KLONING GEN PENYANDI PROTEIN RHOPTRY 1 (ROP1) TAKIZOIT Toxoplasma gondii ISOLAT LOKAL.

KLONING GEN PENYANDI PROTEIN RHOPTRY 1 (ROP1)
TAKIZOIT Toxoplasma gondii ISOLAT LOKAL
I Wayan Surudarma

ABSRAK INTISARI
Protein Rhopry 1 (ROP1) takizoit Toxoplasma gondii merupakan salah
satu protein yang berperan penting pada proses invasi parasit ini ke dalam sel
hospes. Protein tersebut diperkirakan sebagai molekul penetration-enhanching
factor (PEF). Kloning gen penyandi ROP1 takizoit Toxoplasma gondii isolat RH
untuk vaksinasi DNA pada mencit telah diteliti. Imunisasi DNA tersebut dapat
meningkatkan respon imun seluler dan humoral. Kloning gen penyandi ROP1
takizoit Toxoplasma gondii isolat lokal belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian
ini ialah untuk memperoleh klon yang membawa gen penyandi ROP1 takizoit
isolat lokal melalui teknik DNA rekombinan.
Takizoit Toxoplasma gondii dikultivasi secara in vivo pada mencit strain
Balb/C. Isolasi DNA dilakukan setelah beberapa kali pasase untuk diperoleh
jumlah takizoit yang cukup (minimal 1x108 takizoit/ml) dan selanjutnya DNA
diamplifikasi menggunakan PuRe Taq RTG-PCR Beads (Amersham Bioscience)
dengan primer spesifik (Cybergene AB) dan produknya diligasi pada pGEM-T®
Easy (Promega). Plasmid rekombinan ditransformasi ke dalam Escherichia coli
XL-1 Blue dengan teknik heat shock dan transforman ditanam pada plate agar LB

yang mengandung ampisilin, X-gal, dan IPTG. Koloni putih yang menunjukkan
koloni rekombinan ditumbuhkan dalam media LB yang telah ditambahkan
ampisilin pada suhu 37oC selama semalam. Plasmid DNA rekombinan diisolasi
dengan metode lisis alkali dan dielektroforesis pada gel agarose 1% (SeaKem).
Analisis plasmid rekombinan dilakukan dengan cara digesti menggunakan
endonuklease restriksi EcoRI dan selanjutnya disekuensing untuk mengetahui
urutan basanya (ABI 3130 Genetic Analyzer).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kloning gen penyandi ROP1
Toxoplasma gondii isolat lokal menghasilkan klon yang membawa DNA insert
dengan ukuran 1441 bp. DNA insert tersebut mempunyai homologi sebesar 99%
dengan gen penyandi ROP1 Toxoplasma gondii isolat RH.
Kata kunci: ROP1, Toxoplasma gondii, takizoit, DNA rekombinan

1

PENDAHULUAN
Toxoplasma

gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang mampu


menginfeksi sel berinti semua vertabrata berdarah panas termasuk manusia
(Khan et al., 2006). Infeksi parasit ini disebut toksoplasmosis dan

telah

menjangkiti hampir sepertiga populasi dunia (Mital et all, 2005). Prevalensi
toksoplasmosis berkisar antara 5 – 95% tergantung dari lokasi geografisnya
(Yanesa et al., 1994). Di Indonesia, prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada
manusia berkisar antara 2% sampai 63% (Gandahusada, 1998). Toksoplasmosis
pada hewan juga mempunyai arti penting dalam bidang kesehatan dan
perekonomian karena dapat menyebabkan abortus dan kematian neonatus pada
ternak. Kista jaringan dalam daging hewan terinfeksi dapat merupakan sumber
infeksi yang penting pada manusia (Ismael et all, 2003).
Toxoplasma

gondii yang menginfeksi sel hospes akan bereplikasi dalam

vakuola parasitoporus dan menyebabkan lisis sel yang terinfeksi. Proses invasi
dan lisis sel yang berulang-ulang menyebabkan munculnya gejala toksoplasmosis
(Remington


et

all.,

1995).

Antigen

yang

berkaitan

langsung

dengan

imunopatogenesis dan invasi ke dalam sel hospes adalah antigen yang berasal dari
protein permukaan (SAG/surface antigen) dan antigen beredar (ESA/excretorysecretory antigen). Antigen permukaan sangat berkaitan dengan proses perlekatan
(attachment) awal pada permukaan sel target, sedangkan ESA lebih berperan pada

proses penetrasi dan modifikasi vakuola parasitoporus dalam sel target
(Grimwood et al., 1996; Ajioka et al., 2001; Binder et al., 2004).

2

Protein ESA dilepaskan oleh tiga organela sekretoris apikal, yaitu
micronemes, rhoptries dan dense granules (Carruthers and Sibley, 1997).
Protein micronemes (MIC) dan rhoptries (ROP) dilepaskan pada saat parasit
menarik dirinya ke permukaan sel hospes dengan menggunakan myosin-based
motor complex (Sahoo et al., 2006; Meissner et all., 2002). Mikronema
mengandung berbagai adesin yang membantu pengikatan ligan ke permukaan sel
hospes (Sahoo et al., 2006; Tomley and Soldati, 2001). Protein rhoptry berperan
dalam penetrasi dan pembentukan membran vakuola parasitoporus (Sinai and
Joiner, 2001). Protein rhoptry 1 merupakan ROP dengan berat molekul 66 kDa
dan berfungsi sebagai penetration-enhanching factor (PEF) (Ossorrio et al., 1992;
Guanjin et al., 2001). Protein dense granules (GRA) dilepaskan bila parasit telah
berada dalam sel hospes, dan berperan dalam modifikasi kompartemen
intraseluler, tempat parasit bertahan hidup (Carruthers and Sibley, 1997).
Diagnosis laboratorium untuk infeksi akut Toxoplasma gondii didasarkan
pada tiga metode, yaitu: Isolasi takizoit dari darah atau cairan tubuh melalui kultur

sel, deteksi antigen atau antibodi spesifik secara serologis, dan pemeriksaan
histologis sampel jaringan untuk menemukan takizoit atau kista. Masing-masing
metode tersebut masih memiliki kelemahan (Potasman et al., 1988). Isolasi kultur
mempunyai kesulitan dalam menentukan waktu yang tepat dalam pengumpulan
sampel dan mempertahankan viabilitas parasit dalam spesimen (Israelski, 1988).
Metode serologis mempunyai keterbatasan karena antibodi dan antigen spesifik
Toxoplasma gondii mungkin tidak muncul pada awal infeksi, dan Ig M tidak
meningkat saat reaktivasi bentuk kista parasit (Holliman, 1990). Biopsi jaringan

