan limbah biomassa, dan sifat-sifat mekanik yang baik (Bledzki et al, 1996). Serat selulosa juga mempunyai kekurangan seperti absorpsi kelembapan, stabilitas termal yang rendah, dan kompatibilitas yang rendah dengan matriks polimer hidrofobik (Saheb et al, 1999 dan Georgopoulos et al, 2005). Sifat dari serat selulosa dipengaruhi oleh banyak faktor seperti iklim, jadwal panen, kematangan, desortikasi, kerusakan, modifikasi serat, teksil dan proses teknik. Untuk memahami sifat-sifat serat alami sebagai penguat komposit, maka menjadi perlu untuk mengetahui sifat mekanik, sifat fisik dan sifat kimia serat- serat alami (Van de Velde, 2001).

  Serat selulosa mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi, dan densitas yang rendah. Perbedaan sifat mekanik dapat digabungkan kedalam serat alami selama periode pemrosesan. Teknik digesti pada serat adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan struktur begitu juga nilai karakteristik serat. Modulus elastik dari sejumlah besar serat alami seperti kayu sekitar 10 GPa. Serat selulosa dengan modulus diatas 40 GPa dapat dipisahkan dari kayunya dengan proses kimia. Serat tersebut selanjutnya dapat dibagi menjadi mikrofibril dengan modulus elastik sebesar 70 GPa (Kalia et al, 2011).

  Serat selulosa bersifat higroskopis; absorpsi kelembapan dapat menyebabkan penggelembungan serat sehingga menghasilkan keretakan mikro dari komposit dan degradasi sifat mekanik. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mereaksikan serat ini dengan bahan kimia yang mengurangi gugus hidroksil yang terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen dalam molekul selulosa. Perlakuan secara kimia dapat mengaktifkan gugus – gugus ini atau menghasilkan gugus baru yang dapat secara efektif terikat dengan matriks.

  Nagaraja G. K et al, 2011 telah melaporkan pembuatan biokomposit berbahan modifikasi antara selulosa dengan poliasam laktat (PLA) dengan tujuan mengkarakterisasi sifat mekanik, absorpsi kelembapan, dan sifat biodegradasi. Hasilnya adalah bahwa selulosa dapat menurunkan absorpsi kelembapan, dan dapat juga mengurangi laju transmisi oksigen dengan meningkatkan konsentrasi selulosa modifikasi. Tetapi film modifikasi selulosa ini kurang efektif dalam memperlambat laju peresapan uap air (Laxmeshwar et al, 2012).

  2. 5 Edible Film

  Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible

  

packaging ). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan,

  penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan (Yusmarlela, 2008). Edible Packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai pelapis (edible coating), dan berupa lembaran (edible film).

  Edible film adalah suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat

  dimakan, dibentuk melapisi makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Fungsinya adalah sebagai penahan terhadap perpindahan massa (kelembapan, oksigen, aroma, zat terlarut) dan / atau sebagai pembawa bahan tambahan makanan (pewarna, vitamin, nutrisi, antimikroba, antioksidan) untuk mempertahankan kualitas makanan (Krochta et al, 1994).

  Edible film juga dapat digunakan untuk mengontrol perubahan fisiologi,

  mikrobiologi, dan fisikokimia produk makanan sehingga memperpanjang umur simpan serta meningkatkan kualitas dan keamanan makanan. Pelapisan atau coating produk makanan dengan edible film antimikroba setelah pengolahan dapat menghasilkan lapisan rintangan fisik ekstra yang juga mengandung anti mikroba (Krochta & Johnson, 1997 dan Han, 2003).

  Berbeda dengan material plastik atau material logam, kemasan yang dibuat dari plastik bersifat lebih permeable pada keadaan yang berbeda seperti gas, kadar air dan kadar uap organik. Pengetahuan tentang perilaku kelarutan / difusi / permeasi dari film polimer menjadi hal yang sangat penting dalam beberapa tahun ini, terutama polimer yang digunakan dalam pengemasan makanan dimana kontaminasi dari lingkungan harus dihindari dan kondisi makanan dikontrol dengan menggunakan teknik pengemasan

  modified atmosphere (MAP).

