Perbandingan Kadar Malondialdehid pada Penderita Katarak Diabetika dengan Penderita Katarak Non Diabetika

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. KATARAK
2. 1.1. DEFENISI
Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau hilang transparansinya dimana
dalam keadaan normal jernih. lensa yang transparan atau bening, dipertahankan
oleh keseragaman serat, distribusi dan komposisi protein kristalin dalam lensa. Sifat
transparansi lensa ini dapat menurun oleh karena lensa mengalami perubahan
ikatan struktur protein dan

inti/ nukleus lensa, sehingga terjadi peningkatan

kekeruhan inti lensa. (Khurana Ak, 2007 ; 5)

2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut World Health Organization(WHO) katarak merupakan penyebab
utama kebutaan dan gangguan tajam penglihatan di dunia. Tahun 2002 WHO
memperkirakan sekitar 17 juta (47, 8%) (Oliver j,Cassidy,L 2005)
The Beaver Dam Eye Study, melaporkan 38,8% pada laki-laki, dan 45,9 %
pada wanita dengan usia lebih dari 74 tahun. Menurut Baltimore eye survey katarak

pada ras kaukasian. (American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012).
Berdasarkan Survei Kesehatan Indra tahun 1993-1996, Angka kebutaan
sebesar 1,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 3,3 juta jiwa dengan kebutaan
akibat katarak menempati urutan pertama dengan persentase 0,78%. (KEMENKES
2005)

Universitas Sumatera Utara

Di Sumatera Utara, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Mata
tahun 2004 didapat angka kebutaan akibat Katarak di Tanjung Balai 0,37% dan
kabupaten Karo 0,41%. Angka-angka yang diteliti ini lebih rendah dari prevalensi
kebutaan nasional akibat katarak.(Silalahi,E 2004)
Sembilan puluh lima persen penduduk yang berusia 65 tahun telah
mengalami berbagai tingkatan kekeruhan pada lensa. Sejumlah kecil berhubungan
dengan penyakit mata atau penyakit sistemik spesifik. Dapat juga terjadi sebagai
akibat pajanan kumulatif terhadap pengaruh lingkungan dan pengaruh lainnya
seperti merokok, radiasi UV, dan peningkatan kadar gula darah. Pasien dengan DM
4,9 kali lebih tinggi risiko katarak. Penelitian menunjukkan bahwa 31,4% pasien
katarak yang menderita diabetes(Arimbi 2012) (Tana, Rifati, & Kristanto, 2009).
Auckland Cataract Study Melaporkan hampir 80% dari penderita katarak yang

menjalani pembedahan memiliki riwayat penyakit sistemik yang signifikan. Riwayat
penyakit sistemik yang paling sering adalah diabetes melitus adalah 34,6% dari 101
pasien, hipertensi 30,5% dari 89 pasien, diikuti penyakit jantung 5,5% dari 16
pasien, dan asma 5,1% dari 15 pasien ( Ali N. Al-Oramy, et al, 2007).
UK prospective Diabetes Study Group menyatakan bahwa katarak diderita
oleh sekitar 15% individu yang menderita DM tipe 2 dan sering ditemukan pada saat
diagnosis ditegakkan. (Rizkawati, 2012)

2.1.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, vaskular, tidak berwarna, dan
hampir transparan sempurna, lensa tidak mempunyai asupan darah ataupun
inervasi syaraf, dan bergantung sepenuhnya pada akuos humor untuk metabolisme.

Universitas Sumatera Utara

Lensa terletak dibelakang iris dan didepan korpus vitreus. Posisinya oleh zonula
zinni, terdiri dari serabut-serabut kuat yang melekat ke korpus siliaris. (American
Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007).
Diameter lensa adalah 9-10mm, dan tebalnya bervariasi sesuai dengan umur,
mulai dari 3,5mm pada saat lahir dan 5mm pada saat dewasa. Lensa dapat