3

merupakan prosedur invasif sehingga kurang aman dan nyaman untuk diterapkan.
Deteksi Toxoplasma gondii menggunakan PCR dapat mengurangi masalah ketiga
metode tersebut, namun metode PCR tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara infeksi akut atau laten (Dupon et al., 1995).
Terapi toksoplasmosis dengan obat biasanya hanya dapat membunuh parasit
dalam stadium takizoit. Terapi ini cukup efektif untuk infeksi akut, namun tidak
efektif untuk infeksi laten karena kista dalam jaringan dapat menjadi aktif kembali
bila kondisi lingkungan memungkinkan (Gandahusada, 1998). Vaksin sangat
penting untuk mencegah reaktivasi pada individu yang immunocompromised,

mencegah infeksi janin pada kehamilan, dan mengontrol multiplikasi takizoit pada
infeksi primer akut (Denkers et al., 1998; Sibley et al., 1996). Vaksin takizoit
Toxoplasma gondii yang dilemahkan (live attenuated) dilaporkan berhasil baik
untuk mencegah aborsi pada hewan, dan telah digunakan secara komersial untuk
ternak domba, namun vaksin ini tidak cukup aman digunakan pada manusia
(Prigione et al., 2000; Alexander et al., 1996). Pendekatan vaksin toksoplasmosis
untuk manusia idealnya didasarkan pada penggunaan antigen rekombinan atau
peptida sintetik yang dapat memberikan perlindungan terhadap seluruh siklus
hidup Toxoplasma gondii (Prigione et al., 2000). Berdasarkan hal-hal tersebut
maka penting sekali dilakukan pengembangan perangkat diagnosis dan vaksin
secara biologi molekuler.
Penelitian untuk mencari antigen Toxoplasma

gondii yang bersifat

imunogenik protektif banyak difokuskan pada antigen permukaan yang
diekspresikan pada stadium takizoit (Prigione et al., 2000). Penelitian mengenai

4


vaksin DNA untuk melawan infeksi Toxoplasma gondii secara eksperimental
pada tikus juga telah banyak dilakukan. Antigen yang diuji meliputi antigen
permukaan

SAG

(SAG1),

GRA

(GRA1,

GRA4,

GRA7)

dan

ROP


(ROP1 dan ROP2) (Scorza et al., 2003; Prigione et al., 2000). Protein MIC3 juga
dilaporkan sebagai kandidat vaksin yang menjanjikan karena merupakan adesin
yang poten dan diekspresikan pada semua stadium infeksius (Ismael et al., 2003).
Plasmid rekombinan pcDNA3-ROP1 (pcROP1) yang diimunisasi secara
intramuskular pada mencit dapat meningkatkan aktivitas sel NK, proliferasi
limfosit T dan sel T CD8+, serta titer Ig G (Guanjin et al., 2001). Penelitian
lainnya adalah peningkatan efikasi pcROP1 dengan menggunakan suatu plasmid
rekombinan pcIFN-α, hasilnya menunjukkan pcIFN-α dapat bekerja terkoordinasi
dengan pcROP1 untuk meningkatkan respon imun seluler (Hong et al., 1999).
Penyediaan asam nukleat dan protein dalam jumlah yang memadai sangat
diperlukan untuk pengembangan vaksin, perangkat diagnostik dan terapi imun.
Teknologi DNA rekombinan memungkinkan pemecahan masalah penyediaan
asam nukleat dan protein tersebut. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah
melalui kloning gen penyandi ROP1 hasil amplifikasi DNA takizoit
Toxoplasma gondii. Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan primer spesifik
untuk gen penyandi ROP1. Hasil amplifikasi selanjutnya diligasikan ke vektor
pGEM-T® Easy dan ditransformasikan ke dalam hospes E. coli.

5


MATERI DAN METODE

Bahan
Bahan untuk kultivasi secara in vivo pada penelitian ini adalah takizoit
T. gondii isolat lokal dan mencit strain Balb/C. Isolasi DNA takizoit
menggunakan

bahan-bahan seperti proteinase-K, larutan NTE (5M NaCl, 1M

Tris-Cl, 0,5M EDTA), SDS 0,5%, fenol, kloroform, isoamil alkohol, Na-asetat,
dan etanol. Amplifikasi DNA menggunakan primer R1F1 dan R1R2 (Cybergene
AB),

dan PuRe Taq Ready to Go PCR Beads (Amersham Biosciences).

Vektor kloning yang digunakan adalah pGEM-T® Easy (Promega). Bakteri yang
digunakan adalah E. coli XL-1 Blue. Bahan yang digunakan untuk plating bakteri
adalah

5-bromo-4-chloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside (X-gal) (Sigma),


isopropyl β-D-thio-galacto-pyranoside (IPTG) (Sigma) dan ampisilin (Sigma).
Isolasi DNA plasmid rekombinan memerlukan bahan-bahan: lysing solution I (2M
glukosa, 0,5M EDTA, 1M Tris), lysing solution II (0,2 N NaOH, 1% SDS),
lysing solution III (5 M kalium asetat, asam asetat), etanol absolut, etanol 70%,
dan TE. Digesti plasmid menggunakan enzim restriksi endonuklease EcoRI
(Fermentas). Marker DNA yang dipergunakan adalah DirectLoadTM Wide Range
DNA Marker (Sigma). Sekuensing DNA menggunakan BigDye® Terminator v3.1
Cycle Sequensing Kit dan AutoSEQ G-50 Kit (Amersham).

Jalannya Penelitian

Kutivasi parasit in vivo

6

Tiga ekor mencit dewasa disuntik dengan takizoit T. gondii isolat lokal secara
intraperitoneal dengan dosis 1 x 107 takizoit. Mencit menunjukkan gejala sakit
dengan ditandai bulu berdiri, lemah, tidak ada nafsu makan dan minum, frekuensi
pernafasan menurun, dan denyut jantung cepat setelah


72-96 jam. Mencit

kemudian dibunuh dan dilakukan pencucian rongga perut dengan cairan NaCl
fisiologis untuk mendapatkan takizoit.

Pencucian dilakukan tiga kali,

masing-masing sebanyak 5–10 ml. Takizoit selanjutnya diinfeksikan lagi pada
30–40 ekor mencit dewasa dengan dosis 1 x 107 untuk mendapatkan jumlah
takizoit yang lebih banyak dengan cara yang sama. Hasil cucian rongga perut
mencit, kemudian disentrifugasi 3.000 rpm (Beckman) pada suhu 4oC selama 10
menit.

Pelet yang didapatkan dicuci tiga kali dengan penambahan PBS dan

disentrifugasi 3.000 rpm pada suhu 4oC selama 10 menit dan selanjutnya pelet
siap digunakan untuk isolasi DNA.

