BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 LENSA 2.1.1 Anatomi Lensa - Perbandingan Kadar Enzim Glutation Peroksidase Pada Penderita Katarak Diabetika dan Non Diabetika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 LENSA

2.1.1 Anatomi Lensa

  Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa adalah salah satu media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan cahaya masuk ke mata agar jatuh tepat ke retina. Lensa memiliki dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Lensa tidak memiliki jaringan saraf, pembuluh darah dan jaringan ikat.(American Academy of Ophthalmology Staff-2011-2012)

  Secara histologis lensa memiliki empat komponen utama yaitu kapsul lensa, epitelial subkapsular, korteks dan nukleus. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior dan posterior. Kapsul ini merupakan suatu membran basalis dan terutama terdiri dari kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks ekstraseluler,seperti glikosaminoglikan,laminin, fibronektin dan proteoglikan. Kapsul lensa merupakan membran halus, homogen dan tidak mengandung pembuluh darah serta bersifat semipermeabel sehingga dapt dilalui oleh air dan elektrolit. Ketebalan kapsul lensa bervariasi dimana yang paling tebal terdapat di ekuator dan yang paling tipis di daerah polus posterior. Kelengkungan bagian anterior lensa berbeda dengan kelengkungan bagian posterior dimana kelengkungan bagian posterior dengan radius kurvatura 10.0 mm sedangkan kelengkungan anterior dengan radius kurvatura 6.0 mm (American Academy of Ophthalmology staff,2011-2012)

  Lapisan epitel hanya terdapat pada bagian anterior lensa yang terdiri dari selapis sel epitel kuboid yang tersusun ireguler. Di sinilah terjadi aktivitas metabolisme dan transpor aktif yang membawa keuar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk

  

Deoxyribonucleic Acid (DNA), Ribonucleic Acid (RNA), protein dan sintesis lipid. Di

  sinilah pula terbentuk Adenosine Triphosphate (ATP) yang dibutuhkan oleh lensa untuk transpor nutrisi karena lensa merupakan organ avaskular (American Academy of Ophthalmology staff 2011-2012).

  Korteks lensa merupakan bagian yang lebih lunak daripada nukleus lensa. Nukleus merupakan serat lensa yang terbentuk sejak lahir dan korteks merupakan

  • – serat baru yang terbentuk setelah lahir.Sesuai dengan bertambahnya umur, serat serat lamelar subepitel terus berproduksi, sehingga lama kelamaan lensa menjadi lebih besar dan kurang elastis. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamela konsentris yang panjang. Tempat bertemunya lamela- lamela ini berbentuk Y yang dapat dilihat dengan menggunakan slit lamp dengan bagian tegak di anterior dan terbalik di posterior. Lensa secara terus menerus membentuk serat baru dimana serat yang lebih dulu dibentuk akan tergser dan tertekan ke bagian tengah lensa sehingga menjadi bagian dari nukleus lensa yang tidak elastis. Oleh karena itu ukuran nukleus lensa yang tidak elastis akan bertambah besar. (American Academy of Ophthalmology 2011- 2012,Wiemer N)

2.1.2 Fisiologi Lensa

  Energi yang dibutuhkan lensa terutama dihasilkan melalui jalur metabolisme glikolisis anaerob. Hal ini adalah sebagai konsekuensi lensa sebagai jaringan avaskular, dimana kadar oksigen dalam lensa lebih rendah dibandingkan jaringan tubuh lainnya. Glukosa sebagai sumber utama energi lensa berasal dari aqueous humor dan masuk ke dalam lensa secara difusi. Selain glikolisis anaerob, lensa memiliki jalur metabolisme glukosa alternatif yaitu jalur sorbitol dan hexose

  

monophosphat (HMP) shunt. kedua jalur ini akan teraktivasi pada kondisi stres

  oksidatif yang akan timbul pada keadaan glukosa yang berlebihan. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa jalur HMP shunt yang teraktivasi akan menghasilkan

  

nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) tereduksi. Senyawa ini

  diperlukan untuk menghasilkan glutation reduktase, suatu enzim yang berperan pada sistem reduksi-oksidasi di lensa. Enzim ini memiliki fungsi menetralisir radikal bebas yang terbentuk pada kondisi stres oksidatif dengan cara mengkatalis reaksi radikal bebas dan glutation. Sebagian kecil glukosa juga akan mengalami metabolisme aerob melalui siklus krebs. Proses ini terutama berlangsung di sel epitel lensa dan sel serat lensa superfisial. Metabolisme aerob ini akan menghasilkan radikal bebas endogen yang dapat menggangu fungsi fisiologi lensa. ( Berthoud V.,Beyer.,American Academy of Ophthalmology 2011-2012)

2.1.3 Defenisi Katarak

  Katarak adalah opasitas lensa kristalina yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak kongenital). Dapat juga berhubungan dengan trauma mata tajam maupun tumpul, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemik, pemajanan radiasi, pemajanan yang lama sinar ultraviolet, atau kelainan mata lain seperti uveitis anterior (Smeltzer, Suzzane C, 2002).

