PENYESUAIAN DIRI PEGAWAI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN ORGANISASI Penyesuaian Diri Pegawai Dalam Menghadapi Perubahan Organisasi.

PENYESUAIAN DIRI PEGAWAI DALAM MENGHADAPI
PERUBAHAN ORGANISASI

NASKAH PUBLIKASI TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Psikologi

Oleh:
Dion Yoga Prastowo
S 300 100 003

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

1

2


Penyesuaian Diri Pegawai
Dalam Menghadapi Perubahan Organisasi
Dion Yoga Prastowo1 dan Yadi Purwanto2
Abstrak
Pemberian pelimpahan kewenangan walikota kepada camat berimplikasi terhadap
kehidupan kerja para pegawai kecamatan untuk mengimplementasikan tugastugas kerja yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan penyesuaian diri pegawai kecamatan dalam menghadapi
pelimpahan kewenangan walikota kepada camat di wilayah Kota Yogyakarta.
Wawancara mendalam dilakukan dengan melibatkan 3 responden laki-laki dan 1
responden perempuan yang terbagi di 3 wilayah kecamatan. Karakteristik
responden dalam penelitian ini antara lain: Individu yang bekerja sebagai pegawai
kecamatan dan berada dibawah kendali kepemimpinan organisasi Pemerintahan
Kota Yogyakarta, pegawai yang menjadi objek perubahan organisasi atau mereka
yang mengalami penyesuaian diri akibat perubahan yang terjadi dalam organisasi,
bersedia untuk berpartisipasi dalam proses wawancara dan memberikan komitmen
untuk inform concern hingga penelitian berakhir. Analisis dan interpretasi dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara: 1) Memahami pernyataan penting, 2)
Membuat makna pernyataan, 3) Membuat intisari pernyataan, 4) Menggambarkan
secara mendalam fenomena yang diteliti. Verifikasi penelitian menggunakan
intersubjective validity dan external audits. Pengembangan strategi penyesuaian

diri (coping strategy) dilakukan oleh responden dengan banyak belajar, banyak
bertanya, aktif komunikasi, optimalisasi peran SDM dan masyarakat, merubah
sudut pandang. Bentuk penyesuaian diri pegawai yang dilakukan adalah dengan
bekerja sesuai aturan, memunculkan sisi religius, terlibat aktif dalam perencanaan,
belajar aktif, dan mengembangkan karakter pembelajar. Disimpulkan bahwa
perubahan organisasi selalu membawa dampak psikologis dan memunculkan
karakteristik lingkungan yang baru baik relasi kerja maupun tugas dan tanggung
jawab. Bentuk penyesuaian diri pegawai pun akan berbeda, tergantung pada
tuntutan dan lingkungan kerja yang selalu dimaknai sebagai cara menyesuaikan
diri dalam lingkungan kerja. Memaknai penyesuaian diri akan membawa dampak
pada kualitas kehidupan kerja pegawai (quality of work life).
Kata kunci: pelimpahan kewenangan walikota kepada camat, fenomenologi,
wawancara mendalam, coping strategy, bekerja sesuai aturan, memunculkan sisi
religius, terlibat aktif dalam perencanaan, belajar aktif, mengembangkan
karakter pembelajar.

3

Employee Self Adjustment
In Organizational Change

Dion Yoga Prastowo1 dan Yadi Purwanto2
Abstract
Giving delegation of authority to the district head mayor implications for worklife sub-district employees to implement the tasks of work that has not been done
before. This research aims to describe the sub-district employee adjustment in the
face of the mayor's delegation of authority to the district head in the city of
Yogyakarta. In-depth interviews conducted with respondents involving 3 males
and 1 female respondents were divided in three sub-districts. Characteristics of
respondents in this study include: Individuals who work as employees of district
and is under the control of the organization's leadership Yogyakarta City
Government, An employee who becomes the object of organizational change or
they are experiencing self-adjustment due to changes in the organization, ready to
participate in the interview process and give a commitment to inform concerned
until the end of the study. Analysis and interpretation of this research is done by:
1) Understand the important statement, 2) Make a statement meaning, 3) Make a
statement essence, 4) describe in depth the phenomenon under study. Verification
studies using intersubjective validity and external audits. Development strategy
self-adjustment (coping strategy) conducted by respondents with a lot to learn, a
lot to ask, active communication, optimization of human resources and public
roles, changing the angle of view. Forms of employee adjustment is done by
working according to the rules, to bring out the religious, actively involved in the

planning, active learning, and develop character learner. Concluded that
organizational changes always bring the psychological impact and bring new
environmental characteristics of a good working relationship as well as the duties
and responsibilities. Forms of employee self-adjustment would be different,
depending on the demands and work environment that is always interpreted as a
way of adjusting to the work environment. Interpret the self-adjustment will have
an impact on the quality of work life of employees (quality of work life).

Keywords: delegation of authority to the mayor of the district head,
phenomenology, in-depth interviews, coping strategy, work according to the rules,
to bring out the religious, actively involved in the planning, active learning,
learners develop character.

4

PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai perubahan dalam bidang organisasi bukanlah
sesuatu yang baru. Kurt Lewin (1951) pernah menggagas sebuah ide dalam
menggambarkan sebuah proses perubahan dalam organisasi yang dikenal dengan
istilah unfreezing, movement, dan refreezing. Perubahan dalam berbagai aspek

lingkungan organisasi, seperti perubahan sosial, politik, perubahan tata ekonomi
dunia, hingga perubahan teknologi ternyata mengambil peran masing-masing
dalam mempengaruhi perubahan sebuah organisasi (Cummings & Worley, 2005).
Organisasi dituntut untuk menyesuaikan strategi bisnisnya dengan
berbagai bentuk perubahan di lingkungannya, baik lingkungan eksternal atau
internal. Sehingga situasi tersebut menuntut organisasi untuk berubah demi
kelangsungan hidup organisasinya (Smither,dkk 1996).
Faktor eksternal yang menuntut organisasi melakukan perubahan antara
lain ekonomi dan perubahan pasar. Ekonomi dan perubahan pasar yang sangat
cepat dikarenakan kebijakan politik suatu bangsa, terbukanya persaingan bebas
yang menyebabkan persaingan semakin kompleks dan kompetitif, dan faktor
pasar yang sangat dipengaruhi oleh konsumen. Permintaan konsumen yang serba
membutuhkan kepuasan menekan organisasi yang ingin survive membenahi diri
dengan pelayanan yang cepat dan prima (Cummings & Worley, 2005). Sebagai
contoh adalah apa yang telah dilakukan oleh Ditjen Pajak di wilayah Jakarta kota
dengan perubahan pelayanan terhadap publik dengan berbasis administrasi
modern (Prawirodirjo, 2007).
Perubahan yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan juga banyak
disebabkan oleh faktor internal, antara lain adalah perubahan struktur
(restrukturisasi) organisasi yang bertujuan untuk peningkatan kinerja organisasi

