Teori dan Praktik Etika PL

Nama

: Yane Octavia Rismawati Wainarisi

NIM

: 1400101

Data Buku

: Rogerson, John, Ed all.Theory and Practice In Old Testament Ethics. T&t
Clark: New York, 2004. ISBN: 0-8264-7165-X (HB)

13-

The Old Testament and Social and Moral Questions

20

Pada dasarnya, kewibawaan PL sebagai “Hukum Allah” merupakan pernyataan
yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun jika dihubungkan dengan

relevansinya pada fenomena-fenomena sosial dan moral masa kini, pernyataan ini
dipertanyakan atau mungkin lebih cocok jika diinterpretasikan ulang. Situasi yang
ada saat ini dan masa lalu berubah, menjadi sangat berbeda. Terutama jika ditinjau
pada beberapa dekade tekakhir. Rogerson menyoroti kasus-kasus asusila masa kini
yang mendapat pelegalan dari

pemerintah bahkan gereja. Homoseksual,

transgender, eutanasia, dll, merupakan hal umum yang sering dibahas untuk dicari
jalan keluarnya secara etis. Pelapor sendiri merupakan generasi yang lahir di
bawah maraknya perubahan ini. Tidak hanya sosial moral masyarakat, tekhnologi
pun membawa dampak besar bagi perkembangan moral dan atau karakter generasi
masa kini. Adat istiadat yang selama ini diagung-agungkan sebagai identitas
budaya seseorang pun sekarang sudah sangat samar. Ditambah dengan perkawinan
campur antar suku bahkan antar negara, efek globalisasi, dll. Tapi pernyataan ini
seolah menjadi mentah karena ada komponen tertentu dalam masyarakat yang
tidak berubah, Hukum PL tidak berubah. Pertanyaannya sekarang yang diajukan
oleh Rogerson adalah bagaimana menerapkan PL di tengah setiap perubahan yang
ada? Penulis artikel menarik sebuah hipotesa bahwa persoalan ini bisa diselesaikan
dengan menghubungkan antara moralitas alami dan perintah untuk penebusan.

Berdasarkan tulisan Robinson, ia menemukan bahwa moralitas alami berbeda
dengan hukum alami. Moralitas alami sifatnya lebih kepada pengakuan tentang
kesensitifan hati manusia bukan tentang religius. Moralitas alami ini lebih bersifat
logika hitam putih atau etika deontologis. Padahal banyak kasus menuntut
keputusan yang lebih dari sekedar benar atau salah, ya atau tidak. Hukum PL
sendiri juga bukan merupakan hukum yang murni. Ada pengaruh budaya di
dalamnya. Dengan demikian, ia pun sejatinya adalah moralitas alami. Dan
kebanyakan kasus yang dibahas secara sosial dan moral ini secara garis besar
masih tetap tentang keadilan dengan mempertentangkan manusia dua jenis
golongan orang miskin dan kaya, lemah dan kuat dan tertekan dan bebas. Allah

sendiri sebenarnya tidak secara langsung menulis tentang hukum-hukum atau
prinsip dalam penciptaan. Allah menyetujui apa yang disebut dengan sensitifitas
moral sebagai pegangan terhadap kebenaran. Sensitifitas ini muncul sejalan
dengan pertumbuhan seseorang dan dimiliki oleh semua orang meskipun tidak
dilakukan secara efektif oleh semua orang. Karena itu penebusan merupakan hal
yang mutlak masih diperlukan. Allah menebus Israel agar mereka terdapat
membagikan kasih karunia itu juga kepada bangsa lain. Menariknya, dalam PL
tanggungjawab ini dilakukan juga secara terstruktur, tidak hanya sebagai legalitas
namun juga hati nurani. Kita tetap perlu memberi jawab tentang fenomenafenomena yang terjadi belakangan. Entah melalui pendekatan PL, dengan cara