  Menurut Corwin (2001), katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan ketajaman penglihatan berkurang. Katarak terjadi apabila protein-protein lensa yang secara normal transparan terurai dan mengalami koagulasi.

  Sedangkan menurut Mansjoer (2000), katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (panambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau akibat kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.

  Jadi, dapat disimpulkan katarak adalah kekeruhan lensa yang normalnya transparan dan dilalui cahaya menuju retina, dapat disebabkan oleh berbagai hal sehingga terjadi kerusakan penglihatan. (Putra I,Wati M)

2.1.4. Etiologi dan Faktor resiko

  Penyebab utama katarak adalah proses penuaan. Faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya penyakit katarak, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Penyakit peradangan dan metabolik, misalnya diabetes mellitus.

b. Kekurangan vitamin A, B1, B2 dan C.

  c. Riwayat keluarga dengan katarak.

  d. Penyakit infeksi atau cedera mata terdahulu.

  e. Pembedahan mata.

  f. Pemakaian obat-obatan tertentu (kortikosteroid) dalam jangka panjang.

  g. Faktor lingkungan, seperti trauma, penyinaran, dan sinar ultraviolet.

  h. Efek racun dari merokok dan alkohol (Gin Djing, 2006 dan Ilyas, 2006). i.

2.1.5. Derajat Kekeruhan Lensa

  Derajat kekeruhan lensa pada katarak dapat dibagi menjadi lima derajat berdasarkan klasifikasi Buratto:  Derajat 1 biasanya ditandai dengan visus yang masih lebih baik dari

  6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan dan refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat.

   Derajat 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30 dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh  Derajat 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan dan visus antara 3/60 sampai 6/30.

   Derajat 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60.

   Derajat 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan visus biasanya 1/60 atau lebih jelek (Kanski, Istiantoro Hutahuruk)

  Metode Operasi Katarak

  Pengobatan pada katarak adalah pembedahan (Ilyas et al,2002). Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dewasa dan anak-anak adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa sehingga dikenal dengan ekstraksi katarak ekstrakapsular).Penanaman lensa intraokular merupakan bagian dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer, bagian superior atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada kapsul anterior, dan nukleus serta korteks lensanya diangkat. Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada

  ′′ kantung kapsular′′ yang sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior yang utuh (American Academy of Opthalmology, 2011- 2012).

  Saat ini, fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak ekstrakapsular yang paling sering digunakan.Ekstraksi katarak intrakapsular, suatu tindakan mengangkat seluruh lensa berikut kapsulnya, jarang dilakukan pada saat ini. Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implan plastik. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anestesi lokal daripada anestesi umum (American Academy of Opthalmology, 2011-2012 (Istiantoro S, Johan AH, 2004). Operasi ini dapat dilakukan dengan :

  1. Extra-capsular Cataract Extraction, ECCE ) Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak ekstrakapsular Insisi harus dijahit (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

  2. Teknik Small Incision Cataract Surgery Bedah katarak modern bertujuan untuk mencapai pemulihan ketajaman penglihatan dengan cepat pasca pembedahan dan komplikasi yang minimal.

  Rehabilitasi penglihatan segera dapat di ukur dengan ketajaman penglihatan yang optimal tanpa bantuan alat, pembedahan yang baik, dalam hal ini sangat tergantung pada semakin kecilnya ukuran incisi yang dilakukan sewaktu pembedahan. Pada

  • Teknik Small Incision Cataract Surgery insisi dilakukan di skleral sekitar 5.5 mm 7.0 mm (Istiantoro S, Johan AH, 2004).

  3.Fakoemulsifikasi

  Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya tidak dibutuhkan penjahitan. Dengan teknologi mesin fakoemulsifikasi, saat ini sudah dimungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual , sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja. Berdasarkan perkembangan teknik fakoemulsifikasi tersebut, desain implantasi lensa intraokuler (IOL) juga ikut mengalami perkembangan dimana lensa lipat dapat dimasukkan melalui insisi yang hanya sebesar 1,5 mm. Transisi dari ECCE menuju fakoemulsifikasi diperlukan, agar penderita dapat memperoleh tajam penglihatan yang terbaik tanpa koreksi kacamata serta waktu penyembuhan yang sesingkat mungkin, dengan cara membuat sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi (Istiantoro S, Johan AH, 2004)

2.1.6 Radikal Bebas

  Radikal bebas pada lensa dihasilkan oleh proses metabolisme sel dan dapat juga akibat pengaruh luar, misalnya akibat radiasi. Radikal bebas terbentuk secara terus- menerus dan akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Struktur dan komposisi biokimiawi lensa mampu menyerap sinar ultraviolet yang bersifat sitotoksis. Keseimbangan antara ketersediaan antioksidan dan terbentuknya radikal bebas mempunyai arti penting dalam menjaga lingkungan di dalam sel. Apabila ketersediaan antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akan timbul stress oksidatif yang berujung pada kerusakan membran sel, lisosom, mitokondria, DNA, maupun serabut lensa. Stres oksidatif diyakini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam terjadinya katarak (Pavani dkk., 2012).

