Perjanjian Sewa Menyewa Ruangan Toko (Studi Pada Pusat Perbelanjaan Ramayana Buana Plaza Medan)
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERJANJIAN
A.
Pengertian dan Lahirnya Perjanjian
Setiap manusia akan selalu terikat antara satu dengan yang lain untuk
dapat melangsungkan hidupnnya sehingga dengan adanya hubungan antarsesama
manusia itu dapat memberikan solusi dari masalah yang akan muncul.Manusia
sebagai makhluk sosial yang bertujuan untuk mempertahankan hidup dan
kepentingannya tersebut membuat manusia mengatur hubungan usaha atau bisnis
dalam sebuah perjanjian.
Di dalam perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang
lain tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena
adanya “tindakan hukum” atau rechtshandeling. Tindakan atau perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum
perjanjian sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk
memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri
dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.
Dalam bahasa Belanda, perjanjian disebut overeenkomst dan hukum
perjanjian adalah overeenkomstenrecht.11
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pada Pasal 1313, yakni bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian
11
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-Asas
Hukum Perdata), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2000), hal. 204.
18
Universitas Sumatera Utara
19
yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap tetapi dengan pengertian ini sudah
jelas bahwa dalam perjanjian terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak
lain. Pengertian ini seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang
saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya jika hanya disebutkan bahwa
satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka seolah-olah yang dimaksud
hanya perjanjian sepihak, tetapi jika disebutkan juga tentang adanya dua pihak
yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik
perjanjian sepihak maupun dua pihak.12
Berdasarkan pendapat para sarjana dapat diketahui bahwa menurut Subekti
suatu perjanjian adalahperistiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjianperjanjian itu dibagi dalam tiga macam yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (misalnya jual
beli, tukar, sewa, hibah, dan lain-lain).
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu (misalnya perjanjian perburuhan dan lainlain).
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (misalnya tidak membuat tembok yang
tinggi).
Dari peristiwa ini maka timbullah suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya.Perjanjian merupakan bagian dari perikatan,
oleh
karena
itu
perikatan
lebih
luas
dari
pada
perjanjian.Dalam
12
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, hal. 63-64.
Universitas Sumatera Utara
20
bentuknya,perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.13
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum
di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.14
Menurut R.Wirjono perjanjian merupakan hubungan hukum mengenai
harta benda antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk
melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal sedangkan pihak lain
berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian.15
Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu merupakan hubungan
hukum dengan adanya kesepakatan antara para pihak dimana kesepakatan yang
dimaksud yakni adanya persesuaian kehendak antara para pihak yaitu dengan
bertemunya antara penawaran dan penerimaan sehingga perjanjian ini bersifat
konkret.
Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,
dapat dibuat secara lisan, dan andaikata dibuat tertulis maka perjanjian ini bersifat
sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.16Untuk beberapa perjanjian,
undang-undang menentukan bentuk-bentuk apabila bentuk itu tidak dituruti maka
perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidak sah hanya
semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi merupakan syarat adanya
perjanjian.
13
R. Subekti(2), Hukum Perjanjian cetakan XI, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hal. 1.
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta,
1987), hal. 49.
15
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: PT Bale, 1989), hal. 7.
16
Hasim Purba, Modul Kuliah Hukum Perikatan, (Medan: Perpustakaan USU, 2010), hal.
34.
14
Universitas Sumatera Utara
21
Perjanjian tertentu atau khusus dalam prakteknya memiliki beragam
bentuk misalnya tukar-menukar, pinjam, hibah atau pemberian, penanggungan
hutang, jual beli, sewa-menyewa maupun leasing dan masih banyak lagi
ragamnya.
Di dalam masyarakat ada 2 kemungkinan lahirnya perjanjian itu yaitu :
1. Sejak terjadinya kata sepakat para pihak. Yakni kesepakatan itu sebenarnya
sudah cukup secara lisan, hanya saja supaya lebih kuat mengikat bagi pihakpihak itu dapat dilakukan secara tertulis, baik dengan akta ataupun tanpa akta.17
2. Sejak pernyataan sebelah-menyebelah bertemu yang kemudian diikuti sepakat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perjanjian itu timbul
karena :
1. Persetujuan (Overeenkomst).
2. Dari Undang-Undang.
a. Perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Persetujuan atau overeenkomstdapat juga disebut “Contract”. Yang berarti
suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada
seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Tindakan atau perbuatan
(handeling) yang menciptakan persetujuan, berisi “pernyataan kehendak” (wils
verklaring) antara para pihak.Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada
“persesuaian kehendak” antara para pihak. Persesuaian kehendak atau pernyataan
kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan, dan lain-lain. Pihak yang satu
menawarkan atau memajukan “usul” serta pihak yang lain menerima atau
menyetujui usul tersebut.Jadi dalam persetujuan terjadi acceptance atau
17
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil,Op.Cit., hal. 228.