baik dari sisi efisiensi dan efektifitas kerja serta biaya yang ditanggung oleh
organisasi yang dikarenakan “gemuknya” organisasi. Organisasi yang hirarkis
atau birokratis menyebabkan berbagai implikasi negatif dalam organisasi,
misalnya pemborosan biaya dan panjangnya jalur distribusi informasi sehingga
organisasi lambat merespon perubahan atau tuntutan lingkungan yang ada
(McIntire, dkk. 1996). Sebagai contoh adalah seperti yang dilakukan oleh salah
satu perusahaan milik Jusuf Kalla, PT. Bosowa. Sejak dilakukan pergantian
kepemimpinan yang dilakukan oleh owner perusahaan pada tahun 2007, banyak
perubahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dimulai dari perubahan tata
cara pengelolaan unit bisnis hingga perubahan struktur (restrukturisasi) yang ada
dalam perusahaan hingga memunculkan resistensi karyawan, promosi jabatan,
mutasi, perubahan sistem dan mekanisme kerja, hingga PHK adalah suatu hal
yang lumrah terjadi dalam organisasi tersebut (Bosowa Excellence Magazine,
disitasi Taggala 2008).
Berkaitan dengan hal tersebut, organisasi pemerintahan Kota
Yogyakarta sebagai sebuah badan organisasi pemerintahan yang diberi
kewenangan oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk memiliki
kewenangan otonomi desentralisasi daerah seperti otonomi manajemen, sistem
nilai dan otonomi prosedur kebijakan organisasi. Sistem sentralisasi pemerintah
daerah yang diberlakukan sebelum sistem otonomi daerah menjadikan pemerintah


5

pusat sebagai sumber dana keuangan daerah. Pemerintah daerah pada masa
desentralisasi otonomi dituntut untuk mampu menghidupi kesejahteraan daerah
lokalnya sendiri. Perbedaan sumber dana keuangan pemerintah daerah di antara
kedua sistem pemerintahan tentu saja mengakibatkan sejumlah perbedaan bentuk
kinerja yang dirasakan pegawai.
Pada masa desentralisasi, pemerintah daerah dituntut untuk mampu
menghidupi kesejahteraan lokalnya sendiri dengan tujuan untuk memacu
kreatifitas daerah, meningkatkan daya inovasi, mengasah kepekaan pemerintah
terhadap permasalahan lokal, meningkatkan transparansi dan demokratisasi demi
pencapaian kemandirian daerah (Susanto, 2000).
Seperti yang tertulis pada penjelasan atas Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta No. 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan, dan
Tugas Pokok Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah bahwa dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam suatu bentuk
organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
sesuai dengan Perda Kota Yogyakarta No.3 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah dan terpenuhinya fungsi-fungsi pemerintahan pada masingmasing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Tuntutan masyarakat berkaitan dengan layanan publik yang lebih
responsibel, transparan dan efektif efisien saat ini menjadi tuntutan utama yang
perlu diperhatikan oleh pemerintah kota Yogyakarta saat ini. Pergantian
kepemimpinan walikota pada tahun 2011 ternyata diikuti pembaharuan serta
perubahan kebijakan yang berimplikasi kepada pelayanan publik di wilayah kota
Yogyakarta.
Salah satu kebijakan yang dibuat walikota dalam usaha memberikan
pelayanan yang responsibel, transparan dan efektif efisien kepada masyarakat
adalah selalu membaharukan kewenangan kepada camat dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di wilayah kerja kecamatan.
Kewenangan kepada camat tersebut diundangkan ke dalam ketetapan peraturan
walikota tentang pelimpahan sebagian kewenangan walikota kepada camat untuk
melaksanakan urusan pemerintahan daerah. Ketetapan tersebut terakhir
dikeluarkan pada tahun 2014 melalui peraturan walikota No.41 tahun 2014.
Situasi perubahan yang berkelanjutan seperti ini menciptakan kondisi
dan membentuk situasi “harus” bisa melaksanakan proses pelimpahan wewenang
tersebut. Beberapa permasalahan dan kesulitan yang dialami di tingkatan wilayah
kecamatan ini adalah bagaimana para pegawai tersebut dituntut mampu untuk
bertransformasi merespon perubahan dan menyesuaikan diri terhadap arus
perubahan tersebut.

Perubahan yang muncul dan terjadi di dalam organisasi adalah sebuah
hal yang tidak bisa dihindari, hal ini disebabkan karena beberapa faktor utama
yang mempengaruhinya, diantaranya: globalisasi, teknologi informasi, dan inovasi
manajerial (Robbins, 2008). Pengaruh globalisasi memberikan dampak
perubahan. Persaingan ini memaksa organisasi dan individu untuk menyesuaikan
diri agar mampu tetap bertahan, sedangkan pada perkembangan bidang teknologi
informasi dalam proses organisasi membawa dampak pada jumlah penggunaan
tenaga kerja serta biaya yang digunakan dalam menjalankan roda organisasi.

6

Secara umum Himam (2002) menjelaskan fenomena penyesuaian diri
karyawan dalam proses perubahan organisasi adalah: 1) Sense Making, perubahan
terjadi dalam lingkungan manapun akan menimbulkan reaksi yang beragam dari
setiap individu. Hal yang bisa muncul dalam kondisi ini adalah kekacauan dan
ketidakpastian dalam diri individu. Untuk menimbulkan kepastian dan
kemampuan adaptasi bagi individu maka perlu melakukan perencanaan dan
kesiapan yang matang dalam hal kerangka kerja dan konsep dalam tugas nantinya.
Untuk mewujudkan perubahan konsep dan pemikiran terhadap pekerjaan perlu
adanya refleksi yang baik akan kinerja selama ini dan kesalahan-kesalahan yang

sering muncul dalam proses kerja tersebut. 2) Proses menemukan diri,
mengadaptasi diri dalam perubahan diri dalam organisasi memerlukan penemuan
dan penambahan kekuatan dalam diri individu. Menemukan diri dan menambah
penguatan diri akan membantu individu dalam berdedikasi terhadap pembelajaran
yang terus-menerus, komitmen terhadap kesuksesan dan akhir manajemennya. 3)
Taktik menyembunyikan diri, hal ini sejalan dengan teori “persona” atau sebuah
topeng psikologis untuk menyembunyikan kondisi diri yang sebenarnya.
Menyembunyikan diri dapat disebabkan karena faktor permusuhan terhadap
perubahaan atau kebingungan dan ketidakpastian dalam perubahan yang ada.
Dalam taktik ini individu akan banyak memunculkan bentuk mekanisme proyeksi
seperti rasionalisasi, atau sekalian menghindar dari perubahan tersebut atau
hingga resistensi terhadap perubahan. 4) Enterpreneurship, perubahan yang
terjadi dalam organisasi sangat berkaitan dengan income. Hal tersebut bisa saja
menimbulkan dampak penambahan penghasilan atau malah mengurangi
penghasilan. Penyesuaian diri yang seharusnya dimiliki karyawan adalah
mengembangkan jiwa enterpreneurship. Prinsip tersebut akan membantu individu
untuk survive dalam organisasi tersebut. 5) Mengembangkan relasi, hal yang
tersulit dalam mengadaptasi diri terhadap perubahan adalah bertahan sendiri
dalam situasi yang kacau, oleh sebab itu seharusnya karyawan mengambil
langkah untuk mengembangkan relasi dalam organisasi, karena lingkungan