  Peroksidasi lipid membran plasma serabut lensa dianggap sebagai faktor yang berperan timbulnya katarak. Pada proses peroksidasi lipid, bahan teroksidasi akan mengambil atom hidrogen dari asam lemak tidak jenuh, sehingga terbentuk radikal asam lemak dan seterusnya dengan oksigen akan terbentuk radikal peroksi lipid. Reaksi ini dapat memperbanyak rantai, yang menyebabkan pembentukan lipid peroksida (LOOH) serta akhirnya terjadi hasil utama pemecahan berupa MDA. Malondialdehida dihipotesiskan mampu bereaksi silang dengan lipid membran maupun protein membran, yang akhirnya fungsi normal membran terganggu (Cabrera dan Chihuailaf, 2011; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012).

  Tekanan oksigen dalam lensa relatif rendah, dengan demikian reaksi radikal bebas mungkin tidak melibatkan molekul oksigen. Radikal bebas dapat bereaksi langsung dengan molekul-molekul DNA dan menimbulkan kerusakan. Kerusakan tersebut sebagian dapat diperbaiki tetapi sebagian bersifat permanen. Radikal bebas dapat juga merusak protein maupun lipid membran sel pada korteks lensa. Kerusakan dalam serabut lensa mengakibatkan polimerisasi dan ikatan silang antara lipid dan protein, serta akhirnya terjadi peningkatan jumlah protein lensa yang tidak larut air (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi pada epitel lensa dan korteks superfisial, namun mekanisme tersebut hampir tidak ditemukan pada korteks lensa bagian dalam dan pada nukleus. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012).

  Lensa mempunyai beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi lensa dari kerusakan akibat radikal bebas atau oksigen. Enzim-enzim ini termasuk SOD,

  • ) dan glutation peroksidase dan katalase. SOD mengkatalisis superoksida (O2
  • 2H

  • → H menghasilkan hidrogen peroksida: 2O2

  2O2 + O2. Katalase dapat memecah peroksida dengan reaksi: 2H2O2 → 2H2O + O2. Glutation peroksidase mengkatalisis reaksi: 2GSH + LOOH → GSSG + LOH + H2O. Glutation disulfida (GSSG) kemudian dikonversi kembali menjadi glutation (GSH) oleh glutation reduktase dengan menggunakan nukleotida piridin NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai agen pereduksi: GSSG + NADPH + H + → 2GSH + NADP+.

  GSH akan mereduksi H

  2 O 2 dan menghasilkan GSSG, GSSg ini kemudian

  akan didaur ulang menjadi GSH dengan adanya NADPH yang berasal dari HMP

  

shunt dan bantuan enzim glutation reduktase. Skema daur ulang GSSG dan

  degradasi H

  2 O

  2 Oleh karena itu, GPX sangat berperan dalam mekanisme pertahanan

  terhadap stres oksidatif. GPX merupakan pertahanan garis pertama dalam melawan ROS. Vitamin E dan asam askorbat juga banyak ditemukan di dalam lensa. Kedua substansi ini dapat bekerjasama sebagai pemecah radikal bebas dan melindungi lensa dari kerusakan oksidatif (Rajkumar dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology , 2011-2012). Antioksidan enzimatik, nonenzimatik, dan aktivitas sistem perbaikan menurun pada lensa lensa dan humor akuos selama proses pada proses perkembangan atau maturitas katarak senilis (Ozmen dkk., 2000).

Gambar 2.3 Skema aktivitas ROS dan antioksidan pada lensa (Berthoud dan Beyer, 2009)

  Sepanjang pengetahuan peneliti, di Sumatera dan bahkan di Indonesia sampai saat ini belum pernah diteliti mengenai kadar GPX lensa pada lensa katarak diabetik maupun pada lensa katarak non diabetik.

2.1.6. Katarak dan Antioksidan

  Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya cuma- cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas.

  Klasifikasi

  Terdapat tiga macam antioksidan yaitu :

  1. Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang berupa enzimatis antara lain superoksida dismutase, glutation peroxidase, dan katalase.

  
 2. Antioksidan alami non enzimatis yang dapat diperoleh dari tanaman atau hewan, yaitu tokoferol vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik.

  3. Antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-bahan kimia yaitu Butylated

  

Hiroxyanisole (BHA) yang ditambahkan dalam makanan untuk mencegah kerusakan

lemak (Gklinis, 2004).

