Analisis Pengaruh Tegangan Tidak Seimbang Terhadap Temperatur Motor Induksi Tiga Phasa

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motor Induksi
Motor induksi merupakan motor arus bolak-balik (AC) yang paling luas
digunakan dan dapat dijumpai dalam setiap aplikasi industri maupun rumah
tangga. Penamaannya berasal dari kenyataan bahwa arus rotor motor ini bukan
diperoleh dari sumber tertentu, tetapi merupakan arus yang terinduksi sebagai
akibat adanya perbedaan relatif antara putaran rotor dengan medan putar (rotating
magnetic field) yang dihasilkan arus stator [1].
Motor ini memiliki konstruksi yang kuat, sederhana, handal, serta berbiaya
murah. Di samping itu motor ini juga memiliki effisiensi yang tinggi saat
berbeban penuh dan tidak membutuhkan perawatan yang banyak. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan motor DC, motor induksi masih memiliki kelemahan dalam
hal pengaturan kecepatan. Dimana pada motor induksi pengaturan kecepatan
sangat sukar untuk dilakukan, sementara pada motor DC hal yang sama tidak
dijumpai.
2.2 Kostruksi Motor Induksi
Motor induksi pada dasarnya memiliki konstruksi stator yang sama
dengan motor sinkron, dan hanya terdapat perbedaan pada konstuksi rotor. Stator
dibentuk dari laminasi – laminasi tipis yang terbuat dari aluminium ataupun besi

tuang, dan kemudian dipasak bersama – sama untuk membentuk inti stator
dengan slot sepertiyang ditunjukkan gambar dua satu. Kumparan ( coil ) dari

5

konduktor – konduktor yang terisolasi ini kemudian disisipkan ke dalam slot –
slot tersebut.

(a)

(b)

Gambar 2.1 (a) Penampang inti stator, (b) Stator motor induksi

Rotor motor induksi tiga phasa dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu rotor
sangkar (squirrel cage rotor) dan rotor belitan (wound rotor). Rotor sangkar
terdiri dari susunan batang konduktor yang dibentangkan ke dalam slot – slot
yang terdapat pada permukaan rotor dan tiap – tiap ujungnya dihubung singkat
dengan menggunakan shorting rings.
Sementara itu pada rotor belitan, rotornya dibentuk dari satu set belitan

tiga phasa yang merupakan bayangan dari belitan statornya. Biasanya belitan tiga
phasa dari rotor ini terhubung Y dan kemudian tiap - tiap ujung dari tiga kawat
rotor tersebut diikatkan pada slip ring yang berada pada poros rotor. Pada
motor induksi rotor belitan, rangkaian rotornya dirancang untuk dapat
disisipkan dengan tahanan eksternal, yang mana hal ini akan memberikan
keuntungan dalam memodifikasi karakteristik torsi – kecepatan dari motor.
2.3 Medan Putar
Perputaran motor pada arus bolak-balik ditimbulkan oleh adanya medan
putar (fluks yang berputar) yang dihasilkan dalam kumparan statornya. Medan

6

putar ini terjadi apabila kumparan stator dihubungkan dalam fasa banyak,
umumnya phasa tiga [1].
�� = �� sin ��

(2.3.1�)

�� = �� sin (�� − 1200 )


(2.3.1�)

�� = �� sin(�� − 2400 )

(2.3.1�)

Gambar 2.2

Gambar 2.3

Arus Tiga Phasa Seimbang

Diagram phasor fluksi tiga phasa seimbang

i

ii

iii


iv

Gambar 2.4 Medan putar pada motor induksi tiga phasa

7

2.4 Prinsip Kerja Motor Induksi

Ketika medan magnetik memotong konduktor rotor, di dalam konduktor
tersebut akan diinduksikan ggl yang sama seperti ggl yang diinduksikan dalam
lilitan sekunder transformator oleh fluksi primer. Rangkaian rotor merupakan
rangkaian tertutup, baik melalui cincin ujung maupun tahanan luar. Ggl induksi
menyebabkan arus mengalir di dalam konduktor rotor. Sehingga dengan adanya
aliran arus pada konduktor rotor di dalam medan magnet yang dihasilkan stator,
maka akan dibangkitkan gaya ( F ) yang bekerja pada motor.
Untuk memperjelas prinsip kerja motor induksi tiga phasa, maka dapat
dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:
1. Pada keadaan beban nol ketiga phasa stator yang terhubung dengan
sumber tegangan tiga phasa yang setimbang akan menghasilkan arus pada
tiap belitan phasa arus pada tiap phasa menghasilkan fluksi bolak – balik