Isolasi DNA
Sel takizoit yang telah dicuci dengan PBS diresuspensi dengan larutan NTE,
ditambahkan proteinase-K (10 mg/ml) dan SDS 0,5% sehingga konsentrasi akhir
menjadi 100 μg/ml, dan diinkubasi semalam dalam waterbath 37oC (Buchii).
Campuran reaksi tersebut ditambahkan fenol 1:1 dan di-shaking 60 rpm selama
20 menit, kemudian disentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit pada suhu kamar
dengan J-6B centrifuge (Beckman). Fase atas yang terbentuk dipindahkan
ke tabung baru dan ditambahkan 1x volume kloroform:isoamil alkohol (24:1) dan
disentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit. Langkah ini diulangi sampai bersih
(tidak ada interfase). Fase atas ditambahkan 1/10 volume 3 M Na-asetat dan
7

2x volume etanol absolut (95%) dingin dan dibiarkan 10-15 menit pada suhu
-20oC. Selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan maksimum selama 5 menit,
kemudian pelet dibilas dengan alkohol 70% dan dikering-anginkan. Pelet DNA
yang

sudah

kering

kemudian

dilarutkan

dengan

TE

dan

ditentukan

konsentrasinya.

Elektroforesis DNA
Elektroforesis DNA dilakukan dengan menggunakan gel agarose 1% yang
dibuat dengan cara menimbang agarose 0,3 gram (SeaKem) dan ditambahkan
30 ml TAE 1x, kemudian dilarutkan di dalam microwave (Hitachi) dan dalam
keadaan hangat-hangat kuku ditambahkan 1 µl ethidium bromide (C21H20N3Br;
2,7- diamino-10-ethyl-9-phenyl- henanthridinium bromide; homidium bromide).
Selanjutnya dipindahkan ke gel tray yang telah dipasang sisiran untuk membuat
sumuran. Gel yang terbentuk dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis (Biorad),
kemudian dituangkan TAE 1x sampai gel terendam. Selanjutnya sampel DNA
sebanyak 5 µl dicampurkan dengan 1 µl DNA loading buffer di atas parafilm,
kemudian dimasukkan ke dalam sumuran gel dengan hati-hati, kemudian
elektroforesis dilakukan sampai migrasi DNA hampir mencapai bagian ujung gel.
Hasil elektroforesis dapat dilihat dengan UV transilluminator.

Amplifikasi DNA
Primer spesifik yang digunakan untuk mengamplifikasi gen penyandi protein
ROP1 adalah primer foward R1F1 (5’ CGTGACATATACTGCACTGAC 3’)

8

dan

primer reverse R1R2 (5’ CATCGTCAAACTCGATCAC 3’). Primer

diencerkan sehingga konsentrasi kedua primer tersebut menjadi 10 pmol/μl
sebelum digunakan. Campuran reaksi untuk proses amplifikasi dibuat dengan
penambahan 2 μl template, 2 μl primer R1F1, dan 2 μl primer R1R2 serta
19 μl dH2O filter ke dalam puRe Taq RTG-PCR sehingga volume total menjadi
25 μl. Tabung berisi campuran reaksi tersebut dimasukkan ke dalam thermocycler
(Gene Cycler, BioRad) dan dijalankan dengan program sebagai berikut:
(1) denaturasi awal dengan suhu 94oC selama 5 menit, (2) denaturasi dengan suhu
94oC selama 1 menit, (3) annealing primer dengan suhu 60oC selama 1 menit,
(4) polimerisasi dengan suhu 72oC selama 1 menit, (5) siklus diulang sehingga
total siklus 35 kali, dan (6) diakhiri dengan polimerisasi tambahan pada suhu 72oC
selama 5 menit. Proses amplifikasi dikontrol dengan menggunakan kontrol positif
dan kontrol negatif.

Kontrol positif menggunakan campuran reaksi dengan

template DNA isolat RH, sedangkan kontrol negatif dengan tanpa menggunakan
template. Hasil amplifikasi dicek dengan dielektroforesis pada gel agarose 1%.
Purifikasi produk amplifikasi DNA
Produk PCR diencerkan menjadi 100 µl dengan akuades steril dan dicampur
sampai homogen, kemudian ditambahkan dengan fenol:CIAA (96:4) dengan
volume yang sama, divorteks beberapa detik dan disentrifugasi pada kecepatan
12.000 rpm selama 10 menit (microfugeTM11, Beckman). Supernatan pada lapisan
bagian atas diambil dan ditempatkan pada tabung baru. DNA produk PCR
diendapkan dengan 2x volume etanol absolut dan 1/10 volume natrium asetat 3M
(pH 4,8), kemudian diinkubasi pada suhu -700C selama 1 jam untuk mempercepat

9

pengendapan. Hasil pengendapan disentrifugasi 12.000 rpm selama 10 menit,
selanjutnya pelet dicuci dengan etanol 70% dan dikering-anginkan. Pelet hasil
purifikasi diresuspensi dengan bufer TE (pH 8) dan siap untuk diligasikan ke
vektor.

Ligasi produk amplifikasi DNA dengan vektor kloning
Sebanyak 1µl pGEM-T® Easy (50 ng/µl) ditambah dengan 3 µl produk PCR
yang telah dipurifikasi, 5 µl 2 X buffer T4 DNA ligase dan 1 µl T4 DNA ligase
sehingga volume akhir menjadi 10 µl. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 4oC
selama semalam.

Hasil reaksi disimpan pada suhu –20oC dan siap untuk

ditransformasikan pada sel hospes.

Transformasi
Transformasi adalah proses memasukkan vektor ke dalam sel hospes.
Transformasi pada penelitian ini menggunakan teknik heat shock, dan preparasi
sel kompeten menggunakan metode TSS. Hasil transformasi ditanam plate agar
LB yang ditambahkan dengan X-gal, IPTG dan ampisilin.

Preparasi sel kompeten
Koloni tunggal E. coli XL1-Blue dibiakkan dalam 5 ml media LB dan
diinkubasi selama semalam pada suhu 37oC dengan kecepatan agitasi 200 rpm.
Bakteri kemudian ditumbuhkan kembali dalam 25 ml LB dan diinkubasi selama
2 – 3 jam sampai didapatkan OD600 antara 0,5 – 0,6 dengan spectrophotometer

10

(Beckman DU-65). Sebanyak 20 ml LB medium yang mengandung bakteri
kemudian dipanen dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama
15 menit pada temperatur 40C (J-6B centrifuge, Beckman). Supernatan dibuang
dan pelet ditambahkan dengan 2 ml TSS 2X. Pelet kemudian diresuspensi dan
dibagi-bagi dalam volume 200 µl. Sel kompeten sudah siap digunakan atau
disimpan pada suhu -700 C.

