Jurnal Bioteknologi Pertanian: Regenerasi Tanaman dan Transformasi Genetik Salah Pondoh untuk Rekayasa Buah Partenokarpi

Jurnal Bioteknologi
Vol. 9, genetik
No. 2, 2004,
49-55...
Regenerasi
tanaman Pertanian,
dan transformasi
salak pp.
pondoh

49

Regenerasi tanaman dan transformasi genetik salak pondoh
untuk rekayasa buah partenokarpi
Plant regeneration and genetic transformation of salac cv. pondoh
for parthenocarpic fruits engineering
Saptowo J. Pardal, Ika Mariska, E.G. Lestari, dan Slamet
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian,
Jalan Tentara Pelajar Nomor 3A, Bogor 16111, Indonesia

ABSTRACT

Salac cv. pondoh is one of the famous cultivar in Indonesia.
It has a sweet taste fruit even still in young stage, but it also
has disadvantage with a big seed and a thin mesocarp. The
development of parthenocarpic fruits on salac through
genetic engineering is one of the best alternatives to improve
fruit production. Research on plant regeneration and genetic
transformation of salac for parthenocarpic fruit engineering
has been conducted in Indonesian Center for Agricultural
Biotechnology and Genetics Resources Research and Development, Bogor in 2002. The research objectives were to
obtain best protocols of plant regeneration and genetic
transformation of salac through Agrobacterium tumefaciens.
Young and mature zygotic embryos isolated from salac seeds
were used as explants. The results showed that the best
protocol for callus induction was using mature zygotic
embryos as explants cultured on solid woody plant medium
(WPM) supplemented with 2.4-D 5-30 mg/l and picloram 5
mg/l, while the best medium for shoot induction was using solid
WPM added with benzyl adenine (BA) 0.1 mg/l and zeatin 0.1
mg/l or Anderson medium supplemented with zeatin 0.5 mg/
l. Culture using the mature zygotic embryo explants with

small part of endosperm produced more vigorous shoot
growth. Transformation using A. tumefaciens containing gus
gene indicated that the best protocol was obtained using the
bottom side of mature zygotic embryo explants inoculated
with A. tumefaciens 1 x 10 8 cells/ml for 60 minutes shakering
(50 rpm) and 14-21 days cocultivation time. The best
protocols on plant regeneration and genetic transformation
will be used to develop parthenocarpic fruits of salac through
genetic engineering.
[Keywords: Salacca edulis, genetic transformation, in vitro
regeneration]

ABSTRAK
Salak pondoh merupakan salah satu kultivar salak yang paling
populer di Indonesia karena memiliki buah dengan rasa manis
meskipun masih muda. Namun, salak ini memiliki daging buah
yang tipis dengan biji besar. Pengembangan buah salak partenokarpi melalui rekayasa genetik merupakan alternatif
terbaik dalam peningkatan produksi buah. Penelitian regenerasi dan transformasi tanaman salak untuk pembentukan buah

partenokarpi telah dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor pada tahun 2002. Penelitian bertujuan mendapatkan protokol terbaik untuk regenerasi dan transformasi
genetik tanaman salak melalui Agrobacterium tumefaciens.
Eksplan berupa embrio zigotik muda dan tua diisolasi dari biji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol terbaik untuk
induksi kalus adalah menggunakan eksplan embrio zigotik tua
yang dikulturkan pada woody plant medium (WPM) ditambah
dengan 2,4-D 5-30 mg/l dan picloram 5 mg/l, sedangkan
medium terbaik untuk induksi tunas adalah WPM ditambah
benzyl adenine (BA) 0,1 mg/l dan zeatin 0,1 mg/l atau medium Anderson dengan zeatin 0,5 mg/l. Kultur menggunakan
embrio tua dengan sedikit endosperm memberikan pertumbuhan tunas yang lebih baik (vigorous). Transformasi genetik
menggunakan A. tumefaciens yang mengandung gen gus
menunjukkan bahwa protokol terbaik adalah menggunakan
eksplan embrio tua bagian bawah yang diinokulasi A.
tumefaciens dengan kerapatan bakteri 1 x 10 8 sel/ml selama
60 menit di atas shaker (kecepatan 50 rpm) dan inkubasi
selama 14-21 hari. Protokol terbaik regenerasi tanaman dan
transformasi genetik ini siap digunakan untuk pembentukan
buah salak partenokarpi.
[Kata kunci: Salacca edulis, transfer gen, regenerasi in vitro]


PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat berbagai kultivar salak dengan
mutu buah yang beragam (Sudaryono et al. 1993).
Salah satu kultivar tersebut adalah salak pondoh yang
berasal dari Sleman, Yogyakarta. Salak ini mempunyai
buah bercita rasa manis tanpa asam meskipun masih
muda (Purnomo dan Sudaryono 1994). Dengan rasa
khas ini, salak pondoh sangat digemari konsumen,
sehingga harganya lebih mahal dibanding buah salak
dari kultivar lainnya. Namun, daging buah salak pondoh relatif tipis, sehingga hal ini banyak dikeluhkan
oleh konsumen.
Penanaman salak biasanya dilakukan dengan mencampur tanaman betina dan jantan. Salak jantan ditanam menyebar di antara salak betina atau sebagai
pagar kebun salak. Penyerbukan dapat terjadi sendiri

50

Saptowo J. Pardal et al.

atau melalui bantuan serangga polinator. Pembentukan buah secara alami ini biasanya kurang optimal, sehingga sangat dianjurkan untuk melakukan perkawinan buatan dengan bantuan manusia (Nuswamarhaeni
et al. 1989).

Partenokarpi alami hanya dapat terjadi pada beberapa jenis tanaman. Cara yang paling umum untuk
mendapatkan buah partenokarpi adalah melalui aplikasi zat pengatur tumbuh (ZPT) pada kuncup bunga.
Namun, cara ini kurang praktis dan memerlukan
banyak tenaga kerja apabila diterapkan pada areal
tanam yang luas (Donzella et al. 2000). Selain itu,
penggunaan senyawa kimia sintetis ini juga berbahaya
bagi manusia, lingkungan, dan produk yang dihasikan
(Rotino et al. 1997).
Pembentukan buah partenokarpi melalui rekayasa
genetik, selain dapat menghemat tenaga untuk perkawinan buatan, juga dapat mengurangi bahaya penggunaan senyawa kimia sintetis. Pembentukan buah
partenokarpi melalui rakayasa genetik telah berhasil
dilakukan pada beberapa tanaman. Penyisipan gen
kimera defH9-iaaM yang mengekspresikan senyawa
prekursor pembentukan auksin IAA spesifik pada
bagian plasenta dan bakal biji (ovule) tanaman transgenik, ternyata dapat merangsang pembentukan buah
partenokarpi pada tembakau, terung, dan tomat transgenik (Rotino et al. 1997). Gen defH9-iaaM mengkodekan senyawa indolacetamide monoxigenase yang
dapat dikonversi oleh triptofan menjadi indolacetamide
(prekursor pembentukan auksin IAA) (Yamada et al.
1985). Produksi auksin sintetis pada bagian plasenta
dan bakal biji pada fase awal pembungaan dapat merangsang pembentukan dan pertumbuhan buah tanpa

melalui penyerbukan (Ficcadenti et al. 1999).
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan regenerasi
tanaman dan transformasi genetik salak melalui vektor
Agrobacterium tumefaciens yang mengandung gen
gus. Dua tahapan ini sangat penting dalam perakitan
buah salak partenokarpi melalui rekayasa genetik.

BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman
Penelitian ini merupakan kegiatan tahun pertama dari
Riset Unggulan Terpadu (RUT) IX. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan
Biologi Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik
Pertanian, Bogor pada tahun 2002. Biji salak pondoh
muda (berwarna putih) dan tua (berwarna cokelat)
diperoleh dari Desa Salam, Muntilan, Yogyakarta.

Metode
Penelitian terdiri atas dua kegiatan, yaitu regenerasi
tanaman salak pondoh secara in vitro dan optimasi
transformasi genetik melalui A. tumefaciens.