yang berubah -ubah.
2. amplitudo fluksi yang dihasilkan berubah secara sinusoidal dan arahnya
tegak lurus terhadap belitan phasa
3. akibat fluksi yang berputar timbul ggl pada stator motor yang besarnya :
�1 = −�

��
(����)
��

(2.2)

�1 = 4.44��1 � (����)

(2.3)

4. Resultan dari ketiga fluksi bolak – balik tersebut menghasilkan medan
putar yang bergerak dengan kecepatan sinkron ns yang besarnya
ditentukan oleh jumlah kutub p dan frekuensi stator f yang dirumuskan :
�� =


120�
(���)


(2.4)

8

5. fluksi yang berputar tersebut akan memotong batang konduktor pada
rotor. Akibatnya pada kumparan rotor timbul tegangan induksi sebesar E2
yang besarnya
�2 = 4.44��2 �� (����)

(2.5)

Dimana:

E2 = tegangan induksi pada rotor saat rotor dalam keadaan diam (volt)
N2 = jumlah lilitan rotor

Φm = fluksi maksimum (Wb)
6. karena kumparan rotor merupakan rangkaian tertutup, maka ggl tersebut
akan menghasilkan arus I2
7. adanya arus I2 di dalam medan magnet akan menimbulkan gaya F pada
rotor
8. Bila kopel mula yang dihasilkan oleh gaya F cukup besar untuk memikul
kopel beban, rotor akan berputar searah dengan medan putar stator.
9. perputaran rotor akan semakin meningkat hingga mendekati kecepatan
sinkron. Perbedaan kecepatan medan putar stator (ns) dengan kecepatan
rotor (nr) disebut slip (s) dan dinyatakan dengan :
�=

�� − ��
� 100%
��

(2.6)

10. pada saat rotor dalam keadaan berputar, besarnya tegangan yang
terinduksi pada kumparan rotor akan bervariasi tergantung besarnya slip.

Tegangan induksi ini dinyatakan dengan E2s yang besarnya :
�2� = 4.44���2 �� (����)
9

(2.7)

dimana :
E2s = tegangan induksi rotor dalam keadaan berputar (volt)
f2 = sf = frekuensi rotor ( frekuensi tegangan induksi pada rotor dalam
keadaan berputar )
11. bila ns = nr, tegangan tidak akan terinduksi dan arus tidak akan mengalir
pada kumparan rotor, sehingga tidak akan dihasilkan kopel. Kopel akan
dihasilkan jika nr< ns.

2.5 Rangkaian Ekivalen Motor induksi
Operasi dari motor induksi tergantung pada induksi arus dan tegangan di
dalam rangkaian rotor yang berasal dari rangkaian stator karena adanya aksi
transformator. Karena induksi arus dan tegangan pada motor induksi pada
dasarnya sama dengan operasi transformator, maka rangkaian ekivalen motor
induksi akan sangat menyerupai rangkaian ekivalen dari transformator. Motor

induksi disebut juga sebagai singly excited machine, sebab daya hanya disuplai
dari rangkaian stator.
Karena motor induksi tidak memiliki rangkaian medan, maka pada
modelnya tidak akan terdapat sumber tegangan internal EA sebagaimana
dijumpai pada mesin sinkron.
Rangkaian ekivalen per phasa dari transformator dapat menggantikan
operasi dari motor induksi. Sebagaimana halnya pada transformator, maka akan
terdapat tahanan (R1) dan induktansi sendiri (X1) pada belitan stator yang
direpresentasikan dalam rangkaian ekivalen mesin.