  Penggunaan jenis – jenis polimer dalam industri pengemasan makanan tergantung dari sifat dan karakteristik dari bahan makanan yang dikemas. Berikut ini jenis – jenis polimer yang beredar di pasaran yang digunakan dalam pengemasan, dalam hal ini terdapat kontak atau tidak dengan makanan : (i) Poliolefin, yang termasuk low-, linier low-, dan polietilena densitas-tinggi

  (LDPE, LLDPE, HDPE), Polipropilena (PP), dan biaxially oriented

  polypropylene (BOPP);

  (ii) Kopolimer etilena, seperti etilen-vinil asetat (EVA), etilen-vinil alkohol (EVOH), dan etilen-asam akrilat (EAA);

  (iii) Olefin tersubstitusi, seperti polistirena (PS), high-impact polystyrene (HIPS, dengan isomer 1,3-butadiena yang ditambahkan selama polimerisasi PS),

  oriented polystyrene (OPS), polivinil alkohol (PVOH), polivinil klorida (PVC),

  dan polivinildena klorida (PVdC), dan politetrafloroetilena (PTFE); (iv)

  Poliester, seperti polietilen tereftalat (PET), polietilen naftalat (PEN), dan kopolimer relatif PET-PEN; (v) Polikarbonat (PC); (vi)

  Poliamida (PA); (vii)

  Akrilonitril, seperti poliakrilonitril (PAN) dan akrilonitril/stirena (ANS); (viii)

  Polilasam laktat (PLA) sebagai polimer biodegradasi untuk pengemasan makanan (Siracusa, 2012).

  Polimer alam dapat dijadikan sumber alternatif untuk perkembangan pengemasan karena sifat palatabilitas dan biodegradabilitasnya (Siracusa et al, 2008).

  

Edible coatings dan film muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetik dalam makanan

  dan telah mendapat perhatian yang cukup besar dalam beberapa tahun ini karena kelebihannya dibanding film sintetis. Keuntungan yang utama dari edible film dibandingkan kemasan sintetis adalah dapat dikonsumsi bersamaan dengan makanan.

  Sehingga tidak ada yang terbuang dan jika film tersebut tidak dikonsumsi maka film tersebut masih memberikan kontribusi kepada lingkungan.

  Edible film dibuat dari bahan yang dapat didaur ulang, yakni bahan – bahan yang

  dapat dimakan untuk mengantisipasi agar lebih mudah terdegradasi dibandingkan material polimer. Edible film dapat meningkatkan sifat – sifat organoleptik dari kemasan makanan seperti komponen (flavor, zat warna, pemanis). Bahan – bahan tersebut dibuat dari polimer alam dan zat tambahan yang food grade secara konstan meningkat dalam industri makanan.

  Kegunaan dan penampilan dari edible film terutama tergantung dari kemampuannya sebagai penghalang, sifat mekanik dan warna yang mana bergantung pada komposisi film dan proses pembuatannya. Dalam kasus edible coating, metode aplikasi produk, dan kapasitas pelapis yang melapisi permukaan adalah parameter yang paling penting. Produk makanan biasanya dilapis dengan proses pencelupan atau penyemprotan, membentuk suatu film tipis pada permukaan makanan yang bertindak sebagai membran semi-permiabel, yang pada gilirannya mengatur kehilangan kelembapan atau/dan menahan transfer gas (Lin & Zhao, 2007 dan Dhanapal et al, 2012).

  Film ini juga berfungsi sebagai carrier zat antioksidan dan antimikroba. Produksi edible film menyebabkan berkurangnya sampah dan polusi, bagaimanapun juga permeabilitas dan sifat – sifat mekaniknya secara umum agak kurang dibandingkan dengan film sintetik (Dhanapal et al, 2012).

  2. 5. 1 Material yang Digunakan dalam Edible Coatings dan Film

  Adanya perbedaan yang besar dari bahan – bahan yang digunakan untuk membuat

  

edible coatings dan film, tetapi kebanyakan dari bahan – bahan tersebut dapat

dimasukkan kedalam satu dari tiga kategori yaitu polisakarida, protein dan lipid.