sekeliling akan mampu membantu untuk bertahan dalam ketidakpastian yang
disebabkan oleh perubahan.
Proses perubahan yang menyebabkan sense making hingga
mengembangkan relasi yang terpaparkan diatas tersebut menentukan keberhasilan
proses adaptasi individu dalam organisasi. Proses perubahan yang terjadi dalam
organisasi tersebut menyebabkan individu mengembangkan jenis sikap personal
(personal attitude), sebagai bentuk ekspresi perasaan dan emosi guna mencari
bentuk bagaimana mereka harus menyesuaikan diri terhadap situasi yang tidak
familiar bagi para pegawai tersebut. Sikap yang positif akan membawa kondisi
pegawai yang “problem solver”, objektif, dan mampu terus belajar serta optimis
akan masa depan dan dampak kinerja bagi kehidupan diri mereka.
Perubahan yang terjadi yang disikapi negatif atau positif pada akhirnya
akan membawa dampak baru pada diri karyawan. Diri (self) akan dievaluasi dan
diberikan label tersendiri. Bahkan bisa saja menjadi keberpura-puraan dalam
menghadapi realitas kerja yang baru, dan memunculkan kekacauan identitas diri
(self identity) pada pegawai tersebut yang berdampak kepada efektifitas kerja.
Kegagalan menyesuaikan diri terhadap perubahan berdampak pada munculnya

7

rasa takut, perasaan tidak aman hingga frustasi akan kondisi baru dalam
kehidupan kerja baru tersebut (Himam, 2005).
Gejala penelitian yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah
Penyesuaian Diri Pegawai dalam Perubahan Organisasi terkait Pelimpahan
Sebagian Kewenangan Walikota kepada Camat di Wilayah Pemerintahan Kota
Yogyakarta. Program kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta guna pencapaian
visi dan misi kerja terkait pelayanan kepada masyarakat yang responsibel,
transparan, efektif dan efisien memberikan situasi yang baru dan memaksa para
pegawai untuk mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
perubahan. Salah satu kebijakan tersebut adalah memberikan pelimpahan sebagian
kewenangan kepada camat dalam hal pelayanan kepada masyarakat di wilayah
kerja kecamatan.
Penyesuaian diri merupakan keberhasilan individu dalam melakukan
interaksi atau hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar yang dicerminkan
dalam bentuk perilaku sebagai suatu respon terhadap tuntutan yang berasal dari
lingkungan sosial termasuk lingkungan pekerjaan. Individu yang mempunyai
kemampuan penyesuaian diri yang baik memiliki karakteristik khusus, yaitu tidak
adanya emosi yang berlebihan, tidak adanya mekanisme pertahanan diri, tidak
adanya frustasi personal, memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan
mengarahkan diri, perasaan subjektif yang menyenangkan, pencapaian personal
dan sosial, memiliki kemampan untuk bekerja, memiliki kemampuan untuk
belajar, tidak diperlukannya institusionalisasi, memanfaatkan pengalaman yang
lalu, memiliki sikap realistik dan objektif.
Perubahan organisasi yang terjadi di wilayah pemerintahan kota
Yogyakarta berkaitan dengan pelimpahan sebagian kewenangan walikota kepada
camat memunculkan respon awal dari para pegawai di wilayah kecamatan.
Respon tersebut antara lain: pegawai merasa kaget, beban kerja meningkat,
menjadi tantangan, tuntutan “harus” bisa, dan dijadikan sebagai spirit untuk dapat
melayani masyarakat. Kondisi tersebut dirasakan individu untuk harus bisa
menyesuaikan diri terhadap perubahan, mengingat pegawai adalah individu yang
bekerja untuk negara dan heirarki kepemimpinan terpusat di pemerintahan negara.
Kondisi yang tidak menentu yang dirasakan pegawai akibat perubahan ini akan
cenderung berfokus pada pemecahan dan penyelesaian suatu permasalahan yang
saat itu sedang dihadapi, dan akan memunculkan konsep kesesuaian antara
individu dengan lingkungan pekerjaannya. Sehingga dalam penelitian ini akan
dideskripsikan lebih lanjut, bagaimana dinamika penyesuaian diri pegawai dalam
menghadapi perubahan organisasi terkait pelimpahan sebagian kewenangan
walikota yang terjadi di wilayah kerja kecamatannya. Alur penelitian dijelaskan
melalui gambar berikut:

PERUBAHAN
ORGANISASI

Pelimpahan
Sebagian
Kewenangan
Walikota
Kepada Camat

RESPON INDIVIDU
TERHADAP
PERUBAHAN
(pra-penelitian)

- Kaget
- Beban Kerja Meningkat
- Menjadi Tantangan
- Tuntutan "harus" bisa
- Spirit melayani
masyarakat

8

Research Phenomenon
- Dinamika penyesuaian diri
- Makna penyesuaian diri
- Pola atau bentuk penyesuaian
diri
- Coping strategy terhadap
situasi perubahan