  Antioksidan dapat juga dibagi berdasarkan fungsinya seperti berikut :

  1. Antioksidan Primer
 Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena ia dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sempat bereaksi. Antioksidan primer yang ada dalam tubuh yang sangat terkenal adalah enzim superoksida dismutase, glutatione peroksidase dan katalase. Enzim ini sangat penting sekali karena dapat melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas. Bekerjanya enzim ini sangat dipengaruhi oleh mineral-mineral seperti mangan, seng, tembaga dan selenium yang harus terdapat dalam makanan dan minuman.
 (Adedopo K, Lupachyk S)

  2. Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh yang populer, antioksidan sekunder adalah vitamin E, Vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.

  
 3. Antioksidan Tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker.


  4. Oxygen Scavanger Antioksidan yang termasuk oxygen scavanger yang mampu mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.

  5. Chelators atau Sequesstrants
 Senyawa yang dapat mengikat logam sehingga logam tersebut tidak dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Akibatnya kerusakan dapat dicegah. Contoh senyawa tersebut adalah asam sitrat dan asam amino. Tubuh dapat menghasilkan antioksidan yang berupa enzim yang aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga ko-faktor. Antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh antara lain adalah seperti berikut ini :


a. Superoksida Dismutase

  Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada pembantunya, yaitu berupa mineral-mineral seperti tembaga dan mangan yang bersumber pada kacang- kacangan atau padi-padian.

  b. Sistem Glutation Sistem ini terdiri dari glutation dalam bentuk tereduksi (GSH), glutation s\dalam bentuk tereduksi (GSH), glutation dalam bentuk teroksidasi (GSSG), enzim glutation peroksidase (GPx), dan enzim gultation reduktase (GR).

  Glutation adalah senyawa tripeptida yang terdiri atas komponen atas glutamate, sistein dan glisin. Konsentrasi glutation dalam darah dan lensa (terutama dalam epitel) lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan lainnya. Sebagian besar senyawa tersebut dalam tubuh manusia terdapat dalam bentuk tereduksi (GSH) dan hanya 5%-&% terdapat dalam bentuk teroksidasi (GSSG). Senyawa ini merupakan salah satu antioksidan yang sangat potensial dalam tubuh manusia, merupakan

  

scavenger kuat terhadap spesies oksigen reaktif sehingga memberikan perlindungan

  bagi stres oksidatif. (S Farida)

  Fungsi Glutation

  1. Mempertahankan integritas sel dengan cara menjaga grup sulfhidril protein lensa tetap dalam bentuk tereduksi. Oksidasi yang terjadi akan menyebabkan crosslink protein sehingga terjadi agregrasi dan mengganggu kejernihan lensa.

  2. Merupakan ko-enzim beberapa reaksi dalam sistem oksidasi-reduksi

  3. Mempertahankan permeabilitas membrane dengan melindungi grup SH yang diperlukan dalam transport kation. Selain itu juga berperan dalam transportasi asam amino sebagai donor

  Υ-glutamil pada gugus α-amino dari asam amino sistein atau glutamin.

  Secara tidak langsung juga berperan dalam transport ion, dengan melindungi gugus sulfhidril dari Na+,K+,ATPase.

  4. Mengikat aldehid yang terbentuk dari proses peroksidase lemak oleh radikal bebbas dan zat xenobiotik lainnya dan kemudian mendetoksifikasikannya menjadi asam merkapturat dengan bantuan enzim glutation S-transferase.(S Farida)

  Glutation disintesa secara aktif dalam lensa dan eritrosit dalam lensa dan eritrosit. Karena itu dalam lensa dan eritrosit, glutation didapatkan dalam jumlah yang sangat tinggi. Kadar glutation dalam lensa adalah 6,5 - 15 μM/g dan dan dalam eritrosit adalah 2-2,5

  μM/g. Glutation hampir tidak ditemukan didalam cairan bola mata (akuos humor), dan dalam lensa glutation ditemukan lebih banyak dalam epitel daripada dalam nukleus.

  Semua enzim yang dibutuhkan untuk sintesa dan degradasi glutation ditemukan dalam lensa dan sel darah merah. Dalam keadaan normal konsentrasi glutation dipertahankan oleh proses dalam siklus

  Υ-glutamil. Jumlah dan aktivitas

  sisntesa ini dalam lensa manusia akan menurun dengan bertambahnya usia dan pada pembentukan katarak, sesuai dengan bertambahnya jumlah protein yang tidak larut. Dilaporkan pula bahwa penurunan jumlah GSH dalam lensa normal dimulai pada usia 50 tahun dari 5 uml/g lensa menjadi 3 uml/g. Penurunan ini sebanding dengan penurunan residu tirosin dalam protein lensa usia lanjut dan penurunan ini pun dapat terjadi karena menurunnya aktivitas enzim glutation reduktase. Jumlah GSSG dalam lensa meningkat sampai usia 40 tahun dan sesudah itu akan tetap konstan. Olehkarena itu GSH/GSSG dapat digunakan sebagai indikasi tingkat oksidasi. Beberapa enzim dalam metabolisme glutation ini yang berperan penting dalam proses detoksifikasi adalam enzim glutation peroksidase dan enzim glutation reduktase.(Belpoliti M dkk) b.1 Glutation Reduktase (GR)

  GR adalah enzim yang diperlukan dalam daur ulang bentuk GSSG menjadi bentuk GSH, agar timbunan GSH seluler dapat tetap dipertahankan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai katalis untuk regenerasi GSH ini dibutuhkan FAD (flavin Adeninn Nukleotid) yang merupakan bentuk aktif dari riboflavin. Oleh karena itu glutation reduktase disebut sebagai riboflavin dependent enzyme.