  2. 5. 2 Bahan – bahan Pembentuk Film

  1. Bahan Hidrokoloidal

  Hidrokoloid adalah polimer hidrofilik dari hewan, tumbuhan, mikrobial ataupun bahan sintetis asli, yang umumnya mengandung gugus hidroksil dan mungkin polielektrolit sebagai contoh alginat, karagenan, karboksimetilselulosa (CMC), gum arabik, pektin dan gum xanthan. Saat ini, bahan – bahan ini digunakan secara luas sebagai larutan pembentuk film untuk menampilkan dan menjaga tekstur, rasa, dan daya simpan makanan (Williams, 2000 dan Dhanapal et al, 2012).

  2. Film Polisakarida

  Film polisakarida dibuat dari pati, alginat, eter selulosa, kitosan, karagenan, atau pektin. Sebagai tambahan, film dan coating polisakarida dapat digunakan untuk menambah daya simpan pada makanan dengan mencegah dehidrasi, oksidasi, dan

  

browning pada permukaan makanan, tetapi sifat hidrofiliknya membuat film ini kurang

baik dalam menghalangi uap air (Nisperos-Carriedo, 1994 dan Dhanapal et al, 2012).

  2. 5. 3 Pati Sebagai Bahan Pembuatan Film Layak Makan

  Pati umumnya disusun oleh dua homopolimer dari D-glukosa: amilase, yakni struktur

  ’

  )-glukan (Pareta dan Edirisinghe, 2006 dan Lu et al, 2009) dan linier dari α-D(1,4 amilopektin bercabang, yang mempunyai struktur backbone yang sama seperti amilosa

  ’

  tetapi dengan banyak . Pati mempunyai perbedaan dalam lingkar cabang dari α-1,6 proporsi kandungan amilosa dan amilopektin yang berkisar antara 10 – 20% amilosa dan 80 – 90% amilopektin tergantung dari sumbernya (Ramesh et al, 1999 dan Lu et al, 2009). Amilosa larut dalam air dan membentuk struktur heliks (Wallace et al, 1981 dan Lu et al, 2009). Pati secara alami terjadi sebagai granula – granula diskret saat rantai amilopektin dapat membentuk struktur heliks yang terkistalisasi. Granula pati menunjukkan sifat hidrofilik dan gaya inter-molekular yang kuat melalui ikatan hidrogen membentuk gugus hidroksil pada permukaan granula. Sturuktur pati dapat kita lihat pada gambar 2. 5.

  (1) Amilosa

  (2) Amilopektin

  

Gambar 2. 5. Struktur Pati : (1) Amilosa, (2) Amilopektin

  2. 5. 4 Pembuatan Polimer Terbiodegradasi Berbasis Pati

  Untuk meningkatkan sifat – sifat pati, berbagai modifikasi fisika atau kimia seperti

  

blending , pembuatan turunan, dan kopolimerisasi-graft telah diteliti. Untuk membuat

  komposit berbasis pati yang terbiodegradasi, biasanya komponen – komponen yang dicampur dengan pati adalah poliester alifatik, polivinil alkohol (PVA) dan biopolimer. PLA atau poliasam laktat adalah satu dari poliester yang biodegradabel paling penting dengan banyak sifat – sifat yang sangat baik dan telah digunakan secara luas di banyak bidang, terutama di bidang medis (Jun, 2000).

  Salah satu masalah pada campuran berbasis pati adalah bahwa pati dan kebanyakan bahan polimer bersifat non-misibel, yang mengacu pada sifat mekanik antara campuran pati / polimer yang umumnya kurang baik.

  Modifikasi kimia pada pati umunya dilakukan melalui reaksi dengan gugus hidroksil dalam molekul pati. Kopolimerisasi-graft sering digunakan sebagai cara yang ampuh untuk memodifikasi sifat – sifat pati. Disamping itu, pati-g-polimer dapat digunakan sebagai zat kompatibiliser untuk campuran berbasis pati (Kiatkamjornwong

  et al , 2002).

  Tujuan utama dari memproduksi film komposit adalah meningkatkan sifat mekanik yang digunakan sesuai dengan penggunaan spesifik. Edible film dapat dibuat dengan material yang mempunyai kemampuan membentuk film. Penelitian tambahan masih dibutuhkan pada metode pembuatan film dan metode untuk meningkatkan sifat – sifat mekanik dari film (Bourtoom, 2008).

  Film pati umumnya mempunyai sifat daya penahan yang baik terhadap oksigen, karbondioksida, dan lemak dan dapat juga melindungi produk makanan dari oksidasi lemak (Tongdeesoontom et al, 2011).

