Kajian Beberapa Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan Debit Sungai pada Aliran Limbah Pabrik Tapioka Kawasan Das Padang dan Sekitarnya

  

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS)

  Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) selalu diartikan oleh banyak pihak, termasuk oleh para penentu kebijakan, teknokrat dan bahan akademis, secara sempit seolah-olah hanya pengelolaan badan air (sungai) dengan bantarannya yang hanya 5- 25 meter di kiri kanan badan sungai tersebut. Padahal daerah aliran sungai (DAS) berdasarkan UU No.7 Tahun 2004 didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas didarat merupakan pemisah topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Oleh sebab itu, pengelola DAS sebenarnya merupakan upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbale balik antara aktivitas manusia dengan sumber daya alam (terutama lahan, vegetasi dan air) di dalam DAS untuk mendapatkan manfaat barang dan jasa sekaligus menjaga kelestarian DAS serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Rauf, dkk, 2011).

  Sungai adalah sistem yang sifatnya komplek, kekomplekan sistem sungai dapat dilihat dari berbagai komponen penyusun sungai, misalnya bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai (river bed form), morfologi sungai (river

  

morphology ) dan ekosistem sungai (river ecosystem). Kekomplekan percabangan

sungai yang menyusun pohon sungai dari sungai orde pertama sampai orde ke-n.

  Percabangan sungai tersebut sekilas terbentuk tanpa mengikuti aturan tertentu tanpa mengikuti aturan tertentu atau mengikuti pola random atau chaos system. Pola baku sistem percabangan tersebut tidak dapat didefenisikan secara mudah (Maryono, 2007).

  Sebuah DAS ditandai dengan adanya sungai utama yang langsung bermuara ke danau atau ke laut. Ke dalam sungai utama tersebut bermuara anak sungai yang airnya berasal dari tangkapan air hujan dari wilayah yang dibatasi pembatas topografi menuju ke anak sungai tersebut. Batas wilayah hingga ke pembatas topografi yang mengalirkan air hujan yang ditangkapnya menuju anak sungai itu disebut sebagagi kawasan Sub DAS. Selanjutnya, pada setiap anak sungai yang menjadi pengaliran air dari sebuah sub DAS akan dikontribusi dari anak-anak sungai yang mendapatkan air hujan dari daerah tangkap di mengalirkannya (bermuara) ke anak sungai. Wilayah tangkapan air hujan dari anak-anak sungai ini disebut dengan sub-sub DAS. Guna memudahkan pemahaman tentang Sub DAS dan Sub-sub DAS, guna memudahkan pemahaman tentang Sub DAS dan Sub-sub DAS dari sebuah DAS. Setiap DAS terdiri dari beberapa sub DAS dan setiap DAS juga bisa terdiri dari beberapa Sub-sub DAS (Rauf, dkk, 2011).

  Fungsi utama sungai ada dua yaitu untuk mengalirkan air dan mengangkut sediman hasil erosi pada das dan alurnya, kedua fungsi ini berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi. Air hujan yang jatuh pada sebuah daerah aliran sungai (DAS) akan terbagi menjadi akumulasi-akumulasi yang tertahan sementara disitu sebagai air tanah dan air permukaan, serta aliran permukaan yang akan memasuki alur sebagai debit sungai dan terus dialirkan ke laut. Bersama masuknya runoff ke dalam sungai akan terbawa juga material hasil erosi yang terbawa olehnya. Transportasi sedimen ini tidak akan terjadi langsung dari hulu ke laut seketika, tetapi akan terjadi secara berantai didalam proses pengendapan dan penggerusan yang terjadi di dalam dan di sepanjang alur sungai (Mulyanto, 2007).

  Masalah pada daerah aliran sungai (DAS) yang utama berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) air. Air sungai menjadi berkurang (kekeringan) atau menjadi terlalu banyak (banjir) menggambarkan jumlah air. DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain DAS bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS (Maryono, 2007).

  Menurut Asdak (2001) bahwa Indikator untuk mengetahui normal tidaknya suatu DAS dilihat dari segi fisik dari beberapa hal, dimana suatu DAS dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebebagai berikut : a.

  Koefisiensi air larikan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larikan terhadap besarnya curah hujan, berfluktuasi secara normal, dalam artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang lebih sama dari tahun ke tahun.

  b.

  Nisbah debit maksimum (Q max/Q min) relatif stabil dari tahun ke tahun.

  c.

  Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs) terhadap debit sungai (Q).

  Debit (kecepatan aliran) dan sedimen merupakan komponen penting yang berhubungan dengan permasalahan DAS seperti erosi, sedimentasi, banjir dan longsor. Oleh karena itu, pengukuran debit dan sedimen harus dilakukan dalam monitoring DAS. Debit merupakan jumlah air yang mengalir di dalam saluran atau sungai per unit waktu. Metode yang umum diterapkan untuk menetapkan debit sungai adalah metode profil sungai (cross section). Pada metode ini debit merupakan hasil perkalian antara luas penampang vertikal sungai (profil sungai) dengan kecepatan aliran air. Sedimen merupakan material hasil erosi yang dibawa oleh aliran air sungai dari daerah hulu dan kemudian mengendap di daerah hilir (Rahayu, dkk , 2009).

  Debit air sungai memberikan informasi mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu. Oleh karena itu, data debit air berguna untuk mengetahui cukup tidaknya penyediaan air untuk berbagai keperluan (domestik, irigasi, pelayaran, tenaga listrik dan industri), pengelolaan DAS, pengendalian sedimen, prediksi kekeringan dan penilaian beban pencemaran air (Puslitbang Pengairan, 1989 dalam Perdani, 2001)

  Proses erosi di hulu meninggalkan dampak hilangkan kesuburan tanah sedangkan pengendapan sedimen di hilir seringkali menimbulkan persoalan seperti pendangkalan sungai dan waduk di daerah hilir. Oleh Karena itu besarnya aliran sedimen atau hasil sedimen digunakan sebagai indikator kondisi DAS. Sedimen di sungai dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sdimen melayang (Suspended load) dan sedimen merayap (Bad load). Sedimen melayang akan dialirkan lebih jauh dibandingkan dengan sedimen merayap. Disamping itu sedimen melayang biasanya juga mengandung partikel-partikel lain seperti zat hara atau bahan lain yang dapat mencemari air. Oleh karena itu penetapan hasil sedimen melayang lebih sering dilakukan dibandingkan sedimen merayap (Rahayu, dkk, 2009).

  Kapasitas angkutan sedimen pada penampang memanjang sungai. Pada penampang memanjang sungai adalah besaran sedimen yang lewat penampang tersebut dalam satuan waktu tertentu. Terjadinya penggerusan, pengendapan atau mengalami angkutan seimbang perlu diketahui kuantitas sedimen yang terangkut dalam proses tersebut. Sungai disebut dalam keadaan seimbang jika kapasitas sedimen yang masuk pada suatu penampang memanjang sungai sama dengan kapasitas sedimen yang keluar dalam satuan waktu tertentu. Pengendapan terjadi dimana kapasitas sedimen yang masuk lebih besar dari kapasitas sedimen seimbang dalam satuan waktu. Sedangkan penggerusan adalah suatu keadaan dimana kapasitas sedimen yang masuk lebih kecil dari kapasitas sedimen seimbang dalam satuan waktu (Saud, 2008).

  Limbah Pabrik Tapioka

  Dalam prosesnya industri tepung tapioka mengeluarkan dua macam limbah, yaitu limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah padat berasal dari proses pengupasan kayu dan proses pemerasan serta penyaringan. Limbah cair berasal dari pencucian umbi (roots washer) terutama terdiri atas polutan organik, kulit ubi, tanah atau pasir serta proses suspense tepung. Limbah gas dari persenyawaan organik dan anorganik yang mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor yang berasal dari pembusukan protein (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, 1996 dalam Hasibuan, 2005).

  Proses pembuatan tapioka memerlukan air untuk memisahkan pati dari serat. Pati yang larut dalam air harus dipisahkan. Teknologi yang ada belum mampu memisahkan seluruh pati yang terlarut dalam air, sehingga limbah cair yang dilepaskan ke lingkungan masih mengandung pati. Limbah cair akan mengalami dekomposisi secara alami di badan-badan perairan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan pada proses penguraian senyawa mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor dari bahan berprotein (Zaitun, 1999).

  Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair itu apabila terfermentasi akan mengalami penguraian yang dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air sungai, jika limbah cair tersebut dibuang kesungai. Dan jika oksigen terlarut telah habis maka bau yang tidak diinginkan akan timbul yang disebabkan oleh H

  oksigen terlarut dalam air sungai akan mengancam kelangsungan hidup biota air lainnya. Bahan organik yang terkandung dalam limbah ini juga juga dapat menyebabkan air menjadi berwarna dan meningkat derajat kekeruhan air serta menurunkan pH air. Yang menjadi permasalahn besar sekarang ini adalah dampak negative dari industri tepung tapioka terhadap lingkungan hidup (Manahan, 1984 dalam Hasibuan, 2005).

  Limbah cair mengandung senyawa organik terurai (Biodegradable organics) dan senyawa organik tidak terurai (Non Biodegradable organics). Organik terurai terdiri dari berbagai senyawa-senyawa organik yang dapat diuraikan oleh mikroba, seperti karbohidrat, protein, sukrosa, glukosa dan lemak. Organik tidak terurai adalah berbagai senyawa organik yang sulit diuraikan oleh mikroba, seperti sellulosa, minyak, oli, dan lain-lain ( Anonim, 2010).

  Limbah industri tapioka apabila tidak diolah dengan baik dan benar dapat menimbulkan berbagai masalah, yaitu penyakit misalnya gatal-gatal, timbul bau yang tidak sedap, air limbah bila masuk kedalam tambak akan merusak tambak sehingga ikan akan mati, estetika sungai berubah dan sebagainya (Nurhasan dan Pramudyanto, 1996 dalam Hasibuan, 2005).

  Limbah tepung tapioka yang dibiarkan diperairan terbuka akan menimbulkan perubahan yang dicemarinya. Pencemaran tersebut antara lain : a.

  Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan limbah padat, tersuspensi maupun terlarut.

  b.

  Peningkatan kebutuhan mikroba pembusuk senyawa organik akan oksigen, dinyatakan dalam BOD dalam air.

  c.

  Peningkatan kebutuhan proses kimia dalam air akan oksigen dalam air dinyatakan dengan COD.

  d.

  Peningkatan senyawa-senyawa beracun dalam air dan pembawa bau busuk yang menyebar keluar dari ekosistem aquatic itu sendiri.

  e.

  Penaikan derajat kemasamam yang dinyatakan dengan pH yang rendah dari air yang tercemar, sehingga dapat merusak keseimbangan ekosistem aquatik perairan terbuka. (Soeraatmadja, 1984 dalam Hasibuan, 2005).

  Kualitas Air

  Air sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup dalam jumlah besar dan apabila terjadi kekurangan air yang disebabkan oleh perubahan iklim akan dapat mengakibatkan bahaya fatal bagi makhluk hidup. Dapat dinyatakan bahwa kualitas air merupakan syarat untuk kualitas kesehatan manusia, karena tingkat kualitas air dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan masyarakat. (Situmorang, 2007).

  Untuk memberikan gambaran tentang kualitas air dari pembuangan limbah cair pabrik tapioka, maka secara umum kualitas air ditentukan berdasarkan beberapa parameter kualitas air, yaitu : a. pH (potensial of Hidrogen)

  Konsentrasi ion hydrogen adalah ukuran kualitas dari air maupun dari air limbah. Adapun kadar yang baik adalah kadar dimana masih memungkinkan kehidupan biologis di dalam air berjalan dengan baik. Air limbah dengan konsentrasi air limbah yang tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya. pH yang baik bagi air minum dan air limbah adalah netral (pH 7). Semakin kecil nilai pH nya, maka akan menyebabkan air tersebut berupa asam (Sugiharto, 2008).

  Tingkat keasaman air atau sering juga disebut sebagai kekuatan asam (pH) termasuk parameter untuk kualitas air. Air yang terpolusi biasanya berada pada skala pH 6,0-8,0. Tingkat keasaman air dapat berubah disebabkan oleh hadirnya senyawa kimia buangan ke dalam air. Pada umumnya biota aquatic sangat sensitive terhadap perubahan pH air (Situmorang, 2007).

  Perubahan pH pada air limbah industri tepung tapioka menandakan bahwa sudah terjadi aktivitas mikroorganisme yang merubah bahan-bahan organik yang mudah terurai menjadi asam (Departemen Perindustrian, 1986 dalam Hasibuan, 2005).

  Limbah tapioka banyak mengandung bahan organik, sehingga memungkinkan untuk hidupnya bakteri aerobik. Adanya oksigen di dalam air dapat mengoksidasikan bahan- bahan organik tersebut menjadi CO2 yang dapat menurunkan derajat keasaman air (ALAERTS, 1987 dalam Sutapa, 2000). b.

