Vol 18 No 2 (2007): Jurnal Tribakti | Jurnal Pemikiran Keislaman

  

Orientasi Pendidikan Moral: Telaah Undang-Undang No. 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Oleh: Nely Muawanah*

  Kara Kunci : Pendidikan Moral, Undang, Sistem Pendidikan Nasional

Abstrak: Pendidikan moral berusaha mengembangkan pola

  prilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya, berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 butir (1) dan (2) UU Sisdiknas adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

  Kekuatan spiritual keagamaan merupakan sasaran yang akan dicapai dalam proses pendidikan di Indonesia, selain dari pada pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang lain yamg dibutuhkan diri dan masyarakatnya. Pengaturan mengenai keterkaitan yang erat antara kebudayaan dan pendidikan tidak begitu ditonjolkan di dalam undang-undang tersebut.

  Pendahuluan

  Moral pada intinya membicarakan tentang tingkahlaku atau perbuatan manusia yang baik dan tidak baik. Secara akademik moral dapat diposisikan pada

  1 tataran ide/ajaran, aturan atau dalam bentuk/rupa perbuatan manusia.

  Pendidikan moral berusaha mengembangkan pola prilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya, berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema yang berguna untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri dan

  • * Alumni Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri tahun 2007

  2

  masyarakatnya. Pendidiakn moral, jikalau ditinjau dari satu sudut memiliki hubungan yang erat dengan agama, sehingga bahan pendidikan moral pada suatu negara sangat bergantung pada suatu agama atau ideologi apa yang dianut oleh

  3

  mayoritas penduduk negara tersebut. Pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam

  pasal 1 butir (1) dan (2) UU Sisdiknas adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadiaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

  4 diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

  Rumusan Masalah

  Dengan latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut;

  1. Bagaimana orientasi kesadaran religi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003? 2. Bagaimana orientasi kesadaran multikultural dalam Undang-Undang

  Sistem Pendidikan Nasional 2003?

  Metode Penelitian

  Penelitian ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (liberary research) sebagai metode pengumpulan data dengan membaca dan menelaah literatur-literatur 2 3 Ibid., 4. 4 Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru, 126.

  Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang. System pendidikan nasinal yang berhubungan dengan permasalah-permasalah yang telah dirumuskan. Adapun metode analisa data yang digunakan dalam penulisan, penulis mempertimbangkan metode induksi

  5 dan deduksi.

6 Nilai-Nilai Moral dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

  Pendidikan adalah proses perubahan tingkah laku yang bertujuan agar seseorang dapat berfikir, merasa dan bertindak. Perubahan ini harus mengarah pada nilai-nilai dasar, gagasan dan aspirasi yang dimiliki dan dicita-citakan oleh masyarakat.

7 Hingga kini dasar, dan tujuan pendidikan nasional secara yuridis masih sama,

  belum berubah. Hal itu ditetapkan kembali dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undanag Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

  Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang- undang”. 5 Metode induksi adalah sebuah metode analisa data yang bertitik tolak dari data-data yang

  bersifat khusus guna menghasilkan pengetahuan tentang suatu hukum umum. Atau induksi adalah suatu metode untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum dari hal-hal yang

bersifat khusus. Berfikir induksi ini berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-

peristiwa yang kongkrit kemudian peristiwa-peristiwa tersebut digeneralisasi yang mempunyai sifat umum, dalam Saifuddin Azwar, Metode Penelitian

   (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 40 6 Metode deduksi adalah sebuah metode analisa data bekerja dengan cara menarik kesimpulan

dari kenyataan umum atas hal khusus, tersusun, guna mencapai suatu kebenaran tentang sesuatu hal dengan menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum, dalam Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunan

(Jakarta: UI Press dan Tintamas, 1986), 121. 7 Nur Wahyu Rochmadi, Dasar & Konsep Pendidikan Moral (Malang: Wineka Media, 2002), 1. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

  8 Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 ayat (1) dan (2), disebutkan bahwa; 1.

  Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat Bangsa dan Negara.