Universitas Sumatera Utara
22
penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya penawaran atau usul serta
persetujuan oleh pihak lain atas usul, maka lahirlah “persetujuan” atau “kontrak”
yang “mengakibatkan ikatan hukum” bagi para pihak.18
Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling
“memberatkan” atau “pembebanan” kepada para pihak kreditur dan debitur
seperti yang jumpai dalam persetujuan jual-beli, sewa-menyewa, pengangkutan,
dan lain-lain. Akan tetapi sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya
menjadi ciri persetujuan.Pembebanan terkadang hanya diletakkan kepada
keuntungan sepihak, seperti dalam pemberian hibah (schenking).Namun ciri
umum dari setiap kontrak ialah bersifat partai yang saling memberatkan (jual-beli,
sewa-menyewa, persetujuan kerja, dan lain-lain).Dan sepanjang tinjauan dari
sudut persoon yang menjadi pelaku persetujuan, bisa saja terjadi tindakan hukum
sepihak, dua pihak atau banyak pihak.Hal ini terjadi karena pernyataan keinginan
tadi tidak hanya berupa satu pernyataan saja tetapi mungkin beberapa pernyataan
kehendak.
b. Perjanjian yang lahir dari undang-undang.
Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal
1352 KUH Perdata :
1). Semata-mata dari undang-undang.
2). Dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.
Persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena undangundang tidak terlalu dibahas dikarenakan pada umumnya persetujuan telah diatur
tersendiri dalam ketentuan yang jelas. Sedangkan persetujuan atau perjanjian yang
18
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
23
lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia dapat dibedakan
sesuai dengan ketentuan Pasal 1353 KUH Perdatayaitu ;
1).Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatig.
2). Karena perbuatan dursila atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum
(onrechtmatige daad).
Ketetapan mengenai kapan perjanjian timbul mempunyai arti yang
pentingbagi :
1. Penentuan risiko.
2. Kesempatan penarikan kembali penawaran.
3. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa.
4. Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Penetapan
mengenai
lahirnya
atau
timbulnya
perjanjian
telah
menimbulkan beberapa teori yakni :
a. Teori Pernyataan (Uitingstheorie).
Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat atas suatu penawaran atau
telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain perjanjian itu ada pada
saat pihak lain menyatakan penerimaan atau akseptasinya. Pada saat tersebut
pernyataan kehendak dari orang yang menawarkan dan akseptor saling bertemu.19
b. Teori Pengiriman (Verzendingstheorie).
Dengan menetapkan bahwa saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat
lahirnya perjanjian, maka orang mempunyai pegangan yang relatif pasti mengenai
saat terjadinya perjanjian.Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan, sebab
sejak saat surat dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi atas surat
19
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, (Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 257.
Universitas Sumatera Utara
24
jawaban tersebut. Teori ini merupakan perbaikan atas keberatan teori
pernyataan.20
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Teori ini adalah teori yang paling sesuai dengan prinsip bahwa perjanjian
lahir atas dasar pertemuan dua kehendak yang dinyatakan (pernyataan kehendak),
dan kedua pernyataan kehendak itu harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.21
d. Teori Pitlo
Perjanjian itu lahir pada saat dimana orang yang mengirimkan jawaban
secara patut boleh mempersangkakan (beranggapan), bahwa orang yang diberikan
jawaban mengetahui jawaban itu.Dengan demikian jawaban itu harus sudah
sampai pada orang yang dituju dan terlepas dari apakah si penerima jawaban
secara riil sudah mengetahui isi jawaban atau belum sesudah lewat jangka waktu
tertentu yang dengan melihat kepada keadaan kiranya patut dipersangkakan
bahwa orang itu mengetahui jawaban itu maka perjanjian itu lahir.22
e. Teori Penerimaan (Ontvangsttheorie).
