Karakterisasi Simplisia dan Isolasi Senyawa Saponin Dari Daun Buni (Antidesma bunius (L.) Spreng.)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan Buni
2.1.1 Habitat
Buni tumbuh secara liar di daerah-daerah basah dan dapat ditemukan dari
dataran rendah di India, Sri Lanka, Burma, Malaysia, Indonesia, New Guinea dan
Australia. Di Indonesia terutama di pulau Jawa, buni dapat tumbuh di daerah
kering di bagian timur pulau Jawa atau pun di bagian barat pulau Jawa yang
beriklim lembab (BPTH, 2011; LIPI, 2009).
2.1.2 Nama umum
Di Indonesia, buni dikenal dengan nama barune, huni pada daerah Sunda,
wuni di daerah Jawa, burneh di daerah Madura dan buni, katakuti, kutikata di
daerah Maluku. Di Inggris, buni dikenal dengan nama bignay atau chinese laurel.
Di Filipina, buni dikenal dengan nama bignay (LIPI, 2009; BPTH, 2011).
2.1.3 Sinonim
Buni memiliki beberapa sinonim, yaitu Antidesma crassifolium (E.) Merr.,
Antidesma dallachyanum Baillon., Antidesma rumphii Tulase (BPTH, 2011).
2.1.4 Klasifikasi tumbuhan
Klasifikasi tumbuhan buni adalah sebagai berikut:
Kingdom


: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo

: Malpighiales

Famili

: Phylantaceae

4

Universitas Sumatera Utara

Genus

: Antidesma

Spesies

: Antidesma bunius (L.) Spreng.

2.1.5 Morfologi
Pohon buah, tinggi 15-30 m. Batang pohon berukuran sedang. Daun
tunggal, bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sungsang sampai lanset,
panjang 9-25 cm, tepi rata agak bergelombang, ujung meruncing, pangkal tumpul.
Daun muda warnanya hijau muda, setelah tua menjadi hijau tua. Buni berumah
dua, bunga dalam tandan, keluar dari ketiak daun atau di ujung percabangan. Buah
buni berbentuk kecil panjang sekitar 1 cm, bulat berwarna hijau, bila telah masak
menjadi ungu kehitaman dan rasanya manis sedikit asam. Biji pipih dengan rusuk
berbentuk jala (LIPI, 2009).
2.1.6 Kegunaan

Buah buni yang matang dapat dimakan segar. Cairan buah dapat
memberikan bekas warna di jari dan mulut. Buah ini juga berpotensi dijadikan
minuman serta mengandung pigmen antosianin dan digunakan sebagai pewarna
alami pada makanan. Daun muda rasanya sedikit asam, dapat disayur atau
dimakan mentah. Buah dapat dimakan langsung, diekstrak menjadi brandy, dibuat
selai atau sirop. Daun oleh pembuat jamu disebut mojar, biasa dipakai untuk
campuran ramuan jamu kesehatan. Daun dan buah dapat digunakan sebagai obat
kurang darah, darah kotor, raja singa dan kencing nanah (BPTH, 2011; LIPI,
2009).
2.1.7 Kandungan kimia
Tanaman Antidesma bunius (L.) Spreng. pada fraksi metanol daun
mengandung senyawa saponin, gula, flavonoid dan tanin sedangkan pada kulit
batang mengandung terpenoid, gula, dan flavonoid (Elya, et al., 2012).

5
Universitas Sumatera Utara

Kandungan kimia utama yang terkandung dalam buah buni antara lain flavonoid,
tanin, fenolik, dan polifenol (Butkhup dan Samappito, 2008).


2.2 Uraian Kimia
2.2.1 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula
(glikon) dan senyawa lain (aglikon). Glikosida yang gulanya berupa glukosa
disebut glukosida, yang pada umumnya berupa glukosa, fruktosa, laktosa,
galaktosa, dan manosa, tetapi dapat juga berupa gula yang khusus seperti
sarmentosa, oleanrosa, simarosa, dan rutinosa. Umumnya glikosida mudah
terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim (Harborne, 1987).
Berdasarkan ikatan glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi:
a. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
O. Mayoritas glikosida pada tumbuhan terdapat dalam kelompok ini.
b. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
C, yakni gugus karbon gula melekat pada gugus karbon aglikon.
c. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan
S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari
tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae.
d. Tipe N-glikosida, ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui
jembatan N. Contoh: nikleosidin, krotonosidin (Fansworth, 1966).
2.2.2 Saponin
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.