Regenerasi tanaman secara in vitro
Eksplan berupa embrio zigotik tua dan muda diisolasi
dari biji salak. Eksplan dicuci dengan air, disterilisasi
dengan larutan clorox (Bayclin) 30% selama 15-20
menit, lalu dibilas dengan air suling steril 3-4 kali.
Selanjutnya, eksplan dikulturkan dalam media induksi
kalus embriogenik dengan perlakuan 2,4-D 5, 10, dan
30 mg/l dan BA 0 dan 0,5 mg/l, atau glutamin 100 mg/
l dan picloram 5 mg/l dengan 10 eksplan per perlakuan.
Untuk regenerasi tunas digunakan media dasar woody
plant medium (WPM) dengan perlakuan thidiazuron
0,1 dan 0,3 mg/l atau zeatin 0,5 dan 1,0 mg/l, serta BA
1,0 dan 2,0 mg/l, yang dikombinasikan dengan kinetin
1,0 dan 2,0 g/l dan media dasar Anderson. Biakan
kemudian diinkubasi dalam ruangan yang mempunyai
intensitas cahaya 800-1.000 lux selama 16 jam dalam
sehari.
Optimasi transformasi genetik melalui A. tumefaciens
Eksplan embrio tua dan muda yang telah steril selanjutnya dipotong menjadi dua, lalu dimasukkan ke
dalam tabung corning 50 ml yang telah diisi suspensi

A. tumefaciens strain EHA 105. Strain ini berisi plasmid pCambia 1301 yang mengandung gen gus (gen
penanda) dan hph (gen ketahanan higromisin) pada
bagian T-DNA. Perlakuan transformasi meliputi kerapatan bakteri (OD600) 0,5; 1,0; 1,5, lama inokulasi 60
menit shaker (kecepatan 50 rpm), dan lama kokul-tivasi
7, 14, 21, dan 28 hari setelah inokulasi.
Uji transient ekspresi gen gus (GUS assay) dilakukan pada hari ke-7, 14, 21, dan 28 kokultivasi menggunakan prosedur Jefferson (1987). Hasil uji gus
diamati dengan mikroskop binokuler untuk melihat ada
tidaknya bintik biru pada eksplan. Uji gus dinyatakan
positif bila terdapat bintik biru pada jaringan eksplan.
Makin banyak bintik biru yang teramati, makin efektif
proses transformasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Regenerasi tanaman secara in vitro
Hasil percobaan induksi kalus menunjukkan bahwa
semua kombinasi media yang digunakan tidak mampu
menghasilkan pertumbuhan kalus pada eksplan embrio

51


Regenerasi tanaman dan transformasi genetik salak pondoh ...

muda (data tidak ditunjukkan), bahkan eksplan akhirnya cokelat dan mati. Pada eksplan embrio tua, kalus
dapat tumbuh dengan persentase 40-100% (Tabel 1).
Penggunaan eksplan embrio zigotik yang masih
muda, di mana biji masih berwarna putih, kurang baik
untuk induksi kalus. Eksplan embrio muda tidak dapat
tumbuh dan tidak mampu berdiferensiasi membentuk
kalus pada media induksi kalus (Tabel 1). Kondisi ini
kemungkinan karena cadangan makanan dan ZPT
yang tersedia pada jaringan tanaman masih sangat
minim walaupun ke dalam media telah ditambahkan
komponen organik maupun anorganik, atau embrio
zigotik masih berupa pra-embrio yang masih mengalami masa dormansi yang kuat. Walaupun dalam media
ditambahkan ZPT 2,4-D dan BA yang daya aktivitasnya kuat dengan konsentrasi tinggi, embrio zigotik
tetap tidak dapat melakukan pembelahan sel membentuk kalus, bahkan menjadi cokelat dan mati. Kematian sel-sel eksplan embrio muda ini kemungkinan
akibat pengaruh ZPT 2,4-D dan BA pada media induksi. Sel-sel embrio muda masih sangat peka terhadap
ZPT, sehingga sel-sel mengalami kerusakan dan kematian. Dengan demikian, untuk penelitian selanjutnya
digunakan embrio zigotik tua dari biji salak yang telah
berwarna cokelat.