  Film dari polisakarida juga sangat kuat dan lebih mudah tertarik daripada film berprotein. Salah satu polisakarida yang dipakai sebagai bahan pembuat film layak makan adalah ubi kayu (Manihot esculenta). Secara struktur, pati ubi kayu terdiri dari 17% kandungan amilosa, dan bertanggung jawab terhadap sifat pembentuk film yang kuat (Bangyekan et al, 2006 dan Bourtoom, 2008). Pati ubi kayu dapat langsung dibuat menjadi film. Tetapi bagaimanapun, pati ubi kayu bersifat rapuh dan mudah lembek. Usaha untuk mengatasi kerapuhan pada film ini adalah dengan menambahkan zat plastisiser (Suppakul et al, 2006 dan Bourtoom, 2008).

  2. 5. 5 Edible Film/Coating Sebagai Kemasan Antimikrobial

  Berbagai penelitian tentang edible film berbahan protein, polisakarida, dan lemak serta beragam agen antimikroba yang telah berpotensi diinkorporasi pada edible film telah dilaporkan dapat menghambat mikroorganisme pembusuk dan patogen, serta meningkatkan umur simpan makanan.

  Seydim dan Sarikus (2006) melaporkan bahwa nisin yang ditambahkan ke edible

  

film campuran glukomanan dan kitosan dapat menghambat aktivitas bakteri patogen

  makanan seperti E. coli, S. aureus, L.monocytogenes, dan B. cereus (Li et al, 2006 dan Zainab, 2009).

  Jin dan Zhang (2008) telah melaporkan bahwa film poliasam laktat yang diinkorporasi dengan bakteriosin alami (nisin) menghasilkan kemasan makanan antimikrobial. Polimer PLA / nisin menunjukkan aktivitas antibakteri yang efektif melawan L. monocytogenes, E.coli, dan S. enteritidis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nisin dalam film pektin / PLA menahan lebih banyak aktivitas bakteri L. monocytogenes selama 48 jam dibandingkan dengan penambahan senyawa lain. Sama halnya dengan Salmaso et al (2004) meneliti bahwa PLA yang diisi partikel nisin memperpanjang aktivitas antibakteri sampai 40 jam. Sehingga polimer PLA / nisin dapat digunakan untuk membuat botol atau dilapiskan pada permukaan botol untuk kemasan makanan yang berupa cairan, seperti yang dibuat pada permukaan film untuk kemasan makanan padat.

  2. 5. 6 Karakteristik Fisiko - kimia Edible Film 2. 5. 6. 1 Permeabilitas Uap Air (WVP)

  Film pati / kitosan dengan gliserol menunjukkan efek yang signifikan terhadap permeabilitas uap air (WVP), hasil penelitian Zhong dan Xia, 2007 memberikan hasil 95%. Bagaimanapun juga, ketika pati ubi kayu ditambahkan sebanyak 100 gram per 100 gram kitosan, permeabilitas uap air meningkat dan raihan maksimum saat pati ubi kayu yang ditambahkan sebanyak 150 gram per 100 gram kitosan. Perilaku ini mungkin dapat dihubungkan dengan modifikasi struktural dari jaringan kitosan-pati ubi kayu-gelatin yang terjadi saat 63 gram gliserol ditambahkan per 100 gram kitosan.

  2. 5. 6. 2 Permeabilitas Oksigen dan Karbondioksida

  Selain permeabilitas uap air, Zhong dan Xia, 2007 juga melaporkan film hasil blending pati ubi kayu dengan fraksi bermassa lebih tinggi menghasilkan permeabilitas yang tinggi terhadap gas O

  2 dan CO 2 dibandingkan dengan fraksi bermassa rendah pada film

  pati ubi kayu tersebut. Gelatin memperbaiki sifat sebagai penghalang pada film hasil

  

blending. Permeabilitas film hasil blending terhadap gas oksigen dan karbondioksida

menurun seiring dengan bertambahnya jumlah gelatin.

  Permeabilitas gas benar – benar bergantung pada interaksi antara matriks polimer dengan gas (Garcia et al, 2000). Perbaikan sifat penghalang gas pada film hasil

  

blending meningkat dengan bertambahnya jumlah pati ubi kayu dan gelatin karena

  • pembentukan ikatan hidrogen intermolekular antara ion NH

  4 dari kitosan dan backbone

  • gelatin dengan ion OH dari pati.