10

Gambar 2.5 Rangkaian ekivalen motor induksi sebagai model transformator

Tegangan stator E1 dikopel terhadap sisi sekunder ER sebagaimana halnya
transformator ideal dengan rasio belitan effektif aeff. Rasio belitan ini dengan
mudah dapat ditentukan pada motor induksi rotor belitan, yang mana pada
dasarnya rasio ini merupakan banyaknya konduktor per phasa pada stator terhadap
jumlah konduktor per phasa pada rotor. Akan tetapi tidak demikian halnya pada
motor induksi sangkar tupai, karena tidak terdapatnya belitan pada rotor motor

tersebut.
Tegangan ER pada rotor akan menghasilkan arus, karena rangkaian
rotornya terhubung singkat. Impedansi rangkaian primer dan arus magnitisasi dari
motor induksi sama halnya dengan komponen - komponen yang dijumpai pada
transformator. Hal yang membedakan rangkaian ekivalen tersebut pada motor
induksi dikarenakan terdapatnya variasi frekuensi pada tegangan rotor (ER),
impedansi rotor RR dan jXR.
Ketika

tegangan

diberikan

pada

belitan

stator,

maka


tegangan

akan diinduksikan pada belitan rotornya. Pada umumnya, gerak relatif yang lebih
besar di antara rotor dan medan putar stator, akan menghasilkan tegangan dan
frekuensi rotor yang lebih besar juga. Gerak relatif yang terbesar terjadi saat rotor
dalam keadaaan diam atau disebut juga dalam keadaan blocked rotor. Sebaliknya,
frekuensi dan tegangan terendah timbul saat rotor berputar pada kecepatan yang

11

sama dengan kecepatan sinkron, sehingga tidak terdapat pergerakan relatif.
Magnitud dan frekuensi tegangan induksi rotor pada saat berputar sebanding
dengan slip dari rotornya. Sehingga, besarnya tegangan induksi rotor dalam
kondisi rotor terkunci disebut ERO, sedangkan untuk slip pada suatu putaran
tertentu dirumuskan dengan :
��� = ����

(2.8)

�� = ���

(2.9)

Dan frekuensi induksi pada slip tertentu :

Tahanan dari rotor RR bernilai konstan/ tidak tergantung pada slip,
sementara itu pada reaktansi rotor besarnya akan dipengaruhi oleh slip.
Reaktansi dari rotor tergangtung pada induktansi rotor, frekuensi tegangan
rotor dan arus pada rotor. Bila induktansi rotor LR, maka reaktansi rotor adalah :
XR = ωr LR = 2 π fr LR : fr = sfe
Sehingga
XR = 2 π sfe LR
= s(2 π sfe LR)
= ����

(2.10)

LR = induktansi rotor
XRO = reaktansi blok rotor.

Gambar 2.6 Rangkaian ekivalen rotor motor induksi

12

Dari gambar 2.5.2 arus pada rotor dapat ditentukan sebagai :
�� =
�� =
�� =
Dimana :

��
�� + ���

(2.11)

��
�� + ����

(2.12)

��

(2.13)

��
� + ����

IR = arus rotor ( A )
ER = tegangan induksi pada rotor ( V )
RR = tahanan rotor ( Ώ )
XR = reaktansi rotor ( Ώ )
Dalam

teori

transformator,

analisa

rangkaian

ekivalen

sering

disederhanakan dengan mengabaikan seluruh cabang magnetisasi atau dengan
memindahkan langsung ke terminal primer. Pendekatan demikian tidak
dibenarkan dalam motor induksi yang bekerja dalam keadaan normal, karena
adanya celah udara yang menjadikan perlunya suatu arus magnetisasi yang sangat
besar (30% sampai 40% dari arus beban penuh). Untuk itu dalam rangkaian
ekivalen RC dapat diabaikan. Rangkaian ekivalennya adalah seperti pada gambar
2.5.3 :