  Aktivitas glutation reduktase ditemukan pula menurun dengan bertambahnya usia. Bila penurunannya sebanyak 25% belum menyebabkan terjadinya katarak.

  Penurunan aktivitas enzim glutation reduktase dalam sel darah merah 30% masih cukup untuk mempertahankna jumlah GSH yang dibutuhkan.(Belpoliti M dkk) b.2 Glutation Peroksidase (GPX)

  Glutation Peroksidase adalah enzim yang berperan aktif dalam menghilangkan H2O2 dalam tubuh dan mempergunakannya untuk merubah glutation (GSH) menjadi glutation teroksidasi (GSSG) dengan reaksi sebagai berikut Reaksi

  : H2O2

  2O + GSSG


  Selain mengkatalis H

  2 O 2 , GPx juga dapat memecah senyawa peroksida

lainnya, yaitu dengan menggunakan GSH sebagai donor hidrogen. Hasil reduksi

semua senyawa peroksida tersebut adalah alkohol (Suhartono, 2007).

  Reaksi : LOOH + 2GSH GSSG + 2H O +LOH

  2 Aktivitas GPx memerlukan glutation sebagai kosubstrat dan enzim glutation

reduktase untuk mengubah glutation teroksidasi (GSSG) menjadi bentuk tereduksi

(GSH). Logam Se dalam GPx berfungsi sebagai katalitik pada bagian aktifnya,

kemudian memusnahkan H

2 O 2 . Enzim tersebut juga dapat menyingkirkan lipid peroksida dari membran sel (Winarsi, 2007).

  Enzim glutation reduktase ini juga mendukung aktivitas enzim SOD bersama- sama dengan enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak berubah menjadi pro-oksidan. Glutathione sangat penting sekali melindungi selaput-selaput sel. Senyawa ini merupakan tripeptida yang terdiri dari asam amino glisin, asam glutamat, dan sistein.


  Gambar (1): Mekanisme oksidasi glutation peroksidase Mekanisme pertahanan terhadap senyawa oksigen reaktif dilakukan oleh sistem enzim dan sistem non enzim. Pada lensa mata mekanisme pertahanan enzimatis terhadap senyawa oksigen reaktif bergantung pada 3 sistem, yaitu

  

glutation redox cycle, enzim superoxida dismutase, dan katalase. Sistem

  glutation (glutation redox cycle) merupakan mekanisme pertahanan yang utama terhadap senyawa oksigen reaktif.

  Glutation ( y - L — glutamil — L — sisteinil glisin) adalah suatu senyawa tripeptida yang mengandung gugusan thiol ( sulfhidril = -SH) dan mempunyai berat molekul rendah. Glutation terdiri dari 3 asam amino yaitu glisin, sistein dan asam glutamat. Glutation merupakan proteksi utama terhadap senyawa oksigen reaktif dan radikal bebas pada seluruh sel tubuh termasuk lensa mata. (T Budi, MIric D)

  Pada lensa mata Glutation terdapat dalam jumlah yang berlimpah, konsentrasi Glutation tertinggi didapatkan pada epitel lensa. Sebagian besar glutation bebas terdapat dalam bentuk glutation tereduksi (GSH) dan hanya sekitar 2% - 5% terdapat dalam bentuk glutation teroksidasi (GSSG). (Belpoliti M, Chandrasena L)

  Pada Diabetes Mellitus dimana terjadi kondisi hiperglikemia, mekanisme pertahanan utama terhadap radikal bebas pada lensa mata (sistem glutation) akan berusaha meredam dengan jalan mengikat H yang semakin banyak terdapat

  2

  2

  dalam cairan akuous. H

  2 2 akan dirubah menjadi air (H 2 0) dan 0 2 dengan bantuan

  enzim glutation peroksidase dan katalase. Kerja enzim glutation peroksidase memerlukan ko-substrat yaitu GSH yang merupakan tripeptida asam amino : glutamine, sistein dan glisin. Sistein inilah yang mengandung gugus

  —SH sehingga GSH mampu sebagai donor atom hidrogen pada reaksi dengan radikal bebas dan membentuk glutation teroksidasi (GSSG), reaksi ini berjalan reversibel. GSSG kemudian akan dikembalikan lagi ke bentuk aktifnya yaitu GSH oleh enzim glutation reduktase. Pada reaksi ini diperlukan NADPH sebagai donor hidrogen. Jadi ada dua fungsi utama Glutation yaitu detoksifikasi hidrogen peroksida dan sebagai anti oksidan yang bertugas didalam sel untuk menetralisir oksidan melalui gluthation redox cycle N- acetyl-L-Cysteine (NAC) adalah thiol grup dengan berat molekul rendah yaitu 163,2 g/mol.(Emre S,Sing PP.,Miric D) c. Katalase

  Enzim katalase disamping mendukung aktifitas enzim SOD juga dapat mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air. Enzim-enzim tersebut diatas dalam bekerjanya sangat membutuhkan mineral- mineral penyusun, diantaranya : copper (Cu), zinc (Zn),

  selenium (Se), manganese (Mn), serta besi (Fe).

