Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
2.1.1 Implikatur
Penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka
berdua memiliki kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang
dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak
percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling
dimengerti (Rahardi, 2005:42). Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa implikatur
sangat dipengaruhi oleh konteks yang melatarbelakangi ujaran peserta pembicara.
Konteks tersebut memudahkan pembicara untuk menangkap makna implikatur.

2.1.2 Konteks
Konteks berasal dari Bahasa Latin contexerce yang berarti ‘menjalin
bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau
lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.Jadi, peneliti
menyimpulkan bahwa konteks merupakan latar belakang pengetahuan yang
dimiliki oleh penutur dan lawan tutur.
Hymes (dalam Chaer, 2004:48), seorang pakar linguistik terkenal
mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang

bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi SPEAKING.
Kedelapan komponen itu adalah:

7
Universitas Sumatera Utara

1. S (Setting and Scane),
2. P (Participants),
3. E (Ends),
4. A (Act Sequence),
5. K (Keys),
6. I (Intrumentalities),
7. N (Norm of Interaction),
8. G (Genres).
Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan tempat atau situasi psikologis
pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat
menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan
sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai
tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak

orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola, kita boleh
berbicara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicaraan dan pendengaran, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
(pesan). Dua orang bercakap-cakap dapat berganti pesan sebagai pembicaraan dan
pendengar, tetapi dalam hal khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan
jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar pesan. Status sosial partisipan
sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara

8
Universitas Sumatera Utara

denganorang tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman
sebayanya.
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara,
namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang
berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha
membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha

memberikan keputusan yang adil.
Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini
berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa
hubungan antara yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam
bentuk umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu
juga dengan isi yang dibicarakan.
Keys mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalis ini juga mengacu pada
kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.
Norm of interaction mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya.
Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dan lawan bicara.

9
Universitas Sumatera Utara


Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.

2.1.3 Novel
Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan,
yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan
mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragaan yang menjadi
dasar konvensi penulisan (Teeuw, 1984:136). Jadi, novel adalah jenis prosa baru
setelah puisi dan drama yang menyajikan peristiwa kehidupan pada saat novel itu
diciptakan. Novel mengandung unsur tokoh, alur, rekaan, yang biasanya disebut
dengan unsur intrinsik. Novel mengandung sejarah dan dokumen kehidupan yang
diperankan oleh tokoh di dalam novel. Adapun unsur di luar karangan, yaitu
berupa faktor sosial, agama, politik, dan ekonomi, disebut dengan unsur
ekstrinsik. Unsur ekstrinsik hadir untuk memperkuat sisi kehidupan yang nyata
dalam novel.

2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Yule (1996:3) mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi tentang
makna yang disampaikan penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar

(pembaca). Tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan
orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh
terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana
cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan, yang sesuai dengan orang
10
Universitas Sumatera Utara

yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Pragmatik
mengkaji lima hal, yaitu deiksis, pranggapan, tindak tutur, implikatur, dan struktur
wacana.Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu
linguistik yang mempelajari tentang penggunaan bahasa di dalam komunikasi
khususnya hubungan antara konteks dan situasi tempat kalimat digunakan.
Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih
dibatasi pada implikatur.

2.2.2 Implikatur
Menurut Grice (dalam Nababan, 1987:28), implikatur adalah maksud
suatu ucapan atau apa yang diimplikasi. Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa
implikatur merupakan penghubung antara yang dikatakan atau dengan yang
dimaksudkan. Menurut Gunpers (dalam Lubis, 1993:68), inferensi (implikatur)

adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Menurut
Grice (dalam Soemarno, 1988:171), ada kaidah yang mencakup peraturan
bagaimana percakapan yang dapat dilakukan secara efektif dan efisisen. Kaidah
ini terdiri atas dua pokok kaidah, yaitu: (1) prinsip kooperatif yang menyatakan
“katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan dengan memegang
tujuan dari percakapan itu”, (2) empat maksim percakapan yang terdiri atas
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan, dan maksim pelaksanaan.
Di bawah ini diuraikan satu persatu Prinsip Kerja Sama (PKS) rumusan
Grice (dalam Purba, 2002:49-54), yaitu:
1. Maksim Kuantitas (MKuan)