Perubahan organisasi yang terjadi di wilayah pemerintahan kota
Yogyakarta berkaitan dengan pelimpahan sebagian kewenangan walikota kepada
camat memunculkan respon awal dari para pegawai di wilayah kecamatan.
Respon tersebut antara lain: pegawai merasa kaget, beban kerja meningkat,
menjadi tantangan, tuntutan “harus” bisa, dan dijadikan sebagai spirit untuk dapat
melayani masyarakat. Kondisi tersebut dirasakan individu untuk harus bisa
menyesuaikan diri terhadap perubahan, mengingat pegawai adalah individu yang
bekerja untuk negara dan heirarki kepemimpinan terpusat di pemerintahan negara.
Kondisi yang tidak menentu yang dirasakan pegawai akibat perubahan ini akan
cenderung berfokus pada pemecahan dan penyelesaian suatu permasalahan yang
saat itu sedang dihadapi, dan akan memunculkan konsep kesesuaian antara
individu dengan lingkungan pekerjaannya. Sehingga dalam penelitian ini akan
dideskripsikan lebih lanjut, bagaimana dinamika penyesuaian diri pegawai dalam
menghadapi perubahan organisasi terkait pelimpahan sebagian kewenangan
walikota yang terjadi di wilayah kerja kecamatannya. Adapun sub pertanyaan
penelitian yang akan diungkap adalah: Apa strategi coping yang dikembangkan
pegawai dalam menghadapi situasi perubahan?, bagaimana pola atau bentuk
penyesuaian diri pegawai tersebut?, dan apa makna penyesuaian diri pegawai
dalam perubahan organisasi?
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi.
Penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini dikarenakan dengan
menggunakan penelitian kualitatif dapat mengungkap dan memahami central
phenomenon, seperti suatu proses atau kejadian, suatu fenomena, atau suatu
konsep yang terlalu kompleks untuk diuraikan oleh variabel-variabel yang
menyertainya. Selain itu dengan menggunakan metode kualitatif memungkinkan
untuk mengetahui proses terjadinya penyesuaian diri dalam proses perubahan
organisasi tanpa tercampuri oleh prasangka-prasangka atau opini yang ada
sebelumnya sehingga fokus pada subjek dapat mengarah pada apa yang dirasakan,
dipikirkan, dan diperbuat subjek dalam kaitannya dengan proses perubahan yang
terjadi dalam organisasi tersebut, dan natural setting dapat dilakukan dalam
penelitian kualitatif (Creswell, 2003) sehingga individu tidak dipisahkan dari
konteks lingkungannya serta tidak membatasi atau menentukan variabel-variabel
yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri pegawai dalam perubahan organisasi.
Hal ini tentunya berbeda dengan penelitian kuantitatif yang membatasi variabel
penelitian sehingga penelitiannya terbatas pada usaha mencari hubungan antar
variabel dan mencari penyebab variabel atau penjelasan munculnya suatu gejala
(Cresswell, 2003).
Pengumpulan data menggunakan interview yang mendalam (in depth
interview). Interview yang dilakukan bisa lebih dari sekali terhadap satu orang
responden atau partisipan. Proses pengumpulan data menurut Creswell (2003)
mengikuti pola zig-zag, yaitu peneliti ke lapangan mencari informasi, kemudian
menganalisis data yang diperoleh, kembali lagi ke lapangan untuk mendapatkan
lebih banyak informasi, menganalisis data lagi, dan seterusnya. Responden dalam

9

penelitian ini setidaknya membutuhkan 10 orang partisipan untuk di interview
(Cresswell, 2003), atau bisa saja menggunakan sistem saturated, yaitu mencari
individu yang dapat memberikan kontribusi dalam penelitian hingga individu ke-n
sehingga informasi yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan secara jelas,
dan variasi jawaban sudah tidak diketemukan lagi atau sudah tidak ada
keterangan-keterangan baru yang dihasilkan responden guna memberikan
kontribusi bagi penelitian (Creswell, 2003).
INFORMAN PENELITIAN
Informan dalam penelitian ini adalah para pegawai kecamatan yang
tersebar di 14 wilayah kecamatan di Wilayah Pemerintahan Kota Yogyakarta.
Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan
berdasar karakteristik yang ditentukan oleh peneliti. Adapun kriteria utama yang
harus dipenuhi dalam penelitian ini adalah, informan telah mengalami fenomena
perubahan dalam organisasi terkait pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh
Walikota Yogyakarta sesuai ketetapan yang berlaku dalam Peraturan Walikota.
Individu (responden) yang dimaksudkan adalah: 1) Individu yang
berada didalam organisasi, dan sudah memiliki jabatan atau posisi yang berada
dibawah satu kendali kepemimpinan dalam organisasi Pemerintahan Kota
Yogyakarta. 2) Pegawai yang menjadi objek perubahan organisasi atau mereka
yang mengalami penyesuaian diri akibat perubahan yang terjadi dalam organisasi.
3) Tertarik memahami fenomena perubahan yang terjadi di dalam organisasi. 4)
Bersedia untuk berpartisipasi dalam proses wawancara dan memberikan
kemudahan dalam proses pendokumentasian hingga penelitian berakhir.
Dengan menggunakan teknik saturated, maka dari sekian banyak
individu yang dapat memberikan kontribusi penelitian berhenti di 4 informan saja.
Hal ini dikarenakan variasi jawaban sudah tidak ditemukan lagi atau tidak ada
keterangan-keterangan baru yang dihasilkan guna memberikan kontribusi bagi
penelitian (Creswell, 1998).
ANALISIS DAN VERIFIKASI DATA
Ada beberapa proses inti dalam metode fenomenologi, antara lain
epoche, reduction, imaginative variation, dan synthesis of meanings and essences
(Moustakas, 1994). Proses tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Epoche,
adalah proses menghilangkan prasangka, mengurangi bias dan opini terhadap
sesuatu. Untuk mencapai hal tersebut maka peneliti akan menitikberatkan pada
cara dalam melihat dan memperhatikan sesuatu, meningkatkan kepekaan, serta
peneliti menyingkirkan prasangka pada fenomena yang dilihat, dipikirkan,
dibayangkan, atau dirasakan. 2) Phenomenological Reduction, peneliti
menggambarkan fenomena dalam bahasa yang berpola mengenai apa yang telah
dilihat oleh seseorang, tidak hanya objek eksternal tetapi juga tindakan internal
dari kesadaran, pengalaman itu sendiri, seperti ritme dan hubungan antara
fenomena yang diteliti dan diri sendiri (sebagai self). Kualitas dari pengalaman
menjadi fokus keterlibatan atau penyempurnaan sifat alamiah dan arti dari
pengalaman menjadi suatu tantangan. Langkah-langkah dalam Phenomenological