Sapogenin dapat dibagi dua yaitu saponin triterpenoida ataupun saponin steroida.
Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan bersifat racun bagi hewan

6
Universitas Sumatera Utara

berdarah dingin (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Saponin bersifat seperti sabun, serta dapat diketahui berdasarkan
kemampuan membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin
dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang
mudah diperoleh dan dapat diubah dilaboratorium menjadi sterol hewan yang
berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif, dan lain-lain). Pola
glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan
gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukoronat (Harborne,
1987). Senyawa saponin secara umum dapat diidentifikasi dari warna yang
dihasilkannya

dengan

pereaksi


Liebermann-Burchard.

Warna

biru-hijau

menunjukkan adanya senyawa saponin steroida, dan warna merah, merah muda,
atau ungu menunjukkan adanya senyawa saponin triterpenoida (Farnsworth, 1966).
Saponin triterpenoida dan saponin steroida memiliki hubungan glikosidik
pada atom C-3 dan memiliki asal usul biogenetika yang sama lewat asam
mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid. Kedua jenis saponin ini larut dalam air
dan etanol tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonnya diperoleh dengan hidrolisis
dalam suasana asam atau enzim, dan tanpa gula ciri kelarutannya sama dengan ciri
sterol lain (Gunawan dan Mulyani, 2004; Robinson 1995). Tipe aglikon senyawa
saponin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Farnsworth, 1966):

Gambar 2.2 Sapogenin (Farnsworth, 1966).
7
Universitas Sumatera Utara


Saponin triterpenoida secara umum banyak terdapat pada tumbuhan dikotil
seperti: gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp., dan asam glisiretat terdapat
pada Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 2.3 Saponin Triterpenoida (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil,
contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan hekogenin yang
terdapat pada Agave americana (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 2.4 Saponin Steroida (Gunawan dan Mulyani, 2004).
2.2.3 Flavonoida
Flavanoida adalah senyawa tanpa warna yang tak dapat dideteksi pada
pemeriksaan kromatografi kecuali bila menggunakan penyemprot tertentu. Ada
beberapa flavon berwarna hijau-kuning diuapi ammonia, tetapi hal ini tidak cukup
terpercaya untuk digunakan sebagai uji diagnostik. Uji warna yang penting dalam
larutan alkohol hanya flavon ialah reduksi dengan serbuk Mg dan HCl(p) yang
8
Universitas Sumatera Utara


menghasilkan warna merah ceri kuat. Cara ini dapat digunakan pada kromatografi
kertas atau plat KLT dengan menyemprotnya pertama kali memakai larutan
natrium borohidrida dalam alkohol kemudian disemprot lagi dengan larutan
aluminium klorida dalam etanol (Harborne, 1987).
Senyawa flavonoid di alam merupakan zat warna merah, ungu, biru dan
sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Flavonoid mempunyai
kerangka dasar karbon yang terdiri atas 15 atom karbon yang membentuk susunan
C6 – C3 – C6 (Markham, 1988).
2.2.4 Triterpenoida/Steroida
Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidropenantren. Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka
karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur
asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Triterpenoida/Steroida merupakan senyawa tidak berwarna, berbentuk kristal,
sering kali bertitik leleh tinggi. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi
Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpen dan sterol memberikan
warna hijau-biru atau merah-ungu (Harbone, 1987; Robinson, 1995).

2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
tertentu (Depkes RI, 2000).
Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak, berupa ekstrak kental, ekstrak
padat maupun ekstrak cair yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

9
Universitas Sumatera Utara

semua pelarut diuapkan (Depkes RI, 2000).
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan dan didiamkan selama beberapa hari
pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terusmenerus disebut maserasi kinetik, sedangkan maserasi yang dilakukan dengan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat
pertama dan seterusnya disebut remaserasi (Depkes RI, 2000).
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.
Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. Metode ini

dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang sesuai ke dalam
wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan
ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan
konsentrasi dalam sel tanaman. Pelarut dipisahkan dari sampel dengan
penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak
waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa
senyawa hilang. Beberapa senyawa ada yang sulit diekstraksi pada suhu kamar,
tetapi metode maserasi dapat menghindari kerusakan senyawa yang bersifat
termolabil (Mukhriani, 2014).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses
perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap

10
Universitas Sumatera Utara

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat). Penghentian ekstraksi dilakukan dengan cara
menguji tetesan terakhir dengan menggunakan pereaksi tertentu (Depkes RI,

2000).
Metode perkolasi menggunakan serbuk sampel yang dibasahi secara
perlahan dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran
pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk sampel dan
dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan dari metode ini adalah
sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru, sedangkan kerugian adalah jika sampel
dalam perkolator tidak homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area.
Metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan waktu yang cukup
lama (Mukhriani, 2014).
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ektraksi pelarut pada temperatur titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut yang terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
Metode refluk menggunakan sampel yang dimasukkan bersama pelarut ke
dalam labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga
mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu dan dilakukan
secara kontinu (Mukhriani, 2014).
2. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan terus-menerus pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50˚C (Depkes RI, 2000).