Penggunaan embrio zigotik tua yang diisolasi dari
biji yang berwarna cokelat memberikan hasil lebih baik
pada semua perlakuan formulasi media. Makin tinggi
konsentrasi 2,4-D, eksplan makin mudah membentuk
kalus terutama yang dikombinasikan dengan BA.

Kalus yang berstruktur remah (friable) diperoleh
dengan memberikan 2,4-D konsentrasi tinggi (30 g/l).
Demikian pula penggunaan picloram 5 mg/l pada
semua taraf konsentrasi 2,4-D (5, 15, dan 30 mg/l) dapat
menginduksi kalus dengan struktur yang remah pada
semua eksplan. Picloram merupakan auksin yang daya
aktivitasnya kuat, sehingga apabila dikombinasikan
dengan 2,4-D, pengaruhnya sangat besar terhadap
proses pembelahan sel. Kalus yang diperoleh dari berbagai formulasi media tersebut selanjutnya dikulturkan pada media regenerasi (MS ditambah sitokinin).
Hasil percobaan induksi tunas menunjukkan bahwa
penggunaan zeatin memberikan hasil yang terbaik
yaitu 75% embrio zigotik dapat bermultiplikasi (Tabel
2). Tanpa penambahan sitokinin, media dasar WPM
saja sudah dapat memacu proses multiplikasi tunas,

bahkan embrio zigotik mampu membentuk kalus.
Keadaan ini menunjukkan bahwa embrio zigotik tua
yang diisolasi dari biji yang berwarna cokelat sudah
mengandung ZPT dan nutrisi yang memadai bagi
proses metabolisme sel. Secara visual, embrio zigotik
yang dikulturkan pada media WPM yang diberi
thidiazuron atau zeatin memperlihatkan tonjolantonjolan bakal tunas (Gambar 1d dan 1e). Keadaan
yang sangat berbeda ditunjukkan pada penggunaan
BA yang dikombinasikan dengan kinetin; sebagian
besar biakan tidak mampu tumbuh.
Biakan yang telah membentuk tunas selanjutnya
dikulturkan pada media baru untuk memacu pertumbuhannya. Subkultur berulang pada media yang

Tabel 1. Pengaruh 2,4-D dan BA dalam media WPM terhadap pembentukan kalus embrio
zigotik tua salak pondoh setelah 40 hari kultur, BB Biogen, 2002.
Table 1. Effect of 2.4-D and BA on callus formation of mature zygotic embryo explants of salac after
40 days culture, BB Biogen, 2002.
Kadar ZPT
Concentration of growth regulator
(mg/l)

Kalus 1
Callus 1
(%)

Keterangan
Notes

2,4-D 5
15
30

40
100
60

Umumnya struktur kalus kompak
Umumnya struktur kalus kompak
Umumnya struktur kalus remah

2 , 4 - D 5 + BA 0,5
1 5 + BA 0,5
3 0 + BA 0,5

83
80
100

Umumnya struktur kalus kompak
Umumnya struktur kalus kompak
Umumnya struktur kalus remah

2 , 4 - D 5 + BA 0,5 + glut 100
1 5 + BA 0,5 + glut 100
3 0 + BA 0,5 + glut 100

75
100
100

Eksplan membengkak
Eksplan membengkak
Eksplan membengkak + remah

2 , 4 - D 5 + picloram 5
1 5 + picloram 5
3 0 + picloram 5

100
100
100

Kalus remah
Kalus remah
Kalus remah

Keterangan: 1Jumlah eksplan 10 per perlakuan; glut = L-glutamin, BA = benzyl adenine.
Notes: 1Number of explants was 10 per treatment; glut = L-glutamin, BA = benzyl adenine.

52

Saptowo J. Pardal et al.