10

Reduction meliputi: a) Bracketing. Dalam hal ini fokus dari penelitian
ditempatkan di dalam bracket, hal-hal yang lain dikesampingkan sehingga seluruh
proses penelitian berasal dari topik dan pertanyaan; b) Horizonalizing. Setiap
pertanyaan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya
pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan
yang sifatnya repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa
adalah horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk/penyusun dari phenomenon
yang tidak mengalami penyimpangan), mengelompokkan horizons ke dalam
tema-tema, mengatur horizons dan tema-tema ke dalam deskripsi tekstural yang
berhubungan dengan phenomenon dan kemudian mengatur horizon dan tema ke
dalam deskripsi tekstural yang berhubungan dengan fenomena yang dikaji; 3)
Imaginative Variation, adalah untuk mencari makna-makna yang memungkinkan
melalui penggunaan imajinasi, pembedaan berbagai macam bingkai referensi,
pengelompokan dan pembalikan, dan pendekatan fenomena yang diteliti dari
perspektif yang divergen, posisi, peran-peran, atau fungsi yang berbeda.
Tujuannya adalah untuk mencapai deskripsi struktural dari pengalaman, faktorfaktor yang mendasar dan mempengaruhi apa yang telah dialami. Dengan kata
lain bagaimana pengalaman dari fenomena yang diteliti menjadi yang seperti
sekarang ini. Langkah-langkah Imaginative Variation meliputi: Membuat
sistematika dari berbagai kemungkinan semua makna yang tersusun yang
mungkin menjadi dasar dari makna secara tekstural; Mengenali tema-tema atau
konteks sebagai dasar penyebab munculnya phenomenon; Mempertimbangkan
struktur secara keseluruhan yang dapat menyebabkan terjadinya pengambilan
kesimpulan yang terlalu cepat pada perasaan dan pikiran yang berkaitan dengan
phenomenon, seperti struktur waktu, ruang, perhatian yang hanya tertuju pada halhal yang utama, materiality, causality, hubungan dengan diri sendiri, atau
hubungan dengan orang lain; Mencari ilustrasi sebagai contoh yang dapat
memberikan gambaran secara jelas mengenai struktur dari tema-tema yang tidak
berubah dan memfasilitasi pengembangan deskripsi phenomenon yang struktural.
4) Synthesis of meaning and essences, dilakukan dengan mengintegrasikan dasar
dari deskripsi tekstural dan struktural menjadi satu pernyataan sebagai essensi
pengalaman dari fenomena yang dialami secara keseluruhan. Dalam hal ini,
essensi dari sesuatu adalah hal yang bersifat umum dan universal, yaitu suatu
kondisi atau kualitas di mana sesuatu tidak akan menjadi sesuatu itu sendiri.
Metode analisis dan interpretasi data yang paling sering digunakan
adalah modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Prosedur
tersebut meliputi: 1) Memulai dengan diskripsi tentang pengalaman peneliti
terhadap phenomenon. 2) Peneliti kemudian mencari pernyataan (dalam
interview) mengenai bagaimana individu-individu mengalami topik fenomena
yang akan diteliti (phenomenon) tersebut, membuat daftar dari pernyataanpernyataan tersebut (horizonalization) dan memperlakukan tiap pernyataan
dengan seimbang (memiliki nilai yang sama), dan mengembangkan daftar dari
pernyataan yang tidak berulang atau tidak tumpang tindih. 3) Pernyataan tersebut
kemudian dikelompokkan ke dalam unit-unit makna (meaning units), buat daftar
dari unit-unit tersebut, dan menuliskan deskripsi dari tekstur dari pengalaman
tersebut, yaitu apa yang terjadi, disertai contoh verbatim. 4) Peneliti kemudian

11

merefleksikan berdasarkan deskripsinya sendiri dan menggunakan imaginative
variation atau deskripsi struktural, mencari semua makna yang memungkinkan
dan perspektif yang divergen, memperkaya kerangka pemahaman dari
phenomenon, dan membuat deskripsi dari bagaimana phenomenon tersebut
dialami. 5) Peneliti membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari
pengalaman. 6) Dari deskripsi tekstural-struktural individu, berdasarkan
pengalaman tiap partisipan, peneliti membuat composite textural-structured
description dari makna-makna dan esensi pengalaman, mengintegrasikan semua
deskripsi tekstural-struktural individual menjadi deskripsi yang universal dari
pengalaman, yang mewakili kelompok (responden) secara keseluruhan
(Moustakas, 1994).
Langkah awal yang harus dilakukan untuk verifikasi data adalah
intersubjective validity, yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan
pemahaman responden melalui interaksi sosial yang timbal balik (back-and forth)
dengan membagikan salinan deskripsi secara tekstural-struktural dari pengalaman
responden (Humphrey, dalam Moustakas, 1994). Kemudian tiap responden
diminta untuk secara hati-hati memeriksa deskripsi tersebut, dan mereka dapat
memberikan tambahan masukan dan pembetulan. Terakhir, peneliti merevisi
kembali pernyataan sintesisnya (Creswell, 2003).
Selain itu sebagai alternatif verifikasi, peneliti bisa menempuh teknik
external audit yaitu meminta penilaian kepada mereka yang tidak masuk dalam
kelompok sebjek penelitian, mereka itu bisa saja berasal dari pihak yang
mengetahui proses perubahan dalam organisasi, misalnya: Kepala Bagian Tata
Pemerintahan, Biro Kepegawaian atau staf ahli Walikota bidang pemerintahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan proses intersubjective validity terhadap responden dapat
disimpulkan bahwa responden memberikan penekanan pelimpahan kewenangan
yang diberikan walikota kepada camat memunculkan respon yang negatif yang
berdampak pada bertambahnya beban kerja dan merasa pemberian pelimpahan ini
merupakan hal yang sedikit dipaksakan pelaksanaannya. Respon yang diberikan
berkaitan dengan pola, ritme dan tugas baru (job discription) yang sebelumnya
belum pernah dilakukan, seperti contoh seorang sekcam setelah menerima
pelimpahan kewenangan ini harus mengerjakan hal-hal yang bersifat
administratif, teknis perencanaan program. Ada juga yang secara sadar merasa
kesulitan dalam me-manage para pegawai yang memiliki karakter pribadi yang
berbeda-beda, dan mengakui kesulitan mengikuti perkembangan teknologi. Tetapi
ada juga yang merasa pemberian pelimpahan ini memang sebuah kebijakan yang
tidak dapat ditolak dan memang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya penuh
tanggung jawab walaupun dirasakan ada kesulitan dan hambatan yang dialami.
Proses external audit dengan melibatkan pegawai diluar subjek
penelitian dilakukan kepada pejabat pemerintah kota dalam hal ini adalah Kabid
Humas Sekda Pemkot Yogyakarta, yang menyimpulkan bahwa perubahan ini
merupakan tuntutan wajib bagi pemerintah kota demi tercapainya pelayanan
masyarakat yang lebih transparan, responsibel, efektif dan efisien. Sehingga
kondisi perubahan ini mau tidak mau harus mampu dilaksanakan oleh SKPD yang
12

