Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,
karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga
menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap
sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan
kaedah-kaedah perkawinan dengan kaedah agama.1
Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan
prinsip perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat
dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-masing
adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (2)

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat
Dan Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 56

1

Universitas Sumatera Utara

1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :”Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Keabsahan suatu perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masingmasing, sehingga sejak berlakunya UU Perkawinan ini maka upacara perkawinan
menurut hukum agama bersifat menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu.
Hal ini berakibat banyak orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil.2
Berdasarkan penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan
perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa
penting bukan suatu peristiwa hukum. Dalam suatu pelaksanaan perkawinan maka

perkawinan tersebut harus dicatat sebagai bukti autentik telah dilangsungkannya
suatu perkawinan tersebut. Sebagai bukti telah dilakukan pencatatan perkawinan
dikeluarkan suatu akta perkawinan atau buku nikah pagi pasangan suami istri, yang
berfungsi sebagai alat bukti yang autentik bagi pelaksanaan perkawinan tersebut.
Scholten

menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum

antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang
diakui oleh Negara.3 Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan adalah hidup
bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-

2

Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Timtamas Indonesia,
Jakarta, 2005, hal. 48
3
Soetojo Prawirohamidjojo dkk, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni,
Bandung, 2000, hal 8.


Universitas Sumatera Utara

2

syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.4
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah secara jelas
menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam prakteknya di
masyarakat ada pula orang yang hanya melakukan perkawinan dengan cara
keagamaannya saja dan tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil. Disamping itu ada
pula yang hanya mencatatkan perkawinannya tanpa melakukan upacara agama
mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta
asas-asas atau prinsip-prinsip dari UU Perkawinan yakni :
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.
2. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan.
4. Perkawinan berasas monogami terbuka.
5. Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan

6. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan
8. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang5
Penjelasan mengenai arti perkawinan sesuai agama dan kepercayaan yang
mana semuanya bertujuan sama yaitu untuk menjadi keluarga yang bahagia dan
menghasilkan keturunan. Mengenai tata cara untuk melangsungkan perkawinannya,
hal ini dijelaskan oleh Mary Welstead, sebagai berikut:
Religious Ceremonies : “Where the parties wish to marry in a religious
ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each
religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry
4

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 2011,

hal. 28
5

Hadi Gunawan, Perkawinan Campuran di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal. 67


Universitas Sumatera Utara

3

in a particular place of workship”6. (Upacara keagamaan :”Dimana setiap
keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan
(keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap
golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama
dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama
memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin
melaksanakan Upacara Keagamaannya (perkawinan)”.
Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan
erat sekali dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Hal ini
sesuai dengan UU Perkawinan “Tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga
merupakan perikatan keagamaan”.7
Tatacara perkawinan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam Peraturan Pemerintah ini
mengenai tatacara perkawinan diatur pada Pasal 10 ayat (2) menyebutkan “Tatacara
Perkawinan


dilakukan

menurut

kepercayaannya itu”. Pada ayat (3)

hukum

masing-masing

agamanya

dan

disebutkan “Dengan mengindahkan tatacara

perkawinan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi”.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu perkawinan mempunyai arti
yang sangat penting bagi kehidupan manusia dikarenakan :
1. Dalam suatu perkawinan yang sah selanjutnya akan menghalalkan hubungan
6

Harianto Gunawan, Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 25
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal 7.

Universitas Sumatera Utara

4

atau pergaulan hidup manusia sebagai suami istri. Hal itu adalah sesuai
dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat dan
kehormatan.
2. Adanya amanah dari Tuhan mengenai anak-anak yang dilahirkan. Anak-anak
yang telah dilahirkan hendaknya dijaga dan dirawat agar sehat jasmani dan
rohani demi kelangsungan hidup keluarga secara baik-baik dan terus menerus.

3. Terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram dan damai. Dalam suatu
rumah tangga yang tentram, damai dan diliputi rasa kasih sayang, selanjutnya
akan menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur.
4. Perkawinan merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah. Perkawinan
merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera
melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi perbuatan
maksiat dan memelihara diri dari perzinahan.8
Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka
perkawinan tidak hanya dilangsungkan diantara pasangan calon suami istri di dalam
satu Negara satu, tetapi sudah mengarah kepada lintas Negara, yang artinya
perkawinan yang terjadi saat ini adalah perkawinan antar laki-laki dan perempuan
yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tersebut
dikenal dengan perkawinan campuran yang di Indonesia yang mengaturannya
didasarkan kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut
undang-undang tersebut: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada


8

Bintang Ramulyo, Etika Suami Istri Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 38

Universitas Sumatera Utara

5

hukum yang berlainan,

karena

perbedaan

kewarganegaraan

dan

salah


satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selanjutnya didalam ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Bagi orang-orang yang berlainan warga
negaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan
dari suami / istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya, menurut caracara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku”.

Pasal 59 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan selanjutnya menegaskan bahwa
1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik yang mengenai hukum publik maupun
hukum perdata.
2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Pasal 60 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya
menyebutkan bahwa :

1. Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syaratsyarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi.
2. Untuk membuktikan bahwa syarat – syarat tersebut dalam ayat 1 telah dipenuhi
dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran
maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi.
3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan
dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal
apakah penolakan surat pemberian keterangan itu beralasan atau tidak.
4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan
itu menjadi pengganti keterangan tersebut pada ayat 3.

Universitas Sumatera Utara

6

5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan
lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.9
Dalam hal pencatatan perkawinan campuran Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mewajibkan suatu perkawinan campuran untuk dicatat agar
memiliki bukti dan kekuatan hukum atas terjadinya perkawinan campuran tersebut.
Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :
1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2. Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan
lebih dulu kepada pegawai pencatat yang berwenang, surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan yang disebut pada Pasal 60 ayat (4) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia
mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan dihukum
jabatan. 10
Di dalam suatu perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan
ketentuan yang termuat di dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Kewarganegaraan yang diperoleh
seorang anak sebagai akibat perkawinan campuran atau putusnya perkawinan
campuran menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
hukum perdata”. Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

9

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 76
Rustam Wahyuno, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011, hal.

10

19

Universitas Sumatera Utara

7

Didalam Pasal 12 PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan hal-hal yang harus
dicamumkan dalam akta perkawinan antara lain:
1. Nama, tanggal dan lempai lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman suami-istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkun juga nama istri atau suami terdahulu.
2. Nama, agama/kepercayaan. pekerjaan dan tempat kediaman orang tua merek
3. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3) (4) dan (5) Undang-undang;
4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
5. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang
6. Perjanjian sebagai dimaksud Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;
7. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankum/ Pangab bagi anggota
Angkatan Bersenjata;
8. Perjanjian perkawinan apabila ada;
9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman para saksi dan
wali nikah bagi yang beragama Islam;
10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila
perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Sesuai Pasal 13 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, masing-masing suami istri
diberikan kutipan akta perkawinan, sehingga mereka mempunyai alat bukti bahwa
mereka telah melangsungkan perkawinan. Akta perkawinan merupakan alat bukti
perkawinan, dapat disimpulkan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kematian, kelahiran yang dinyatakan dalam surat keterangan, surat akta
resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Sebagai alat bukti maka akta perkawinan itu mempunyai 3 buah sifat :
1. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai alat mutlak (eeneig
bewijsmiddel).
2. Sebagai alat bukti penuh; artinya disamping akta perkawinan itu tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

8

dimintakan alat-alat bukti lain (volledig bewijsmiddel)
3. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak
dapat melemahkan akta perkawinan itu.11
Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, “agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat setiap perkawinan harus dicatat” dan
Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa “Pencatatan perkawinan
pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya dijelaskan untuk memenuhi ketentuan pada Pasal 5, setiap perkawinan
harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundangundangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan
perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat
bahwa pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administasi, dan bukan syarat sah
atau tidaknya perkawinan dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan.12 Aspek
yuridis perkawinan antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 2 ayat (2) Undang-

11

R. Soetojo Prawirohardjo, dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 2010, hal. 41
12
Khoriddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap PerundangUndangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Jakarta, 2002, hal. 147