11
Universitas Sumatera Utara

3. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru,
dilakukan menggunakan alat Soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI,
2000).
Metode soklet dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam
sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam tempat sampel yang
ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai dimasukkan
ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux. Keuntungan dari
metode ini adalah proses ektraksi yang kontinu, sampel terekstraksi oleh pelarut
murni hasil kondensasi sehingga tidak membutuhkan banyak pelarut dan tidak
memakan banyak waktu. Kerugian adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat
terdegradasi karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih
(Mukhriani, 2014).
4. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada penangas air dengan
temperatur 96-98˚C selama waktu 15-20 menit (Depkes RI, 2000).
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur sampai titik
didih air selama 30 menit atau lebih (Depkes RI, 2000).

2.4 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan
perpindahan dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase
diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau

12
Universitas Sumatera Utara

zat cair). Kromatografi serapan dikenal jika fase diam berupa zat, jika zat cair
dikenal sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo, 1985).
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan
salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada
skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).
2.4.1 Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa plat kaca, logam atau lapisan yang cocok. Plat dimasukkan ke bejana
tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak) sehingga
pemisahan terjadi dengan cara perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985).
Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada
pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada
pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Fasa diam (penyerap) dapat dibagi dua, yaitu jenis polar dan non polar.
Penyerap polar meliputi berbagai oksida organik seperti silika, alumina, magnesium
dan lain sebagainya. Penyerap nonpolar yang biasa digunakan adalah arang. Fase
diam ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok
kemudian senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan/dideteksi dengan
penampang noda yang sesuai (Gritter, et al., 1991)

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan
untuk senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik berfluorosensi jika
disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang
panjang (366 nm). Cara lain apabila senyawa tidak dapat dideteksi dengan sinar

13
Universitas Sumatera Utara

ultraviolet maka harus dicoba dengan penyemprotan pereaksi yang membuat
bercak tersebut tampak tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dilakukan
pemanasan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi digunakan harga Rf yang
didefinisikan sebagai berikut (Sastrohamidjojo,1990):
Rf = jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik penotolan
jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik penotolan
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1990):
1. Struktur kimia
2. Sifat dari penyerap
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
4. Pelarut dan derajat kemurniannya
5. Derajat kejenuhan bejana pengembangan
6. Teknik percobaan
7. Jumlah cuplikan yang digunakan
8. Suhu
9. Kesetimbangan
2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif
Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode
pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penjerap yang
sering dipakai adalah 0,5-2 mm. Plat kromatografi biasanya berukuran 20 x 20 cm.
Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah
bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. Penjerap yang paling umum
digunakan adalah silika gel. Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan
cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan jarak

14
Universitas Sumatera Utara

sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat
dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan
plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung
beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan
bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri di sekeliling permukaan bagian
dalam bejana (Hostettmann, et al., 1995).

2.5 Spektrofotometri
2.5.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet (UV)
Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan
antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan
(absorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm.
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada
struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).
Spektrofotometer UV-Vis pada umunya digunakan untuk:
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonyugasi dan auksokrom
dari suatu senyawa organik.
2. Menjelaskan

informasi

dari

struktur berdasarkan

penjang

gelombang

maksimum suatu senyawa.
3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).
Atom atau molekul akan menyerap sinar UV sehingga energi tersebut akan
menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Gugus kromofor disebut juga gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya
(Dachriyanus, 2004).

