Dinamika Sosial Dalam Mewujudkan Toleransi Beragama (Studi Kasus Program Bandung Kota Agamis).

iii

ABSTRAK

Fakta adanya keragaman keyakinan, di satu sisi, menjadi modal berharga bagi
terbangunnya toleransi beragama, namun di sisi lain memiliki potensi konflik yang
rentan melahirkan sikap dan tindakan intoleransi. Tarik ulur di antara kehendak
mewujudkan toleransi beragama dengan kecenderungan praktik intoleransi beragama di
sisi lain telah menghadirkan dinamika sosial yang menarik dikaji. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dan memahami tentang dinamika sosial yang terjadi dalam
mewujudkan toleransi beragama di Kota Bandung.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertukaran sosial dan
teori akomodasi. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Adapun teknik pengumpulan
data melalui wawancara mendalam, pengamatan langsung, observasi partisipatoris dan
penelaahan dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dinamika sosial yang positif terjadi
karena masing-masing umat lintas agama lebih mengedepankan toleransi beragama.
Pada praktiknya, upaya mewujudkan toleransi beragama tidak dapat dipisahkan dari
peran dan keterlibatan pihak pemerintah. Kemunculan program “Bandung Kota
Agamis” menunjukkan bahwa agama tidak hanya dapat menjadi modal spiritual di
tengah masyarakat, tetapi juga dapat menjadi modal sosial untuk membangun kehidupan

yang harmonis dan toleran. Temuan ini sejalan dengan pandangan Jose Cassanova
(1994), yang menyatakan bahwa agama dapat melakukan transformasi sosial dengan
melakukan deprivatisasi agama, yakni proses di mana agama meninggalkan ruang privat
dan memasuki ruang publik guna mengambil peran dan memainkan fungsi sosialnya. (2)
Toleransi beragama terhambat karena masih adanya dikotomi “kami” dan “mereka”,
“mayoritas” dan “minoritas”, dalam relasi umat lintas agama yang kemudian melahirkan
sikap dan tindakan intoleransi. Praktik intoleransi beragama terjadi dalam bentuk
kecurigaan, prasangka sosial, provokasi, intimidasi dan diskriminasi. (3) Terjadinya
kontestasi dan kompetisi antarkelompok keagamaan merupakan sifat dasar manusia.
Strategi dalam bentuk akomodasi diperlukan untuk mewadahi beragam kepentingan
yang berbeda di kalangan umat lintas agama untuk meredakan pertentangan sekaligus
menjembatani berbagai perbedaan kepentingan. Kehadiran program “Bandung Kota
Agamis”, relatif merupakan solusi efektif dalam mengikat keragaman asal-usul, etnik,
budaya, dan agama. Dalam konteks membangun toleransi beragama, program “Bandung
Kota Agamis” telah menjadi benang homogen atau common platform (atau kalimatun
sawa’ dalam terminologi Islam) yang mengikat berbagai pemeluk agama yang berbeda
untuk berintegrasi secara sosial.

iv


ABSTRACT
The fact of diversity of belief, on the one hand, a valuable capital for the
establishment of religious tolerance, but on the other hand has a potential conflict of
vulnerable birth attitudes and actions of intolerance. Tug between the will embody the
practice of religious tolerance with the trend of religious intolerance on the other side
has presented an interesting social dynamics studied. This study aims to describe and
analyze about social dynamics that occur in the realization of religious tolerance.
Theory used in this study were social exchange theory and the theory of
accommodation. This research method is qualitative. The data collection techniques
through in-depth interviews, direct observation, participatory observation and document
review.
The results showed that: (1) positive social dynamics occur because each
interreligious people to put forward religious tolerance. In practice, efforts to achieve
religious tolerance can’t be separated from the role and involvement of the government. The
appearance of the program of " Bandung: a Religious City" shows that religion can not only be
the spiritual capital in the community, but also can be a social capital to build a harmonious
and tolerant life. This finding is in line with the views of Jose Cassanova (1994), which

states that religion can do for social transformation by doing deprivatization religion,
namely the process in which religion leaves the private sphere and into public spaces in

order to take on the role and play a social function. (2) The practice of religious
intolerance occurs due to the persistence of the dichotomy of "us" and "them",
"majority" and "minority", the people of interfaith relations. The practice of religious
intolerance occurs in the form of suspicion, social prejudices, provocation, intimidation
and discrimination. (3) The occurrence of religious contestation between groups is
human nature. Strategy in the form of accomodation is required to accommodate a
variety of different interests among the people to ease interfaith conflicts of interest as
well as bridge the differences. The presence of the program of " Bandung: A Religious
City", the relative is the effective solution in the binding diversity of origin, ethnicity,
culture, and religion. In the context of building religious tolerance, the program of
"Bandung: A Religious City" has become a common thread or homogeneous platform
(or kalimatun sawa' in Islamic terminology) that bind to a variety of different faiths to
integrate socially.