11
Universitas Sumatera Utara

Setiap

peserta

percakapan/pembicaraan


memberikan

kontribusi

yang

secukupnya atau sesuai dengan yang diperlukan.
(1) Sumbangan Anda seinformatif yang dibutuhkan; dan
(2) Jangan memberikan sumbangan atau keterangan lebih informatif daripada
yang diperlukan.
Contoh MKuan adalah:
(1) A: Apakah Anda sudah sarapan?
B: Ya, sudah.
Dalam dialog (1) antara A dan B terdapat kerja sama yang baik karena B
benar-benar memberikan kontribusi secara kuantitas memadai dan mencukupi.
(2) A: Apakah Anda sudah sarapan?
B: Belum. Istri dan anak-anak saya sejak kemarin berlibur di Yogyakarta.
Saya bangun kesiangan sehingga saya tidak sempat masak.
Dalam dialog (2) antara A dan B tidak terdapat kerja sama yang baik
karena B memberikan kontribusi yang berlebihan. Kontribusi B yang berupa

informasi istri dan anak-anak yang berlibur di Yogyakarta, bangun kesiangan,
dan tidak sempat masak belum diperlukan oleh A.

2. Maksim Kualitas (MKual)
Setiap peserta pembicaraan harus mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi
peserta pembicaraan harus didasarkan bukti atau fakta yang memadai.
(1) Jangan Anda katakan apa yang Anda anggap salah, dan
(2) Jangan katakan apa yang Anda tidak dapat mendukung dengan bukti yang
cukup.
12
Universitas Sumatera Utara

Contoh MKual adalah:
(1) Riza: Sri, Dewi kuliah di mana, ya?
Sri: Dia tidak kuliah di USI seperti kau, tapi di UISU.
Dalam dialog (1) Sri memberikan kontribusi yang melanggar maksim
kualitas. Hal itu menimbulkan Riza berpikiran agak lama untuk mengetahui
mengapa Sri memberikan kontribusi seperti itu yang ia anggap salah. Riza
tidak mengharapkan Sri memberikan kontribusi seperti itu. Dengan bukti-bukti
yang memadai akhirnya Riza mengetahui bahwa Sri salah karena

membandingkan Riza yang kuliah di UISU sedangkan Dewi di USI. Dari
jawaban Sri itu dapat diketahui bahwa kuliah di UISU lebih baik daripada di
USI. Dengan demikian, jawaban Sri itu merupakan suatu ejekan bagi Riza.
(2) Riza: Sri, Dewi kuliah dimana, ya?
Sri: Dia kuliah di UISU, Universitas Islam Sumatera Utara.
Dalam dialog (2) jawaban Sri dianggap sudah menyatakan atau
memberikan kontribusi yang sebenarnya. Dengan demikian, jawaban Sri sudah
benar.

3. Maksim Hubungan atau Relevansi (MRel)
Setiap peserta pembicaraan harus memberikan kontribusi yang berhubungan
atau relevan dengan masalah pembicaraan.
(1) Perkataan Anda harus relevan atau berhubungan atau sesuai; dan
(2) Berikan informasi yang relevan saja.
Contoh MRel adalah:
(1) Fajar: Dimana kotak permenku?
13
Universitas Sumatera Utara

Firman: Di kamar belajarmu.

Dalam dialog (1), informasi yang disampaikan Firman ada relevansinya
dengan pertanyaan Fajar. Jawaban Firman, “Di kamar belajarmu” ada
relevansinya dengan pertanyaan Fajar, “Di mana kotak permenku?”.
(2) Fajar: Dimana kotak permenku?
Firman: Anak-anak masuk ke dalam kamar belajarmu pagi tadi.
Dalam dialog (2), informasi yang disampaikan Firman ada relevansinya
dengan pertanyaan Fajar dengan nalar sebagai berikut. Walaupun Firman tidak
mengetahui jawaban itu dapat membantu Fajar mendapatkan jawaban yang
benar karena jawaban yang benar Fiman mengandung implikasi bahwa
mungkin anak-anaklah yang memakan permen atau gula-gula tersebut, atau
mereka setidak-tidaknya tahu di mana permen itu.