15
Universitas Sumatera Utara

Sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan beberapa persyaratan
pelarut yang dipakai, antara lain:
a. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi
pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.
b. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
c. Kemurniannya harus tinggi (Muldja, 1995).
Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai
untuk data sekunder atau data pendukung. Analisis kualitatif dengan metode
spektrofotometri UV-Vis yang dapat ditentukan ada dua yaitu:
a. Pemeriksaan kemurnian spektrum UV-Vis.
b. Penentuan panjang gelombang maksimum (λmaks) (Muldja, 1995).
Spektrum (serap) elektronik molekul dihasilkan akibat elektron molekul
menyerap gelombang elektromagnetik untuk berpindah ke tingkat yang lebih
tinggi. Elektron yang menyerap gelombang biasanya elektron di kulit terluar atau
sekitarnya, misalnya dari HOMO (highest occupied molecular orbital ) ke LUMO
(lowest unoccupied molecular orbital ) (McMurry, 2008).
1,3-butadiena terkonjugasi memilki 4 orbital molekul π dimana dia akan
menyerap energi dan 1 elektron π dikembangkan dari HOMO (Highest Occupied
Molecular Orbital) menuju ke LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital),
dinamakan eksitasi π → π* . En ergi dari HO MO ke LUMO pada 1,3-butadiena
menunjukkan panjang gelombang maksimum sinar UV pada 217 nm untuk
mengubah elektron π → π* (McMurry, 2008).
Panjang gelombang yang diperlukan untuk transisi elektron π→ π*
tergantung dengan energi pada jarak antara HOMO dan LUMO, dimana energi
yang dihasilkan tergantung dengan struktur dari elektron π terkonjugasi. Salah

16
Universitas Sumatera Utara

satu faktor terpenting yang mempengaruhi absorpsi panjang gelombang UV pada
molekul adalah tingkat konjugasi dari molekulnya. Perhitungan molekul orbital
menunjukkan adanya perbedaan penurunan energi dari HOMO ke LUMO ketika
tingkat terkonjugasi memakin banyak, seperti 1,3-butadiena mengabsorpsi pada
λmax = 217 nm, 1,3,5-heksatriena mengabsorpsi pada λmax = 258 nm dan 1,3,5,7oktatetraena menyerap pada λmax = 290 nm (McMurry, 2008).
2.5.2 Spektrofotometri sinar inframerah (IR)
Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk:
1. Menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik
2. Mengetahui

informasi

struktur

suatu

senyawa

organik

dengan

membandingkan daerah sidik jarinya (Dachriyanus, 2004).
Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya
inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5–50 �m atau
bilangan gelombang 4000–200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan
menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah
sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi. Metode
ini sangat berguna untuk mengidentifikasi senyawa organik (Dachriyanus, 2004).
Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ketingkat
energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi inframerah.
Frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah yang dapat diserap oleh suatu
molekul, agar molekul dapat menyerap radiasi inframerah, maka molekul tersebut
harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus berubah
selama vibrasi (Gandjar dan Rohman., 2007).
Getaran molekul terdapat dua macam, yaitu getaran ulur dan getaran tekuk.
Getaran ulur adalah suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga

17
Universitas Sumatera Utara

jarak antar atom bertambah atau berkurang. Getaran tekuk dapat terjadi karena
perubahan sudut-sudut ikatan antara pada sebuah atom, atau karena gerakan
sebuah gugusan atom terhadap sisa molekul tanpa gerakan nisbi atom-atom di
dalam gugusan (Silverstein, 1986).
Menafsirkan sebuah spektrum inframerah tidak terdapat aturan yang pasti.,
tetapi terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum mencoba
menafsirkan sebuah spektrum, yaitu:
1. Spektrum harus cukup terpisah dan mempunyai kuat puncak yang memadai.
2. Spektrum harus dibuat dari senyawa yang cukup murni.
3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita akan teramati pada kerapatan
atau panjang gelombang yang semestinya. Kalibrasi yang betul dapat dilakukan
dengan baku-baku yang dapat dipercaya, misalnya polisterna.
4. Metode penanganan cuplikan harus ditentukan., seperti pada penggunaan
pelarut, maka macam dan konsentrasi pelarut serta tebal sel harus disebutkan juga
(Silverstein, 1986).
Dua kawasan penting dalam pemeriksaan awal sebuah spektrum adalah
daerah 4000 – 1300 cm-1 (2,5 – 7,7 µm) dan daerah 909 – 650 cm-1 (11,0 – 15,4
µm). Bagian kerapatan tinggi sebuah spektrum disebut sebagai daerah gugus
fungsi. Kerapatan uluran khas bagi gugus-gugus fungsi yang penting seperti -OH,
NH dan C=O terletak pada bagian itu. Ketiadaan serapan pada selang jejak gugusgugus tertentu biasanya dapat digunakan sebagai bukti bahwa molekul itu tidak
mempunyai gugus-gugus tersebut. Menafsirkan seperti itu harus dengan hati-hati,
sebab suatu struktur tertentu yang khas dapat menyebabkan sebuah pita menjadi
sangat lebar sehingga tidak terartikan (Silverstein, 1986).

18
Universitas Sumatera Utara