Jenis Insisi Frekuensi Presentase
HUBUNGAN JENIS INSISI KATARAK DENGAN KEJADIAN SINDROMA
MATA KERING PASIEN PASCA OPERASI KATARAK
Katarak merupakan penyebab utama terjadinya kebutaan dan gangguan penglihatan di dunia. Sesuai dengan distribusi penyebab kebutaan estimasi global, katarak merupakan penyebab utama dari kebutaan yaitu sebesar 51%, diikuti oleh glaucoma dan
tongan pada konjunctiva dan sklera, hingga phacoemulsifikasi (PHACO) dengan insisi transkorneal dengan variasi lokasi insisi di superior dan temporal, (Steinert, 2010). Di Rumah Sakit Mata Bali Mandara sendiri me- makai teknik SICS dan PHACO dalam pe- nanganan operasi katarak. Data terakhir di tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara 150 orang/bulan, yaitu terdiri dari SICS rata-rata 70 orang/bulan dan PHACO rata-rata 80 orang/bulan (Catatan RM RSMBM, 2015)
traction (ECCE), teknik Small Incision Cata- ract Surgery (SICS) yang melibatkan pemo-
Sampai saat ini penanganan utama pada penderita katarak adalah dengan teknik operasi. Teknik operasi katarak ada beberapa teknik diantaranya mulai dari insisi korne- oskleral pada Extra Capsular Cataract Ex-
Data terakhir menunjukkan angka kebutaan disebabkan oleh katarak di Indone- sia sangat besar yaitu diperkirakan lebih dari 50% atau sekitar 240.000 orang setiap ta- hunnya memerlukan operasi katarak (Depkes RI, 2015). Data ini tersebar diseluruh kepu- lauan Indonesia termasuk Provinsi Bali. Ru- mah Sakit Mata Bali Mandara yang merupa- kan Rumah Sakit khusus Indera di Bali, menunjukkan bahwa angka morbidity akibat katarak dari tahun ke tahun masih merupakan kasus terbanyak dari sepuluh besar penyakit gangguan penglihatan, dimana hal ini perlu mendapat penanganan yang serius.
Indonesia merupakan Negara urutan ketiga dengan angka kebutaan terbanyak di dunia dan urutan pertama terbanyak di Asia Tenggara (WHO, 2010).
Age related Macular Degeneration (AMD).
Keywords: cataract, dry eyes syndrome, type of incision PENDAHULUAN
I Nyoman Widiadnyana, I Kadek Nuryanto, I Gusti Ngurah Made Kusuma Negara
Discussion : The types of cataract incision had a significant relationship to the occurrence of
dry eyes syndrome. Therefore, nurses are expected to be able to provide care and give CIE
(communication, information, and education) to reduce the complications.
Results : 10 respondents who had the SISC and 5 respondents who had the Phacoemulsifica-
tion experienced dry eyes syndrome. The result of Chi Square test showed that p-value was
0.009; which means there was a significant relationship between the types of cataract incision
with the incidence of dry eyes syndrome.
The total sample used in this study were 78 respondents, in which 51 respondents had under-
gone Phacoemulsification incision and 27 respondents had undergone SICS incision. The data
collection tool used was the OSDI questionnaires.
Methods : This study used descriptive correlation design with cross-sectional approach. The
sampling method used was non-probability sampling with consecutive sampling technique.