Universitas Sumatera Utara

9

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangann yang berlaku”.13
Perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang
dinyatakan telah terjadi adalah menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sah yang
telah direkayasa, sehingga seolah-olah telah terjadi perkawinan campuran tersebut. Di
dalam perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang telah
menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sah tersebut telah dilahirkan anak,
seolah-olah anak tersebut dilahirkan dari suatu perkawinan campuran yang sah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku di bidang hukum perkawinan.
Dalam kasus pembatalan perkawinan Jessica Iskandar dan Ludwig Franz
Willibald yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
586.Pdt.G/2014 bahwa Ludwig menggugat pembatalan perkawinan tersebut karena
merasa dirinya belum pernah menikah secara resmi dengan Jessica, namun surat /
dokumen yang berkaitan dengan perkawinan tersebut ada pada keluarga Jessica. Hal
ini membuat Ludwig mengajukan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena
sudah merasa tertipu dengan adanya surat / dokumen yang menguatkan tentang
adanya perkawinan tersebut. Bahwa yang terjadi sebenarnya menurut Ludwig, Jessica
dan Ludwig tidak pernah melangsungkan perkawinan. Sehingga gugatan yang
diajukan Ludwig bukanlah gugatan perceraian melainkan gugatan pembatalan
perkawinan antara Ludwig dan Jessica yang belum pernah dilaksanakan.

13

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, CV Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 123

Universitas Sumatera Utara

10

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586.Pdt.G/2014 mengabulkan
gugatan Ludwig, karena setelah dilaksanakan pemeriksaan saksi-saksi, dokumendokumen beserta alat bukti pendukung lainnya, bahwa memang tidak pernah terjadi
perkawinan resmi antara Jessica dan Ludwig. Yang ada adalah hubungan suami istri
di luar nikah yang dilakukan oleh Ludwig dan Jessica.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan persyaratannya
tidak sempurna?
2. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan campuran yang dibatalkan oleh
pengadilan karena menggunakan dokumen yang tidak sah?
3. Bagaimana dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dalam membatalkan perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig
Franz Willibald dalam Putusan No. 586/Pdt.G/2014/PN Jaksel?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan
persyaratannya tidak sempurna

Universitas Sumatera Utara

11

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan campuran yang dibatalkan
oleh pengadilan karena menggunakan dokumen yang tidak sah
3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam membatalkan perkawinan antara Jessica Iskandar dan
Ludwig Franz Willibald dalam Putusan No. 586/Pdt.G/2014/PN Jaksel

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis dibidang hukum perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan khususnya dibidang perkawinan pada umumnya dan hukum
perkawinan campuran pada khususnya terhadap prosedur dan tata cara pelaksanaan
perkawinan campuran dan proses pencatatannya berdasarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan campuran tersebut dipandang sah
dan memiliki kepastian hukum.
1. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi
perkembangan hukum perkawinan pada umumnya serta prosedur dan tata cara
pelaksanaan perkawinan campuran serta proses pencatatannya berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan campuran tersebut
dipandang sah dan memiliki kepastian hukum.

Universitas Sumatera Utara

12

2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat
praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hukum perkawinan pada
umumnya dan hukum perkawinan campuran khususnya terutama dalam hal prosedur
dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran tersebut serta proses pencatatannya
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan
campuran tersebut dipandang sah dan memiliki kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan
dengan topik dalam tesis ini antara lain:
1. Fathia Nadia Tanjung, NIM. 057011029/MKn, dengan

judul tesis

“Kedudukan anak dalam perkawinan campuran ditinjau dari Undang-Undang
No. 1 Taun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 200
tentang Kewarganegaraan”.
Pemasalahan yang dibahas :
a.

Bagaimana status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan
campuran berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan?

Universitas Sumatera Utara

13

b.

Bagaimana ketentuan hukum mengenai perkawinan berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

c.

Bagaimana status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan
campuran bila terjadi perceraian berdasarkan Undang-Undang No. 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?

2. Emelia Devrita, NIM 117011086, dengan judul tesis “Kedudukan dan hak
mewarisi anak yang berstatus warga Negara asing (Studi Putusan Pengadilan
tata Usaha Negara No. 141G/2010/PTUN-Jkt))”
Pemasalahan yang dibahas :
a.

Bagaimana kedudukan anak yang berstatus warga Negara asing yang
perkawinan orangtuanya tidak dicatatkan di Indonesia?

b.

Bagaimana hak mewarisi dari anak yang berstatus warga Negara asing
dari orang tua kandungnya di Indonesia?

c.