2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) dan (2) UU

  Sisdiknas itu adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa, dan Negara. Pada intinya, pendidikan adalah untuk menciptakan anak didik

  9

  yang bermoral. Pendidikan sebagai sebuah proses diharapkan dapat mewujudkan peserta didik yang mampu mengembangkan segala potensi dirinya sehingga memiliki 8 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Cemerlang, 2003), 3. kekuatan spiritual (penghayatan agama), pengendalian diri, berkepribadian, kecerdasan, berakhlak mulia (bermoral), serta memiliki keterampilan lainnya yang diperlukan dirinya, masyarakatnya, bangsa maupun negaranya.

  Pendidikan moral, kalau ditinjau dari satu sudut, memiliki hubungan yang erat dengan agama sehingga bahan pendidikan moral pada suatu Negara sangat tergantung pada agama atau idiologi apa yang dianut oleh mayoritas penduduk Negara tersebut, pendidikan moral bertujuan untuk menyampaikan serangkaian peraturan yang berlaku umum ditengah-tengah masyarakat atau mengajarkan kepada murid-murid. Ketentuan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan harus

  10

  dipatuhi. Semua agama yang ada di dunia ini mengandung ajaran moral, baik agama Islam, Nasrani, Budha, Hindu, dan sebagainya. Istilah sosiologi hal ini sering disebut agama yang berbentuk vertical dan horizontal. Hanya saja para penganut kepercayaan atau agama yang tidak mau mengenalkan ajaran-ajaran moral lebih disebabkan oleh

  11 pengaruh lingkungan di mana mereka tinggal.

  Pedidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola prilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya, nilai-nilai moral yang diajarkan erat kaitannya dengan agama atau idiologi yang dianut oleh suatu masyarakat termasuk di dalamnya nilai-nilai kebudayaan (kultur) setempat. Dalam hal ini masyarat Indonesia dengan keragaman budaya, adat istiadat, bahasa (multikultur) tentunya.

  Seperti yang kita ketahui Bangsa Indonesia memilik filsafah idiologi pancasila, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun disusun atas dasar 10 Muhammad Ar, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi Atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003), 104. Pancasila. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pendidikan di Indonesia juga berdasarkan Pancasil, seperti termaktub dalam UU No. 4 tahun 1950, bab III pasal 4 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran, yang berbunyi;

  ”Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam pancasila undang-undang dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia dan atas kebudayaan Indonesia.

  ” Sedangkan tujuan pendidikan nasional menurut UU no. 20 tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung

  

13

  jawab, yaitu pasal 2 dan 3 yang berbunyi; Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa an sich, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdas diri, sosial, Negara Bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia, fungsi pendidikan sedikit disinggung pada bab II pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartaban dalam

  14 rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa.

  Proses belajar mengajar (PBM) pada suatu institusi pendidikan pendidik (guru) dan para pelaku pendidikan perlu mengetahui betul perihal prinsip dalam

  12 13 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 44.

  UU Sisdiknas, 7. penyelenggaraan pendidikan. Sebab hal itu merupakan titik tolak yang dijadikan pijakan penting dalam dunia pendidikan nasionam kita.

  15 Prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional tersebut secara jelas diuraikan

16 Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

  dalm UU Sisdiknas pasal 4, bahwa (1):

  diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan Bangsa.

  Kekuatan spiritual yang dimaksudkan dalam pasal 1, adalah merupakan sasaran yang akan dicapai dalam proses pendidikan di Indonesia, selain dari kekuatan spiritual juga pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang lain yamg dibutuhkan diri dan masyarakatnya. Nilai-nilai agama juga sebagai pondasi sistem pendidikan Indonesia yang berasaskan pancasila dan UU Dasar 45, selain dari nilai-nilai budaya Nasional (pasal 2).

  Berkaitan dengan pasal-pasal yang menjelaskan tentang pendidikan agama diatas, dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diatur pada bab dan pasal-pasal berikutnya.

  Pada bab V, Pasal 12 (1); (a), dan (2); (a), tentang peserta didik disebutkan:

  17

  1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak;

  Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

  15 Mahfud, Pendidikan Multikultural, 49. 16 UU Sisdiknas., 8.

  2) Setiap peserta didik berkewajiban: Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.