2.2 DIABETES MELITUS

2.2.1. Defenisi

  Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, aktifitas insulin atau keduanya.(American Diabetes Association,2010)

  Pada kondisi diabetes dimana didapatkan jumlah insulin yang kurang atau dalam keadaan kualitas insulinnya yang tidak baik (resistensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tapi karena ada kelainan di dalam sel itu sendiri pintu masuk sel tetap tidak dapat terbuka sehingga glukosa tidak bisa dimetabolisme. Akibat glukosa tetap diluar sel, maka kadar dalam darah meningkat (Glauber, et. al., 2014).

  DM tipe 2 yang merupakan 90-95% dari populasi diabetes, merupakan individu yang mengalami resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif.(American Diabetes Association). Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Penyulit kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh tubuh (angiopati diabetik) yaitu

  

makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler). Kalau sudah

  terjadi penyulit, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit. Oleh karena itu usaha pencegahan dini diperlukan dan diharapkan akan sangat bermanfaat untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak menguntungkan (Waspadji, 2013).

  2.2.2. Epidemiologi

  Diabetes adalah salah satu penyebab kebutaan pada penduduk berumur 20-74 tahun . Berdasarkan International Diabetes Federation, prevalensi DM di seluruh dunia pada tahun 2000 sekitar 2,8% dan diperkirakan mencapai 4,4 % pada tahun 2030. Total penduduk dengan DM di seluruh dunia diperkirakan akan bertambah dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta penduduk pada tahun 2030.(Wild et al.,2004). Menurut RISKESDAS, prevalensi DM untuk Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 14,7% populasi di kawasan urban terancam DM dan 7,2% rural terancam DM. Jika di proyeksikan maka sebanyak 8,2 juta penduduk urban dan 5,5 juta penduduk rural di Indonesia mengalami diabetes yang artinya akan menambah jumlah penderita retinopati diabetik (Ministry of Health RI)

  2.2.3. Klasifikasi Diabetes

  Menurut American Diabetes Association ada beberapa tipe diabetes yaitu :

  1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel- β, umumnya menjurus defisiensi insulin absolut)

  2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai dari resistensi insulin dominan disertai defisiensi insulin relatif hingga kurangnya sekresi insulin disertai dengan resistensi insulin)

  3. Diabetes tipe lain : defek genetik sel- β pankreas, defek genetik kerja insulin, penyakit-penyakit dari eksokrin pankreas, endokrinopati akibat obat- obatan atau zat kimia,infeksi,diabetes imunologis yang jarang dan sindroma lainnya yang berhubungan dengan diabetes.

  4. Gestational Diabetes Melitus

2.2.4. Patofisiologi

  Teori terjadinya diabetes :  Aktivasi Protein Kinase-C (PKC)

  Hiperglikemia di dalam sel akan meningkatkan sintesis molekul diacylglicerol, yang akan mengaktifkan kofaktor dari isoform protein kinase-C(PKC). Apabila PKC diaktifkan oleh sel yang mengalami hiperglikemia, maka produksi endothelial nitric oxide (NO) sintesa (eNOs) akan menurun. Sementara endothelin-1 meningkat, Transforming growth factor dan plasminogen

  activator inhibitor meningkat.(Brownlee M,2004)

   Peningkatan aktivitas dari Hexosamine Pathway Ketika terjadi hiperglikemia pada sel, glukosa di metabolisme melalui proses glikolis. Kemudian glucose-6-phosphate dirubah menjadi fructose-6-

  phosphate. Selanjutnya fructose-6-phosphate dirubah menjadi glucosamin-6- phosphate oleh enzim GFAT (glutamine;fructose-6-phosphate amidotransferase) dan pada akhirnya menjadi UDP (Uridine diphosphate) N- acetyl glucosamine. Kemudian N-acetyl glucosamine menjadi residu serin dan trionin oleh faktor transkripsi akan mengalami modifikasi yang akan menyebabkan perubahan patologi terhadap ekspresi gen. Peningkatan transforming growth factor 1 dan plasminogen activator inhibitor-1 akan berdampak buruk terhadap pembuluh darah diabetes.(Brownlee M,2004)