Apakah bagaimana pertimbangan hukum hakim mengenai pencabutan
surat keterangan hak mewaris yang dikeluarkan oleh balai harta
peninggalan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.
141/G/2010/PTUN-JKT

3. T. Ferzialdi Hanafiah. 057011091/MKn, dengan judul tesis tinjauan hukum
terhadap anak-anak yang memperoleh status warga negara Indonesia dari hasil
perkawinan campuran”

Universitas Sumatera Utara

14

Pemasalahan yang dibahas :
a.

Bagaimanakah hak dan kewajiban yang didapat oleh anak dibawah umur
dari perkawinan campuran setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006?

b.

Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan dalam proses pendaftaran anak yang lahir dari
perkawinan campuran ?

c.

Bagaimana masalah-masalah yang dihadapi bagi anak setelah kelaurnya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,14 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.15

14

JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jilid I), FE
UI, Jakarta, 1996, hal. 203
15
M Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

Universitas Sumatera Utara

15

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian
yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan
hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan
hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
untuk kasus yang sama yang telah diputuskan.16
Teori kepastian hukum dipilih dan digunakan dalam penelitian ini untuk
menganalisis tentang pembatalan perkawinan campuran, dimana putusan pengadilan
yang telah membatalkan perkawinan campuran tersebut harus menimbulkan suatu
kepastian hukum baik bagi para pihak maupun bagi anak-anak yang lahir sebelum
perkawinan tersebut dibatalkan oleh pengadilan. Sehingga dengan demikian dapat
diketahui kedudukan hukum para pihak setelah terjadinya pembatalan perkawinan
tersebut.
Hukum

pada

hakikatnya

adalah

bersifat

abstrak

meskipun

dalam

manifestasinya bisa berwujud konkret. Pelaksanaan perkawinan campuran di
Indonesia yaitu antara perempuan warga negara Indonesia dengan laki-laki warga

16

Meter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
2008, hal. 158

Universitas Sumatera Utara

16

negara asing atau sebaliknya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan
perkawinan campuran beserta proses pencatatannya di Indonesia yang harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar
perkawinan campuran tersebut dipandang sah secara hukum dan juga memiliki
kepastian hukum bagi para pihak yaitu pasangan suami istri yang melaksanakan
perkawinan campuran tersebut serta status anak yang dilahirkan dari perkawinan
campuran tersebut.17
Apabila pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya tidak
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka pelaksanaan
perkawinan campuran beserta proses pencatatannya dipandang tidak sah dan tidak
memiliki kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakan perkawinan campuran
tersebut termasuk status anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut
serta terhadap pihak ketiga yang berkepentingan terhadap perkawinan campuran
tersebut.18 Oleh karena itu di dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis
untuk

mengkaji

pelaksanaan

perkawinan

campuran

beserta

segala

proses

pencatatannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

17

Marwandi Arif, Perkawinan Campuran di Indonesia (Legalitas Dan Dasar Hukum), Mitra
Ilmu, Surabaya, 2011, hal. 41
18
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran,PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005, hal. 56.

Universitas Sumatera Utara

17

bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sehingga pelaksanaan perkawinan campuran tersebut dipandang
sah secara hukum serta memiliki kepastian hukum bagi para pihak yaitu pihak suami
istri yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut serta status hukum anak
yang akan dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.19
Prosedur pelaksanaan perkawinan campuran yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang hukum perkawinan yakni Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga akan menimbulkan suatu kepastian
hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap perkawinan campuran
tersebut. Oleh karena itu apabila ada gugatan atau keberatan dari pihak ketiga atas
pelaksanaan perkawinan campuran tersebut maka para pihak yang berkepentingan
yakni pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut dapat
mempertahankan perkawinannya tersebut karena telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hukum perkawinan khususnya
perkawinan campuran menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.20
Di samping itu status hukum anak yang akan dilahirkan dari perkawinan
campuran tersebut juga akan menimbulkan suatu kepastian hukum, sehingga status
hukum anak menjadi jelas baik hak dan kewajibannya terhadap orang tua dan juga
19
Jandri Wiliam Suryanto, Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan Campuran Serta dasar
Hukumnya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pustaka Pelajar,
Jakarta, 2009, hal. 18
20
Anton Samudra, Tinjauan Yuridis Praktis terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di Bidang Hukum Perkawinan Campuran, Prenada Media, Jakarta, 2008, hal. 25