normatif ataupun melalui penebusan. Tapi kita terbatas, penerapan etis pada
akhirnya kembali kepada masing-masing pribadi. Apapun itu, sebaikya lakukanlah
21-

demi Kerajaan Allah.
Christian Morality and The Old Testament

28

Artikel ini berisi pertanyaan tentang bagaimana merelevansi PL ke dalam etika
Kristen masa kini. Kaum moralitas Kristen sepenuhnya menerima PL sebagai
bagian dari etika Kristen. Keraguan baru muncul pada abad ke-18 dari kaum kritik
Alkitab dan kaum liberal di tahun 1960-an. Kegunaan PL sebagai bahan
pengajaran moral dalam PB juga dipertanyakan. Kebanyakan kasus-kasus PB
sepertinya tidak diselesaikan secara faktual atau etis berdasarkan PL. Mereka
memang berpijak dengan PL, namun dengan cara alegoris, dispensasionalis dan
klasifikasi. Banyak dosen PL menunjukkan bahwa memang ada kaitan erat antara
PL dan PB, namun penerapannya tidak dilakukan secara harfiah, lagi-lagi masih
perlu interpretasi ulang, bahkan oleh tokoh-tokoh dalam PB sendiri. Untuk
mempermudah proses ini, PL bahkan dibagi dalam tiga tipe klasifikasi

kepentingan: Upacara, sipil dan moral. Perlu selektif dalam menggunakan bahan
PL. Ada prosedur yang ditetapkan untuk hal ini yaitu menyeleksi teks yang diduga
berkaitan atau memiliki relevansi moral dan sensitivitas tinggi bagi pembacanya di
masa kini. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesan penggunaan PL sebagai
jalan pintas. Lindsay mengkontraskan dua jenis moralitas, yaitu “moralitas
pribadi” dan “moralitas anugerah”. Moralitas lingkungan merupakan moralitas
alami sementara moralitas anugerah berkaitan dengan sensitivitas, imanjinasi dan
kreatifitas. “Moralitas anugerah” ini tidak berbicara tentang “Ia atau Tidak”,
“benar atau salah” melainkan tentang bagaimana kita bisa menciptakan sesuatu

atau daya cipta manusia. Sepintas memang seperti tidak mempunyai sistem yang
jelas, namun bagi penulis buku ini, pandangan ini justru sembrono. Penebusan
memang merupakan anugerah Allah, namun ini juga mempunyai struktur dan
sistem yang jelas yaitu bahwa setiap manusia tebusan Allah pun harus bisa
menebus orang-orang lain yang mereka perhamba. Ini yang disebut dengan
“Struktur Anugerah”. “Struktur Anugerah” ini merupakan suatu aturan sosial yang
bertujuan untuk mengerjakan anugerah dalam bentuk praktisnya. Moralitas pribadi
membutuhkan moralitas anugerah agar dapat menghasilkan sebuah sudut pandang
yang baru dan dapat diterima oleh semua orang. Bagi Israel sendiri, hal ini realitas
kehidupan sehari-hari. Mereka mempraktikkan hukum bukan karena perintah raja

namun karena solidaritas kepada Allah. Di samping hukum PL, terdapat juga
hukum-hukum lain yang berkembang di sekitarnya. Karena itu, perlu selektif.
Semua hukum itu baik dan digunakan untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap
masyarakatnya. Hukum PL dipilih selalu dalam kaitannya sebagai umat dengan
Allahnya yaitu tentang sifat Allah dan syarat kekudusan bagi Israel. Hukum PL
merupakan ilustrasi sifat Allah dan program bagi Israel untuk dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari. Hukum dalam PL dapat bersifat fleksibel jika
diperhadapkan

dengan

waktu

dan

budaya.