membiaskan cahaya karena memiliki indeks refraksi, normalnya 1,4 disentral, dan
1,36 perifer. Dalam keadaan non akomodif, kekuatannya 15-20D. (American
Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007).
Struktur lensa terdiri dari kapsul yang tipis, transparan, dikelilingi oleh
membran hyalin yang lebih tebal pada permukaan anterior dibanding posterior.
Lensa disokong oleh serabut zonular berasal dari lamina nonpigmen epitelium pars
plana pars plikata dari pada corpus siliaris. Zonular ini termasuk kedalam lensa
diregio equator. Nukleus pada bagian sentralnya terdiri dari serabut-serabut tua.
Korteks pada bagian perifer terdiri dari serabut-serabut lensa yang muda.
Komposisi lensa terdiri dari 65% air, 35% protein, dan sedikit mineral. Kandungan
kalium lebih tinggi dilensa dari pada jaringan lainnya. Asam askorbat dan glutation
terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. (American Academy Of
Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007).
Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu yakni, kenyal atau lentur
karena memegang peranan penting dalam akomodasi untuk menjadi cembung,
jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media refraksi penglihatan.
(American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012 ; Khurana Ak, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Seiring dengan bertambahnya usia pada lensa ada dua hal yang terjadi.
Pertama, penurunan fungsi dari mekanisme pompa transportasi aktif lensa yang
mengakibatkan rasio Na+ dan K+ terbalik. Hal ini menyebabkan hidrasi dari serat
lensa. Kedua, peningkatan reaksi oksidatif akibat bertambahnya umur menyebabkan
penurunan kadar asam amino sehingga sintesis protein didalam lensa juga akan
menurun. Kedua hal ini akan menyebabkan kekeruhan dari serat lensa kortikal
akibat denaturasi protein.(khurana AK,2007)

Gambar. 1. Anatomi lapisan lensa
Dikutip dari khurana AK, 2007

Universitas Sumatera Utara

2.1.4. KLASIFIKASI
Katarak berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut Buratto :
Derajat 1 : Nukleus lunak. Pada katarak derajat 1 biasanya visus masih lebih baik
dari 6/12,. Tampak sedikit keruh dengan warna agakl keputihan. Refleks fundus juga
masih mudah diperoleh dan usia penderita juga biasanya kurang dari 50 tahun.
Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan. Pada katarak jenis ini tampak nukleus
mulai sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12-6/30. Reflek fundus

juga masih mudah diperolah dan katarak jenis ini paling sering memberikan
gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium. Katarak ini yang paling sering
ditemukan dimana nukleus tampak berwarna

kuning disertai dengan kekeruhan

korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60-6/30 dan
bergantung juga dari usia pasien. semakin tua usia pasien maka semakin keras
nukleusnya.
Derajat 4 : Nukleus keras. Pada katarak ini warna nukleus sudah berwarna kuning
kecoklatan, dimana usia penderita biasanya lebih dari 65 tahun. Visus biasanya
antara 3/60 sampai 1/60. Dimana refleks fundus maupun keadaan fundus sudah
sulit dinilai.
Derajat 5 : Nukleus sangat keras. Pada katarak jenis ini nukleus sudah berwarna
kecoklatan bahkan agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek dan
usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut juga
brunescent cataract atau black cataract. ( Soekardi I, Hutauruk JA 2004)

Universitas Sumatera Utara


Katarak berdasarkan morfologi menurut Lens Opacity Classificassion System
(LOCS) III:
-

Nuklear

-

Cortical

-

PSC (Posterior Sub Capsular)
(Sabanayagam et al, 2011)

2.1.5. DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan melalui anamnesa, dan pemeriksaan. Gejala yang
biasa dikeluhkan penderita katarak antara lain :
1. Silau

Pasien

katarak

sering

mengeluhkan

silau,

yang

biasa

bervariasi

keparahannya mulai dari penurunan sensitivitas kontras dalam lingkungan
yang terang hingga silau pada saat siang hari atau pada malam hari. Keluhan
ini khususnya dijumpai pada katarak posterior subkapsular.
2. Diplopia

Perubahan nuklear terletak pada lapisan dalam nukleus menyebabkan
daerah pembiasan multipel ditengah lensa. tipe katarak ini kadang-kadang
menyebabkan diplopia monokular. ladanya perubahan persepsi penglihatan
warna.
3. Halo
Hal ini bisa terjadi pada beberapa pasien oleh karena terpecahnya spektrum
warna oleh karena meningkatnya kandungan air dalam lensa.