Didalam teori ini pada saat diterimanya jawaban, tidak diperdulikan
apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, untuk menentukan saat
lahirnya sepakat. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si
penerima surat.23
20
Ibid., hal. 258.
Ibid., hal. 259.
22
Ibid., hal. 260.
23
Ibid., hal. 262.
21
Universitas Sumatera Utara
25
B. Asas – Asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian
Asas hukum merupakan suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah
umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi
perbuatan itu.
Asas-asas hukum bukan merupakan hukum konkrit tetapi merupakan
pikiran dasar umum dan abstrak atau latar belakang peraturan konkrit yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif.Asas hukum dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat
atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima asas penting dalam hukum
perjanjian. Asas-asas penting dalam hukum perjanjian itu antara lain sebagai
berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian
apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang.24
Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif
(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab).Asas inilah yang menyebabkan
hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian
sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan
hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri
yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka
24
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
26
tidakmengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu
tunduk pada undang-undang yang dalam hal ini Buku III KUH Perdata.
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuanPasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Walaupun berlaku asas ini kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh
tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.25 Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi :
“ Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara emberional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui
ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, John Locke, dan Rosseau.
Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang
25
Ibid., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
27
dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan
berkontrak”.26
Asas kebebasan berkontrak melalui perkembangannya mengalami
beragam pembatasan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1. Munculnya aliran didalam masyarakat menuju kepada keadilan sosial yang
merupakan terciptanya keseimbangan dalam masyarakat.
2. Munculnya bentuk persekutuan dalam lapangan lalu lintas perekonomian
menjadi sebuah perseroan yang semakin besar sehingga kebebasan pribadi
menjadi terbatas.
3. Munculnya keformalitasan yang diciptakan oleh pihak sendiri.
2. Asas Konsensualisme
Kata konsensualisme berasal dari bahasa latinconsensus yang berarti
sepakat. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata.Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian,
yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak.Asas konsensualisme artinya
perjanjian itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak.
Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum
sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak.Perjanjian menurut KUH Perdata secara umum bersifat
konsensual, kecuali beberapa perjanjian tertentu yang merupakan perjanjian riil
atau formal.27
26
27
Salim H.S,Op.Cit., hal. 9.
Budiman N.P.D. Sinaga, Op.Cit., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
28
Asas konsensualisme muncul dari hukum Romawi dan hukum Jerman.Di
dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal
adalah perjanjian riil dan perjanjian formil.Perjanjian riil adalah suatu perjanjian
yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat) atau
perjanjian yang baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah
diserahkan.Contoh dari perjanjian riil adalah utang piutang, pinjam pakai, dan
penitipan barang.Sedangkan yang disebut perjanjian formil adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
autentik maupun akta di bawah tangan).28
Dalam hukum Romawi dikenal dengan istilah Contractus Verbis Literis
dan Contractus Innominaat yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.Asas konsensualisme yang dikenal di
dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu dapat dibuat secara
lisan saja dan juga dapat dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika
dikehendaki sebagai alat bukti.Perjanjian yang dibuat secara lisan saja didasarkan
pada asas bahwa “manusia itu dapat dipegang perkataannya”, artinya dapat
dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya.Namun demikian ada beberapa
perjanjian tertentu yang harus dibuat secara tertulis misalnya perjanjian
perdamaian, perjanjian penghibahan, perjanjian pertanggungan.Tujuannya tidak
lain sebagai alat bukti lengkap dari apa yang mereka perjanjikan.29Perjanjian
dengan bentuk formalitas tertentu semacam ini disebut perjanjian formal.
28
Salim H.S, Op.Cit., hal. 10.
Komariah, Hukum Perdata, cetakan ketiga, (Malang: Penerbitan Universitas
Muhamadiyah, 2004), hal. 228.
29
Universitas Sumatera Utara
29
3. AsasMengikatnya Suatu Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum.Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.Asas pacta sunt servanda
adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang.Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.30
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi :
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Asas pacta sunt servanda pada awalnya dikenal di dalam hukum
gereja.Yakni disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah.Namun dalam
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti
sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas
lainnya.Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja.31
4. Asas Itikad Baik
Menurut R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian itikad baik itu
dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian karena
itikad baik merupakan landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian
dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.
30
Salim H.S., Loc.Cit.