  Penjelasan; Pendidikan dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3).

  Catatan Kritis Atas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

  Siapapun yang mengikuti pembahasan RUU sikdiknas dulu dan sekarang, mungkin akan sepakat bahwa adanya penjelasan pasal 28 ayat 2 UU nomor 2 tahun 1989 kedalam naskah RUU Sisdiknas yang baru, setidaknya mencerminkan dua pertentangan utama, yakni:

  1) Pihak yang sepakat dan merasakan bahwa pendidikan agama sangat penting diberikan pada siswa, karena hal tersebut merupakan bekal moral siswa dalam menghadapi, mengapresiasi, dan menginterpretasikan masalah-masalah dalam kehidupan kelak. Dalam kasus ini, pihak yang sepakat ini diwakili oleh Majlis ulama Indonesia (MUI) dan berbagai organisasi keagamaan Islam yang mendukung atas usulan draf tersebut, draf tersebut dinilai mereka menghargai pluralisme dan otonomi pendidikan

  2) Pihak yang menentang adanya pendidikan agama beralasan bahwa telah terjadi pemaksaan dan juga formalisasi keagamaan bagi anak didik. Dan itu melanggar kebebasan beragama, hak Asasi Manusia (HAM), dan tolerasi beragama sebagai bagian dari upaya menciptakan kehidupan yang harmonis. Dalam hal ini masyarakat kebanyakan yang menentang mengangagap draf itu kurang memperhatikan pluralisne pendidikan (masyarakat) dan tidak memberikan ruang kebebasan (otomi) pendidikan yang sedang digalakan.

  Pada bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, pada pasal 4 pada ayat (1) sangat jelas dinyatakan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjungjung hak asasi manusia, nilai keagaamaan nilai kultur, dan pluralisme Bangsa. Tetapi banyak orang yang menaruh tafsir yang ambigu, ketika menyatakan bahwa salah satu jalan untuk mencapai pintu masuk kedalam kesadaran HAM plurasilsme serta demokrasi adalah dengan memeberikan pendidikan agama bagi siswa. Di sisi lain, bagaimana bisa dimengerti bahwa tujuan pendidikan adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan, seperti tercantum pada

  pasal 3 sementara kebebasan untuk beriman dan bertakwa masih diatur-atur?. Terdapat kecenderung bahwa dalam pasal 12 ayat (1) UU Sisdinas itu pendidikan agama cenderung eklusif (tertutup) dan tidak mementingkan aspek toleransi beragama dalam ragam pluralisme. Sudah menjadi kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Yang sangat banyak pengalaman konflik antar etnis, antar agama dan antar kelas sosial. Oleh karena itu, dunia pendidikan seharusnya dirancang untuk menghadapi era informasi dan teknologi serta pasar bebas (pandangan kaum progresip) atau melestarikan nilai-nilai luhur Bangsa,

  20 juga dalam rangka menghdapi realita konflik antar etnis atau antar agama.

  Pasal yang paling banyak diprotes adalah soal keterkaitan pendidikan dan agama, atau pendidikan agama. Jika diruntut kebelakang, kita memiliki UU Sisdiknas yang memuat unsur pendidika agama. Atas hasil yang didapatkan setelah anak didik mendapatkan pendidikan agama ternyata ditingkatan mikro, narkoba masuk sekolah, tawuran antar pelajar, dan praktek suap-menyuap menjadi hal yang biasa. Hal itu, sebagai kritik atas UU No 2/1989 (UU sikdiknas yang lama ) belum lagi ditingkatan makro korupsi, kekerasan, kerusuan merupakan kenyataan yang jauh dari nilai-nilai agama. Hal itu dinilai UU Sisdiknas yang berlaku ternyata tidak efektif, dan dianggap

  21 gagal baik secara konseptual mamupun aplikasinya dilapangan.