  2. 5. 6. 3 Dehidrasi Osmotik

  Dehidrasi osmotik adalah suatu metode perpindahan sebagian air dari buah atau sayuran dengan mencelupkannya kedalam berbagai larutan hipertonik encer. Metode ini merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kadar air tanpa mengurangi nilai nutrisi. Gaya yang bekerja saat terjadinya perpindahan air pada saat terjadinya tekanan osmotik ternyata berbeda antara jaringan tanaman dan di sekitar larutan (Jokic et al, 2007).

  Struktur sel jaringan tanaman yang kompleks bertindak sebagai membran semi- permeabel. Selama dehidrasi osmotik, air dari jaringan tanaman bergerak ke larutan osmotik dimana zat terlarutnya berdifusi dari larutan ke jaringan tanaman. Hasil yang dilaporkan oleh Levic et al (2008) memberikan gambaran bahwa film coating dari pati jagung yang disalutkan pada wortel menunjukkan efisiensi dehidrasi osmotik dalam larutan sakarosa dan molase. Kadar zat terlarut dalam wortel meningkat lebih dari 30% dalam sampel yang telah dilapisi. Peningkatan kadar zat terlarut yang paling tinggi yakni 35,97% terjadi pada sampel yang berlapis dua.

  2. 5. 6. 4 Sifat Mekanik

  Sujatha dan Sashiprabha (2009) telah mengkarakterisasi film polimer biodegradable dari isolat protein cowpea. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan terhadap variasi kekuatan tarik dengan konsentrasi plastisiser yang ditambahkan, diperoleh suatu fakta bahwa kekuatan tarik menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi platisiser. Molekul – molekul plastisiser terletak diantara rantai protein sehingga mengurangi perpanjangan interaksi intermolekular diantara rantai - rantai protein, sehingga menurunnya interaksi antara jaringan rantai polimer protein menghasilkan penurunan kekuatan tarik. Juga, karena molekul – molekul plastisiser bersifat hidrofilik, hal ini membuatnya dapat menyerap uap air dari sekelilingnya dan menyebabkan film polimer menggembung. Hal ini juga mengurangi interaksi antara rantai – rantai polimer protein (Sujatha dan Sashipraba, 2009).

  2. 5. 6. 5 Aktivitas Air (a w ) Pertumbuhan dan metabolisme mikroba memerlukan air dalam bentuk yang tersedia.

  Air yang dimaksudkan adalah air bebas atau air yang tidak terikat dalam bentuk ikatan dengan komponen-komponen penyusun bahan pangan lain. Oleh karena itu besarnya kadar air suatu bahan pangan bukan merupakan parameter yang tepat untuk menggambarkan aktivitas mikroba pada bahan pangan. Aktivitas kimia air atau sering diistilahkan aktivitas air (water activity = a w ) merupakan parameter yang lebih tepat untuk mengukur aktivitas mikroba pada bahan pangan. Sebagian besar mikroba (terutama bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai a = 0,9 – 0,97;

  w

  khamir membutuhkan a w = 0,87 – 0,91 dan kapang membutuhkan a w = 0,8 – 0,91 (Nurwantoro dan Abbas, 1997 dan Purnomo, 1995).

  Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini masih berdasarkan pengukuran kelembapan relatif berimbang dari bahan tersebut terhadap lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran yang lebih penting daripada tekniknya (Purnomo, 1995).

  2. 5. 6. 6 Laju Transmisi Uap air (WVTR)

  Laju transmisi uap air adalah massa dari uap air yang terbawa melalui suatu luas tertentu dalam satuan waktu yang dikondisikan dalam temperatur dan kelembapan yang spesifik. Myllareinen et al (2002) melaporkan bahwa laju respirasi dari film polisakarida bergantung pada ketebalan film tersebut. Laju respirasi uap air sangat berpengaruh besar terhadap masa simpan makanan.

  Laju respirasi uap air bergantung pada jumlah gliserol yang digunakan. Arvanitoyannis dan Biliaderis (1999) menyatakan bahwa karena sifat hidrofilik dari gliserol dapat mengurangi sifat penahan uap air dalam film pelapis kitosan. Peranan gliserol yang lain adalah mengurangi densitas pengemasan, sehingga meningkatkan permeabilitas film pati terhadap uap air dan meningkatkan kemampuan difusi uap air.