Gambar 2.7 Rangkaian ekivalen motor induksi jika rugi-rugi inti diabaikan

13

2.6 Penentuan Parameter Motor induksi
Data yang diperlukan untuk menghitung performansi dari suatu motor
induksi dapat diperoleh dari hasil pengujian tanpa beban, pengujian rotor tertahan,
dan pengukuran tahanan dc lilitan stator.
2.6.1 Pengujian Tanpa Beban (No Load Test)
Pengujian tanpa beban pada motor induksi akan memberikan
keterangan berupa besarnya arus magnetisasi dan rugi – rugi tanpa beban.
Biasanya pengujian tersebut dilakukan pada frekuensi yang diizinkan dan
dengan tegangan tiga phasa dalam keadaan setimbang yang diberikan pada
terminal stator. Pembacaan diambil pada tegangan yang diizinkan setelah
motor bekerja cukup lama, agar bagian – bagian yang bergerak mengalami
pelumasan sebagaimanamestinya. Rugi – rugi rotasional keseluruhan pada
frekuensi dan tegangan yang diizinkan pada waktu dibebani biasanya
dianggap konstan dan sama dengan rugi – rugi tanpa beban.
Pada keadaan tanpa beban, besarnya arus rotor sangat kecil dan hanya
diperlukan untuk menghasilkan torsi yang cukup untuk mengatasi gesekan.
Karenanya rugi – rugi I2R tanpa beban cukup kecil dan dapat
diabaikan. Pada transformator rugi – rugi I2R primernya tanpa beban dapat
diabaikan, akan tetapi rugi – rugi stator tanpa beban motor induksi besarnya
cukup berarti karena arus magnetisasinya lebih besar. Besarnya rugi – rugi
rotasional PR pada keadaan kerja normal adalah :
���� = ��� − 3� 2 ���1

(2.14)

Dimana :
Pnl

= daya input tiga phasa
14

Inl = arus tanpa beban tiap phasa ( A )
R1 = tahanan stator tiap phasa ( ohm )
Karena slip pada keadaaan tanpa beban sangat kecil, maka akan
mengakibatkan tahanan rotor R2/s sangat besar. Sehingga cabang paralel rotor
dan cabang magnetisasi menjadi jXM di shunt dengan suatu tahanan yang
sangat besar, dan besarnya reaktansi cabang paralel karenanya sangat
mendekati XM. Sehingga besar reaktansi yang tampak Xnl yang diukur pada
terminal stator pada keadaan tanpa beban sangat mendekati X1 + XM, yang
merupakan reaktansi sendiri dari stator, sehingga :
Xnl = X1 + XM

(2.15)

Maka besarnya reaktansi diri stator, dapat ditentukan dari pambacaan
alat ukur pada keadaan tanpa beban. Untuk mesin tiga phasa yang terhubung
Y besarnya impedansi tanpa beban Znl/ phasa :

Znl =

Vnl

(2.16)

�3Inl

Di mana Vnl merupakan tegangan line, pada pengujian tanpa beban.
Besarnya tahanan pada pengujian tanpa beban Rnl adalah :
R nl =

Pnl
3I2 nl

(2.17)

Pnl merupakan suplai daya tiga phasa pada keadaan tanpa beban, maka
besar reaktansi tanpa beban
Xnl = �Z 2 nl − R2 nl

(2.18)

sewaktu pengujian beban nol, maka rangkaian ekivalen motor induksi
seperti gambar 2.6.1 berikut :

15

Gambar 2.8 Rangkaian ekivalen motor induksi pada percobaan beban nol

2.6.2

Pengujian Tahanan Stator ( DC Test )
Untuk menentukan besarnya tahanan stator R1 dilakukan dengan test

DC. Pada dasarnya tegangan DC diberikan pada belitan stator motor induksi.
Karena arus yang disuplai adalah arus DC, maka tidak terdapat tegangan yang
diinduksikan pada rangkaian rotor sehingga tidak ada arus yang mengalir
pada rotor. Dalam keadaan demikian, reaktansi dari motor juga bernilai nol,
oleh karena itu, yang membatasi arus pada motor hanya tahanan stator.
Untuk melakukan pengujian ini, arus pada belitan stator diatur pada
nilai rated, yang mana hal ini bertujuan untuk memanaskan belitan stator pada
temperatur yang sama selama operasi normal. Apabila tahanan stator
dihubung Y, maka besar tahanan stator/ phasa adalah :
�1 =

���
2���

�1 =

3���
2���

(2.19)

Bila stator dihubung delta, maka besar tahanan stator.
(2.20)

Dengan diketahuinya nilai dari R1, rugi – rugi tembaga stator pada
beban nol dapat ditentukan, dan rugi – rugi rotasional dapat ditentukan
sebagai selisih dari daya input pada beban nol dan rugi – rugi tembaga stator.
Gambar 2.6.2 menunjukkan salah satu bentuk pengujian DC pada stator

16

motor induksi yang terhubung Y.