ABSTRACT
Introduction : Cataract surgery is a surgery for cataract patients. This surgery has some com-
plications, such as the occurrence of dry eyes syndrome. There are two techniques of cataract
surgery; they are Phacoemulsification and SISC with different type of incision. The purpose of
this study was to determine the relationship between the types of cataract incision with the in-
cidence of dry eyes syndrome.Email : [email protected]
RS Mata Bali Mandara, Jl. Angsoka No 8 Denpasar, Bali, 80234 STIKES BALI Jl. Tukad Balian No.180, Renon,Denpasar, Bali, 80227
Teknik insisi katarak tersebut akan mengakibatkan kerusakan dari bagian mata antara lain pada kornea, konjungtiva dan lapisan air mata (LAM) sehingga memicu timbulnya beberapa komplikasi pasca operasi
JRKN Vol.01/No. 01/April-September/2017 Insisi Katarak
katarak. Apabila terjadi gangguan pada salah satu komponen seperti timbulnya disrupsi lengkung neuronal yang disebabkan oleh in- sisi pada operasi katarak maka mengakibat- kan ketidakstabilan LAM yang dapat mence- tuskan terjadinya sindrom mata kering (SMK). Sindroma mata kering atau dry eye
syndrome merupakan kumpulan gangguan
pada LAM yang disebabkan oleh penurunan produksi air mata dan atau peningkatan pen- guapan air mata, sehingga timbul gejala mata terasa tidak nyaman (seperti iritasi, perih, be- rair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, merasa mengantuk, mudah lelah) dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila sudah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan perforasi, dimana Dry eye ini sering dijumpai, mengenai hampir 10-30% penduduk, tidak pandang ras, gender maupun umur (Asyari, 2007).
METODE PENELITIAN
Menurut Asbell & Lemp (2011), operasi katarak merupakan salah satu penyebab terjadinya sindroma mata kering (dry eye) disamping dipengaruhi oleh factor penyebab lainnya. Hasil penelitian yang dil- akukan oleh Cho & Kim, (2009) juga menya- takan operasi katarak menyebabkan ter- jadinya sindroma mata kering. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Retnani- adi S, dkk (2012) dengan judul “Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak Terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering” menya- takan bahwa terdapat hubungan yang signif- ikan antara jenis insisi pada operasi katarak dengan terjadinya sindroma mata kering dengan nilai p value 0.018. Hal yang berbeda justru ditemukan pada penelitian yang dil- akukan oleh Dasgupta S, Gupta R.(2016) menyatakan bahwa jenis insisi terutama Phacoemulsification dan SICS mengakibat- kan sidroma mata kering dengan pengaruh yang sama atau tidak berhubungan.
Berdasarkan catatan rekam medis pasien, dari sekian banyak pasien yang telah mendapat tindakan operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara, pasien sering menunjukan gejala sindroma mata kering, diantaranya pasien mengeluhkan mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada mengganjal, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk dan cepat lelah. Dari data keluhan pasien tersebut, selama ini be- lum ada penelitian atau kajian khusus yang dilakukan untuk memastikan apakah pasien pasca operasi katarak tersebut mengalami sindroma mata kering atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut maka penting untuk melakukan suatu penelitian terhadap keluhan pasien tersebut, karena apabila pasien men- galami sindroma mata kering akan meng- ganggu proses penyembuhan luka operasi dan cenderung akan mempengaruhi kemajuan visus atau tajam penglihatan pasien.
Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui hubungan antara jenis insisi kata- rak (SICS dan PHACO) dengan kejadian sin- droma mata kering yang dialami oleh pasien pasca operasi katarak. Hasilnya yang di- peroleh diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan pelayanan dan mempercepat proses penyembuhan serta pen- ingkatan tajam penglihatan pasien.
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi melalui pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel yaitu jenis insisi katarak dengan ke- jadian sindroma mata kering pada pasien pas- ca operasi katarak di Rumah Sakit Bali Man- dara. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsifikasi dan SICS pada periode penelitian. Cara pengambilan sampel dengan non probability sampling dengan teknik consecutive sampling, yaitu semua pasien pasca operasi katarak dengan teknik phacoemulsifikasi dan SICS yang me- menuhi criteria inklusi dan eksklusi, sehingga didapatkan jumlah responden sebanyak 78 responden yang terdiri dari 51 responden pa- da insisi Phaco dan 27 responden pada insisi SICS
Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode survey dengan kuisioner (questionnaires) yang terdiri dari data demografi empat pertanyaan (usia, jenis kelamin, pendidikan dan peker- jaan), OSDI (Ocular Surface Disease Index) yang terdiri dari 12 pertanyaan. OSDI (Ocular Surface Disease Index) adalah instru- ment yang valid dan reliable untuk mengukur sindroma mata kering (Schiffman, Christian- son, Jacobsen, Hirsch, & Reis, 2000). Kui- sioner ini langsung diberikan kepada pasien pasca operasi katarak yang telah memenuhi kriteria sebagai responden.