Transformasi dengan teknik heat shock
Sel kompeten bakteri E. coli XL1-Blue (volume 200 μl) ditambah dengan
3 μl plasmid pGEM-T® Easy yang sudah diligasikan dengan produk PCR,
kemudian dicampur dengan baik. Kontrol transforman terdiri atas kontol positif
(E. coli XL1-Blue dengan plasmid pGEM-T® Easy yang diligasikan dengan
control insert DNA), kontrol background (E. coli XL1-Blue dengan plasmid
pGEM-T® Easy saja) dan kontrol negatif (E. coli XL1-Blue tanpa plasmid).
Campuran bahan transformasi kemudian diinkubasi dalam es selama 30 menit dan
kemudian di heat shock dalam water bath 42oC selama 90 detik. Campuran bahan
transformasi yang telah di heat shock dimasukkan ke dalam es selama 1- 2 menit
dan kemudian ditambah 500 μl TSS 1X dan difliking. Bakteri E. coli XL1-Blue
hasil transformasi kemudian diinkubasi dalam water bath 37oC selama 1 jam
sambil digoyang-goyang tiap 5 menit. Selanjutnya sampel siap untuk ditanam
pada plate agar.

Penanaman pada plate agar

11

Sampel hasil transformasi ditumbuhkan pada plate agar LB yang sudah
ditambahkan dengan X-gal, IPTG dan ampisilin. Khusus untuk kontrol sterilitas
tidak ditambah dengan zat-zat tersebut di atas. Sampel ditanam dalam jumlah
yang bertingkat mulai dari 100 μl, 200 μl, dan 300 μl untuk menghasilkan koloni
yang terbaik. Penanaman dilakukan secara merata di seluruh permukaan plate
agar dan diinkubasi pada suhu 37oC selama semalam. Hasil pertumbuhan bakteri
berupa koloni biru dan putih. Koloni rekombinan yang berwarna putih kemudian
dianalisis.

Analisis plasmid rekombinan
Koloni rekombinan dibiakkan dalam 5 ml media LB yang mengandung
ampisilin.

Plasmid

rekombinan

dan selanjutnya dianalisis

diisolasi

dengan

dengan cara digesti

metode

lisis

alkali,

menggunakan endonuklease

restriksi EcoRI.

Penumbuhan bakteri rekombinan
Koloni tunggal bakteri

rekombinan dibiakkan dalam 5 ml media LB yang

mengandung ampisilin, dan diinkubasi pada suhu 37oC selama semalam dengan
agitasi 200 rpm.

Isolasi plasmid rekombinan dengan metode lisis alkali
Bakteri rekombinan hasil biakan dalam medium LB dituangkan ke tabung
micro tube sampai hampir penuh (1,5 ml), kemudian disentrifugasi 12.000 rpm
selama 5 detik (microfugeTM11, Beckman) dan supernatan dibuang. Pelet yang
12

didapat diresuspensi dengan 100 μl Lising Solution I (LS I), kemudian divorteks
sampai homogen dan diinkubasi dalam es selama 5 menit.
ditambahkan 200 μl

Selanjutnya

Lising Solution II (LS II), kemudian dicampur dengan

membolak-balikkan tabung micro tube kira-kira sebanyak 5 kali. Kemudian
ditambahkan lagi dengan 150 μl Lising Solution III (LS III), divorteks dan ditaruh
dalam es selama 5 menit. Larutan sampel selanjutnya disentrifugasi 12.000 rpm
selama 5 menit dan diambil supernatannya, lalu dimasukkan ke dalam micro tube
baru dan ditambahkan 250 μl fenol dan 250 μl CIAA

kemudian divorteks.

Campuran ini disentrifugasi 12.000 rpm selama 3 menit, dan akan terbentuk tiga
fase larutan. Fase atas larutan diambil dan dimasukkan ke dalam micro tube baru,
kemudian ditambah etanol absolut dingin 2x volume dan selanjutnya diikubasi
pada suhu -70oC selama 1 jam. Larutan yang telah diinkubasi kemudian
disentrifugasi 12.000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet dibilas
dengan etanol dingin 70% (500μl) dan dikering-anginkan. Pelet yang sudah
kering diresuspensi dengan TE (volume disesuaikan dengan banyaknya pelet).
DNA plasmid

selanjutnya dielektroforesis pada agarose gel 1% dan diamati

dibawah sinar ultraviolet.

Digesti plasmid rekombinan
Plasmid rekombinan didigesti dengan endonuklease restriksi EcoRI.
Lima mikroliter plasmid rekombinan (konsentrasi 1 µg/µl) ditambah dengan 2 µl
bufer EcoRI, 2 µl EcoRI dan nuclease free water sehingga volume total menjadi
20 µl dan dicampur dengan baik. Campuran reaksi kemudian diinkubasi pada

13

suhu 37oC selama 2 jam. Hasil digesti selanjutnya dielektroforesis pada gel
agarose 1% dan diamati dibawah sinar ultraviolet.

Sekuensing DNA plasmid rekombinan
Sekuensing DNA dikerjakan dengan menggunakan ABI 3130 Genetic
Analyzer. Cycle sequensing terhadap plasmid rekombinan dilakukan dengan
menggunakan BigDye® Terminator v3.1 Cycle Sequensing Kit dengan primer
SP6, T7 dan R1R2. Reaksi cycle sequensing sebagai berikut: (1) denaturasi
pertama pada suhu 96oC selama 2 menit, (2) denaturasi 96oC selama 10 detik,
(3) annealing primer 50oC selama 5 detik, (4) polimerisasi 60oC selama 4 menit,
(5) siklus diulang sehingga total siklus 25 kali. Hasil cycle sequensing kemudian
dipurifikasi dengan AutoSEQ G-50 Kit (Amersham). Plasmid rekombinan yang
telah di-cycle sequensing ini akan menghasilkan fragmen DNA dengan panjang
yang berbeda-beda dan memiliki label fluoresensi pada ujungnya. Selanjutnya
fragmen-fragmen tersebut dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid dan
sekuenser DNA akan mendeteksi fluoresen untuk mengidentifikasi A, T, C dan G.
BigDye Terminator dilabel dengan dichlororhodamine (dRhodamine) acceptor
dyes; terminator A dilabel dengan dR6G, terminator C dilabel dengan dROX,
terminator G dilabel dengan dR110, dan terminator T dilabel dengan dTAMRA.
Fragmen DNA yang berlabel fluoresen bermigrasi melalui gel dan melepaskan
sinar laser pada dasar gel. Masing-masing dye akan memancarkan cahaya pada
panjang gelombang yang berbeda-beda dan cahaya ini difokuskan oleh lensa ke
spektrograf. Warna pada electropherogram adalah hijau untuk A, biru untuk C,
hitam untuk G, dan merah untuk T.
14

Sekuen DNA yang didapatkan kemudian dianalisis dengan menggunakan
program BLAST yang diakses melalui NCBI untuk melihat alignment

hasil

sekuensing.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kultivasi Takizoit Toxoplasma gondii Isolat Lokal
Takizoit T. gondii dikultivasi secara in vivo pada 30 mencit Balb/C supaya
mendapatkan jumlah takizoit yang cukup untuk isolasi DNA. Jumlah takizoit
yang diperoleh adalah sebanyak 6,8x108 takizoit per ml.