ada di wilayah kecamatan. Atas dasar itu maka pelimpahan kewenangan ini
merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh pegawai kecamatan sebagai salah
satu kebijakan yang dikeluarkan oleh walikota dengan peraturan walikota yang
baru yaitu perwal no.41 tahun 2014 tentang Pelimpahan Kewenangan Walikota
Kepada Camat Untuk Melaksanakan Sebagian Urusan Pemerintah Daerah.
Kebijakan pemerintah kota dengan memberikan sebagian pelimpahan
walikota kepada camat dengan peraturan walikota No. 41 Tahun 2014 merupakan
evaluasi diri yang dilakukan oleh organisasi pemerintahan di tataran kota
(pemkot). Kondisi tersebut berdampak langsung kepada SDM sebagai bagian dari
anggota organisasi (pegawai) yang dituntut harus bisa mentransformasikan diri
dalam arus perubahan. Kondisi perubahan tersebut direspon dengan berbagai
macam karakter dan berdampak secara psikis dan fisik terhadap perilaku kerja
pegawai yang langsung berada dibawah kendali walikota yaitu wilayah
kecamatan. Berbagai kondisi yang dirasakan oleh beberapa pegawai kecamatan
sangat terkait dengan bertambahnya beban kerja, pola dan ritme kerja baru, dan
tugas pekerjaan yang baru.
Bertambahnya beban kerja yang dialami pegawai merupakan
implikasi dari transformasi kondisi lama ke kondisi yang baru. Beban kerja yang
bertambah ini pada akhirnya diikuti dengan munculnya pola dan ritme kerja baru
serta tugas kerja yang baru yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh
pegawai. Kondisi tersebut memunculkan ketidaksesesuaian kerja pegawai dengan
berbagai macam respon (mengeluh, merasa tertinggal, emosi, tegang, pusing,
jenuh, dll). Kesesuaian kerja diartikan oleh Dawis & Lofquist (1984) sebagai
hubungan yang harmonis antara kesesuaian individu dengan lingkungan
pekerjaannya, kesesuaian individu dengan pekerjaannya, dan kesesuaian
pekerjaan terhadap individunya. Proses berkelanjutan dan dinamis dimana
individu berusaha mencapai dan mempertahankan kesesuaian dengan lingkungan
kerjanya inilah yang disebut sebagai penyesuaian kerja.
Terkait dengan pemberian pelimpahan kewenangan walikota kepada
camat, hambatan pekerjaan yang dirasakan akibat pemberian pelimpahan ini
memunculkan strategi coping yang bermacam-macam yang pada intinya individu
berusaha mengelola emosi yang dirasakan agar tidak merusak tatanan kerja yang
sudah diberlakukan dari tingkatan pemerintah pusat. Kondisi pegawai di
organisasi pemerintah tidak seperti halnya karyawan dalam perusahaan, ketika
muncul resistensi terhadap kebijakan organisasi konsekuensi yang ditimbulkan
tidak begitu besar (misal: sampai pegawai keluar dari organisasi dan pindah ke
organisasi lainnya, melepas tanggung jawab pekerjaan dan digantikan orang lain),
sehingga perilaku coping yang dimunculkan masih sebatas strategi yang bisa
dilakukan terhadap kelompok kerja yang ada di lingkungannya (misal: banyak
belajar dan bertanya, bersosialisasi) karena pada dasarnya organisasi pemerintah
berorientasi kepada pelayanan masyarakat, serta mewujudkan penyelenggaraan
negara yang semuanya diatur dan diikat dalam peraturan perundang-undangan
(termasuk undang-undang sistem kepegawaian).
Jika ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh Lazarus (1984) bahwa
terdapat keterkaitan antara harapan, emosi, dan coping. Dalam hal ini setiap orang
memiliki harapan terhadap lingkungannya, ketika kenyataan sesuai dengan

13

harapan atau tujuan yang akan dicapai (goal congruent) maka akan menimbulkan
pengalaman emosi positif seperti senang dan bahagia, tetapi ketika kenyataan
tidak sesuai dengan harapan atau tujuan yang ingin dicapai (goal uncongruent)
maka yang timbul adalah pengalaman emosi negatif, seperti marah, cemas,
maladjustment, menutup diri, dll. Dalam kondisi seperti ini seseorang melakukan
coping sebagai upaya untuk mengelola dan memaknai pengalaman emosi yang
dialami. Coping meliputi dua bentuk, yaitu: (1) problem-focus coping, merupakan
cara mengelola emosi secara aktif, misalnya melawan jika terancam, dan (2)
emotion-focus coping merupakan cara mengelola emosi dengan memahami
kembali situasi yang terjadi, misalnya menghindari ancaman.
Dinamika perubahan yang memunculkan karakteristik pada diri
pegawai secara langsung maupun tidak langsung membentuk perilaku baru untuk
bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi kerja yang baru pula. Proses penyesuaian
diri tersebut melibatkan beberapa aspek seperti yang diungkapkan oleh Schneiders
(1964), yaitu: 1) Adaptation, artinya penyesuaian diri dipandang sebagai
kemampuan seseorang dalam beradaptasi. Penyesuaian diri yang baik berarti
memiliki hubungan yang memuaskan dengan lingkungan fisiknya; 2) Comformity,
artinya seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik bila
memenuhi kriteria sosial dan hati nuraninya; 3) Mastery, artinya individu
mempunyai penyesuaian diri yang baik jika mempunyai kemampuan membuat
rencana dan mengorganisasikan suatu respons diri sehingga dapat menyusun dan
menanggapi masalah dengan efisien; 4) Individual variation, artinya ada
perbedaan individual pada perilaku dan responnya dalam menanggapi suatu
masalah. Aspek-aspek yang membentuk pegawai kecamatan dapat menyesuaikan
diri terhadap situasi pemberian sebagian pelimpahan dari walikota, adalah:
1.

Aspek
Adaptation

2.

Conformity

3.

Mastery

4.

Individual variation

Bentuk penyesuaian diri pegawai
Bekerja sesuai aturan
a. Memunculkan sisi religius
b. Bekerja sesuai aturan
a. Terlibat aktif dalam perencanaan
b. Belajar aktif
c. Mengembangkan karakter pembelajar
Merupakan variasi individu dalam menyesuaikan diri
terhadap situasi perubahan:
a. Bekerja sesuai aturan
b. Memunculkan sisi religius
c. Terlibat aktif dalam perencanaan
d. Belajar aktif
e. Mengembangkan karakter pembelajar

Mempelajari aturan-aturan baru yang belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh pegawai dapat dijadikan dorongan (drive) untuk dapat bekerja
lebih baik dan mewujudkan proses perubahan yang sedang berlangsung. Santrock
(2003) menyatakan ada dua cara untuk menyesuaikan diri, yaitu: asimilasi, hal ini
terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan yang
sudah dimilikinya, dan akomodasi, hal ini terjadi ketika individu menyesuaikan

14

dirinya terhadap informasi baru dan individu menunjukkan kesadaran akan
adanya kebutuhan untuk mengubah konsep yang dimilikinya.
Smither, dkk., (2005) menjelaskan bahwa pegawai yang mampu
memiliki karakter pembelajar akan lebih mampu bertahan dalam proses perubahan
organisasi, hal ini dimungkinkan karena pegawai yang memiliki kemampuan
belajar yang terus menerus akan mampu lebih cepat menyesuaikan dengan
karakter yang muncul di lingkungan kerjanya dalam situasi perubahan organisasi.
Munculnya sisi religius dalam proses penyesuaian diri dikatakan oleh
Robbins (2008) sebagai bentuk stabilitas emosi. Dimensi ini menilai kemampuan
pegawai untuk menahan stres atau gangguan psikologis lainnya. Individu dengan
stabilitas emosi yang positif cenderung tenang, percaya diri, sabar, dan memiliki
pendirian yang teguh. Sebaliknya, individu dengan stabilitas emosi yang negatif
cenderung mudah gugup, khawatir, depresi, dan tidak memiliki pendirian yang
teguh. Ditambahkan oleh Allen & Mayer (1997), pada hakikatnya bekerja dapat
dipandang dari berbagai perspektif seperti bekerja merupakan bentuk ibadah, cara
manusia mengaktualisasikan dirinya, bentuk nyata dari nilai-nilai, dan sebagai
keyakinan yang dianutnya. Semua pandangan itu dapat menjadi motivasi untuk
melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan organisasi dan individu.
Perubahan organisasi selalu membawa dampak pada diri individu
terutama dampak psikologis. Perubahan yang terjadi dalam organisasi juga dapat
memunculkan karakteristik lingkungan yang baru dalam organisasi baik relasi
kerja maupun tugas dan tanggung jawab dari pegawai. Menyikapi secara positif
dan optimis dapat mampu membantu pegawai untuk bertahan dan
mengembangkan diri dalam kondisi organisasi yang tidak dapat diprediksi.
Tabel dan gambar berikut akan menjelaskan hasil penelitian ini:
Konteks
perubahan
yang dialami
pegawai
a. Beban
kerja
bertambah
b. Tugas baru
c. Pola dan
ritme kerja
baru