4. Maksim Cara atau Maksim Pelaksanaan (MPel)
Setiap peserta pembicara berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa
(ambigu), dan tidak berlebihan serta runtut.
(1) Hindari ketidakjelasan atau kekaburan
(2) Hindari kesibukan
(3) Hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu
(4) Anda harus berbicara teratur.
Contoh MPel adalah:

(1) Ucok: Siapa teman Anda orang Korea itu?
Ujang: K-I –M E-O-K S-O-O.
Ucok: Bengong.
14
Universitas Sumatera Utara

Dalam dialog (1), jawaban Ujang merupakan jawaban yang kabur atau
tiddak jelas karena jawabannya dilakukan dengan mengeja. Nama orang itu
KIMEOKSOO dalam bahasa Korea yang ditulis dengan huruf Hanggul, tetapi
pengucapannya dieja sehingga mengaburkan bagi pendengarnya, yaitu Ucok.
(2) Ucok: Itu dia, guru baru datang.
Ujang: Dia guru baru?
Ucok: Bukan.
Dalam dialog (2), kalimat yang disampaikan Ucok, “Guru baru datang”
menimbulkan ketaksaan atau mengandung makna lebih dari satu, yaitu “Guru,
baru datang” dan “Guru baru, datang.”
(3) Orang tua murid: Atas perhatian, kebijaksanaan, dan kemurahan hati
Bapak, saya ucapkan beribu banyak terima kasih.
Guru: Sama-sama.
Dalam dialog (3) dapat dilihat bahwa sebenarnya pernyataan yang
disampaikan oleh orang tua murid itu berlebihan. Dia mengatakan “Atas
perhatian, kebijaksanaan, dan kemurahan hati Bapak, saya ucapkan beribu
banyak terima kasih.” Sebenarnya orang tua murid itu cukup dengan
mengucapkan, “Atas perhatian Bapak, saya ucapkan terima kasih,” atau “Atas
kebijaksanaan Bapak, saya ucapkan terima kasih.” Kalimat-kalimat itu lebih
efektif daripada kalimat-kalimat yang diucapkan orang tua murid itu.
(4) Tini: Bagaimana rumah yang baru Anda beli?
Tono: Alhamdulillah, cukup memuaskan bagi keluarga saya.
Dalam dialog (4), dapat dinilai betapa jelas dan runtut informasi yang
disampaikan oleh Tono. Tono memberi informasi tentang rumah yang baru

15
Universitas Sumatera Utara

dibelinya dengan menggunakan bahasa yang efektif, bahasa yang digunakan
bersesuaian dengan konsep yang ingin disampaikan, yaitu tentang rumah yang
baru dibelinya sehingga menimbulkan kejelasan bagi Tini.

2.2.3 Prinsip Kesantunan (PS)
Prinsip kesantunan juga termasuk kaidah yang perlu diperhatikan oleh
setiap peserta percakapan agar komunikasi berjalan dengan nyaman dan penuh
kesantunan. Prinsip kesantunan yang sampai dengan saat ini dianggap paling
lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif telah dirumuskan oleh
Leech (1983). Kemudian Tarigan (dalam Rahardi, 2005:59) menerjemahkan
maksim-maksim dalam PS yang dirumuskan oleh Leech (1983) sebagai berikut.
1. Maksim Kebijaksanaan (MKb)
(1) Kurangi kerugian orang lain.
(2) Tambahi keuntungan orang lain.

2. Maksim Kedermawanan (MKd)
(1) Kurangi keuntungan diri sendiri.
(2) Tambahi pengorbanan diri sendiri.

3. Maksim Penghargaan (MPh)
(1) Kurangi cacian pada orang lain.
(2) Tambahi pujian pada orang lain.

16
Universitas Sumatera Utara

4. Maksim Kesederhanaan (MKh)
(1) Kurangi pujian pada diri sendiri.
(2) Tambahi cacian pada diri sendiri.

5. Maksim Permufakatan (MPf)
(1) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
(2) Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.