Karena

hukum-hukum


ini

diperhadapkan pada dilema situasi/ kondisi yang menuntut mereka harus
menentukan pilihan. Sayangnya, sepertinya ada bentuk pengabaian PB terhadap
PL sebagai pedoman dalam bertindak moral. Hal ini terlihat dari sedikitnya
referensi PL yang digunakan oleh PB. Para Bapa Rasuli pun sepertinya juga
melakukan hal yang senada. Ada indikasi kuat bahwa PL dianggap sebagai hukum
yang dirancang khusus untuk Israel dan fakta tulisan juga menunjuk demikian.
Banyak hukum PL hanya seremonial atau sipil sehingga tdak memiliki arti penting
bagi orang-orang di zaman PB apalagi jika dikaitkan dengan kehidupan di masa
kini. Keterangan ini juga diperkuat oleh tulisan-tulisan Paulus yang terkesan
mengesampingkan PL. Hanya perintah yang

bersifat moral yang mendapat

perhatian khusus dan itupun tidak menyeluruh. Di zaman sekarang, tidak semua
hukum ini bisa diaplikasikan karena situasi dan konteks yang berubah, selain itu
juga, banyak peraturan yang tepat berlaku di zaman PL jika dipaksakan pada
zaman sekarang sifatnya justru ilegal. Perlu penjelasan ulang dan batasan-batasan

yang jelas untuk dunia masa kini, agar pengaplikasiannya pun di zaman sekarang
menjadi efektif. Allah sebagai penebus dan mengharuskan bangsa Israel untuk

menebus sesamanya biasanya dihubungkan dengan kasus perbudakan. Namun
zaman sekarang, kasus perbudakan sudah bukan lagi masalah. Masalah-masalah
masa kini telah menemukan bentuknya yang baru. Karena itu kontribusi PL bagi
moral Kristen sepertinya hanya sebagai contoh ketimbang ajaran. Tapi apapun itu,
Kristen masa kini tetap harus terus bertindak secara etis baik secara vertikal
maupun horizontal. Sebuah bentuk respon terhadap penebusan Allah di masa
sekarang, bukan hanya bagi sesama manusia, namun juga lingkungan sekitarnya,
34-

bumi beserta semua yang diam di dalamnya.
The Old Testament And Christian Ethics

39

Entah mengapa saya berpikir bahwa bab ini merupakan pengulangan dari bab
sebelumnya. Ide pokoknya tetap sama, contoh-contoh yang digunakan sama, dan
kata-kata yang dipakai juga kebanyakan sama, tapi mengapa dibuat dalam judul

yang berbeda? Bab ini dimulai dengan pertanyaan tentang nama mana yang lebih
pantas dipakai antara Perjanjian Lama atau Kitab Yahudi karena adanya indikasi
bahwa istilah “Perjanjian Lama” lebih bersifat akademis ketimbang “Kitab
Yahudi” yang terkesan rasial dan hanya berkaitan dengan Yahudi. Namun fakta
sejarah tidak boleh dihilangkan bahwa bagaimanapun juga, Allah secara lisan
maupun tulisan memang menyatakan diri langsung dalam realitas sejarah orang
Yahudi. Selain itu, ditambah dengan konteks yang bertabrakan antara PL dan
kondisi dunia zaman sekarang membuat PL semakin sulit diaplikasikan. Namun
Hukum dibuat untuk ditaati. Alkitab baik PL maupun PB merupakan Wahyu Allah,
sifatnya sempurna dan mengikat. Jika diperhadapkan dengan perkembangan dunia
saat ini, bagaimana harus menaati hukum itu? Tidak ada patokan baku mana yang
perlu dijalankan atau tidak. Sementara itu, keputusan etis tidak diambil bagi dua
hal yang berbeda sifat, satu baik sementara yang lain jahat. Keputusan etis yang
berujung pada tindakan etis ini diambil karena harus memilih salah satu di antara
dua obyek masalah yang sama-sama jahat. Para ahli PL seperti Bucer, Kaiser, dan
Wright sama-sama memberi penekanan kepada faktor aplikatif dimensi moral PL
walau dalam cara mereka masing-masing. Rogerson menarik perhatiannya kepada
PL dan menghadirkan PL dalam dua konsep yang layak untuk dipertimbangkan
relevansinya, yaitu “perintah untuk penebusan” dan “struktur anugerah”. Umat
Israel memiliki pengalaman historis bersama Allah sebagai orang-orang yang