Tabel 2. Pengaruh sitokinin dan thidiazuron dalam media
WPM terhadap regenerasi embrio zigotik tua salak pondoh
setelah 1 bulan, BB Biogen, 2002.
Table 2. Effect of cytokinin and thydiazuron in WPM medium on
plant regeneration of zygotic embryo explants of salac after 1
month, BB Biogen, 2002.
Zat pengatur tumbuh
Plant growth regulator
(mg/l)

Jumlah tunas
Shoot number
(%)

WPM

33

WPM + thidiazuron 0,1

16

WPM + thidiazuron 0,3

25

WPM + zeatin 0,5

75

WPM + zeatin 1,0

50

WPM + BA 1,0 + kin 1,0

0

WPM + BA 2,0 + kin 2,0

0

Keterangan
Notes
Sebagian biakan
membengkak dan
membentuk kalus
Sebagian biakan
membengkak dan
membentuk kalus
Sebagian biakan
membengkak dan
membentuk kalus
Sebagian biakan
membengkak
Sebagian biakan
membengkak
Umumnya biakan
tidak tumbuh
Umumnya biakan
tidak tumbuh

Keterangan: kin = kinetin, BA = benzyl adenine.
Notes: kin = kinetin, BA = benzyl adenine.

sama atau dengan formulasi yang berbeda diharapkan
dapat mendorong daya tumbuh jaringan tanaman
salak. Pertumbuhan embrio zigotik pada media dasar
MS dan WPM yang mengandung BA dan zeatin tidak
terlalu berbeda satu sama lain (Tabel 3). Tinggi tunas
berkisar 0,3-0,5 cm. Namun demikian, pada media
WPM secara visual biakan lebih baik dengan daun
lebih tegar dan hijau. WPM merupakan salah satu
media dasar dengan kandungan total ion yang rendah,
tetapi kandungan sulfatnya tinggi. Medium ini banyak
digunakan pada berbagai spesies tanaman berkayu
dan tanaman hias. Media dasar ini telah pula berhasil
menginduksi tunas melinjo secara in vitro (Handayani
1991).
Peningkatan konsentrasi BA dan zeatin tidak mampu meningkatkan laju pertumbuhan tunas. Pada semua
perlakuan, embrio zigotik dapat membentuk kalus yang
kompak dengan nodul-nodul yang diharapkan menjadi bakal tunas. Di samping itu, ada tunas yang
tumbuh memanjang membentuk daun. Penggunaan
BA dan zeatin konsentrasi rendah telah mampu memacu pembelahan sel yang relatif cepat dari eksplan
embrio zigotik. Keadaan ini terjadi karena bahan
tanaman yang dikulturkan merupakan organ yang
bersifat embrionik.

Gambar 1. Biji salak pondoh muda dan tua sebagai sumber
eksplan embrio zigotik; (a) biji dan embrio muda (putih), (b)
biji dan embrio tua (cokelat), (c) embrio bagian atas dan bawah,
(d) tonjolan bakal tunas pada kalus hasil induksi, (e) bakal
tunas hasil induksi dari kalus embrio.
Fig.1. Mature and immature seed of salac cv. pondoh as an
explant source; (a) seed and immature embryo (white), (b)
seed and mature embryo (brown), (c) upper and bottom side
of embryo explants, (d) shoot node on callus, (e) immature
shoot on callus.

Tabel 3. Regenerasi tunas dari eksplan embrio zigotik salak
pondoh pada media dasar MS dan WPM yang mengandung
sitokinin.
Table 3. Shoot regeneration of zygotic embryo explants of salac
on MS and WPM basic media containing cytokinin.
Kadar BA dan zeatin
BA and zeatin concentration
(mg/l)
MS +
MS +
WPM
WPM

BA 0,1 + zeatin 0,1
BA 0,5 + zeatin 0,1
+ BA 0,1 + zeatin 0,1
+ BA 0,5 + zeatin 0,5

Rata-rata tinggi tunas
Average of shoot height
(cm)
0,45
0,35
0,50
0,30

Keterangan: Data diambil dari rata-rata lima eksplan.
Notes: Data were average from five explants.