Gambar 2.9 Rangkaian pengukuran untuk DC test

2.6.3

Pengujian Rotor Tertahan ( Block Rotor Test )
Pengujian ini bertujuan untuk menentukan parameter – parameter

motor induksi, dan biasa juga disebut dengan locked rotor test. Pada
pengujian ini rotor dikunci/ ditahan sehingga tidak berputar.
Untuk melakukan pengujian ini, tegangan AC disuplai ke stator dan
arus yang mengalir diatur mendekati beban penuh. Ketika arus telah
menunjukkan nilai beban penuhnya, maka tegangan, arus, dan daya yang
mengalir ke motor diukur.
Rangkaian ekivalen untuk pengujian ini ada pada gambar 2.21

Gambar 2.10 Rangkaian ekivalen motor induksi pada percobaan block rotor test

Saat pengujian ini berlangsung s = 1 dan tahanan rotor R2/s = R2.
Karena nilai R2 dan X2 begitu kecil, maka arus input akan seluruhnya
mengalir melalui tahanan dan reaktansi tersebut. Oleh karena itu, kondisi

17

sirkit pada saat ini terlihat seperti kombinasi seri X1, R1, X2, dan R2. Sesudah
tegangan dan frekuensi diatur, arus yang mengalir pada motor diatur dengan
cepat, sehingga tidak timbul kenaikan temperatur pada rotor dengan cepat.
Daya input yang diberikan kepada motor adalah :

Dimana :

��� = √3�� ��

(2.21)

VT = tegangan line pada saat pengujian berlansung
IL = arus line pada saat pengujian berlangsung
��

��� =

(2.22)

√3��

Dimana ZBR = impedansi hubung singkat
��� = ��� + ����

= ��� cos � + ���� sin �

(2.23)

��� = �1 + �2

(2.24)

Tahanan block rotor :

Sedangkan reaktansi block rotor X’BR = X1’ + X2’
X1’ + X2’ adalah reaktansi stator dan rotor pada frekuensi
pengujian
�2 = ��� − �1

(2.25)

Nilai dari R1 ditentukan dari test DC. Karena reaktansi berbanding
langsung dengan frekuensi, maka reaktansi ekivalen total ( XBR ) pada saat
frekuensi operasi normal
��� =

������

� ���
= �1 + �2
�����

(2.25)

Untuk memisahkan harga X1 dan X2, maka dapat digunakan tabel 1
18

Tabel 2.1 Distribusi reaktansi X1dan X2 pada berbagai desain motor induksi
Desain Kelas

X1

X2

A

0.5 XBR

0.5 XBR

B

0.4 XBR

0.6 XBR

C

0.3 XBR

0.7 XBR

D

0.5 XBR

0.5 XBR

Rotor Belitan

0.5XBR

0.5XBR

2.7 Tegangan Tidak Seimbang
Dalam sistem tiga phasa yang seimbang,tegangan line to netral memiliki
magnitude yang sama dan tiap – tiap sudut phasanya berbeda 120 derajat satu
sama lain. Apabila terdapat tegangan tiga phasa yang magnitudnya tidak sama dan
sudut fasanya mengalami pergeseran sehingga tidak berbeda 120 derajat satu
sama lain, maka dikatakan sistem tersebut memiliki tegangan tidak seimbang.
Penyebab tegangan tidak seimbang termasuk impedansi saluran transmisi
dan saluran distribusi yang tidak sama, distribusi beban – beban satu phasa yang
tidak merata dalam jumlah besar, dan lain – lain. Ketika beban tiga phasa
seimbang dihubungkan dengan sistem suplai yang tidak seimbang, maka arus
yang dialirkan ke beban juga tidak seimbang. Oleh karena itu sangat sulit / tidak
mungkin untuk menyediakan suatu sistem suplai seimbang yang sempurna kepada
konsumen, sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi

19

ketidakseimbangan tegangan untuk mereduksi pengaruhnya pada beban – beban
konsumen.