Ibid., hal. 11.
31
Universitas Sumatera Utara
30
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad
baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Dalam Pasal 1338 ayat (3) hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi
pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan
atau keadilan.32 Jika di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dapat di pandang
sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka
pada ayat ketiga ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Kepastian
hukum menghendaki supaya apa yang akan diperjanjikan harus dipenuhi. Namun
dalam menuntut dipenuhinya janji itu tidak boleh meninggalkan norma-norma
keadilan atau kepatutan.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari
pada untuk dirinya sendiri.Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan
perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara
pihak-pihak yang membuatnya.”Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
32
R. Subekti(2),Op.Cit., hal. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
31
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.Namun ketentuan itu ada
pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata
yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga,
bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian orang
lain mengandung suatu syarat semacam itu.”Pasal ini mengkonstruksikan bahwa
seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan
suatu syarat yang ditentukan.Sedangkan pada Pasal 1318 KUH Perdata, tidak
hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika
dibandingkan diantara kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318
KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang
yang memperoleh hak daripadanya.33
C. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui
perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, tetapi juga
telah dikemukakan kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat
perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk
sahnya suatu perjanjian.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan perbuatan-perbuatan apa yang
harus dilakukan oleh seseorang agar para pihak dapat secara sah melahirkan hak
33
Salim H.S, Op.Cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
32
hak dan kewajibannya bagi mereka atau pihak ketiga yang jika diperlukan dapat
dimintakan bantuan pihak pengadilan dalam pemenuhannya, dengan kata lain
akan diatur apakah syaratnya agar para pihak yang saling mengadakan janji
dikatakan telah mengadakan perjanjian.34
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata tersebut untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu :35
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Pasal 1320 KUH Perdata ini merupakan pasal yang sangat popular karena
menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu
perjanjian.Dalam hal ini syarat sahnya perjanjian dibagi dalam dua bagian, yaitu
syarat subjektif dan syarat objektif.
1. Syarat Subjektif
Dikatakan sebagai syarat subjektif yaitu karena syarat dari perjanjian itu
berkaitan dengan pihak yang membuat perjanjian (subjek perjanjian).
Syarat subjektif ini terdiri atas :
a. Adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan
atau saling menyetujui kehendak masing-masing yaitu dengan bertemunya antara
penawaran
(offer)
dan
penerimaan
(acceptence)
sebagai
unsur
dari
34
35
Hasim Purba, Op.Cit., hal. 41.
Ahmadi Miru, Sakka Pati., Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
33
kesepakatanyang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak adanya paksaan,
kekeliruan, dan penipuan.36
Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka kedua
belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Para pihak tidak
mendapatkan suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan
kehendak tersebut.37
Menurut Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat
harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan
kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni
dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak dalam Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata antara lain :
1. Kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tetapi
kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau
objeknya.
2. Paksaan atau dwang(Pasal 1323-1327 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk menyatakan
kehendaknya atau bukan karena kehendaknya sendiri namun dipengaruhi oleh
orang lain. Paksaan itu berwujud kekerasan jasmani atau ancaman (akanmembuka
36
37
Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 205.
Hasim Purba, Op.Cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
34
rahasia) yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat
perjanjian.
Paksaan yang dapat mengakibatkan pembatalan persetujuan ialah ancaman
dengan penganiayaandengan pembunuhan atau dengan membongkar suatu
rahasia.38Dalam mempertimbangkan sifat ancaman ini harus diperhatikan kelamin
serta kedudukan dari orang-orang yang bersangkutan (ayat 2 dari Pasal 1324
KUH Perdata).Ancaman ini juga dapat dilakukan oleh orang ketiga atau terhadap
suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis lurus keatas atau kebawah dari
pihak yang bersangkutan (Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUH Perdata). Jika suatu
pihak, untuk menyetujui suatu perjanjian didorong oleh ketakutan saja karena
hormat ayah, ibu, atau lain sanak keluarga dalam garis lurus keatas maka menurut
Pasal 1326 KUH Perdata ini tidak merupakan alasan pembatalan persetujuan.
Pasal 1327 KUH Perdata mengenaipengesahan atau penguatan secara tegas atau
secara diam-diam dari suatu persetujuan yang diadakan dengan paksaan.
3. Penipuan atau bedraq (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran
yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk
menyepakati.