Dalam melakukan analisis, data yang diperoleh terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang ditempuh yaitu Edit-
JRKN Vol.01/No. 01/April-September/2017 Insisi Katarak
ing, Coding, Entry dan cleaning data.Data yang sudah diolah kemudian Tabel 2. Variabel jenis insisi katarak (n=78) dilakukan analisis data. Analisis data dalam penelitian ini dibedakan menjadi analisis uni-
Jenis Insisi Frekuensi Presentase
variat dan bivariat. Uji statistik yang digunakan untuk mendapatkan korelasi antara SICS
27
34.6 kedua variabel adalah Chi Square yaitu uji statistik yang digunakan untuk menguji 2 var-
PHACO
51
65.4 iabel (independen dan dependen variable) yang keduanya berkategori nominal. Nilai
Tabel 2 diatas menunjukan bahwa dari
expected tidak boleh kurang dari 5 (maksimal
78 responden, berdasarkan jenis insisi katarak 20% expected frequencies < 5) (Weiss and yaitu sebanyak 27 orang (34.6%) Weiss, 2008 dalam Swarjana, 2015). menggunakan jenis insisi SICS (Small Inci-
sion Cataract Surgery) dan 51 orang (65.4%)
HASIL PENELITIAN
menggunakan jenis insisi PHACO Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden (Phacoemulsification).
(n=78) Tabel 3. Variabel kejadian sindroma mata
Kategori Frekuensi Presentase kering (n=78) Umur 45-54 Th 11 14,1
SMK
55-64 TH 18 23,1
Jenis Insisi Total
Ya % Tid- 65-74 Th 34 43,6 ak % >75 TH 15 19,2
SICS 10 37.0 17 63.
27 Jenis Kelamin PHACO
Laki-Laki 36 46,2 5 9.8 46 90.
51
2 Perempuan 42 53,8 Tabel 3 diatas menunjukkan bahwa dari 27 responden yang menggunakan jenis insisi
Pendidikan katarak metode SISC (Small Incision Cata-
ract Surgery) yang mengalami sindroma mata
Tidak Sekolah 13 16,7 kering yaitu sebanyak 10 orang (37.0%), se- SD 32 41,0 dangkan pada jenis insisi katarak yang SMP 14 17,9 menggunakan metode PHACO SMA 12 15,4
(Phacoemulsification) dari 51 responden yang mengalami sindroma mata kering Diploma/PT 7 9,0 sebanyak 5 orang (9.8%).
Pekerjaan Tidak Bekerja 28 35,9 Petani 19 24,3 PNS 7 9,0 Swasta 24 30,8
Tabel 4. Hasil hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak di RSMBM (n=78) Hasil analisis uji statistik hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma ma- ta kering pada pasien pasca operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali Mandara dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p = 0.009 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=5.4 artinya jenis insisi PHACO (Phacoemulsification) mempunyai peluang 5.4 kali untuk tidak terkena sindroma mata kering.