Penggunaan zeatin pada media dasar Anderson
menghasilkan pertumbuhan tunas yang lebih baik
dibandingkan pada media WPM. Tunas paling tinggi
(0,74 cm) diperoleh pada media Anderson + zeatin 0,50
mg/l diikuti media 1/2 Anderson + zeatin 0,50 mg/l ( 0,55
cm). Pada media Anderson (1, 1/2), pertumbuhan tunas
dua kali lebih tinggi daripada media WPM yang hanya
0,30-0,35 cm (Tabel 4).
Penelitian pada berbagai spesies tanaman berkayu
menunjukkan bahwa kultur pada media yang mengandung garam-garam mineral terutama unsur makro
nitrat dan amonium umumnya memberikan hasil yang
lebih baik. Anderson dalam Mariska et al. (1999) telah
memodifikasi kandungan unsur makro yaitu kadar

53

Regenerasi tanaman dan transformasi genetik salak pondoh ...
Tabel 4. Regenerasi tunas pada eksplan embrio zigotik salak
pondoh pada media dasar Anderson dan WPM yang mengandung zeatin, BB Biogen, 2002.
Table 4. Shoot regeneration of zygotic embryo explants of salac
on Anderson and WPM basic media containing zeatin, BB
Biogen, 2002.
Media/Media
(mg/l)

Tinggi tunas/Shoot height
(cm)

1/2 Anderson + zeatin 0,5
Anderson + zeatin 0,5

0,55
0,74

1/2 WPM + zeatin 0,5
WPM + zeatin 0,5

0,35
0,30

Optimasi transformasi melalui A. tumefaciens

Keterangan: Data diambil dari rata-rata lima eksplan.
Notes: Data were average from five explants.

potasium nitrat dan amonium nitrat 1/4 dari media
dasar MS. Modifikasi tersebut dapat menurunkan
masalah pelayuan yang cepat dan meningkatkan laju
pertunasan tanaman tahunan berkayu (George et al.
1988; Mariska et al. 1999).
Untuk mendapatkan laju pertumbuhan tunas yang
tinggi, dicoba menggunakan eksplan berupa embrio
zigotik tua dengan sedikit endosperm yang dikulturkan pada media tumbuh. Dengan jenis eksplan yang
berbeda ternyata laju pertumbuhan tunas lebih cepat.
Hanya 2 minggu setelah dikulturkan pada media WPM
yang diperkaya dengan BA 0,2 mg/l dan kinetin 0,2 mg/
l, tinggi tunas telah mencapai 4 cm. Pada media yang
sama, akar dapat terbentuk dengan panjang mencapai
4 cm. Tanpa penambahan sitokinin dalam media, pertumbuhan tunas lebih lambat (Tabel 5).
Pertumbuhan tunas yang lebih baik dari eksplan
embrio zigotik dengan sedikit endosperm disebabkan
pada stadium awal pertumbuhan, regenerasi embrio
zigotik dipacu oleh nutrisi yang terdapat dalam endo-

Tabel 5. Regenerasi tunas dari eksplan embrio zigotik salak
pondoh dengan sedikit endosperm pada beberapa formulasi
media kultur, BB Biogen, 2002.
Table 5. Shoot regeneration of zygotic embryo explantsof salac
with small part of endosperm on several media formulation, BB
Biogen, 2002.

Media/Media
(mg/l)
WPM
WPM + BA 0,2 + kin 0,2
WPM + zeatin 0,5

sperm. Baru pada stadium berikutnya, pertumbuhan
embrio zigotik menggunakan nutrisi dan ZPT yang
berasal dari media tumbuh. Dengan menggunakan
embrio zigotik saja tanpa adanya endosperm, pertumbuhan tunas lambat (Tabel 3 dan 4). Hal ini kemungkinan karena embrio zigotik masih dalam kondisi
stres dan memerlukan waktu untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang baru pada kultur in vitro.

Tinggi tunas
Shoot height
(cm)

Jumlah tunas
dan akar
Total of shoots
and roots

0,95
4
2,33

3,5
4
3,67

Keterangan: Data diambil dari rata-rata 5 eksplan.
Notes: Data were average from five explants.