   AGEs Pathway (advanced glycation end products) Jalur pembentukan AGEs merupakan jalur nonenzimatik. Yaitu proses perlekatan glukosa secara kimiawi ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan enzim. Derajat glikosilasi non enzimatik tersebut berikatan dengan kadar gula darah. Pembentukan AGEs pada protein seperti kolagen, membentuk ikatan silang di antara berbagai polipeptida yang dapat menyebabkan terperangkapnya protein interstitium dan plasma yang tidak terglikolisasi. AGEs juga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi kapiler. AGEs berikatan dengan reseptor pada berbagai tipe sel seperti sel endotel, monosit, limfosit, makrofag dan sel mesangial. Ikatan ini menyebabkan berbagai aktivitasi biologi yaitu pengeluaran sitokin, peningkatan permeabilitas endotel, peningkatan proliferasi fibroblast dan sintesis matriks ekstraseluler. (Giscco F, Brownlee M,2010)

2.2.5. Diagnosis

  Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria,polidipsi,polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal- gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,2011)

  Kriteria diagnostik untuk DM menurut American Diabetes Association (ADA) adalah bila nilai glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7.0 mmol/l) dan ditegaskan dengan nila i glukosa plasma 2 jam setelah puasa ≥ 200mg/dl (11.1mmol/l). Ada juga menggunakan HbA1C sebagai tes untuk mendiagnosa DM dengan nilai ≥ 6,5%.

  (American Diabetes Association.2010)

2.2.6 Diabetes melitus dan Radikal Bebas

  Hiperglikemia meningkatkan konsentrasi radikal bebas melalui glikasi protein (glikasi enzimatik), autooksidasi glukosa (autooksidasi monosakarida) dan peningkatan jalur poliol. Hiperglikemia juga menyebabkan radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) yang berlebih, defisit antioksidan dan pada akhirnya menjadi stres oksidatif sehingga memicu terjadinya komplikasi baik mikroangiopati dan makroangiopati (Grober,2012) Gambar 2: Stres oksidatif dan komplikasi lanjutan pada diabetik (Grober, 2012) Glukosa dapat teroksidasi sebelum berikatan dengan protein demikian juga glukosa setelah berikatan dengan protein (glycated protein) dapat teroksidasi menghasilkan reactive oxygen species (ROS). Kombinasi glikasi dan oksidasi glukosa menghasilkan pembentukan AGEs (Advanced gylcogen end products).

  Olehkarena itu ROS disebut fixatives of glycation. Akumulasi AGEs pada protein lebih lanjut diikuti dengan browning, peningkatan fluoresence dan cross linking.

  Proses pembentukan AGEs merupakan proses irreversibel yang berlangsung lama dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.(Widowati,2008).

  Beberapa peneliti mengungkapkan adanya penurunan glutation pada penderita diabetes. Glutation dalam bentuk tereduksi (GSH) terdapat dalam plasma manusia,intraseluler, dengan kemampuan sebagai antioksidan untuk menghambat radikal bebas dengan fungsi secara umum sebagai buffer redoks dan kofaktor enzim GPX. Bukti terbaru mengungkapkan bahwa GSH berperan penting pada diabetes melitus. Perubahan terhadap rasio GSH tereduksi/teroksidasi (GSH/GSSG) mempengaruhi respons sel beta terhadap glukosa dan perbaikan aksi insulin serta menurunkan aktivitas enzim GPX. Nuttal menemukan penurunan status antioksidan total secara bermakna pada penderita diabetes berusia lanjut.(Nuttal SL, Dunne F,Kendal MJ, Martin U)

2.2.7. Diabetes mellitus dan Katarak

  Mekanisme toksisitas glukosa pada Diabetes Mellitus yang menyebabkan terjadinya Katarak Diabetik pada dasarnya dapat melalui tiga jalur,

  

Pertama : peningkatan aktifitas enzim aldose reduktase (peningkatan jalur poliol).

  Enzim ini mengkatalisis perubahan glukosa menjadi sorbitol (poli alkohol). Sorbitol mempunyai sifat menarik air sehingga kelebihan sorbitol akan menyebabkan masuknya cairan akuos kedalam korteks dan merusak keutuhan sel lensa (stres osmotik).

  Selain itu pada diabetes melitus perubahan glukosa menjadi sorbitol pada jalur poliol yang meningkat banyak memakai NADPH. Jadi pada diabetes melitus NADPH yang tersisa tinggal sedikit sehingga banyak GSSH yang tidak bisa dikembalikan kebentuk GSH lagi (terjadi penurunan aktifitas gluthation redox cycle).