80.8 78 100
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa insisi katarak dengan menggunakan SICS lebih banyak mengalami sindroma ma- ta kering yaitu sebanyak 37.0 % dibanding- kan dengan jenis insisi PHACO yang hanya sebanyak 9.8 %. Hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan jenis insisi yang dil- akukan pada pasien antara metode SICS dan PHACO yang mana jenis insisi dengan PHACO insisinya lebih kecil dibandingkan SICS, sehingga respon trauma dan inflamasi yang terjadi memberikan dampak yang ber- beda untuk terjadinya sindroma mata kering. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
Menurut Asyari (2007), Sindroma Mata Kering (Dry eye syndrome) merupakan suatu kelompok gejala dimana mata terasa tidak nyaman, seperti iritasi, perih, berair, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, cepat merasa mengantuk, cepat lelah, dan dapat terjadi penurunan tajam penglihatan bila su- dah terjadi kerusakan epitel kornea bahkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terjadi perforasi kornea dan kebutaan.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Manda- ra didapatkan bahwa sebanyak 15 orang dari 78 orang responden mengalami sindroma mata kering yang terdiri dari jenis insisi SICS 10 orang (37.0%) dan jenis insisi PHACO sebanyak 5 orang (9.8%).
B. Kejadian Sindroma Mata Kering
Teknik insisi operasi katarak dengan metode PHACO lebih banyak dilakukan di Rumah Sakit Mata Bali Mandara karena komplikasi yang ditimbulkan setelah operasi katarak dapat diminimalisir, karena jenis operasi katarak ini insisinya kecil tanpa me- merlukan jahitan, sehingga proses penyem- buhan bisa lebih cepat, sedangkan metode SICS digunakan karena pada pasien dengan katarak matur padat metode PHACO kurang efektif untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Steinert,(2010) yang menyatakan bahwa teknik Fakoemulsi- fikasi (PHACO) menghasilkan komplikasi yang berhubungan dengan luka operasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tehnik yang memerlukan insisi yang lebih besar seperti SICS, penyembuhan luka juga bisa lebih cepat, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat, akan tetapi teknik PHACO ini kurang efektif pada pasien katarak senilis yang padat (katarak senilis matur padat), sehingga metode SICS menjadi pilihan se- lanjutnya.
Insisi teknik SICS tersebut biasanya hanya memerlukan 1 jahitan (Steinert, 2010). Se- dangkan, teknik fakoemulsifikasi (PHACO) merupakan teknik ekstrakapsuler yang menggunakan getaran-getaran ultrasonic untuk mengangkat nucleus dan korteks dengan insisi yang kecil (2-5mm).
teknik Ekstracapsular Cataract Surgery (ECCE) dimana keseluruhan lensa dikeluar- kan dari mata melalui jalan luka di sclera.
Surgery (SICS) merupakan evolusi dari
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Mata Bali Mandara didapatkan bahwa dari 78 responden sebanyak 27 orang (34.6%) menggunakan jenis insisi SICS dan 51 orang (65.4%) menggunakan jenis insisi PHACO. Teknik Small Incision Cataract
PEMBAHASAN
63
Jenis Insisi Kejadian SMK Total OR (95% CI) P value
19.2
15
90.2 51 100 1.6-18.1 Jumlah
46
9.8
5
63.0 27 100 5.4 0.009 PHACO
17
37.0
10
SMK Tidak SMK f % f % f % SICS
A. Jenis Insisi Katarak
Steinert (2010), bahwa Fakoemulsifikasi menghasilkan komplikasi yang berhubungan dengan luka operasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tehnik yang memer- lukan insisi yang lebih besar, penyembuhan luka juga bisa lebih cepat, dan rehabilitasi visual yang lebih cepat, dibandingkan dengan teknik insisi SICS. Selain itu menurut Zhang S, Li YZ (2010), bahwa hampir semua jenis operasi mata dapat menyebabkan ketid- akstabilan kelenjar air mata (LAM), sehingga menyebabkan terjadinya sindroma mata ker- ing. Sindroma mata kering ini terjadi dikare- nakan oleh beberapa alasan sebagai berikut, pertama karena trauma pembedahan: insisi atau bedah dapat merusak bagian dari stem sel limbal, sel goblet konjungtiva, mengu- rangi sekresi musin, edema dapat mengu- rangi adhesi musin dari epitel permukaan ma- ta, merubah kelengkungan kornea, sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi sta- bilitas film air mata. Kedua, inflamasi pasca operasi katarak: respon inflamasi setelah operasi katarak menyebabkan kemotaksis leukosit dan pelepasan enzim lisosom, yang dapat mengakibatkan kerusakan kornea, se- hingga meningkatkan peluang terjadinya sin- droma mata kering.