Universitas Sumatera Utara

4. Distorsi
Pada

stadium

awal

katarak,

biasanya


pasien

mengeluhkan

distorsi

penglihatan berupa garis lurus kelihatan bergelombang.
5. Penurunan penglihatan
Katarak menyebabkan penurunan penglihatan progresif tanpa rasa nyeri.
Setiap tipe katarak biasanya mempunyai gejala gangguan penglihatan yang
berbeda-beda, tergantung pada cahaya, ukuran pupil dan derajat myopia.

6. Myopic shift
Perkembangan katarak dapat terjadi peningkatan dioptri kekuatan lensa, yang
umum menyebabkan miopia ringan atau sedang. Umumnya kekeruhan pada katarak
nuklear ditandai dengan kembalinya penglihatan dekat oleh karena meningkatnya
miopia akibat peningkataan kekuatan kekuatan refraktif nulear sklerotik, sehingga
pemakaian kacamata atau biofokal tidak diperlukan lagi. (American Academy Of
Ophthalmology 11 2011-2012 ; langston DP 2002 ; Oliver j,Cassidy,L 2005)

Pada pemeriksaan mata dilakukan dengan pemeriksaan

slit-lamp

dapat

menjelaskan morfologi katarak dan menilai secara keseluruhan dari segmen anterior
mata. dan

dapat membantu menentukan penyebab dan prognosis. Pada

Pemeriksaan

segmen

posterior

B

scan


ultrasonography

dapat

membantu

mengevaluasi segmen posterior, walaupun gambaran retina,atau kelainan optic
nerve, tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan sampai pemeriksaan optic nerve
head,

retina

dan

fovea

dilakukan

secara

langsung.(

American

Academy

Ophtalmology, 6, 2010-2011 ; Jackson LT 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Katarak diabetika
Dikutip dari Chongdon G Nathan, 2006

2.1.6. PENATA LAKSANAAN

Adapun indikasi pembedahan terhadap katarak adalah:
1. Memperbaiki penglihatan.
Merupakan indikasi yang paling umum dilakukannya operasi katarak, walaupun
tingkat kebutuhannya bervariasi pada setiap orang. Operasi merupakan satusatunya cara untuk memperbaiki penglihatan jika katarak sudah menyebabkan
gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
2. Indikasi medikal
Dilakukan jika katarak sudah mempengaruhi kesehatan mata, contohnya :
glaukoma fakolitik dan glaukoma fakomorfik. Operasi katarak untuk memperbaiki
kejernihan media okular juga di butuhkan agar dapat mengetahui keadaan
patologis melalui funduscopy, seperti retinopaty diabetic yang membutuhkan
monitoring dan pengobatan.

Universitas Sumatera Utara

3. Kosmetik
Kosmetik merupakan ind ikasi yang jarang. Hal ini ditujukan untuk mengembali
kan warna pupil menjadi hitam. (kanski,2008)
Tehnologi pembedahan katarak telah berkembang dengan cepat, pemilihan
terhadap pembedahan tergantung dari berbagai faktor; ada beberapa jenis
pembedahan katarak :
1. Intra Capsular Catarac Extraction (ICCE)
Merupakan tehnik bedah yang digunakan sebelum adanya bedah katarak
ekstracapsular. Seluruh lensa bersama dengan pembungkus atau kapsulnya
dikeluarkan. Diperlukan sayatan yang cukup luas dan jahitan yang banyak (14-15
mm). Prosedur tersebut relatif beresiko tinggi disebabkan oleh insisi yang lebar dan
tekanan pada badan vitreus. Metode ini sekarang sudah ditinggalkan. Kerugian
tindakan ini antara lain ,angka kejadian cystoid macular edema dan retinal
detachmet setelah operasi lebih tinggi, Insisi yang sangat lebar dan astigmatisma
yang tinggi. Resiko kehilangan vitreus selama operasi sangat besar.
2. Ekstra Capsular Catarac Ekstraction (ECCE).
Merupakan tehnik operasi katarak dengan melakukan pengangkatan nukleus
lensa dan korteks melalui pembukaan kapsul anterior yang lebar 9-10mm, dan
meninggalkan kapsul posterior. Tehnik ini mempunyai kelebihan dibanding ICCE
yaitu kapsul posterior akan utuh secara anatomi sehingga baik untuk fiksasi IOL dan
menghambat atau mencegah bakteri masuk ke korpus vitreus dan mencegah
terjadinya endoftalmitis.