Orang yang menyetujui membuat perjanjian karena ditipu dapat meminta
pembatalan perjanjian tersebut, apabila orang itu tidak akan membuat
perjanjianseandainya orang tersebut tidak ditipu. Hal ini dapat dilakukan apabila
memang penipuan itu terbukti secara hukum.
38
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
35
Cara yang paling tepat untuk membuktikan adanya penipuan tersebut
adalah adanya putusan pengadilan dalam perkara pidana yang menghukum pihak
yang dinyatakan menipu tersebut.
4. Penyalahgunaan keadaan atau undue influence( Tidak diatur didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpu pada kedua hal
berikut yakni :39
1. Penyalahgunaan keunggulan ekonomi.
2. Penyalahgunaan
keunggulan
kejiwaan
termasuk
tentang
psikologi,
pengetahuan, dan pengalaman.
Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya
terkadang salah satu pihak mempunyai rasa ketergantungan, suatu hal darurat,
tidak berpengalaman, atautidak tahu.Konsekuensi apabila ada penyalahgunaan
keadaan maka perjanjian itu dapat dibatalkan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan
perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan
tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu.40Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun
atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.Khusus untuk
orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap
walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Jadi janda ataupun duda
tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun.
39
40
Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 51.
Riduan Syahrani,Op.Cit., hal. 208.
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, orang
yang berada dibawah pengampuan, dan wanita bersuami. Apabila mereka
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka, dan bagi isteri ada
izin suaminya.Menurut hukum nasional Indonesia saat ini, wanita bersuami sudah
dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu lagi izin dari
suaminya. Hal ini diaturdalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA No. 3
Tahun 1963.41
Selain kecakapan, ada juga disebut dengan kewenangan melakukan
perbuatan hukum atau kewenangan membuat perjanjian.42Dikatakan ada
kewenangan apabila seseorang mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk
melakukan
perbuatan
hukum
tertentu,
dalam
hal
ini
membuat
perjanjian.Dikatakan tidak ada kewenangan apabila tidak membuat kuasa untuk
itu.
Akibat hukum ketidakcakapan atau ketidakwenangan membuat perjanjian
ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya
kepada hakim.Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang
berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.Apabila syarat
kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan.Artinya yakni salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan
untuk membatalkan perjanjian yang disepakati.Namun jika para pihak tidak
keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah.
41
42
Salim H.S, Op.Cit., hal. 24.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Syarat Objektif
Dikatakan sebagai syarat objektif yaitu karena syarat dari perjanjian itu
berkaitan dengan objek dari perjanjian.
Syarat objektif ini terdiri atas :
a. Suatu Hal Tertentu
Sebagai syarat ketiga dari sahnya perjanjian hal ini menerangkan tentang
harus adanya objek perjanjian yang jelas dan merupakan prestasi yang yang perlu
dipenuhi dalam suatu perjanjian.Hal yang diperjanjikan harus cukup jelas,
ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asalkan dapat dihitung atau
dijelaskan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya
adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.43Jika prestasi itu kabur sehingga
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan maka dianggap tidak ada objek perjanjian.
b. Suatu sebab yang halal
Causa yang halal yakni bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi
perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihakpihak.Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, isi perjanjian ialah hak milik
berpindah dan sejumlah uang diserahkan.
Dalam perjanjian sewa menyewa isi perjanjian ialah pihak yang satu
menginginkan kenikmatan atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya
43
Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
38
menghendaki sejumlah uang.Tujuannya ialah penguasaan barang itu diserahkan
dan sejumlah uang dibayar.Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal
apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum,dan
kesusilaan
(Pasal
1337
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata).Apabila syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal tidak dapat
terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.Artinya yakni bahwa dari awal
perjanjian itu dianggap tidak ada.44
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Masalah hapusnya perjanjian dapat juga disebut hapusnya persetujuan,
berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam
persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.Berakhirnya perjanjian
harus dibedakan dengan hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus
sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin masih tetap
ada.Seperti pada perjanjian sewa menyewa, dimana dalam perjanjian sewa
menyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk membayar uang sewa
belum berakhir karena belum dibayar.Walaupun pada umumnya jika perjanjian
hapus maka perikatannya pun hapus, begitu juga sebaliknya.
Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :45
a. Pembayaran (Betaling)
Pengertian pembayaran dalam hal ini harus difahami secara luas, tidak
hanya mengartikan bahwa pembayaran itu hanya terbatas pada pelunasan
44
45
Salim H.S, Op.Cit., hal. 25.
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 107.
Universitas Sumatera Utara
39
hutang.Karena dari segi yuridis teknis tidak selamanya pembayaran harus
berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu dapat juga dengan pemenuhan jasa
atau pembayaran dengan bentuk tak berwujud atau yang immaterial.
Dalam pasal 1382 KUH Perdata pada asasnya hanya orang yang
berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah, seperti
seorang yang turut berhutang atau seorang penanggung (borg). Namun pasal ini
selanjutnya menerangkan juga bahwa seorang pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dapat membayar secara sah, asal saja pihak ketiga itu bertindak
atas nama si berhutang atau bilamana ia bertindak atas namanya sendiri, asalkan
ia tidak menggantikan hak-haknya si berpiutang.46
Pemenuhan suatu prestasi dalam perjanjian seharusnya dilakukan sesuai
dengan hal yang telah diperjanjikan.Pembayaran harus dilakukan di tempat yang
ditentukan dalam perjanjian.Misalnya dalam hal tiada ketentuan tempat dan
pembayaran yang berupa uang, pembayaran itu harus dilakukan di tempat tinggal
si berpiutang. Jadi tiap pembayaran yang berupa uang, jika tidak ada ketentuan
lain harus diantarkan kerumah si berpiutang. Akan tetapi di dalam prakteknya,
peraturan ini sudah terdesak oleh kebiasaan yaitu pembayarannya diambil di
rumah si berhutang.47
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
adalah suatu cara hapusnya perjanjian dimana debitur hendak membayar utangnya
tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat menitipkan
46
R. Subekti(3), Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2001), hal. 153.
Ibid., hal. 154.
47
Universitas Sumatera Utara
40
pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Mengenai hal ini
diatur dalam Pasal 1404 sampai 1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebelum dilakukan penitipan uang atau barang di pengadilan sebelumnya
pihak si berutang melakukan dahulu penawaran pembayaran tunai kepada si
berpiutang.Apabila pihak si berpiutang menolak pembayaran maka barulah si
berutang melakukan penitipan uang atau barang di panitera pengadilan.48
Dengan dilakukannya penitipan di panitera pengadilan itu, maka akan
membebaskan si berutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai
pembayaran, asalkan penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut undangundang dan uang atau barang yang dititipkan di panitera pengadilan tetap akan
menjadi tanggungan si berpiutang.
c. Pembaruan Utang atau Novasi (Pasal 1413-1424 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
Novasi adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur dimana perikatan
yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru.
Novasi berdasarkan Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdiri dari tiga bentuk yaitu :49
1.
Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru sedangkan perjanjian
yang lama dihapuskan, hal ini disebut novasi objektif.
2.
Penggantian debitur dari debitur baru menggantikan debitur lama dan
debitur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif
yang pasif.
48
49
C.S.T. Kansil, Christine S.T.Kansil,Op.Cit., hal. 232.
Handri Raharjo(1), Op. Cit., hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
41
3.
Penggantian kreditur dari kreditur baru menggantikan kreditur lama dan
kreditur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi
subjektif yang aktif.
d. Perjumpaan Utang (kompensasi)
Perjumpaan Hutang adalah penghapusan masing-masing hutang dengan
jalan saling memperhitungkan hutang yang sudah dapat ditagih antara debitur
dengan kreditur.Hal ini diatur dalam Pasal 1425-1435 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Perjumpaan hutang terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak
setahu orang-orang yang bersangkutan dan kedua hutang saling menghapuskan
pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk suatu
jumlah yang sama. Dalam hal ini seolah-olah perjumpaan hutang atau kompensasi
terjadi secara otomatis tanpa suatu usaha dari pihak yang berkepentingan.50
e. Percampuran Utang atau Konfisio
Mengenai percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 dan Pasal 1437
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Percampuran utang terjadi karena
kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu orang.Misalnya kreditur
meninggal dunia sedangkan debitur merupakan satu-satunya ahli waris atau
debitur kawin dengan kreditur dalam persatuan harta perkawinan.51Hapusnya
perikatan karena percampuran utang ini adalah demi hukum artinya secara
otomatis (Pasal 1436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).Sedangkan pada
Pasal 1437 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut bahwa percampuran
utang yang terjadi pada diri si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para
penanggung hutangnya.