Menurut Asbell & Lemp (2011), operasi katarak merupakan salah satu penyebab ter- jadinya sindroma mata kering (dry eye) disamping dipengaruhi oleh faktor penyebab lainnya. Menurut Steinert, (2010) menya- takan bahwa sindroma mata kering disebab- kan oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah karena operasi katarak. Operasi kata- rak menyebabkan terjadinya sindroma mata kering karena teknik insisi katarak tersebut akan mengakibatkan kerusakan dari bagian mata antara lain pada kornea, konjungtiva dan lapisan air mata (LAM) sehingga memicu timbulnya beberapa komplikasi pasca operasi katarak. Apabila terjadi gangguan pada salah satu komponen seperti timbulnya disrupsi lengkung neuronal yang disebabkan oleh in- sisi pada operasi katarak maka mengakibat- kan ketidakstabilan LAM yang dapat mence- tuskan terjadinya sindrom mata kering (SMK).
Hasil analisis uji statistik hubungan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi katarak di Rumah Sakit Mata Bali
Mandara dengan menggunakan uji Chi
Square diperoleh nilai p = 0.009 yang berarti
terdapat hubungan yang signifikan antara jenis insisi katarak dengan kejadian sindroma mata kering pada pasien pasca operasi kata- rak. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=5.4 artinya jenis insisi PHACO mempu- nyai peluang 5.4 kali untuk tidak terkena sin- droma mata kering. Hubungan yang signif- ikan ini terjadi karena adanya perbedaan jenis insisi yang dilakukan pada operasi katarak, dimana insisi pada operasi menggunakan metode SICS insisinya lebih lebar daripada metode PHACO. Insisi yg lebar cenderung mengakibatkan kerusakan lebih besar pada konjungtiva dan kornea, dimana akan terjadi proses trauma dan inflamasi yang menyebab- kan terganggunya fungsi LAM (lapisan air mata), insisi yang lebar pun dapat merusak stem sel dan sel goblet sehingga hal ini ber- peran penting dalam kejadian sindroma mata kering.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Retnaniadi S, dkk (2012) dengan judul “Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindro- ma Mata Kering”, menyatakan bahwa ter- dapat hubungan signifikan antara jenis insi si pada operasi katarak dengan terjadinya sindroma mata kering dengan (p=0,018). Menurut Retnaniadi, hal ini disebabkan oleh pemotongan konjungtiva pada operasi katarak menyebabkan hilangnya sel stem dan sel gob- let yang ada pada konjungtiva, sehingga sekresi musin pada LAM menjadi menurun. Insisi kornea dalam operasi katarak me- nyebabkan terjadinya penurunan sensasi kor- nea. Pemotongan pada ujung saraf trigeminal cabang optalmik menyebabkan sekresi air mata menurun. Insisi pada saraf tepi juga me- nyebabkan terjadinya penurunan refleks berkedip sehingga mempengaruhi tingginya evaporasi pada permukaan mata serta meng- ganggu pembentukan LAM. Gangguan pada integritas pleksus saraf kornea mempunyai andil yang cukup besar dalam proses ter- jadinya SMK.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Asbell & Lemp (2011), operasi katarak merupakan salah satu penyebab terjadinya sindroma mata kering (dry eye) disamping dipengaruhi oleh factor penyebab lainnya. Demikian juga halnya menurut Zhang S, Li YZ (2010), hampir semua operasi mata dapat menyebabkan ketidakstabilan kelenjar air mata (LAM), sehingga menyebabkan ter- jadinya sindroma mata kering. Hubungan ini
C. Hubungan Antara Jenis Insisi Katarak Dengan Kejadian Sindroma Mata Ker- ing
terjadi karena dengan perbedaan jenis insisi and Manual-SICS : A Prospective Study katarak maka akan mengakibatkan perbedaan
Based On Indian Scenario. Gouji Yanke
komplikasi pasca operasi katarak, tergantung Zhazhi (Int Eye Sci) dari lebar insisi dan respon inflamasi yang Depkes RI. (2015). Katarak Dapat Disem- terjadi, antara jenis insisi SICS dan PHACO
buhkan. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016,
terdapat beda teknik insisi dan healing pro- dari http://www.depkes.go.id/article/ cess. view/15060300002/
Retnaniadi, dkk. (2012) Pengaruh Jenis Insisi
KESIMPULAN Pada Operasi Katarak terhadap Ter-
Dari hasil penelitian dan pembahasan
jadinya Sindroma Mata Kering, Jurnal mengenai hubungan jenis insisi katarak Kedokteran Brawijaya, vol 27.