Isolasi DNA Takizoit Toxoplasma gondii Isolat Lokal
Konsentrasi DNA yang diperoleh dalam penelitian adalah 827,5 ng/μl
dengan kemurnian 1,82. Hasil isolasi DNA dielektroforesis pada gel agarose 1%
dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4. DNA ini selanjutnya akan digunakan
sebagai template dalam proses amplifikasi.

Amplifikasi DNA dengan Menggunakan Primer Spesifik
Primer spesifik yang digunakan untuk mengamplifikasi
protein

ROP1

pada

penelitian

ini

(5’ CGTGACATATACTGCACTGAC 3’)

adalah
dan

primer

gen penyandi
foward

R1F1

primer reverse R1R2

(5’ CATCGTCAAACTCGATCAC 3’). Berdasarkan sekuen gen penyandi ROP1
(kode: M71274.1) genbank NCBI, primer forward akan menempel pada basa ke171 sampai 191 dan primer reverse akan menempel pada basa ke-1515 sampai

15

1497. Primer akan mengamplifikasi seluruh coding strand (CDS) dari gen yang
terletak pada basa ke-201 sampai 1391. Gambar ilustrasi penempelan primer pada
sekuen gen penyandi ROP1 T. gondii isolat RH ditunjukkan pada Gambar 5.
Hasil

amplifikasi

DNA

yang

dielektroforesis

pada

agarose

1%,

menunjukkan pita tunggal dengan ukuran sekitar 1,45 kb pada kontrol positif
(isolat RH) dan pada sampel (isolat lokal), sedangkan pada kontrol negatif tidak
terlihat adanya pita.

kb
10
4
2
1,5
1
0,75
0,5

M

1

2

3

16

Kloning DNA Produk Amplifikasi
Hasil transformasi kemudian ditanam pada plate agar yang mengandung
pada suhu 37oC. Hasil

ampisilin, IPTG dan X-gal selama semalam
penanaman membentuk 1 koloni putih dan 6 koloni biru.

P

B

Hasil transformasi pGEM-T Easy pada E. coli XL1-Blue dengan metode
heat shock. Keterangan: B. koloni biru; P. koloni putih.
Identifikasi rekombinan pada kloning dengan vektor pGEM-T® Easy meliputi
seleksi resistensi transforman terhadap antibiotika ampisilin, dan
diikuti

dengan

skrining

aktivitas

β-galaktosidase

untuk

kemudian

membedakan

sel rekombinan. Sel yang mengandung plasmid normal akan menjadi resisten
terhadap ampisilin dan mampu mensintesis

β-galaktosidase, sedangkan sel

rekombinan juga akan resisten terhadap ampisilin tetapi tidak mampu mensintesis
β-galaktosidase.

17

Skrining ada atau tidaknya β-galaktosidase dilakukan dengan pengujian
menggunakan X-gal yang merupakan analog dari laktose. X-gal akan dipecah oleh
β-galaktosidase menjadi produk yang berwarna biru. Jika X-gal ditambahkan pada
media agar bersama IPTG dan ampisilin, maka koloni transforman bukan
rekombinan akan berwarna biru karena sel-selnya mensintesis β-galaktosidase,
sedangkan koloni transforman

rekombinan akan membentuk berwarna putih

akibat tidak mampu mensintesis β-galaktosidase karena rusaknya gen lacZ’.

Analisis Plasmid Rekombinan
Koloni tunggal bakteri rekombinan (koloni putih) dibiakkan dalam 5 ml LB
medium yang mengandung ampisilin.

Hasil pembiakan kemudian diisolasi

plasmidnya dan didigesti dengan endonuklease restriksi EcoRI.

Hasil digesti

kemudian dielektroforesis pada gel agarose 1 %.

kb

10
4
3
2
1,5
0,75
0,5

M

1

2

3

4

5
18

Hasil eletroforesis
plasmid yang didigesti dengan menggunakan
endonuklease restriksi EcoRI pada gel agarose 1 %. Keterangan: M.
marker; 1. plasmid koloni biru; 2. plasmid koloni biru yang didigesti
dengan EcoR I; 3. plasmid koloni putih (rekombinan); 4. plasmid
rekombinan yang didigesti dengan EcoR I; 5. produk PCR gen penyandi
ROP1.
Digesti plasmid koloni biru menghasilkan pita tunggal dengan ukuran sekitar
3 kb, sesuai dengan ukuran plasmid pGEM-T® Easy. Digesti plasmid rekombinan
menghasilkan dua pita yang masing-masing berukuran sekitar 3 kb dan 1,45 kb,
sesuai dengan ukuran plasmid pGEM-T® Easy dan produk PCR. Digesti dengan
endonuklease restriksi EcoR I akan memotong vektor pGEM-T® Easy pada dua
tempat yang mengapit

multiple cloning region, sehingga DNA insert akan

terlepas dari vektor. Plasmid rekombinan tersebut selanjutnya disebut pWTA-R1.

Sekuensing DNA Plasmid pWTA-R1
Plasmid WTA-R1 disekuensing dengan menggunakan primer sekuensing SP6,
T7 dan primer R1R2. Sekuensing dengan menggunakan primer T7 mendapatkan
sekuen nukleotida DNA insert sepanjang 590 bp (basa ke-1 sampai 590), dan
sekuensing menggunakan primer SP6 diperoleh sekuen nukleotida sepanjang 638
bp (basa ke-803 sampai 1441). Sekuensing dengan menggunakan primer R1R2
digunakan untuk melengkapi hasil sekuensing agar seluruh sekuen nukleotida
DNA insert dapat diketahui. Sekuensing dengan menggunakan primer R1R2
mendapatkan sekuen nukleotida sepanjang 982 bp (basa ke-407 sampai 1399).
Penggabungan hasil sekuensing dengan ketiga primer mendapatkan seluruh
sekuen nukleotida DNA insert, yaitu sebesar 1,441 kb.
19