I

ii

Gambar 2.11 diagram vector tegangan seimbang; diagram vector tegangan tidak
seimbang

Metode yang biasa digunakan dalam menganalisa baik arus ataupun
tegangan dalam keadaaan tidak seimbang adalah dengan menggunakan komponen
– komponen simetris yaitu suatu metode yang secara matematis memecahkan
suatu sistem yang tidak seimbang menjadi tiga buah sistem yang seimbang.
Sistem tersebut adalah urutan positif, urutan negatif dan urutan nol. Untuk sistem
yang seimbang sempurna, maka sistem urutan negatife dan urutan nol tidak ada.

i

ii

iii

Gambar 2.12 Diagram vector urutan positif (i) ; diagram vector urutan negatif (ii);
diagram vector urutan nol (iii)

20

Sistem urutan ini dapat dilukiskan secara fisika. Arah perputaran dari
motor induksi tiga phasa ketika diaplikasikan dengan tegangan urutan negatif
akan berlawanan arah dengan arah perputaran motor induksi sewaktu
diaplikasikan dengan tegangan urutan positif. Sementara itu sistem urutan nol
tidak akan menimbulkan perputaran pada motor induksi, karena tidak ada
pebedaan phasa pada ketiga tegangannnya, sehinggan tidak akan dibangkitkan
medan putar.
Oleh karena itu, ada dua defenisi ketidakseimbangan pada komponen –
komponen simetris, yaitu : Faktor ketidakseimbangan urutan negatif =

Faktor ketidakseimbangan urutan nol =

�0
�1

�2
�1

dan

dimana ( V1, V2, V0 adalah sistem

urutan positif, urutan negative, dan urutan nol). Sistem arus urutan nol tidak dapat
mengalir pada sistem tiga phasa, misalnya motor induksi, oleh karena itu factor
ketidakseimbangan urutan nol itu sering diabaikan. Adapun ketidakseimbangan
tegangan urutan negatif menunjuk pada besarnya tegangan yang mencoba untuk
memutar arah motor induksi tiga phasa pada arah yang berlawanan terhadap yang
diberikan oleh tegangan urutan positif.
Adapun faktor ketidakseimbangan urutan negatif menurut IEC 60034 – 26
[2] adalah:

%������� �������� =
Dimana :

��� 1

��� 2
� 100
��� 1

��� + � � ��� + �2 � ���
=
3

21

(2.26)

(2.27)

��� 2 =

��� + �2 � ��� + � � ���
3

(2.28)

Dimana : � = −0.5 + �0.0866 ��� �2 = −0.5 − �0.866
Sedangkan menurut NEMA standard MG1. 1993 [3] dan IEEE defenisi
ketidakseimbangan itu adalah :

������� ��������� =
Dimana :

��� − ���
� 100 %
���

VLL

= tegangan line-line yang tertinggi

Vll

= tegangan rata-rata dari tegangan line

(2.29)

Sesuai dengan rumusan yang telah diberikan, dapat dilihat bahwa definisi
tegangan tidak seimbang yang diberikan NEMA menghindari penakaian aljabar
kompleks, sehingga kedua rumusan tersebut akan memberikan hasil yang berbeda.
Contoh jika tegangan tidak seimbang
��� = 450∠0� , ��� = 363∠ −121.44� , ��� = 405∠130�

Maka menurut persamaan 3.2 dan 3.3, maka besarnya Vab1 dan Vab2
adalah :
��� 1 = 404.625∠2.89� ��� ��� 2 = 50.217∠−23.98�

Maka besarnya ketidakseimbangan menurut IEC adalah

% ������� ��������� =

50.217
� 100 = 12.41 %
404.625

22

Sedangkan menurut NEMA adalah :

% ������� ��������� =

43.8
� 100 = 10.78 %
406.2

Tegangan tidak setimbang dalam persentase yang kecil akan menghasilkan
arus tidak seimbang dalam jumlah besar, yang mana hal ini akan menimbulkan
kenaikan temperatur pada motor. Jika tegangan yang tidak setimbang menyuplai
motor induksi, maka daya kuda nominal dari motor harus dikalikan dengan suatu
faktor seperti yang ditunjukkan gambar 2.7.1

Gambar 2.13 Kurva penurunan rating motor induksi (NEMA)

Menurut kurva ini, motor induksi dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu menangani ketidaksetimbangan tegangan 1%, dan selanjutnya akan
menurun terganntung pada tingkat ketidaksetimbangan. Operasi pada motor pada
harga ketidaksetimbangan tegangan di atas 5% tidak diizinkan.