Tabel 6 menyajikan data persentase gus positif pada
eksplan embrio tua salak pondoh bagian atas dan
bawah hasil inokulasi dengan A. tumefaciens yang
mengandung gen gus setelah 7, 14, 21, dan 28 hari kokultivasi. Hasil uji gus menunjukkan bahwa semua
eksplan embrio muda, baik bagian atas maupun bagian
bawah, kurang respons terhadap infeksi bakteri A.
tumefaciens. Dari tiga macam kerapatan strain bakteri
(0,5; 1,0; 1,5) yang dicobakan pada eksplan embrio
zigotik muda, tidak satu pun eksplan yang menunjukkan hasil uji gus positif (tidak ada bintik biru) setelah
7, 14, 21, dan 28 hari kokultivasi dengan A. tumefaciens.
Pada semua eksplan hasil transformasi, tidak ada
atau sedikit sekali koloni bakteri A. tumefaciens yang
tumbuh (Gambar 2a dan 2b). Lambatnya pertumbuhan
koloni bakteri pada eksplan hasil inokulasi kemungkinan disebabkan bakteri memerlukan waktu
yang lama untuk beradaptasi dengan jaringan tanaman. Juga karena salak merupakan tanaman monokotil,
sehingga relatif sulit diinfeksi Agrobacterium. Pada
tanaman dikotil, terutama jenis kacang-kacangan,
infeksi bakteri lebih mudah terjadi.
Kerapatan bakteri OD600 = 1,0 yang setara dengan
1 x 108 sel/ml ideal untuk inokulasi eksplan embrio tua
salak. Koloni bakteri A. tumefaciens lebih banyak
terdapat pada embrio bagian bawah dibandingkan

Tabel 6. Persentase gus positif pada eksplan embrio zigotik
muda salak pondoh setelah 7, 14, 21, dan 28 hari kokultivasi
dengan Agrobacterium tumefaciens, BB Biogen, 2002.
Table 6. Gus assay on immature zygotic embryo explants of
salac after 7, 14, 21, and 28 days cocultivation with
Agrobacterium tumefaciens, BB Biogen, 2002.
Embrio atas
Upper embryo

OD 600
7 h
0,5
1,0
1,5

0
0
0

Embrio bawah
Bottom embryo

14 h 21 h 28 h
0
0
0

0
0
0

0
0
0

7 h
0
0
0

14 h 21 h 28 h
20
40
0

0
80
0

0
0
0

Keterangan: Data diambil dari rata-rata lima eksplan; h = hari.
Notes: Data were average from five explants; h = days.

54

Gambar 2. Pertumbuhan koloni Agrobacterium tumefaciens
pada eksplan embrio salak setelah 7 hari (a), 14 hari (b), dan
21 hari (c) kokultivasi, serta bintik biru (gus positif) pada
eksplan embrio bagian bawah pada 21 hari kokultivasi (d).
Fig. 2. Growth of Agrobacterium tumefaciens colony on
embryo explants of salac at 7 days (a), 14 days (b), and 21
days (c) after cocultivation, and blue spot (gus positive) on
embryo explants (bottom side) after 21 days cocultivation.

pada bagian atas. Hal ini kemungkinan karena embrio
bagian bawah merupakan tempat tumbuhnya akar dan
A. tumefaciens merupakan bakteri patogen tanah,
sehingga cenderung menginfeksi bagian akar tanaman.
Namun, setelah kultur dibiarkan lebih lama pada media
kokultivasi (28 hari), hasil uji gus ternyata negatif
meskipun pertumbuhan koloni bakteri bertambah. Hal
ini disebabkan pertumbuhan eksplan terhambat oleh
pertumbuhan bakteri yang lebih cepat, sehingga
eksplan menjadi cokelat dan sel-selnya mati. Akibatnya tidak terjadi infeksi bakteri pada eksplan.
Embrio hasil inokulasi A. tumefaciens yang telah
ditumbuhi koloni bakteri dicuci dan disubkultur pada
media regenerasi untuk menginduksi tunas maupun
planlet. Tunas yang diperoleh sebanyak 26 tunas dari
54 kalus yang dihasilkan dari 60 eksplan embrio tua
salak bagian bawah. Tunas-tunas tersebut selanjutnya dipindahkan ke media perakaran 1/2 MS (Murashige
dan Skoog 1962) + IBA 1 mg/l. Akar mulai tumbuh
pada bagian pangkal tunas dan kuncup daun mulai
mekar atau membuka (Gambar 3).
Planlet selanjutnya akan diaklimatisasi ke media
tanah dalam pot di rumah kaca/lapang untuk mendapatkan tanaman yang sempurna. Uji gus juga perlu
dilakukan untuk melihat ekspresi gen gus pada fase
stabil.