Total Dissolved Solid

  Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10 -6 mm) dan koloid (diameter < 10 -6 mm - < 10 -3 mm) yang berupa senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Vanho, 2010 dalam Misnani, 2011).

  TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik, misalnya garam dan sebagainya) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per

  

Million (PPM) atau sama dengan milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan

  definisi di atas seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati

  • 6

  saringan yang berdiameter 2 micrometer (2×10 meter). Aplikasi yang umum digunakan adalah untuk mengukur kualitas cairan biasanya untuk pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam renang, proses kimia, pembuatan air mineral, dan sebagainya. Setidaknya, kita dapat mengetahui air minum mana yang baik dikonsumsi tubuh, ataupun air murni untuk keperluan kimia (misalnya pembuatan kosmetika, obat-obatan, makanan, dan lain-lain) (Insan, 2007 dalam Misnani, 2011).

  TDS adalah ukuran dari jumlah material yang dilarutkan dalam air. Bahan ini dapat mencakup karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, natrium, ion-ion organik, dan ion-ion lainnya. Tingkat tertentu dalam air ion ini diperlukan untuk kehidupan akuatik. Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat berbahaya karena densitas air menentukan aliran air masuk dan keluar dari sel- sel organisme. Namun, jika konsentrasi TDS terlalu tinggi atau terlalu rendah, pertumbuhan kehidupan banyak air dapat dibatasi, dan kematian dapat terjadi. Serupa dengan TSS, TDS konsentrasi tinggi juga dapat mengurangi kejernihan air, memberikan kontribusi pada penurunan fotosintesis, gabungan dengan senyawa beracun dan logam berat, dan menyebabkan peningkatan suhu air. TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena mewakili jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS tinggi seringkali memiliki rasa yang buruk dan / atau kesadahan air tinggi.

  NilaiTDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri). Bahan- bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, dapat meningkatkan nilai kekeruhan, yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari yang kemudian berpengaruh terhadap proses fotosintesis (Efendi,2003).

  c.

  Total Suspended Solid Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2

  μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid (SNI, 2004).

  TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berporipori 0,45

  μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Huda, 2009).

  Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution, 2008 dalam Ihsan, 2011) .

  TSS berhubungan erat dengan erosi tanah dan erosi dari saluran sungai. TSS

  • 1

  sangat bervariasi, mulai kurang dari 5 mg L yang yang paling ekstrem 30.000 mg

  • 1

  L di beberapa sungai. TSS tidak hanya menjadi ukuran penting erosi di alur sungai, juga berhubungan erat dengan transportasi melalui sistem sungai nutrisi (terutama fosfor), logam, dan berbagai bahan kimia industri dan pertanian (Anonymous, 2002 dalam Ihsan, 2011).

  Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan et al , 2003 dalam Misnani, 2011).

  Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air.

  Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992) dalam Huda (2009) bahwa padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Ditambahkan oleh Nybakken (1992) dalam Huda (2009) bahwa peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif menjadi turun. Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan- bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan.

  Total Suspended Solid (TSS), adalah salah satu parameter yang digunakan untuk pengulkuran kualitas air. Pengukuran TSS berdasarkan pada berat kering partikel yang terperangkap oleh filter, biasanya dengan ukuran pori tertentu. Umumnya, filter yang digunakan memiliki ukuran pori 0.45

  μm ( Clescerl, 1905 dalam Seandy, 2010) .

  Nilai TSS dari contoh air biasanya ditentukan dengan cara menuangkan air dengan volume tertentu, biasanya dalam ukuran liter, melalui sebuah filter dengan ukuran pori-pori tertentu. Sebelumnya, filter ini ditimbang dan kemudian beratnya akan dibandingkan dengan berat filter setelah dialirkan air setelah mengalami pengeringan. Berat filter tersebut akan bertambah disebabkan oleh terdapatnya partikel-partikel tersuspensi yang terperangkap dalam filter tersebut. Padatan yang tersuspensi ini dapat berupa bahan-bahan organik dan inorganik. Satuan TSS adalah miligram per liter (mg/l) (Blom, 1994 dalam Seandy, 2010).

  Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan- bahan tersuspensi (diameter >1µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Efendi, 2003).

  d.

Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD)

  Kebutuhan oksigen biologis atau biological atau biochemical oxygen demand (BOD) didefenisikan sebagai pengukuran pengurangan kadar oksigen di dalam air yang dikonsumsi oleh makhluk hidup (organisme) di dalam air selama periode 5 hari pada keadaaan gelap (tidak terjadi proses fotosintesis). Pengurangan kadar oksigen ini adalah disebabkan oleh kegiatan organisme (bakteri) mengkonsumsi atau mendegradasi senyawa organik dan nutrien lain yang terdapat didalam air. Air yang relatif bersih akan mengandung mikroorganisme relatif sedikit, sedangkan untuk air yang terpolusi dan mengandung banyak mikroorganisme bakteri akan mengkonsumsi banyak oksigen dalam proses degradasi senyawa organik dan nutrient selama 5 hari, sehingga pengukuran kadar oksigen menjadi sangat besar. Untuk air yang tidak terpolusi misalnya ukuran BOD adalah 0,7 sedangkan untuk air terpolusi adalah BOD 200 atau lebih besar.

  Penentuan BOD sangat lambat, yaitu membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 hari (Situmorang, 2007).

  BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organicmatter), Boyd (1990).

  Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang

  o

  telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20

  C) yang sering disebut dengan DO5. Selisih DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L). Pengukuran oksigen dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler, iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima hari, diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila DO5 nol maka nilai BOD tidak dapat ditentukan (Situmorang, 2007). Semakin tinggi BOD, maka semakin cepat oksigen di dalam air habis, sehingga akan membawa dampak negative bagi perkembangan makhluk hidup yang ada di dalam air (Rahayu, dkk, 2009).

  Beban cemaran suatu sungai dapat diidentifikasi berdasarkan kadar BOD dalam air, di mana semakin tinggi BOD maka air sungai semakin tercemar.

  Akumulasi BOD dari sumber pencemar akan menimbulkan beban cemaran terhadap kemampuan sungai untuk pulih kembali, (Nugraha, 2008). e.

  Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Kebutuhan oksigen kimia atau chemical oxygen demand (COD) didefenisikan sebagai kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi senyawa kimia yang terdapat di dalam air. Pengujian COD dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa organik yang dapat dioksidasi didalam air tetapi dengan menggunakan senyawa kimia yang dipergunakan sebagai oksidator adalah pengoksida kuat kalium bikromat (K

  2 O 7 ), karena senyawa ini akan dapat mengoksidasi senyawa organik menjadi

  senyawa CO

  2 dan H

  dilakukan secara titrasi, dimana banyaknya bikromat yang diperlukan dalam reaksi oksidasi adalah setara dengan banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik. Dalam reaksi ini senyawa bikromat adalah sebagai sumber oksigen untuk mengoksidasi senyawa organik. Kelebihan penentuan COD adalah sangat cepat, yaitu hanya dibutuhkan waktu 1-2 jam untuk analisis, hal ini relative sangat singkat bila dibandingkan dengan penentuan BOD yang membutuhkan waktu beberapa hari (Situmorang , 2007).

  COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bikhromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan gas H2O serta sejumlah ion chrom. Reaksinya sebagai berikut :

  2-

  HaHbOc + Cr +

  2 O 7 + H+ 2 + H

  2 O + Cr

  3

  → CO Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnyatannin, fenol, polisacharida dansebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD (Nurcahyani,2012).

  Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran kebutuhan oksigen dalam air limbah. Pengukuran ini menekankan kebutuhan oksigen akan kimia dimana senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dipecah secara biokimia. Adanya racun atau logam tertentu dalam limbah pertumbuhan bakteri akan terhalang dan pengukuran BOD menjadi tidak relistis. Untuk mengatasinya lebih tepat menggunakan analisa COD (Ginting, 2008).

  Limbah cair mengandung bahan – bahan organik yang mudah terlarut dan bahan organik yang sulit terlarut. Bahan organik tersebut membutuhkan oksigen selama proses degradasi. Oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap. Pada umumnya pengukuran jumlah oksigen yang terpakai oleh mikroorganisme tersebut disebut Biological Oxygen Demand (BOD). Selain dari itu, bahan buangan organik baik yang mudah terlarut dan sulit terlarut juga dapat bereaksi dengan oksigen, disebut dengan proses oksidasi. Jumlah oksigen yang dibutuhkan selama proses oksidasi tersebut dinamakan sebagai

  

Chemycal Oxygen Demand (COD). Oleh sebab itu nilai COD selalu lebih besar dari

nilai BOD (Mihelcic, 1998).