Pengalaman respon dan reaksi pegawai
saat diberi pelimpahan kewenangan
Positif

Negatif

a. Mengalah
dan sabar
b. Termotivasi
, menjadi
tantangan,
dan
tanggung
jawab

a. Mengeluh
b. Merasa
tertinggal
c. Emosi kurang
terkontrol
d. Gagap teknologi
e. Motivasi
menurun karena
jenuh
f. Sulit
menyesuaikan
diri dengan arus
perubahan
g. Ketidaksesuaian
tugas dengan
kualifikasi
pendidikan
h. Mudah capek,
pusing dan tidak
fokus
i. Hambatan relasi
interpersonal

Coping strategy
terhadap situasi
perubahan

a. Banyak
belajar
b. Banyak
bertanya
c. Komunikasi
aktif dengan
atasan, rekan
kerja dan
teman
sejawat
d. Optimalisasi
peran SDM
dan
masyarakat
e. Merubah
sudut
pandang

15

Bentuk penyesuaian diri pegawai
terhadap situasi perubahan
Sense Making

a. Terlibat aktif
dalam
perencanaan
b. Belajar aktif

Personal
Attitude
a. Bekerja
sesuai
aturan
b. Pembelajar
c. Memuncul
kan sisi
religius

Makna
penyesuaian diri
pegawai
terhadap situasi
perubahan
a. Sebagai
tantangan
pekerjaan
b. Penyesuaian
terhadap
perubahan
c. Tidak dalam
spirit
mengikuti
perubahan

KONTEKS PERUBAHAN
YANG DIALAMI
PEGAWAI
a. Beban kerja bertambah
b. Tugas baru
c. Pola dan ritme kerja baru

PERUBAHAN
ORGANISASI
PEMBERIAN PELIMPAHAN
SEBAGIAN KEWENANGAN
WALIKOTA KEPADA
CAMAT

COPING STRATEGY
TERHADAP SITUASI
PERUBAHAN
a.
b.
c.
d.

Banyak belajar
Banyak bertanya
Komunikasi aktif
Optimalisasi peran
SDM & masyarakat
e. Merubah sudut
pandang.

DRIVE
SENSE MAKING
a. Terlibat aktif dalam
perencanaan
b. Belajar aktif

BENTUK PENYESUAIAN
DIRI PEGAWAI

MAKNA
PENYESUAIAN DIRI
PEGAWAI
a. Sebagai tantangan

PERSONAL ATTITUDE
a. Bekerja sesuai aturan
b. Mengembangkan
karakter
pembelajar
c. Memunculkan sisi religius

pekerjaan
b. Penyesuaian terhadap
perubahan
c. Tidak dalam spirit
mengikuti perubahan
(bekerja semampunya)

REAKSI PEGAWAI KETIKA DIBERI PELIMPAHAN
Positif
a. Mengalah dan sabar
b. Termotivasi,
menjadi tantangan,
dan tanggung
jawab.

Negatif
Mengeluh
Merasa tertinggal
Emosi kurang terkontrol
Gagap teknologi
Motivasi menurun karena
jenuh
f. Sulit menyesuaikan diri
dengan arus perubahan
g. Ketidaksesuaian tugas dengan
kualifikasi pendidikan
h. Mudah capek, pusing dan
tidak fokus
i. Hambatan relasi interpersonal
16
a.
b.
c.
d.
e.

Hasil penelitian penyesuaian diri pegawai dalam menghadapi perubahan organisasi

KESIMPULAN DAN SARAN
Perubahan organisasi dalam bentuk pemberian sebagian kewenangan
walikota kepada camat yang diberlakukan di wilayah Kota Yogyakarta ini merupakan
perubahan organisasi yang bersifat inovasi (innovative change) sesuai dengan yang
dikembangkan oleh Kreitner & Kinicki (2003), yaitu bentuk perubahan yang
memiliki kompleksitas, biaya, dan ketidakpastian dalam tingkatan menengah, yang
meliputi reimplementasi suatu perubahan pada unit organisasi, rencana kerja yang
fleksibel, dan modifikasi prosedur kerja. Sehingga perubahan ini dapat menimbulkan
dampak bagi karyawan.
Selain itu perubahan organisasi dalam bentuk pelimpahan kewenangan ini
juga sesuai dengan yang dikembangkan oleh Palmer, Dunford, dan Akin (2009,
disitasi Wibowo, 2012) yaitu penyesuaian dalam sistem, proses, atau struktur, tetapi
tidak menyangkut perubahan secara fundamental dalam strategi, value, atau identitas
korporat dan pemeliharaan pengembangan organisasi yang didesain berkelanjutan
dan tertata.
Tuntutan yang muncul dari perubahan organisasi maupun dari diri
individu sendiri menimbulkan implikasi pada proses penyesuaian diri yang mengarah
kepada munculnya stabilitas emosi dari pegawai dan memunculkan karakter dari
setiap pegawai. Bentuk penyesuaian diri pegawai pun akan berbeda, hal ini
tergantung pada tuntutan kerja dan lingkungan kerja yang akan selalu dimaknai
sebagai cara atau bagaimana dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan kerja.
Dalam situasi perubahan, tuntutan organisasional, pola kerja yang tidak
familiar dan proses adaptasi dapat memunculkan tekanan, kewajiban, bahkan
ketidakpastian di tempat kerja. Potensi-potensi negatif tersebut merupakan sumber
stres yang terjadi akibat dari faktor-faktor organisasional, seperti tuntutan tugas,
tuntutan peran, dan tuntutan antarpersonal (Robbins, 2008). Pada dasarnya proses
menyesuaikan diri merupakan proses dinamika yang bertujuan untuk merubah
perilaku (individu) agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara individu dengan
lingkungannya. Sehingga ketika individu mengalami hambatan-hambatan di dalam
proses organisasional yang sedang terjadi, maka individu akan berusaha dengan
segenap kemampuannya untuk menciptakan hubungan-hubungan yang
menyenangkan dengan lingkungan kerja atau organisasinya.
Perubahan di dalam organisasi dapat disertai dengan berubahnya perilaku
individu untuk dapat mengikuti arus perubahan, tetapi hal tersebut belum tentu diikuti
dengan spirit dalam mengikuti arus perubahan. Pelimpahan kewenangan yang
dirasakan sebagai tambahan beban kerja dapat menjadikan pegawai melaksanakan
program kerja dengan semampunya saja dan berusaha untuk mengembangkan
comfort zone (zona nyaman) pada dirinya untuk mengurangi tekanan yang dirasakan.
Hal ini dapat dipahami bahwa individu tersebut tidak mampu mengikuti arus
perubahan dan hanya bekerja semampunya (kurang memiliki spirit kerja).
Pegawai sebagai perangkat kerja negara dituntut mampu mengelola
resistensi yang muncul dari dalam diri akibat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat
17