1 cgt gac at a t ac t gc act gac t t c gac acc at g gag caa agg ct g cca at t at t ct a ct t
61 gt t ct c t ct gt g t t c t t c agt t ca acc cca agc gcc gcc ct t t cg agc cac aat gga gt c
121 ccc gct t at cca t cg t at gca cag gt a t cg ct c t ct t cc aac ggc gag cca cgg cac agg
181 ggc at a cgc ggc agc t t c ct c at g t cc gt a aag cca cac gca aac gct gat gac t t c gcc
241 t cc gac gac aac t ac gaa ccg ct g ccg agt t t c gt g gaa gct cct gt c aga ggc ccg gac
301 caa gt c cct gcc aga gga gaa gct gct ct t gt c aca gag gag act cca gcg caa cag ccg
361 gcg gt g gct ct a ggc agt gca gaa ggg gag ggg acc t cc act act gaa t cc gcc t cc gaa
421 aat t ct gaa gat gat gac acg t t t cac gat gcc ct c caa gag ct t cca gag gat ggc ct c
481 gaa gt g cgc cca cca aat gca cag gag ct g ccc cca cca aat gt a cag gag ct g ccc cca
541 cca aat gt a cag gag ct g ccc cca cca act gaa cag gag ct g ccc cca cca act gaa cag
601 gag ct g ccc cca cca act gaa cag gag ct g ccc cca cca act gaa cag gag ct a ccc cca
661 t ca act gaa cag gag ct g ccc cca cca gt g ggc gaa ggt caa cgt ct g caa gt c cct ggg
721 gaa cat ggg cca cag ggg ccc cca t ac gat gat cag cag ct g ct t t t a gag cct acg gaa
781 gag caa cag gag ggc cct cag gag ccg ct g cca ccg ccg ccg ccc ccg act cgg ggc gaa
841 caa ccc gaa gga cag cag ccg cag gga cca gt t cgt caa aat t t t t t t cgt cgg gcg t t g
901 ggg gcc gca aga agc cga t t c gga ggt gca cga cgc cat gt c agt ggg gt g t t c cga aga
961 gt c aga ggt ggt t t g aac cgt at a gt a ggt gga gt g agg agt ggt t t c agg cgt gca aga
1021 gaa ggt gt c gt t ggg gga gt c cgt cgt t t a aca agt ggt gcc agt ct g ggt ct c cgt cgt
1081 gt a gga gaa ggt t t a cgt agg agt t t c t at cgt gt a aga gga gct gt c agt agc ggt cgt
1141 agg cgt gca gca gat ggt gcc agc aat gt a aga gaa aga t t c gt t gcc gca ggc ggg aga
1201 gt c aga gac gct t t c ggc gcg gga t t g acg cgc ct c cgc agg cgc ggc aga act aat ggc
1261 gag gag ggc agg ccc ct a ct g ggc gaa gga aga gag cag gat gat gga t cg caa t aa t ac
1321 ggg cag cat gct gct gga t t c ggc gaa gac gac cgt t t c t cg t aa acg agg cag cgg ggt
1381 cct ccg aag t t a aga aac ccg gt a aac gt g t gt gcc gt a acg gt g at c gag t t t gca gat
1441 g

Sekuen DNA insert pWTA-R1.

Hasil sekuensing pWTA-R1 selanjutnya dianalisis dengan program BLAST
untuk mengidentifikasi gen yang diklon. Sekuen DNA insert menunjukkan
alignment yang signifikan dengan sekuen parsial gen penyandi ROP1 T. gondii
isolat RH (kode: AF350261).

Alignment hasil sekuensing DNA insert pWTA-

R1 dengan seluruh sekuen parsial gen penyandi ROP1 T. gondii isolat RH tersebut
menunjukkan homologi sebesar 99%. Basa yang tidak sama hanya terdapat pada
urutan ke-1162, yaitu guanin (G) menjadi adenin (A). Perbedaan basa tersebut
menyebabkan perubahan kodon GGC (glisin) menjadi AGC (serin).

20

gi|13560798|gb|AF350261.1|AF350261
T. gondii ROP1 gene, partial sequence. Length=1249
Score = 2426 bits (1224), Expect = 0.0
Identities = 1248/1249 (99%), Gaps = 0/1249 (0%)
Strand=Plus/Plus
Query

99

CCTTTCGAGCCACAATGGAGTCCCCGCTTATCCATCGTATGCACAGGTATCGCTCTCTTC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
CCTTTCGAGCCACAATGGAGTCCCCGCTTATCCATCGTATGCACAGGTATCGCTCTCTTC

158

Sbjct

1

Query

159

CAACGGCGAGCCACGGCACAGGGGCATACGCGGCAGCTTCCTCATGTCCGTAAAGCCACA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
CAACGGCGAGCCACGGCACAGGGGCATACGCGGCAGCTTCCTCATGTCCGTAAAGCCACA

218

Sbjct

61

Query

219

CGCAAACGCTGATGACTTCGCCTCCGACGACAACTACGAACCGCTGCCGAGTTTCGTGGA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
CGCAAACGCTGATGACTTCGCCTCCGACGACAACTACGAACCGCTGCCGAGTTTCGTGGA

278

Sbjct

121

Query

279

AGCTCCTGTCAGAGGCCCGGACCAAGTCCCTGCCAGAGGAGAAGCTGCTCTTGTCACAGA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
AGCTCCTGTCAGAGGCCCGGACCAAGTCCCTGCCAGAGGAGAAGCTGCTCTTGTCACAGA

338

Sbjct

181

Query

339

GGAGACTCCAGCGCAACAGCCGGCGGTGGCTCTAGGCAGTGCAGAAGGGGAGGGGACCTC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGAGACTCCAGCGCAACAGCCGGCGGTGGCTCTAGGCAGTGCAGAAGGGGAGGGGACCTC

398

Sbjct

241

Query

399

CACTACTGAATCCGCCTCCGAAAATTCTGAAGATGATGACACGTTTCACGATGCCCTCCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
CACTACTGAATCCGCCTCCGAAAATTCTGAAGATGATGACACGTTTCACGATGCCCTCCA

458

Sbjct

301

Query

459

AGAGCTTCCAGAGGATGGCCTCGAAGTGCGCCCACCAAATGCACAGGAGCTGCCCCCACC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
AGAGCTTCCAGAGGATGGCCTCGAAGTGCGCCCACCAAATGCACAGGAGCTGCCCCCACC

518

Sbjct

361

Query

519

AAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
AAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAAATGTACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGA

578

Sbjct

421

Query

579

GCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACC

638

Sbjct

481

Query

639

AACTGAACAGGAGCTACCCCCATCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAGTGGGCGAAGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
AACTGAACAGGAGCTACCCCCATCAACTGAACAGGAGCTGCCCCCACCAGTGGGCGAAGG

698

Sbjct

541

Query

699

TCAACGTCTGCAAGTCCCTGGGGAACATGGGCCACAGGGGCCCCCATACGATGATCAGCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TCAACGTCTGCAAGTCCCTGGGGAACATGGGCCACAGGGGCCCCCATACGATGATCAGCA

758

Sbjct

601

Query

759

GCTGCTTTTAGAGCCTACGGAAGAGCAACAGGAGGGCCCTCAGGAGCCGCTGCCACCGCC
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GCTGCTTTTAGAGCCTACGGAAGAGCAACAGGAGGGCCCTCAGGAGCCGCTGCCACCGCC

818

Sbjct

661

Query

819

GCCGCCCCCGACTCGGGGCGAACAACCCGAAGGACAGCAGCCGCAGGGACCAGTTCGTCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GCCGCCCCCGACTCGGGGCGAACAACCCGAAGGACAGCAGCCGCAGGGACCAGTTCGTCA