  Peran Negara terhadap agama melalui instrument regulatif, seharusnya lebih terfokus pada jaminan negara terhadap kebebasan warga negaranya untuk memeluk agamanya dan beribadah demi penumbuhan imannya secara bebas, bukan sebaliknya dimana Negara mengatur iman warga negaranya. Negara dalam hal kebebasan beragam memberikan kebebasan kepada warganya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing

  Pendidikan sebagaimana dinyatakan dalan pasal 1 ayat (1) dan (2) UU Sisdiknas itu adalah sebagi usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengebangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalin diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan 20 Ibid., 46. budi mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa, dan Negara. Pada intinya, pendidikan merupakan usaha guna menciptakan anak didik yang memiliki moral (bermoral).

  Tujuan mewujudkan moralitas anak didik ini justru akan terhambat manakala terdapat rekayasa sistematis dari Negara untuk melaksanakan model (baca :mekanisme) pendidikan agama tertentu kepada anak didik. Oleh karena itu, perlu dipikirkan ulang pasal-pasal yang kontrofersi tersebut agar (a) tujuan pendidikan tidak terhambat dan (b) kebijakan bisa ditaati semua pihak dengan lapang hati. Di era reformasi ini kita membutuhkan UU yang bia ditaati semua pihak dengan legawa dan selama ini pemerintah belum sama sekali mewujudkannya. Apalagi dalam kontes UU

  22 yang mengatur sektor pendidikan sebagai hal yang sangat fital.

  Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan segala hal-hal yang positif yang dijanjikan oleh undang- undang tersebut, sayang sekali pengaturan mengenai keterkaitan yang erat antara kebudayaan dan pendidikan tidak begitu ditonjolkan di dalam undang-undang tersebut. Kecuali di dalam pasal 4 ayat (1) sedikit disinggung mengenai masalah nilai-nilai kultural sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan yang harus

  23

  memperhatikan nilai-nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dengan sendirinya masalah multikultural sama sekali tidak digubris dalam pasal-pasal undang-undang tersebut.

22 Ibid.,53.

  Secara resmi dan legal pendidikan formal merupakan porsi Negara atau fungsi Negara: yaitu Negara atau pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengurusi pendidikan nasional. Sebab Negara punya kekuasaan untuk mengarakan sistem pendidikan dan menduduki posisi ideal secara ekonomis dan politis untuk mengaturnya dengan baik. Disamping itu diperlukan pula filsafat pendidikan yang menjadi sumber panutan bagi kebijakan pendidikan, strategi pendidikan dan operasionalisasi pendidikan yang pada hakekatanya merupakan kombinasi penjabarab

  24 dari: filsafat Negara dan keberlangsungan pandangan hidup rakyat.

  Masyarakat Indonesia adalah bhineka (majemuk, pluralitas) karena itu Negara/pemerintah bukan kekuasaan satu-satunya yang menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat. Ada partisipasi dari banyak kekuatan sosial yaitu: pihak swasta dan perorangan ikut menyelenggarakan pendidikan dengan pedoman , persyaratan formal, asas kesatuan dan kesatuan Bangsa, kenasionalan dan filsafat

  25 Negara, supaya tidak terjadi keos dan liberalisme pendidikan.

  Maka Negara mengadakan ketentuan peraturan serta undang-undang pendidikan yang dipakai sebagai pola dasar bagi sisitem pendidikan, agar supaya konfrom dengan tujuan umum Negara Indonesia. Sebab pada akhirnya tujuan pendidikan nasional merupakan penjabaran dari tujuan Negara: sekaligus juga merupakan kodensasi dari tujuan hidup rakyat Indonesia (yang punya Negara dan pengaruh Negara tersebut). Maka pengertian luas tujuan pendidikan national selalu dihubungkan dengan: 24 Kartini Kartono, Tinjauan politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasiona: Beberapa Kritik dan Sugest (Jakarta: Pradanya Paramita, 1977 )25 .

  Ideal-ideal sosial milik manusia/rakyat Indonesia dan

  26 ideal-ideal politik/urusa Negara republik Indonesia.