Saptowo J. Pardal et al.

Gambar 3. Planlet salak pondoh hasil transformasi dengan
gen gus melalui Agrobacterium tumefaciens.
Fig. 3. Plantlet of salac transformed with Agrobacterium
tumefaciens containing gus gene.

KESIMPULAN
Kalus embriogenik salak telah berhasil didapatkan
dari eksplan embrio zigotik tua pada media WPM + 2,4
D 5-30 mg/l + picloram 5 mg/l. Tunas salak telah berhasil pula diperoleh dari kalus salak pada medium
WPM + BA 0,1 mg/l dan zeatin 0,1 mg/l atau Anderson
+ zeatin 0,5 mg/l. Sistem transformasi salak melalui A.
tumefaciens telah diperoleh menggunakan eksplan
embrio zigotik tua bagian bawah dengan kerapatan
bakteri 1 x 108 sel/ml, lama inokulasi 60 menit di atas
shaker, dan lama kokultivasi 14-21 hari setelah
inokulasi.

DAFTAR PUSTAKA
Donzella, G., A. Spena, and G.L. Rotino. 2000. Transgenic
parthenocarpic eggplants: superior germplasm for increased
winter production. Mol. Breed. 6: 79-86.
Ficcadenti, N., S. Sestili, T. Pandolfini, C. Cirillo, G.L. Rotino,
and A. Spena. 1999. Genetic engineering of parthenocarpic
fruit development in tomato. Mol. Breed. 5: 463-470.
George, E.F., D.J.M. Puttock, and H.J. George. 1988. Plant
Culture Media. Vol 1. Formulation and Uses. Exegetics
Limited, Edington, Westburg, England.
Handayani, T.T. 1991. Pengaruh Kombinasi Auksin dan
Sitokinin terhadap Organogenesis Eksplan Melinjo. Tesis
S2, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jefferson, R.A. 1987. Assaying chimeric genes in plants: The
GUS gene fusion system. Plant Mol. Biol. Rep. 5: 387-405.
Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W.H. Adil, dan
Y. Supriyati. 1999. Embriogenesis somatik beberapa varietas
kedelai. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Regenerasi tanaman dan transformasi genetik salak pondoh ...

Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid
growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol.
Plant 15: 473-497.
Nuswamarhaeni, S., D. Prihatini, dan E.P. Pohan. 1989.
Salak. Dalam Mengenal Buah-buahan Unggul Indonesia.
Penerbit Majalah Pertanian Trubus, Jakarta. hlm. 101106.
Purnomo, S. dan T. Sudaryono. 1994. Seleksi tanaman unggul
dalam populasi salak bali dan salak pondoh. Laporan Hasil
Penelitian Proyek ARMP I. Sub Balai Penelitian Hortikultura Malang.

55
Rotino, G.L., E. Perri, M. Zottini, H. Sommer, and A. Spena.
1997. Genetic engineering of parthenocarpic plants.
Nature Biotechnol. (15): 1398-1401.
Sudaryono, T., S. Purnomo, dan M. Soleh. 1993. Distribusi
kultivar dan prakiraan wilayah pengembangan salak. Penelitian Hortikultura 5(2): 1-14.
Yamada, T., C.J. Palm, B. Brooks, and T. Kosuge. 1995.
Nucleotide sequence of the Pseudomonas savastanoi
indoleacetic acid genes show homology with Agrobacterium
tumefaciens T-DNA. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 82: 65226526.