878

Sbjct

721

Query

879

938

781

AAAtttttttCGTCGGGCGTTGGGGGCCGCAAGAAGCCGATTCGGAGGTGCACGACGCCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
AAATTTTTTTCGTCGGGCGTTGGGGGCCGCAAGAAGCCGATTCGGAGGTGCACGACGCCA

Sbjct

840

Query

939

TGTCAGTGGGGTGTTCCGAAGAGTCAGAGGTGGTTTGAACCGTATAGTAGGTGGAGTGAG

998

60

120

180

240

300

360

420

480

540

600

660

720

780

21

Sbjct

841

Query

999

Sbjct

901

Query

1059

Sbjct

961

Query

1119

Sbjct

1021

Query

1179

Sbjct

1081

Query

1239

Sbjct

1141

Query

1299

Sbjct

1201

||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGTCAGTGGGGTGTTCCGAAGAGTCAGAGGTGGTTTGAACCGTATAGTAGGTGGAGTGAG

900

GAGTGGTTTCAGGCGTGCAAGAGAAGGTGTCGTTGGGGGAGTCCGTCGTTTAACAAGTGG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GAGTGGTTTCAGGCGTGCAAGAGAAGGTGTCGTTGGGGGAGTCCGTCGTTTAACAAGTGG

1058

TGCCAGTCTGGGTCTCCGTCGTGTAGGAGAAGGTTTACGTAGGAGTTTCTATCGTGTAAG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TGCCAGTCTGGGTCTCCGTCGTGTAGGAGAAGGTTTACGTAGGAGTTTCTATCGTGTAAG

1118

AGGAGCTGTCAGTAGCGGTCGTAGGCGTGCAGCAGATGGTGCCAGCAATGTAAGAGAAAG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||||||||||||
AGGAGCTGTCAGTAGCGGTCGTAGGCGTGCAGCAGATGGTGCCGGCAATGTAAGAGAAAG

1178

960

1020

1080

ATTCGTTGCCGCAGGCGGGAGAGTCAGAGACGCTTTCGGCGCGGGATTGACGCGCCTCCG
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
ATTCGTTGCCGCAGGCGGGAGAGTCAGAGACGCTTTCGGCGCGGGATTGACGCGCCTCCG

1238

CAGGCGCGGCAGAACTAATGGCGAGGAGGGCAGGCCCCTACTGGGCGAAGGAAGAGAGCA
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
CAGGCGCGGCAGAACTAATGGCGAGGAGGGCAGGCCCCTACTGGGCGAAGGAAGAGAGCA

1298

GGATGATGGATCGCAATAATACGGGCAGCATGCTGCTGGATTCGGCGAA
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
GGATGATGGATCGCAATAATACGGGCAGCATGCTGCTGGATTCGGCGAA

1140

1200

1347
1249

Alignment DNA insert pWTA-R1 dengan sekuen parsial gen penyandi
ROP1 isolat RH (kode: AF350261).

KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini berhasil mendapatkan klon yang membawa gen penyandi
ROP1

T. gondii isolat lokal dengan ukuran 1441 bp. Gen penyandi ROP1 T.

gondii isolat lokal tersebut mempunyai homologi 99% dengan gen penyandi
ROP1 T. gondii isolat RH.
Gen penyandi ROP1 takizoit T. gondii isolat lokal yang sudah dikloning
diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein rekombinan. Protein
tersebut selanjutnya dipelajari imunogenitasnya agar dapat digunakan untuk
pengembangan vaksin, perangkat diagnostik dan antibodi monoklonal.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Ajioka, J.W., Fitzpatrick, J.M. and Reitter, C.P. 2001. Toxoplasma gondii
Genomics: Shedding Light on Pathogenesis and Chemotherapy. http://wwwermm.cbcu.cam.ac.uk.
2. Alexander, J., Jebbari, H., Bluethmann, H., Satoskar, A. and Roberts, C.W.
1996. Immunological Control of Toxoplasma gondii and Appropriate Vaccine
Design. In: Current Topics in Microbiology and Immunology. Gross, U. (ed.).
Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg. 183-195.
3. Ausubel and Frederick, M. 1995. Short Protocols in Molecular Biology. A
Compendium of Methodes from Current Protocols in Molecular Biology. 3rd
edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada.
4. Baxter, A. 2001. What is Toxoplasma gondii. Copyright by Page Wise. Inc.
http://www.Toxoplasma gondii.htm.
5. Beaman, M.H. 1995. Toxoplasma gondii. In Principles and Practice of
Infectious Diseases (Mandell, G.L., Bennett, J.E. and Dolin, R., eds), pp.
2455-2475, Churchill Livingston, New York, NY, USA.
6. Becker and Jeffrey, M. 1996. Biotechnology : a Laboratory Course. 2nd
edition. Academic Press, Inc. California.
7. Binder, E.M. and Kim, K. 2004. Location, Location, Location: Trafficking
and Function of Secreted Proteases of Toxoplasma and Plasmodium. Traffic
5:914-924.
8. Birge, E.A. 1994, Bacterial and Bacteriophage Genetic. Third Edition.
Springer-Verlag , NewYork.
9. Black, M.W. and Boothroyd, J.C. 2000. Lytic Cycle of Toxoplasma gondii.
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 64(3):607-623.
10. Brown, T.A. 1999. Genomes. Oxford. BIOS Scientific Publisher Ltd. 20-21.
11. Carruthers, V. B., and L. D. Sibley. 1997. Sequential protein secretion from
three distinct organelles of Toxoplasma gondii accompanies invasion of
human fibroblasts. Eur. J. Cell Biol. 73:114–123.
12. Cerede, O., Dubremetz, J.F., Soete, M., Deslee, D., Vial, H., Bout, D. and
Lebrun, M. 2005. Synergistic Role of Micronemal Proteins in Toxoplasma
gondii Virulence. J. Exp. Med. 201(3):453-463.
13. Che, A. 2002. Controlling Fluorescence in E. coli. J. Mol. Microbiol.
Biotec. 2 (4): 513 – 519.
14. Coppens, I. and Joiner, K. A. 2001. Parasite–host cell interactions in
toxoplasmosis: new avenues for intervention? http://wwwermm.cbcu.cam.ac.uk.
15. Denkers, E.Y. and Gazzinelli, R.T., 1998. Regulation and Function of T-CellMediated Immunity during Toxoplasma gondii Infection. Clin. Microbiol.
Rev. 11(4):569-588.
16. Dobrowolski, J. M. and Sibley, D. L. (1996). Toxoplasma invasion
mammalian cells is powered by the actin cytoskeleton of the parasite. Cell 84,
933-939.