Universitas Sumatera Utara

3.Small incision catarac surgery (Sics).
Pada Teknik Small Incision Cataract Surgery insisi dilakukan di sklera sekitar 5.5
mm – 7.0 mm. Keuntungan insisi pada sklera kedap air sehingga membuat katup
dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan karena insisi yang dibuat ukurannya lebih
kecil dan lebih posterior, kurvatura kornea hanya sedikit berubah.
4. Phacoemulsification.
Merupakan salah satu tehnik ekstraksi katarak ekstrakapsuler yang berbeda
dengan ekstraksi katarak katarak ekstrakapsular standar (dengan ekspresi dan
pengangkatan nukleus yang lebar). Sedangkan fakoemulsifikasi menggunakan insis
kecil, fragmentasi nukleus secara ultrasonik dan aspirasi kortek lensa dengan
menggunakan

alat

fakoemulsifikasi.

Secara

teori

operasi

katarak

dengan

fakoemulsifikasi mengalami perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf
bedah refraktif oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus
yang cepat, komplikasi setelah operasi yang ringan, astigmatisma akibat operasi
yang minimal dan penyembuhan luka yang cepat. (American Academy Of
Ophthalmology 11 2011-2012)(Medscape 2012) (Soekardi I, Hutauruk JA 2004)
(Timothy L.Jackson, Moorfields 2008).

2.1.7. KOMPLIKASI
Komplikasi pembedahan katarak dapat terjadi pada waktu yang berbeda,
terbagi dari ; pada saat operasi, dan setelah operasi. Oleh karena itu perlu untuk
mengevaluasi pasien post operasi katarak selama 1 hari, 1 minggu, 1 bulan dan 3
bulan. ( Soekardi I, Hutauruk JA 2004)

Universitas Sumatera Utara

Komplikasi awal pembedahan adalah setiap kejadian klinis yang terjadi baik
selama operasi maupun 48 jam setelah operasi. Komplikasi lanjut adalah setiap
kejadian klinis yang terjadi dalam 4-6 minggu setelah operasi. Komplikasi intra
operasi antara lain prolaps vitreus, iridodialisis, hifema,dan perdarahan ekspulsif.
Sedangkan komplikasi setelah operasi antara lain edema kornea, kekeruhan kapsul
posterior, residual lens material, prolap iris, hifema, glaukoma sekunder, iridosiklitis,
endophtalmitis, ablasio retina, astigmatisma. (American Academy Of Ophthalmology
11 2011-2012)
2.2 DIABETES MELITUS (DM)
2.2.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. (PERKENI, 2005)

2.2.2. Epidemiologi
Internasional Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi DM
didunia adalah 1,9%. Tahun 2012 angka kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari
populasi dunia adalah 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95%
dari populasi dunia yang menderita DM. (Fatimah, RN 2015)
WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Dengan demikian diperkirakan
adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
(PERKENI, 2005)

Universitas Sumatera Utara

.

Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 oleh

departemen kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi DM didaerah urban
Indonesia sebesar 5,7%. (PERKENI, 2005)

2.2.3. Patogenesis Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan yaitu :
a. rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar.
b. Desensitasi atau penuruinan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin dijaringan perifer.
(Fatimah, RN 2015)

2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan kriteria diagnosis PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) bahwa penderita dengan diabetes melitus jika ada gejala glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes melitus dengan kadar
glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau kadar gula darah plasma 2 jam pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL. (PERKENI, 2011)
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 , diabetes mellitus
terbagi 3 yaitu DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM Gestasional. Namun menurut American
Diabetes Association (ADA) dalam Standarts of Medical Care in Diabetes, 2012,
Diabetes melitus terbagi 4 yaitu :
1. DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)