Universitas Sumatera Utara

18

terhadap hak mewaris dari harta orangtuanya. Teori kepastian hukum yang digunakan
dalam penelitian ini juga dimaksudkan agar apabila terjadi pelaksanaan perkawinan
campuran beserta segala proses pencatatan dari anak yang dilahirkan dari perkawinan
campuran tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan maka teori kepastian hukum akan mengkaji serta
menganalisis tentang seberapa jauh pelaksanaan perkawinan campuran serta proses
pencatatan anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut mengandung cacat
hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan dapat dibatalkan
pelaksanaan perkawinan campuran tersebut oleh pengadilan karena pelaksanaanya
mengandung cacat hukum.21
Pelaksanaan perkawinan campuran yang terjadi di dalam kasus Jessica
Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang pada akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan melalui suatu putusan Pengadila Negeri Jakarta Selatan No.
586/Pdt.G/2014 karena adanya gugatan dari Ludwig sebagai suami Jessica yang
merasa bahwa dirinya tidak pernah melangsungkan suatu perkawinan yang sah
dengan Jessica Iskandar di gereja manapun. Oleh karena itu Ludwig merasa ditipu
oleh keluarga Jessica, karena surat/dokumen yang berkaitan dengan adanya proses
perkawinan antara Jessica dengan Ludwig telah berada di tangan keluarga Jessica.
Oleh karena itu berdasarkan keberatan dari Ludwig atas adanya surat/dokumen yang

21

Jefrry Fradana, Kepastian Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia, Intermasa, Jakarta,
2011, hal.50

Universitas Sumatera Utara

19

berkaitan adanya proses perkawinan tersebut, maka Ludwig merasa dirugikan dan
mengajukan gugatan pembatalan dari pelaksanaan perkawinan tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gugatan yang diajukan Ludwig
terhadap Jessica bukan gugatan perceraian melainkan suatu gugatan pembatalan
perkawinan yang menurut penggugat tidak pernah dilaksanakan oleh pasangan
Ludwig dan Jessica tersebut. Bila ditinjau dari teori kepastian hukum yang digunakan
dalam penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa pembatalan perkawinan yang
diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586/Pdt.G/2014 antara Jessica
Iskandar dan Ludwig Franz Willibald diakibatkan karena perkawinan campuran
tersebut tidak didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Oleh karena itu perkawinan campuran yang menurut keluarga Jessica
telah dilaksanakan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum karena tidak memiliki legalitas /
kepastian hukum sehingga dapat diajukan keberatan oleh pihak lain yang merasa
dirugikan atas perkawinan campuran tersebut. Disamping itu suatu perkawinan
campuran yang tidak sah dan juga tidak memiliki kepastian hukum dalam
pelaksanaanya dapat juga diajukan gugatan pembatalan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan yang merasa dirugikan atas perkawinan campuran tersebut.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam suatu perkawinan campuran
yang tidak memiliki suatu kepastian hukum bagi dari segi prosedur dan tata cara
pelaksanaannya maupun dari proses pencatatan sesuai dengan ketentuan peraturan

Universitas Sumatera Utara

20

perundang-undangan tentang hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka pelaksanaan
perkawinan campuran tersebut dapat digugat oleh pihak ketiga maupun oleh salah
satu dari calon mempelai itu sendiri karena adanya kerugian yang ditimbulkan
baginya dari perkawinan campuran yang tidak memiliki kepastian hukum tersebut.
Gugatan dapat berupa pencegahan perkawinan maupun pembatalan perkawinan yang
berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta tidak memiliki suatu kepastian hukum dalam proses pelaksanaan dan
pencatatannya.
2. Konsepsi
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi
suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.22 Pentingnya
definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau
penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep
dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan, yaitu :
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

22

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

21

2. Perkawinan campuran menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah

satu pihak

berkewarganegeraan Indonesia.
3. Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
dilaksanakan oleh petugas pencatat perkawinan dengan tujuan untuk
menciptakan suatu ketertiban hukum dan juga kepastian hukum.23
4. Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
5. Status hukum adalah kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran
dimana

pelaksanaan

perkawinan

campuran

tersebut

serta

proses

pencatatannya mengandung cacat hukum karena tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum
perkawinan campuran di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
6. Cacat hukum adalah suatu keadaan dimana suatu perbuatan dan tindakan
hukum yang dilakukan oleh subjek hukum tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya di bidang hukum

23

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2007, hal.89.