oleh pemerintah pusat. Karakter pembelajar dan aktif bertanya akan mampu
mengarahkan atau membantu individu untuk melakukan berbagai penyesuaian dalam
kondisi yang sering berubah (tidak menentu) dalam organisasi.
Makna dari kegagalan menyesuaikan diri pegawai dalam menghadapi
perubahan organisasi akan membawa dampak pada kualitas kehidupan kerja mereka
(quality of work life). Hal ini dapat dilihat dari implikasi kerja pegawai yang
mengarahkan penyesuaian dirinya pada hal yang positif, seperti mengalah dan sabar,
komunikasi aktif, dan sebagai pembelajar. Sehingga karyawan yang memiliki
fleksibilitas dalam proses perubahan organisasi akan mampu meningkatkan
kemampuan diri serta menyesuaikan diri dalam proses perubahan yang akan terus
berlangsung.
Beberapa saran yang dapat diberikan bagi peneliti selanjutnya atau
pembuat kebijakan yang dalam hal ini pemerintah adalah:
1. Dikarenakan keterbatasan waktu, sehingga penyesuaian diri pegawai pada saat
sebelum dan setelah proses pelimpahan tidak dapat dilakukan. Sehingga dapat
disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat meneliti lebih jauh mengenai
penyesuaian diri pegawai sebelum mengalami pemberian pelimpahan yang
baru, dan setelah diberikan pelimpahan yang baru bagi pegawai sebagai acuan
bagi pemberi kebijakan mengingat pelimpahan kewenangan ini akan selalu
dievaluasi kinerjanya setiap tahun.
2. Proses verifikasi data yang kurang maksimal dalam hal intersubjective validity,
external audit dan triangulasi data penelitian terhadap pihak terkait, dapat
dijadikan catatan bagi peneliti selanjutnya agar mampu semaksimal mungkin
mencari waktu dengan para responden untuk mendiskusikan lebih lanjut hasil
penelitiannya sehingga prinsip back and forth dapat diwujudkan guna
klarifikasi data yang lebih mendalam dan lebih akurat.
3. Bagi organisasi pemerintah kota, diharapkan melalui pejabat berwenang dapat
menciptakan suasana dan wadah untuk memberikan kesempatan bagi pegawai
melakukan komunikasi yang lebih interaktif, dan memiliki komitmen untuk
pengembangan sumber daya manusia (misal pelatihan/training pegawai,
analisis jabatan, dan sistem recruitment yang mampu mengimplementasikan
program kerja di wilayah kecamatan), mampu memberikan inspirasi dan
meningkatkan derajat nilai setiap pegawai (komunikasi interaktif, saling
berbagi, memperbaiki, menumbuhkan secara bersama-sama sebagai suatu
organisasi maupun individu).
4. Bagi organisasi pembuat kebijakan dalam hal ini walikota pemerintah kota
Yogyakarta sebelum melakukan perubahan organisasi alangkah baiknya jika
dapat melakukan pengujian atau pengukuran kompetensi pegawai dalam
menyesuaikan perubahan yang akan berlangsung, sehingga pegawai yang
diprediksi kurang mampu menyesuaikan diri dalam proses perubahan dapat
diberikan treatment yang tepat pada mereka. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak
ketiga atau konsultan karena pelaksanaannya membutuhkan waktu yang harus
cepat selesai dan melibatkan banyak pegawai di semua wilayah.
18

5. Bagi pegawai, berada dalam sebuah lingkungan organisasi dan menginginkan
untuk bertahan dan berkembang dalam organisasi harus memiliki karakter yang
konstruktif, sehingga ketika terjadi perubahan dalam organisasi, pegawai akan
mampu menyesuaikan diri dengan cepat. Sikap positif terhadap perubahan juga
harus ditanamkan dalam karakter pegawai, karena perubahan dalam organisasi
adalah sesuatu yang normal dan harus dihadapi serta disikapi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J. W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. London: Sage Publications.
Cummings & Worley. (2005). Organizational Development (8th ed). South Western
Edition: Thompson.
Dawis, R. V & Lofquist, L. H., (1984). A Psychological Theory Of Work Adjutment.
Department of Psychology. University of Minnesota.P. 59.
Himam, F. (2002). Inventing The Future: A Meta-Etnographic Analysis Towards
Understanding The Process of Individual and Organizational Adaptive
Strategies to Change. (Unpublish Doctoral Dissertation), University of
Nebraska-Lincoln, Nebraska, USA.
Himam, F. (2005). Absorbsing the Wave of Change: A Grounded Case Study in
Explaining Change Behavior in Organization. Jurnal Psikologi. 32, 1.
13-23.
Kreitner, R & Kinicki, A. (2003). Organizational Behavior. New York: Mc.GrawHill
Companies. Inc.
Lazarus, R.S., and Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal and Coping. Springer
Publishing Company, New York, NY.
McIntire.

(1996). Organizational Development: Strategies for Changing
Environments. New York: Harper Collins College Publisher.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. California: SAGE
Publications, Inc., Thousand Oaks.
Prawirodirjo, A. S. (2007). Analisis Pengaruh Perubahan Organisasi dan Budaya
Organisasi Terhadap Kepuasan dan Kinerja Pegawai Dirjen Pajak.
Tesis. Tidak dipublikasikan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Robbins, S,T. (2008). Organizational Behaviour 12th ed. Jakarta: Salemba Empat.

19

Santrock, J. W. (2003). Life Span Development. Seventh Edition. New York :
McGraw-Hill Companies.
Schneiders, A. A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holt
Rinehart & Winston.
Smither, R.D., Houston, J.M, McIntire, S.A. (1996). Organization Development:
Strategies for changing environments. New York: Harper Collins
College Publishers.
Susanto,

A.
B.,
(2000).
Manajemen
Kemandirian
http://www.jakartaconsulting.com, 25 Januari 2014.

Daerah.

Taggala, M. (2008). Identifikasi Diri Dan Pembentukan Identitas Diri Karyawan
Dalam.
Proses
Restrukturisasi
Organisasi.
(Tesis
Tidak
Dipublikasikan), Universitas Gajahmada, Yogykarta.
Wibowo, (2012). Manajemen Perubahan. Rajawali Pers: Yogyakarta.

20