Universitas Sumatera Utara

Terjadi pada 5-10% dari angka kejadian diabetes disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut karena kerusakan autoimun sel β pada pankreas dan idiopatik.
2. DM tipe 2 atau NIIDM (Noninsulin Dependent Diabetes Mellitus)
Terjadi 90% pada tipe DM, oleh karena disfungsi sel β pankreas dan resistensi
insulin.
3. DM tipe lain :
-

Defek genetik sel-β pancreas

-

Defek genetik kerja insulin

-

Penyakit-penyakit dari eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis)

-

Endokrinopati(akromegali,Cushing‟ssyndrome,glucagonoma,pheochromocyto
ma,hyperthyroidism,somatostatinoma, aldosteronoma)

-

Akibat obat-obatan atau zat kimia (seperti pada pengobatan AIDS atau
setelah transplantasi organ)

-

Infeksi (rubella kongenital, cytomegalovirus, coxsackie)

-

Diabetes imunologis yang jarang (“stiff-person” syndrome, anti-insulin
reseptor antibodi)

-

Sindroma

lain

yang

berkaitan

dengan

diabetes

(Down‟s

syndrome,

Klinefelter‟s syndrome, Turner‟s syndrome, Wolfram‟s syndrome, Huntington‟s
chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy, porphyria,
Prader-Willi syndrome).
4. DM Gestasional (DM pada kehamilan)
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang
merupakan intoleransi glukosa.

Universitas Sumatera Utara

2.2.5. Komplikasi DM
Komplikasi pada penyakit diabetes melitus dapat terjadi akut dan kronik.
Komplikasi akut meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan hiperosmolar-non ketotik.
Komplikasi kronik dibagi menjadi makrovaskular dan mikrovaskular. Komplikasi
makrovaskular adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri besar
sehingga menyebabkan artherosklerosis. Timbulnya artherosklerosis antara lain
dapat diawali oleh penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan gangren.
Komplikasi mikrovaskular adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil. Komplikasi
mikrovaskular pada mata antara lain retinopati diabetik, glaukoma, katarak, dan
sindroma mata kering. Komplikasi mikrovaskular pada mata dapat terjadi 5 tahun
setelah menderita diabetes melitus tanpa pengobatan yang teratur. (Joshi, Caputo,
Wietekamp, Karchnier, 1999)

2.3. Peranan stres oksidatif pada diabetes melitus
Pada diabetes melitus, pertahanan antioksidan dan sistem perbaikan
seluler akan terangsang sebagai respons tantangan oksidatif. Sumber stres oksidatif
yang terjadi berasal dari peningkatan produksi radikal bebas akibat autooksidasi
glukosa, penurunan konsentrasi antioksidan berat molekul rendah dijaringan dan
gangguan aktivitas pertahanan antioksidan enzimatik. Kerusakan oksidatif pada
DNA yang berkorelasi dengan peroksidasi asam lemak membran dan status
antioksidan yang rendah juga ditemukan pada DM.
Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula pereduksi antara lain
glukosa, glukosa-6-fosfat dan fruktosa, akan meningkat melalui proses glikolisis dan
jalur poliol. Glukosa sebagai gula pereduksi bersifat toksik.

Universitas Sumatera Utara

Pada DM ada 3 jalur munculnya stres oksidatif, yaitu glikasi protein
nonenzimatik, Jalur poliol sorbitol (aldose reduktase), Autooksidasi glukosa. Reaksi
secara nonenzimatik glukosa darah dengan protein didalam tubuh akan berlanjut
sebagai reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat
menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan dan mengalami
perubahan kimia yang dikenal dengan reaksi Maillard, pada reaksi ini terjadi
pembentukan advance glycosylation end products (AGEs).
AGEs merupakan salah satu produk sebagai penanda modifikasi protein
sebagai akibat reaksi gula pereduksi terhadap asam amino. Akumulasi AGEs
diberbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas sehingga mampu
berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis
komplikasi diabetes. Pada DM, akumulasi AGEs secara umum mempercepat
terjadinya arterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati serta katarak. (Setiawan &
Suhartono, 2005)

2.4.

Katarak Diabetika
Katarak adalah salah satu komplikasi yang paling awal diabetes mellitus .