  2. 5. 6. 7 Teori Permeasi (Peresapan)

  Beberapa faktor dapat mempengaruhi sifat penahan dari suatu material kemasan, seperti kontak dengan makanan dan kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembapan relatif. Difusi peresapan di sepanjang film dipengaruhi oleh struktur film, permeabilitas film terhadap gas-gas spesifik atau uap, ketebalan, area, temperatur, perbedaan tekanan, atau gradien konsentrasi sepanjang film.

  Peresapan, seperti yang dijelaskan dalam literatur, ditegaskan sebagai perhitungan transmisi p eresapan, gas atau uap melalui material penahan (Galić et al, 2000 dan Pauly, 1999). Jadi, konsep permeabilitas biasanya bergabung dengan evaluasi kuantitatif sifat penahan dari material plastik. Pada material tanpa cacat seperti berlubang atau retak, mekanisme aliran gas atau uap utamanya terjadi disepanjang film atau pelapis adalah difusi aktif. Artinya, zat-zat tersebut larut dalam matriks film pada konsentrasi tinggi, difusi di sepanjang film, diatur oleh gradien konsentrasi, dan penguapan dari permukaan yang lain (Siracusa, 2012). Difusi adalah pergerakan makroskopik komponen-komponen sistem akibat perbedaan konsentrasi (Levine, 2002).

  Perbedaan kelarutan gas-gas spesifik dapat mempengaruhi difusivitas gas-gas sepanjang film. Langkah kedua dalam fenomena permeabilitas ini adalah difusi, yang bergantung pada ukuran, bentuk, dan polaritas molekul yang memasuki permukaan dan kristalinitas, derajat ikat silang dan dan pergerakan rantai polimer pada matriks polimer. Seperti yang dilaporkan oleh Kofinas et al, 2008 dan Lee et al, 2008 molekul-molekul gas tidak dapat meresap kedalam kristal polimer, karena mereka tidak larut dalam material tersebut. Sehingga, peresapan gas kedalam polimer semikristal terbatas pada daerah amorf.

  Berdasarkan teori, permeasi atau peresapan gas di dalam polimer digambarkan dengan model difusi, menggunakan Hukum Henry dan Hukum Flick untuk mendapatkan pernyataan yang berhubungan dengan laju peresapan denga area dan ketebalan film (Lee et al, 2008).

  Mekanisme difusi dapat digambarkan dalam jalur yang mudah seperti pada

  Gambar 2. 6. , sebagai berikut: Gambar 2. 6. Mekanisme umum permeasi gas atau uap di sepanjang film plastik

  untuk film polimer yang homogen dengan ketebalan l, dan p adalah tekanan membran pemisah (p 1 > p

  2 ) dan c adalah perbedaan konsentrasi penyerapan dalam film (c 1 > c 2 ).

  Fluks penyerapan (gas atau uap), ditunjukkan dengan J, yang digambarkan oleh Hukum pertama Flick : J = -

  D. Δc, dimana, difusi satu dimensi kedalam membran polimer dan

  dalam kondisi stasioner, dapat dituliskan sebagai J = -

  D(Δc/l), dimana J adalah fluks

  • 3 -1

  2

  difusi (mol cm s ), D koefisien difusi atau difusivitas (cm /s), dan

  Δc adalah perbedaan

  3

  konsentrasi (mol/cm ) di seluruh membran dengan ketebalan l (cm). D menunjukan kecepatan dimana zat-zat terdifusi kedalam polimer.

  Ketika mekanisme difusi berada dalam kondisi tetap, kesetimbangan dalam konsentrasi gas c dan tekanan parsial gas p, mematuhi hukum Henry. Ketika ada suatu gas, untuk mengukur tekanan uap p (atm), maka

  Δc dapat diganti dengan SΔp dimana S

  3

  (mol/cm .atm) adalah koefisien kelarutan sejumlah zat yang terserap dalam polimer, dan

  

Δp adalah perbedaan tekanan di seluruh film sehingga mekanisme difusi dapat dilihat

  melalui persamaan (1) dibawah ini:

  S ∆