Universitas Sumatera Utara

22

perkawinan campuran sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.24
7. Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang
menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah,
akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.25

G. Metode Penelitian
1.

Sifat dan Jenis Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas
terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian
metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.26
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian ini
didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hokum
perawinan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksananya
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dimana pendekatan terhadap
permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku mengenai hukum perkawinan dan hukum perkawinan campuran
khususnya tentang prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran serta
24
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hal. 61.
25
Rachmanto Hadi, Prosedur Hukum Perkawinan Pencegahan, Pembatalan dan Perceraian
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Media Ilmu, Jakarta, 2011, hal. 52
26
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Refika Aditama, Jakarta, 2013, hal. 19

Universitas Sumatera Utara

23

serta proses pencatatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Apabila pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
maka pelaksanaan perkawinan campuran tersebut dapat dinyatakan tidak sah karena
mengandung cacat hukum serta menimbulkan akibat tidak memiliki kepastian hukum
baik dari segi status perkawinan campuran tersebut maupun dari segi status hukum
anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian
ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan
yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh
dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam
menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.27
2.

Sumber Data
Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Bahan-

bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder maupun tertier
yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :
a.

Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perkawinan pada
umummya dan hukum perkawinan campuran dalam hal pelaksanaan
27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Normatif, UI Press, Jakarta, 2001,hal. 30

Universitas Sumatera Utara

24

perkawinan pada umumnya, dan perkawinan campuran pada khususnya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, KUH
Perdata, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586/Pdt.G/2014.
b.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya
ilmiah hukum tentang hukum perkawinan pada umumnya dan hukum
perkawinan campuran pada khususnya di bidang pelaksanaan perkawinan
campuran dan proses pencatatannya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.

c.

Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus
hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.28

3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan
data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer
yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum

28

Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama
Sejahtera, Jakarta, 2010, hal 16.

Universitas Sumatera Utara

25

perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan campuran pada khususnya di
bidang pelaksanaan perkawinan campuarn tersebut dan juga proses pencatatannya
sehingga dipandang sah dan memiliki kepastian hukum bagi suami istri yang
melaksanakan perkawinan campuran tersebut serta bagi status hukum anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.29 Pengumpulan data dilakukan dengan
studi dokumen dimana dokumen yang dikumpulkan adalah Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No. 586/Pdt.G/2014.
4.

Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan sataun uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. 30 Di dalam
penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang
berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.31 Sebelum dilakukan analisis,
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang
dikumpulkan.

Setelah

itu

keseluruhan

data

tersebut

akan

dianalisis

dan

disistematisasikan secara kualitatif.
29
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media, Malang,
2005, hal. 28
30
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal
106.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.

Universitas Sumatera Utara

26

Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk
menyelidiki,

menemukan,

menggambarkan

dan

menjelaskan

kualitas

atau

keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan
kalimat sendiri dari data yang ada baik primer, sekunder maupun tertier.
Sehingga menghasilkan klasifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai
prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya
di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
agar pelaksanaan perkawinan campuran tersebut memiliki ketentuan dan kepastian
hukum bagi pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan campuran tersebut,
sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu
melakukan penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar
dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN DOKUMEN (Studi Putusan Pengadilan Agama Karanganyar No: 832/Pdt.G/2004/PA.Kra. Tanggal 11 April)

0 4 61

KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN DOKUMEN (Studi Putusan Pengadilan Agama Karanganyar No: 832/Pdt.G/2004/PA.Kra. Tanggal 11 April)

0 4 17

KAJIAN HUKUM TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN DOKUMEN (Studi Putusan Pengadilan Agama Karanganyar No: 832/Pdt.G/2004/PA.Kra. Tanggal 11 April)

0 4 16

PROSES PENYELESAIAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA STATUS WALI NIKAH YANG TIDAK SAH Proses Penyelesaian Pembatalan Perkawinan Karena Status Wali Nikah Yang Tidak Sah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 3 17

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PEMBATALAN PERKAWINAN Proses Penyelesaian Pembatalan Perkawinan Karena Status Wali Nikah Yang Tidak Sah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 3 15

PENDAHULUAN Proses Penyelesaian Pembatalan Perkawinan Karena Status Wali Nikah Yang Tidak Sah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 5 17

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

0 1 13

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

0 0 2

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

0 0 37

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

0 0 5