  Negara memang berwenang menentukan aturan dan undang-undang yang dipakai sebagai pola dasar umum bagi sisitem pendidikan nasional. Negara punya fungsi regulasi atau mengatur dan mengawasi pelaksanaan pendidikan, supaya tidak terjadi kelas dan penyimpangan, disamping tidak merusak peraturan nasional yang merugikan rakyat dan Negara. Fungsi regulasi dan pengawasan dilakukan dengan adil dan semerata mungkin.

  Pendidikan akan bermanfaat bagi kehidupan, bila: bersumber dan dibangun atas landasan pola kebenaran lokal, regional dan nasional serta langsung mengait kebutuhan pokok anak didik dan rakyat pada masa itu. Maka pendidikan bisa dikembangkan dalam batas limitasi ekonomi dan geografis lokal serta regional.

  Karena itu semua lembaga pendidikan patut meremajakan diri, sejajar dengan pesatnya perkembangan masyarakatnya; dan terus menerus membuka diri terhadap kemajuan, ilmu pengetahuan modern dan teknologi. Maka gerak, aliran, perubahan dan pembaharuan tak dapat dihindari oleh dunia pendidikan, jika pendidikan menjalankan fungsinya. Inilah yang oleh beberapa sarjana disebut sebagai revolusi

  27 budaya/kultural dalam dunia pendidikan.

  Sebgai suatu paradigma baru dalam sistem penddikan nasional, maka perlu dirumuskan bagaimana pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan pengembangan konsep negara bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia 26 Ibid., 85. yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia sebagai suatu proses pembudayan ke arah perwujudan identitas manusia dan budaya Indonesia, maka proses tersebut bukannya menghilangkan pluralitas budayaa-budaya mikro di Indonesia tetapi merupakan suatu proses mozaiqisasi budaya Indonesia.

  Peran Negara selayaknya luwes, terbuka, penuh kearifan lewat birokrasi modern. Demikian juga halnya dengan kebijakan Negara mengenai pendidikan agama. Selayaknya Negara tidak mengatur secara langsung dalam hal beragama tapi lebih bersifat luwes, terbuka dan arif sehingga akan tercipta kesadaran individual dalam beragama sesuai dengan keimanan agamanya masing-masing.

  Menanggapi polemik ini hendaknya disadari bahwa tugas penting para perumus pendidikan bukanlah untuk menciptakan anak didik yang sempit berfikirnya melainkan untuk membuka wacana keagamaanya, sejauh mungkin. Agama yang dianut adalah urusannya sendiri kepada Tuhan, sedangkan urusanya kepada realitas adalah bagaimana ia menghargai pluralisme dan multikulturalisme, sehingga disini ia tidak terjebak pada politisasi agama, yang justru akan menghancurkan substansi

  29 agama itu sendiri.

  Kesimpulan

  Bebarapa uraian penelitian di atas, maka dapat penulis ambil kesimpulan yang diantaranya adalah. 28 H. A.R. Tilar, Multikulturaisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004),184.

  1) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang

  Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dapat disimpulkaan bahwa, kekuatan spiritual keagamaan merupakan sasaran yang akan dicapai dalam proses pendidikan di Indonesia, selain dari pada pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang lain yamg dibutuhkan diri dan masyarakatnya (pasal 1 ayat 1). 2)

  Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan segala hal-hal yang positif yang dijanjikan oleh undang-undang tersebut, sayang sekali pengaturan mengenai keterkaitan yang erat antara kebudayaan dan pendidikan tidak begitu ditonjolkan di dalam undang-undang tersebut.

  

Daftar Pustaka

Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa (Yogyakarta: Elkis, 2005).

  Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

  H. A.R. Tilar, Multikulturaisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam

Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT. Grasindo, 2004).

Kartini Kartono, Tinjauan politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasiona: Beberapa Kritik dan Sugest (Jakarta: Pradanya Paramita, 1977 ). Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunan (Jakarta: UI Press dan Tintamas, 1986). Muhammad Ar, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi Atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta: Prismashopie, 2003). Nur Wahyu Rochmad, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral (Malang: Winikadi, 2002). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang. System pendidikan nasinal 200. (Jakarta: Cemerlang, 2003). Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).