Klein et al melaporkan bahwa pasien dengan diabetes mellitus adalah 2-5 kali lebih
mungkin untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan penderita tanpa DM, resiko
ini mungkin mencapai 15-25 kali pada penderita diabetes kurang dari 40 tahun
glukosa puasa. Bahkan terganggunya kadar gula darah puasa telah dianggap
sebagai faktor resiko untuk terjadinya katarak kortikal. Dalam sebuah penelitian dari
Iran , Janghorbani dan Amini yang mengevaluasi 3888 pasien DM tipe 2 yang bebas
dari katarak di awal kunjungan, dan melaporkan tingkat pembentukan katarak 33,1

Universitas Sumatera Utara

per 1.000 orang setelah melakukan pengamatan pemeriksaan lanjutan selama 3,6
tahun .(Javadi AM,Ghanavati ZS,2008)

2.4.1. Mekanisme katarak Diabetika
Katarak pada pasien diabetes atau sering dikenal sebagai katarak diabetika
adalah penyebab utama penurunan visus pada pasien dengan diabetes mellitus.
Proses pembentukan katarak, yang dikenal sebagai kataraktogenesis pada pasien
diabetes lebih cepat daripada non-DM.
Patofisiologi katarak diabetika terkait dengan akumulasi sorbitol dalam
lensa dan denaturasi protein lensa.
Teori klasik yang mendasari terjadinya katarak diabetika terkait dengan teori osmotik
katarak, dimana cairan akuos merupakan sumber nutrisi bagi lensa yang juga
berfungsi sebagai penampung hasil metabolit yang dieksresi oleh jaringan
sekitarnya. Berbeda dengan pada sel yang lain, glukosa dapat masuk kedalam lensa
mata dengan bebas, melalui proses difusi tanpa bantuan insulin. Terjadi pemecahan
glukosa didalam lensa sebagian besar 78% melalui jalur glikolisis anaerobik, 14 %
melalui jalur pentosa fosfat dan sekitar 5 % melalui jalur poliol. (Lukitasari Arti, 2011)
Teori lain mengatakan bahwa ada tiga mekanisme dari katarak disebabkan
oleh hiperglikemia, yaitu :
1) Mekanisme autooksidasi glukosa, atau senyawa oksigen reaktif, yang
mengandung oksigen radikal bebas pada penderita diabetes akan menginduksi
peroksidasi lipid yang mengakibatkan modifikasi makromolekul seluler seperti lipid,
DNA dan protein dalam berbagai jaringan termasuk lensa mata. Modifikasi
makromolekul seluler di berbagai jaringan telah menyebabkan sindroma kompleks
pada penderita dengan diabetes termasuk katarak. (Setiawan & Suhartono, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2) Glikasi dari nonenzimatik protein, peningkatan kadar glukosa dalam aqueous
humor bisa menginduksi glikasi protein dalam lensa, proses yang menghasilkan
superoksida radikal (O2-) Dan akhirnya dalam bentuk glikasi / AGE juga memicu
pembentukan radikal bebas (Prancis, Stein, & Dawczynski, 2003).
3) Jalur metabolisme Kegiatan poliol yang lebih mempercepat pembentukan oksigen
reaktif senyawa radikal bebas yang mengandung oksigen. Kekeruhan pada lensa
dapat terjadi karena hidrasi (cairan pengisian) lensa, atau sebagai akibat dari
denaturasi protein lensa. Pada diabetes mellitus, akumulasi sorbitol dalam lensa
yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan penumpukan cairan di
lensa. Sementara denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh Reactive
Oxygen Species (ROS), yang mengoksidasi protein lensa (kristal) (Pollreisz &
Erfurth, 2009).
Pembentukan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan mengakibatkan
ketidakseimbangan antara antioksida dan radikal bebas pada penderita DM yang
mengakibatkan kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif . Gangguan
oksidatif pada pasien diabetes ditandai dengan meningkatnya kadar MDA pada
pasien diabetes lebih tinggi dari non DM (Marjani, 2010) (Setiawan & Suhartono,
2005).

2.5.