6. Maksim Kesimpatian (MKs)
(1) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
(2) Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
(Tarigan, 1990: 82-83)

17
Universitas Sumatera Utara

2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka dilakukan untuk mendukung penelitian yang sedang
dilakukan. Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, maka ada
beberapa sumber yang relevan untuk membantu penelitian ini.
Tresnawati

(2005),

dalam

skripsinya

yang

berjudul

“Implikatur

Percakapan Sebagai Unsur Utama Pengungkapan Humor dalam Wacana Komedi
Situasi Bajai Bajuri”, membahas tentang perwujudan prinsip kerja sama, prinsip
kesantunan, dan tipe-tipe humor atas dasar motivasi, topik, dan teknik
penciptaannya sebagai penyebab timbulnya implikatur percakapan yang menjadi
unsur utama pengungkapan humor. Metode yang digunakan dalam penelitiannya
ini adalah metode deskriptif bersifat kualitatif. Untuk mengumpulkan data, dia
menggunakan metode simak dan data dianalisis dengan menggunakan metode
padan. Dia menggunakan teori implikatur percakapan yang diungkapkan Grice
dan prinsip kesantunan yang diungkapkan Leech. Dari hasil analisis penelitiannya
diperoleh temuan bahwa ternyata bukan hanya pelanggaran yang menimbulkan
implikatur percakapan, namun bentuk pematuhan terhadap prinsip kerja sama
Grice, prinsip kesantunan Leech, dan tipe-tipe humor berdasarkan topik, motivasi,
dan teknik penciptaannya pun dapat menimbulkan implikatur percakapan dengan
maksud menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan
oleh penutur di dalam suatu percakapan yang berfungsi sebagai unsur utama
pengungkapan humor. Penelitiannya ini memberi sumbangan bagi peneliti dalam
menganalisis prinsip kesantunan/sopan santun.
Nasution (2009), dalam tesisnya yang berjudul “Implikatur Percakapan
dalam Acara Debat Kandidat Calon Kepala Daerah DKI Jakarta”, membahas

18
Universitas Sumatera Utara

tentang prinsip kerja sama dalam maksim percakapan yang dilanggar ataupun
yang sulit dihindari dalam debat kandidat calon kepala daerah DKI Jakarta.
Metode yang digunakan dalam penelitiannya adalah metode deskriptif bersifat
kualitatif. Untuk mengumpulkan data, dia menggunakan metode simak dan data
dianalisis dengan menggunakan metode padan. Dia menggunakan teori implikatur
percakapan yang diungkapkan Grice dalam penelitiannya. Dari hasil analisis
penelitiannya diperoleh temuan bahwa telah terjadi pelanggaran maksim
percakapan yang dilakukan oleh para calon cagub dan cawagub yaitu maksim
kualitas, maksim relevansi, maksim kuantitas, dan maksim cara. Pelanggaran
terjadi disebabkan tanggapan-tanggapan yang dikemukakan para kandidat tidaklah
relevan terhadap pertanyaan panelis, tidak jelas, kurang memiliki bukti, dan
memberikan informasi lebih dari yang ditanyakan. Tesis ini bermanfaat bagi
penulis dalam memahami prosedur penelitian deskriptif-kualitatif, mengetahui
cara menganalisis data, dan menggunakan teori implikatur pada data yang akan
dianalisis.
Astuti (2011), dalam skripsinya yang bejudul “Analisis Implikatur
Percakapan Tokoh Chieko dalam Novel Koto Karya Yasunari Kawabata”,
membahas tentang implikatur percakapan yang timbul akibat terjadinya
pelanggaran prinsip kerja sama Grice serta alasan terjadinya pelanggaran tokoh
Chieko dalam novel Koto karya Yasunari Kawabata. Metode yang digunakan
dalam penelitiannya ini adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Teori
yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah teori implikatur percakapan yang
diungkapkan Grice dalam penelitiannya. Hasil dari penelitiannya ini adalah bahwa
dalam 22 ujaran Chieko yang dinyatakan melanggar maksim tutur, terdapat 14