2.8 Rating Temperatur dan Metode Pengukuran Temperatur Motor Induksi

23

National Electrical Manufacturing Association (NEMA) mendefinisikan
temperature rise adalah kenaikan temperatur diatas temperature ambient.
Temperature ambient yaitu temperatur udara disekeliling motor atau dapat
dikatakan sebagai suhu ruangan. Penjumlahan dari temperature rise dan
temperature ambient adalah panas keseluruhan panas pada motor. Kelas isolasi
temperature pada motor induksi dijelaskan oleh tabel berikut (temperature
ambient tidak lebih dari 400C) :
Tabel 2.2 Temperature rise for large motors with 1.0 sevice factor

No
1
2
3
4

Motor Rating
All horsepower (or kW) ratings
1500 hp (1120 kW) and less
Over 1500 hp (1120 kW) and 7000
volt or less
Over 1500 hp (1120 kW) and over
7000 volt

Insulation Class and Temperatur
Rise 0C
A
B
F
H
60
80
105
125
70
90
115
140
65

85

110

135

60

80

105

125

Faktor penyebab rusaknya isolasi winding adalah panas yang berlebih
pada motor. Panas berlebih yang berlangsung lama pada lilitan akan menyebabkan
stress pada lilitan dan isolasi kawat menjadi rapuh. Jika dibiarkan terlalu lama
akan menyebabkan isolasi pada lilitan akan retak. Jika gejala ini disertai dengan
munculnya partial discharge maka proses penuaan isolasi akan semakin cepat.
Berdasarkan penelitian NEMA usia dari isolasi winding akan berkurang
setengahnya setiap kenaikan 100C dari kondisi normal kerja motor. Akan tetapi
jika motor harus beroperasi 400C di atas

temperature normal maka umur

isolasinya menjadi 1/16 dari umur normal yang diperkirakan. Oleh sebab itu
motor- motor listrik yang digunakan pada dunia industri menggunakan alat

24

proteksi untuk mengatasi panas lebih pada motor seperti thermal overload relay.
Sehingga apabila terjadi overheating pada motor relai akan segera bekerja
sehinngga dapat meminimalkan kerusakan pada isolasi motor.
Berikut ini adalah metode dalam menentukan temperatur motor induksi [4] yaitu :
a.

Menggunakan thermometer infrared
Metode ini adalah penentuan suhu dengan sensor suhu, atau dengan

thermometer infrared, dengan metode ini instrumen diterapkan pada bagian
terpanas dari mesin yang dapat diakses .
b.

Mengunakan Embedded Detector
Motor yang menggunakan embedded detector pada lilitannya dapat

dimonitor langsung output yang dideteksi pada peralatan. Output temperature
yang ditunjukkan adalah temperature terpanas dimana lokasi sensor diletakkan.
Perbedaan antara embedded detector dengan thermometer infrared yaitu
embedded detector tertanam di lilitan stator motor sedangkan thermometer
infrared dapat diletakkan dimana saja bagian motor yang paling panas yang
mudah diakses.

c.

Mengukur Tahanan Lilitan motor
Metode digunakan untuk motor yang tidak memiliki embedded detector

seperti thermocouple atau resistance temperature detectors (RTDs). Kelebihan
metode ini yaitu dapat dilakukan tanpa harus membongkar kerangka motor
Penentuan temperature dengan metode ini yaitu dengan membandingkan
tahanan lilitan motor pada temperature yang ingin ditentukan (pada saat motor
panas) dengan tahanan yang sudah diketahui temperaturnya (temperature
25

ambient). Temperature tahanan yang ingin ditentukan dapat dihitung dengan
persamaaan :
�� − ��
�� = �� + �
� (�� + �)
��

Dimana : Tt

: Temperatur total lilitan (oC)

Tb

: Temperatur pada saat motor dingin (oC)

Rt

: Tahanan pada saat motor panas (ohm)

Rb

: Tahanan pada saat motor dingin (ohm)

K

: 234.5 ( konstanta untuk bahan tembaga ) (oC)

225 ( konstanta untuk bahan aluminium ) (oC)

26

(2.30)