dengan kejadian sindroma mata kering pada Schiffman, R. M., Christianson, M. D., Ja- pasien pasca operasi katarak di Rumah Sakit cobsen, G., Hirsch, J. D., & Reis, B. L. Mata Bali Mandara dapat ditarik kesimpulan (2000). Reliability and validity of the sebagai berikut : Ocular Surface Disease Index. Archives
1. Jenis insisi katarak yang dilakukan pada of Ophthalmology, 118(5), 615–621. pasien katarak di Rumah Sakit Mata Bali Diperoleh tanggal 2 Mei 2016, dari Mandara terhadap 78 responden adalah http://doi.org/10.1001/ jenis insisi SICS dan PHACO, yang archopht.118.5.615 terdiri dari insisi SICS sebanyak 27 Steinert, R. F. (2010). Cataract Surgery.
(34.6%) orang dan PHACO sebanyak 51 Saunders Elsevier. Diperoleh tanggal 2 (65.4%) orang.
Mei 2016, dari https://
2. Kejadian sindroma mata kering pasien books.google.co.id/books? pasca operasi katarak di Rumah Sakit id=NbM_MAd0dLIC Mata Bali Mandara dari 78 responden
Swarjana, K. (2015). Metodologi Penelitian adalah sebanyak 15 orang, yang ber- Kesehatan : Edisi Revisi. Yogyakarta : dasarkan jenis insisinya dapat dibedakan ANDI menjadi, insisi SICS sebanyak 10 orang WHO. (2010). Visual Impairment and Blind- (37.0%) dan 5 orang (9.8%) dari jenis ness 2010. Diperoleh tanggal 4 Mei insisi PHACO.
2016, dari http://www.who.int/
3. Berdasarkan hasil analisa statistika blindness/publications/globaldata/en/ menggunakan uji Chi Square diperoleh Zhang S, Li YZ. (2010). Research of Ocular yaitu adanya hubungan yang signifikan
Surface Changes After Incisions of Cat-
antara jenis insisi katarak dengan kejadi-
aract Surgery. Intl J Ophthalmol (Guoji
an sindroma mata kering pada pasien Yanke Zazhi) pasca operasi katarak, yaitu dengan P value = 0.009
DAFTAR PUSTAKA
Asbell, P. A., & Lemp, M. A. (2011). Dry
Eye Disease: The Clinician’s Guide to Diagnosis and Treatment. Diperoleh
tanggal 4 Mei 2016, dari https:// books.google.co.id/books? id=8MP1c1TyjXYC
Asyari. (2007) Dry Eye Syndrome (Sindroma
Mata Kering), Dexa Media no 4, vol 20, hal 162-167, 2007.
Cho, Y. K., & Kim, M. S. (2009). Dry Eye
After Cataract Surgery and Associated Intraoperative Risk Factors. Korean Journal of Ophthalmology : KJO, 23(2),
65–73. Diperoleh tanggal 4 Mei 2016, dari http://doi.org/10.3341/ kjo.2009.23.2.65
Dasgupta S, Gupta R. (2016). The Course of
Dry Eye Following Phacoemulsification