19
Universitas Sumatera Utara

pelanggaran maksim relevansi, 10 pelanggaran maksim kuantitas, 8 pelanggaran
maksim kualitas, dan 7 pelanggaran maskim cara. Berdasarkan analisis data
implikatur-implikatur tersebut muncul untuk alasan, (1) Penutur ingin
memberikan informasi kepada mitra tutur, (2) penutur ingin mengalihkan
pembicaraan, (3) Penutur ingin menjaga kesopanan, (4) Penutur ingin menutupi
sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh mitra tutur, (5) Penutur ingin menolak
secara halus, (6) Penutur ingin meminta sesuatu kepada mitra tuturnya, (7)
Penutur ingin memperoleh informasi dari mitra tutur. Penelitiannya ini memberi
sumbangan bagi peneliti dalam memahami penggunaan teori implikatur
percakapan pada data percakapan di novel.
Nurhidayati (2013), dalam skripsinya yang berjudul “Implikatur
Percakapan Iklan Produk Kosmetik di Televisi: Tinjauan Pragmatik”, membahas
tentang implikatur percakapan yang digunakan iklan produk kosmetik di televisi,
dan jenis-jenis tindak tutur ilokusi yang terdapat dalam bahasa iklan produk
kosmetik di televisi. Teori yang digunakan dalam penelitiannya ini adalah teori
implikatur oleh Grice dan tindak tutur oleh Austin dan Searle. Metode yang
digunakan dalam penelitiannya ini adalah metode simak dan dianalisis
menggunakan metode padan. Hasil penelitiannya ini menunjukkan bahwa
implikatur percakapan iklan produk kosmetik di televisi terjadi karena melanggar
maksim-maksim percakapan yang dikemukakan Grice. Maksim-maksim yang
dilanggar adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara. Iklan
produk kosmetik di televisi memiliki jenis implikatur konversasional. Bahasa
iklan produk di televisi ini juga ditemukan tiga jenis tindak tutur yaitu: (1) tindak
lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Berdasarkan lima kategori

20
Universitas Sumatera Utara

tindak tutur ilokusi yang dikemukakan Searle, disimpulkan bahwa bahasa iklan
produk kosmetik di televisi mengandung ilokusi representatif jenis mengusulkan,
direktif jenis menyuruh, komisif jenis menawarkan, dan ekpresif jenis memuji.
Penelitiannya ini memberi sumbangan bagi peneliti dalam memahami teori
implikatur percakapan.
Mukaromah (2013), dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pelanggaran
Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Kolom Sing Lucu pada Majalah
Penjebar Semangat edisi Februari-Juni 2012” membahas tentang jenis dan bentuk
pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Metode yang digunakan
dalam penelitiannya ini adalah metode deskriptif. Teknik pengumpulan data
digunakan teknik simak. Di dalam penelitiannya tersebut ditemukan pada prinsip
kerja sama yaitu pelanggaran maksim kuantitas sebanyak 41 tuturan, maksim
kualitas sebanyak 8 tuturan, maksim relevansi sebanyak 16 tuturan, dan maksim
pelaksanaan sebanyak 4 tuturan. Pada prinsip kesopanan yaitu pelanggaran
maksim kebijaksanaan sebanyak 8 tuturan, maksim penerimaan sebanyak 2
tuturan, maksim kemurahan sebanyak 30 tuturan, maksim kerendah hati sebanyak
11 tuturan, maksim kecocokan sebanyak 17 tuturan, dan maksim kesimpatian
sebanyak 2 tuturan. Penelitiannya ini memberi sumbangan bagi peneliti dalam
menganalisis prinsip kesopanan/kesantunan.

21
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Implikatur Percakapan pada Novel "99 Cahaya di Langit Eropa" Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

3 19 126

Representasi Religi pada Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA

9 113 121

NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: TINJAUAN SEMIOTIKA Nilai Religius dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra: Tinjauan Semi

0 3 18

NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA: TINJAUAN SEMIOTIKA Nilai Religius dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra: Tinjauan Semi

1 3 12

Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

0 0 8

Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

0 0 2

Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

0 0 6

Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

0 0 1

Implikatur Percakapan dalam Novel Bulan Terbelah di Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

0 0 11

NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA ALMAHENDRA | novianti | LITERASI 779 3047 1 PB

0 0 9