23

17. Dupon, M., Cazenave, J., Pellegrin, J.L. Detection of Toxoplasma gondii by
PCR and tissue culture in cerebrospinal fluid and blood of human
immunodeficiency virus-seropositive patients. J Clin. Microbiol. 1995;
33(9):2421-2426.
18. Gandahusada, S., 1998. Toxoplasma gondii. Dalam: Parasitologi Kedokteran.
Edisi ketiga., Gandahusada, S., Ilahude, H.H.D., Pribadi, W., (eds). Balai
Penerbit FK, UI, Jakarta. Hal.153-161.
19. Grimwood, J., Mineo, J.R. and Kasper, L.H. 1996. Attachment of Toxoplasma
gondii to Host Cells is Host Cell Cycle Dependent. Infect. Immun.
64(10):4099-4104.
20. Guanjin, C., Hong, G., Fangli, L.U. and Huaqin, Z. 2001. Contruction of A
Recombinant Plasmid Harbouring The Rhoptry Protein Gene of Toxoplasma
gondii and Preliminary Observations on DNA Immunity.
J. Chin. Med.
114 (8) : 837 – 840, China.
21. Holliman, R.E. The diagnosis of toxoplasmosis. Serodiag. Immunother. Infect
Dis. 1990; 4:83-93.
22. Hong, G., Guanjin, C., Huanqin, AZ., Yongan, Z. And Fangli, L.U. 1999.
Immune Responses in Mice Vaccinated With Recombinat plasmid pcDNA3
Containing ROP1 Gene From Tooplasma gondii. Chin. J. Parasitol. Parasit.
Dis., Chinese.
23. Hoyen, D.O., and Joss, A.W.L. 1992. Human Toxoplasmosis. Oxford
University Press. New York.
24. Israelski, D. M. In Sande MA, Volberding PA. eds. The Medical Management
of AIDS. Philadelphia, Pa: W.B. Saunders; 1988:193.
25. Jones, T.C., Yeh, S. and Hirsch, J.G. 1972 The interaction between
Toxoplasma gondii and mammalian cells. I. Mechanism of entry and
intracellular fate of the parasite. J. Exp. Med. 136,1157-1172, PubMed ID:
73030933.
26. Khan, A., Jordan, C., Muccioli, C., Vallochi, A. L., Rizzo L. V., Jr, R. B.,
Vitor, R. W.A., Silveira, C., and Sibley, L. D. 2006. Genetic Divergence of
Toxoplasma gondii Strains Associated with Ocular Toxoplasmosis, Brazil.
Emerging Infectious Diseases. www.cdc.gov/eid. 12, No. 6.
27. Martin, V., Cespedes, G., Santilar, G., Pszenny, V., Guarnesa, E., Garberi, J.C.
and Angel, S.O. 2000. Antigenicity of Recombinant ROP2 Protein of T.
gondii Expressed in Escherichia coli. Departentode Parasitologia, Argentina.
28. Meissner, M., Schluter, D. and Soldati, D. 2002. Role of Toxoplasma gondii
myosin A in powering parasite gliding and host cell invasion. Science 298:
837–840.
29. Mital J., Meissner, M., Soldati, D. and Ward, G. E. 2005. Conditional
Expression of Toxoplasma gondii Apical Membrane Antigen-1 (TgAMA1)
Demonstrates That TgAMA1 Plays a Critical Role in Host Cell Invasion. Mol.
Biol. Cell 16, 4341–4349.
30. Ossorrio, P.N., Schwartzman, J.D., and Boothroyd A. Toxoplasma gondii
rhoptry protein associated with host cell penetration has unusual charge
asymmetry. Mol Biochem. Parasitol.1992; 50:1-16.

24

31. Potasman, I., Resnick, L., Luft B.J., and Remington, J.S. Intrathecal
production of antibodies against Toxoplasma gondii in patients with
toxoplasmic encephalitis and the acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Ann Intern Med. 1988; 108:49-51.
32. Prigione, I., Facchetti, P., Lecordier, L., Deslee, D., Chiesa, S., CesbronDelauw, M.F. and Pistoia, V. 2000. T Cell Clones raised from Chronically
Infected Healthy Humans by Stimulation with Toxoplasma gondii ExcretorySecretory Antigens Cross-React with Live Takizoits: Characterization of the
Fine Antigenic Specificity of the Clones and Implications for Vaccine
Development. J. Immunol. 164:3741-3748.
33. Remington, J. S., McLeod, R. and Desmonts, G. 1995. Toxoplasmosis, p.
140–267. In J. S. Remington and J. O. Klein (ed.), Infectious diseases of the
fetus and the newborn infant, 4th ed. W. B. Saunders Company, Philadelphia.
34. Sahoo, N., Beatty, W., Heuser, J., Sept, D. and Sibley, L. D. 2006. Unusual
Kinetic and Structural Properties Control Rapid Assembly and Turnover of
Actin in the Parasite Toxoplasma gondii. Mol. Biol. Cell 7, Issue 2,
895906.
35. Sambrook, J., Frich, E. F., and Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning,
A Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New
York.
36. Scorza, T., Souza, D., Laloup, M., Dewit, J., Braekeleer, J.D., Verschueren,
H., Vercammen, M., Huygen, K. and Jongert, E. 2003. A GRA1 DNA
Vaccine Primes Cytolytic CD8+ T Cells to Control Acute Toxoplasma gondii
Infection. Infect. Immun. 71(1):309-316.
37. Sinai, A. P., and K. A. Joiner. 2001. The Toxoplasma gondii protein ROP2
mediates host organelle association with the parasitophorous vacuole
membrane. J. Cell. Biol. 154:95–108.
38. Strachan, T. and Read, A.P. 1999. Human Molecular Genetic 2. Second
Edition. BIOS Scientific Publisher Ltd, USA.
39. Tomley, F., and Soldati, D. 2001. Mix and match modules: structure and
function of microneme proteins in apicomplexan parasites. Trends Parasitol.
17:81–88.
40. Vercammen, M., Scorza, T., Huygen, K., Braekeleer, J.D., Diet, R., Jacobs,
D. Saman, E. and Verschueren, H. 2000. DNA Vaccination with Gene
Encoding Toxoplasma gondii Antigens GRA1, GRA7, and ROP2 Induces
Partially Protective Immunity Against Lethal Challenge in Mice. Infect.
Immun. 68(1):38-45.
41. Weaver, R. F. 1999. Molecular Biology. WCB. McGraw-Hill, USA.
42. Weiss, L.M. and Kim, K. 2000. The Development and Biology of
Bradyzoites of Toxoplasma gondii. Albert Einstein College of Medicine, New
York.
43. Wong, S. Y. and Remington, J. S. 1993. Biology of Toxoplasma gondii. AIDS
7:299-316.

25

44. Yanesa, A., Path, F.R.C. and Kumari. 1994. Prevalence of Toxoplasma
Antibodies in Blood Donors in Al-Hassa. Departement of Microbiology AlHassa, Saudi Arabia.

26