Peranan stres oksidatif pada katarak

Stres oksidatif didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara produksi zat
reaktif dengan antioksidan yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi
produksi yang berlebihan dari radikal bebas atau sistem pertahanan antioksidan
menjadi lemah. Stres oksidatif mempengaruhi kadar protein, lipid, dan DNA, yang

Universitas Sumatera Utara

ditelah diamati penyebab katarak dimana terjadinya apoptosis pada sel memegang
peranan pada perkembangan dan patologi lensa.(Miranda M, 2013)
Salah satu efek toksik dari stres oksidatif yaitu, reactive oxygen species (ROS)
yang dapat merusak membran sel, proses ini dikenal proses ini didasari oleh suatu
proses lipid peroksidase. Target utama lipid peroksidase yakni adanya asam lemak
tidak jenuh dalam fosfolipid membran. Salah satu bentuk dari lipid peroksidase yaitu
zat toksik, Malondialdehid yang terlibat dalam kataraktogenesis. (Chang Dong et al,
2013) 4. (Miranda M, 2013)

Gambar 3. Proses Stres oksidatif
Dikutip dari Nielsen F et al, 1997
Stres Oksidatif diperkirakan memegang peranan pada etiologi katarak berkaitan
dengan usia, lensa mengandung cadangan antioksidan seperti vitamin C dan E,
karotenoids, dan glutathion-GSH, dan enzim antioksidan ( superoksida dismutase,
katalase, dan GSH reduktase/ peroksidase yang dapat mencegah kerusakan dan
penuaan yang dikaitkan dengan berkurangnya kandungan cadangan antioksidan

Universitas Sumatera Utara

dan aktivitas enzimatik antioksidan, Penurunan ini dapat menyebabkan akumulasi
ROS dan peroxynitrite di lensa. (Chang Dong et al, 2013)
2.5.1. Malondialdehid
Malondialdehid ( MDA ) adalah hasil alami dari peroksidasi lipid yang
berasal dari asam lemak tak jenuh ganda. Bisa juga dihasilkan selama prostaglandin
biosintesis dalam sel. MDA bereaksi dengan gugus amino pada protein dan
biomolekul lainnya, termasuk dengan basis DNA yang mutagenik dan mungkin
karsinogenik. (Jetawattana S,2005)(Karatas F et al 2002)

Gambar 4. Struktur malondialdehid
Dikutip dari Nielsen F et al, 1997

Pengukuran MDA, yang merupakan hasil peroksidasi lipid, adalah metode
yang sensitif untuk estimasi kuantitatif konsentrasi lipid peroksida dalam berbagai
jenis sampel termasuk jaringan biologis dari manusia dan hewan, obat dan
makanan.

MDA

merupakan indikator stess oksidatif dalam sel dan jaringan.

Peningkatan kadar hasil lipid peroksidase dengan pengukuran kadar MDA , telah
dikaitkan dengan berbagai kondisi dan keadaan patologis penyakit. (Jetawattana
S,2005)

Universitas Sumatera Utara

Cara pengukuran kadar MDA
Metode yang paling umum untuk mengukur MDA didasarkan pada reaksi
dengan Asam thiobarbiturat (TBA). Asam thiobarbiturat zat reaktif (TBARS) assay
adalah berdasarkan metode Yagi dengan metode kolorimetrik yang banyak
digunakan untuk deteksi peroksidasi lipid dalam bahan biologis. MDA terbentuk
sebagai hasil dari peroksidasi lipid dan bereaksi dengan asam thiobarbiturat di
bawah tinggi temperatur (90-100ºC) dan dalam kondisi asam. Reaksinya
menghasilkan warna merah muda dalam rantai gabungan MDA-TBA , yang
merupakan hasil dari 2 mol TBA ditambah 1 mol dari MDA. Kompleks berwarna
dapat diekstraksi dalam pelarut organik seperti butanol dan diukur dengan
fluorometry atau spektrofotometri menggunakan panjang gelombang 532 nm dengan
koefisien kepunahan ε532 = 1,53 x 105 M-1 cm-1 [11], diukur dalam satuan nmol/L.
(Jetawattana S,2005)

Gambar 5. Reaksi asam thiobarbiturat.
Dikutip dari J]etawattana S,2005

Universitas Sumatera Utara