50
Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 278.
Ibid., hal. 279.
51
Universitas Sumatera Utara
42
Hal-hal yang menyebabkan adanya percampuran utang ini yakni :52
1. Apabila terjadi perkawinan dengan percampuran harta antara si berpiutang
dengan si berutang.
2. Apabila si berutang menggantikan hak si berpiutang karena warisan.
f. Pembebasan Utang
Pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana kreditur melepaskan
haknya untuk menagih piutangnya kepada debitur.A. Pitlo berpendapat bahwa
kreditur hanya berhak membebaskan debitur secara sepihak jika ini tidak
merugikan debitur.Jika debitur mempunyai kepentingan terhadap adanya
perikatan itu, pembebasan sepihak tidak dapat dilakukan.Menurut Pasal 1438
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adanya pembebasan utang tidak boleh
dengan persangkaan tetapi harus dibuktikan.Didalam Pasal 1439 Kitab UndangUndang Hukum Perdata diatur tentang apabila pihak si berpiutang dengan
sukarela mengembalikan surat utang asli kepada pihak si berutang secara sukarela
maka dianggap sebagai pembebasan utangnya.53
g. Musnahnya Barang Yang Terutang
Musnahnya barang yang terutang diatur dalam Pasal 1444 dan 1445 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa dengan musnahnya barang tertentu yang menjadi
bahan perjanjian sehingga tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang atau tidak
diketahui lagi apakah masih ada barang itu diluar kesalahan si berutang dan
sebelumnya lalai menyerahkan maka perjanjian itu hapus.54Bahkan pengertian
tersebut dapat diperluas walaupun barang sudah berada di tangan si berpiutang
52
C.S.T. Kansil, Op.Cit., hal. 234.
Ibid., hal. 235.
54
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 70.
53
Universitas Sumatera Utara
43
dan kejadian itu diluar kesalahan si berutang.Biasanya di dalam kehidupan seharihari untuk mengatasi hal itu suatu barang akan diasuransikan pada pihak ketiga
yakni perusahaan asuransi.
h. Pembatalan Perjanjian
Hal ini diatur dalam Pasal 1446 sampai Pasal 1456 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.Permintaan pembatalan dilakukan oleh orang tua atau wali dari
pihak yang tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan kesepakatan karena
paksaan, kekhilafan atau penipuan.
Hal-hal yang menyebabkan timbulnya pembatalan perjanjian yaitu :
1. Pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum, yaitu
yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, berada di bawah pengampuan
(curatele) dan seorang wanita yang berada dalam perkawinan atau berstatus
sebagai istri.
2. Apabila perjanjian itu bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
3. Apabila perjanjian itu mempunyai unsur paksaan (dwang), kekeliruan
(dwaling) atau penipuan (bedrog).
Penuntutan pembatalan tidak akan diterima oleh hakim jika ternyata sudah
ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan. Karena orang yang telah
menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan padanya
dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
i. Berlakunya Suatu Syarat Batal
Berlakunya suatu syarat batal ini diatur di dalam Pasal 1265 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Yang artinya suatu syarat yang bila dipenuhi
Universitas Sumatera Utara
44
akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan
semula, yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Berlakunya syarat batal ini diatur dalam
perikatan-perikatan bersyarat.55
Ketentuan Pasal 1265 KUH Perdata didalam praktek tidak selamanya
dapat dilaksanakan.Oleh karena itu berlaku surutnya pembatalan tersebut
hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika mungkin dilaksanakan.56
Hal-hal lain mengenai berakhirnya suatu perjanjian diatur diluar Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yakni :
1. Lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam perjanjiannya.
2. Hilangnya atau meninggalnya seorang anggota dalam perjanjian, contohnya
karena perjanjian perseroan (maatschap) dan dalam perjanjian pemberian
kuasa (lastgeving).
3. Meninggalnya orang yang memberikan perintah.
4. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap.
5. Di dalam isi perjanjian ditegaskan hal-hal yang menghapuskan perjanjian itu.
6. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek
perjanjian atau prestasi.57
7. Adanya pemutusan pengadilan.
55
Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 99-100.
Riduan Syahrani, Op.Cit., hal. 284.
57
Handri Raharjo(1), Op.Cit., hal. 101.
56
Universitas Sumatera Utara