  Penurunan kadar GSH akan meyebabkan banyak H

  2 O 2 tidak dapat dinetralisir

  sehingga terjadi stes oksidatif. Kondisi stres oksidatif mengakibatkan peningkatan kadar H

2 O 2 , radikal hidroksil, lipid peroksida dan malondialdehid yang akan merusak lensa mata (terjadi katarak diabetik).

  

kedua : pada kondisi hiperglikemi, protein ekstra maupun intra seluler mengalami

  proses glikasi nonenzimatik. Pada proses ini terjadi pengikatan gugus amino materi kristalin oleh molekul gula yang berlangsung tanpa bantuan enzim. Reaksi glikasi nonenzimatik protein kristalin akan menimbulkan cross-link antar dan intra molekul protein sehingga terjadi penambahan high molecular weight protein menyebabkan penurunan tingkat kelarutan protein dan merusak kejernihan lensa serta terjadi katarak

  

Ketiga : Pada kadar glukosa darah yang tinggi glukosa dapat mengalami oksidasi

  dan membentuk senyawa dikarbonil, yaitu glucosone dan senyawa oksigen reaktif superoksid (.02-) Selanjutnya senyawa oksigen reaktif superoksid (.02-) dapat menghasilkan hidrogen peroksida (H

  2 2 ) dan radikal hidroksil (OH). H

  2 O 2 kemudian bereaksi dengan molekul superoksid yang lain dan membentuk radikal hidroksil.

  Jadi oksidasi non enzimatik dari glukosa dapat menghasilkan senyawa dikarbonil yang reaktif dan senyawa oksigen reaktif seperti radikal super oksid (.02-), hidrogen peroksida (H ), dan radikal hidroksil (.OH). Radikal superoxide akan

  2

  2 bereaksi dengan membran sel membentuk Malondialdehid (MDA).

  Kondisi stres oksidatif ini juga mengaktivasi intra celluler stress signals, dan menyebabkan terjadinya apoptosis. Apoptosis merupakan kematian sel yang diprogram (programmed cell death), Jalur intrinsik apoptosis adalah melalui mitokondria. Sebagai respon dari stimulus apoptotic / signal awal apoptotosis, beberapa protein yang berasal dari ruang antar membran pada mitokondria akan dikeluarkan ke sitoplasma, protein ini antara lain Cytochrome C. Cytochrome C akan berikatan dengan protein Apaf 1 dan terjadilah aktivasi protein Apaf 1 di sitoplasma. Aktivasi protein Apaf 1 di sitoplasma menyebabkan protein Apaf 1 membentuk suatu kompleks oligomer yang disebut apoptosome.

  Olofsson,Marklund dan Behndig (2009) menemukan bahwa kadar glutation di lensa rendah pada tikus yang diinduksi diabetes daripada tikus kontrol. Mereka berpendapat bahwa penurunan kadar ini tidak hanya disebabkan penggunaan glutation tetapi dapat juga disebabkan karena penurunan sintesis sebaagi akibat rendahnya kadar produksi ATP pada penderita diabetes. Sistem Glutation sangat penting untuk memelihara kondisi sel normal. Ada kondisi yang normal, glutation bertugas mengikat residu sistein pada protein lensa dan mencegah terjadinya ikatan disulfide. Pada kondisi dengan kadar glutation yang rendah, ikatan disulfide yang terbentuk akan meningkat

Dokumen yang terkait

B. Karakteristik Balita - Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Gizi Kurang pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur Tahun 2016

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Harmonisa - Reduksi Harmonisa Pada Uninterruptible Power Supply (UPS) Dengan Single Tuned Passive Filter

0 2 22

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komputer Dalam merancang sebuah sistem informasi, digunakan suatu alat pendukung yaitu komputer. Bahasa komputer berasal dari bahasa asing yaitu To Compute, yang artinya hitung. - Sistem Informasi Manajemen Koperasi Sim

0 3 11

Perbedaan Kadar Deoxypyridinoline pada Wanita Reproduktif Pasca Injeksi GnRH Agonis dan Tanpa Injeksi GnRH Agonis

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke 2.1.1 Defenisi Stroke - Dukungan Pasangan dalam Merawat Pasien Stroke yang Mengalami Disabilitas Fungsional di Rumah

0 0 58

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Penggunaan Kata Pelengkap Buyu (补语) Dalam Kalimat Bahasa Mandarin Pada Koran Guoji Ribao 《国际日报》补语句子使用分析《Guójì Rìbào》Bǔyǔ Jùzi Shǐyòng Fēnxī

1 7 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kas 2.1.1.1. Pengertian Kas dan Unsur-unsur Kas - Analisis Penerapan Pengendalian Internal Penerimaan Kas dan Piutang Usaha pada PT. Bright Supermart M. Yamin Medan

0 2 29

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Perilaku Konsumen 2.1.1 Pengertian Perilaku Konsumen - Pengaruh Promosi dan Store Atmosphere Terhadap Impulse Buying Dengan Shopping Emotion Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada Matahari Department Store Cabang Medan Fair Pla

0 9 29

Pengaruh Promosi dan Store Atmosphere Terhadap Impulse Buying Dengan Shopping Emotion Sebagai Variabel Intervening (Studi Pada Matahari Department Store Cabang Medan Fair Plaza)

1 2 13

Perbandingan Kadar Enzim Glutation Peroksidase Pada Penderita Katarak Diabetika dan Non Diabetika

0 0 17