dibebaskan, karena itu mereka pun harus membebaskan orang lain yang berada
dalam tekanan, perbudakan, atau keterikatan. Orang-orang yang pernah mendapat

anugerah Allah, selayaknya untuk membagikan anugerah itu bagi sesamanya.
Bagaimanapun PL merupakan buku tentang moral, meski terlihat lebih ekstrim.
Adalah suatu hal yang logis jika kemenangan diberikan sebagai ketaatan dan
hukuman diberikan sebagai konsekuensi kejahatan. Lalu bagaimana menarik
aplikasi etisnya dalam kehidupan masa kini? Rogerson mengadopsi pikiran
Habermas tentang etika komunikasi. Bagaimana meretas konteks Yahudi dan dunia
masa kini? Komunikasi. PL itu dianggap sebagai kitab Hukum yang menakutkan
dan

memuat

tindakan-tindakan

ilegal

karena


kita

tidak

bisa

mengkomunikasikannya sehingga diterima dengan logis oleh audience. Seorang
yang mengaku ahli dalam etika PL sebaiknya tahu bagaimana mengkomunikasikan
pesan Alkitab dalam argumentasi yang logis kepada semua audience-nya sehingga
mereka mau bertindak etis berdasarkan PL. Letak simpel atau ribetnya serta
menakutkanya upaya aplikatif PL terletak pada bagaimana sang komunikator
mengkomunikasikan PL itu sehingga tepat diterima dengan rasio atau dianggap
logis oleh pemirsanya. Bukan sekedar wacana etis, tapi tindakan etis. dengan
41-

demikian, aplikasi PL itu seharusnya mudah dan menyenangkan.
Life and Death Between Creation and Fall: Some Theological Reflections On Life

50


Issues
Hidup dan mati itu seperti dua sisi mata uang, tidak pernah terpisah meski tidak
pernah sama. Manusia diciptakan dengan segala kebaikannya dan disertai dengan
fasilitas terbaik dari Allah. Kejatuhan memberi efek negatif bagi ciptaan yang ada.
Saya sebagai pelapor berpikir mungkin penulis ingin mengatakan bahwa kematian
merupakan salah satu efek dari kejatuhan. Walaupun saya juga tidak terlalu yakin
dengan hal ini. Karena masih ada satu pohon lagi yang Allah hindarkan dari
manusia yaitu “Pohon Kehidupan” sehingga mereka diusir dengan segera dari
taman. Dari nada tulisannya, sepertinya Allah kuatir kalau sampai mereka
memakan buah “Pohon Kehidupan” dan menjadi hidup selamanya. Itu berarti
bahwa sejak awal memang, manusia ketika diciptakan sudah dirancang untuk akan
berhadapan dengan kematian. Tapi sementara manusia masih tetap hidup di dalam
dunia, manusia tetap memegang tanggungjawab atas dunia baik secara vertikal
maupun horizontal. Tulisan Rogerson menyiratkan bahwa konsekuensi logis dari
kepercayaan terhadap penciptaan adalah percaya adanya pencipta dengan segala
konsekuensi yang lahir dari kepercayaan ini. Percaya kepada Allah ditunjukkan
dalam bentuk penyembahan kepada-Nya dan mengambil tanggungjawab bagi

kepedulian terhadap dunia. Ini idealnya, mari lihat fakta lapangan dalam
perkembangan sejarah dunia. Seiring kemajuan zaman, paradigma dunia modern
tentang penciptaan berubah pula. Cara pandang terhadap penciptaan juga berubah
apalagi pikiran tentang kehidupan dan kematian. Yang pasti adalah bahwa setiap
orang ingin hidup dan bertahan dalam dunia, namun cara untuk mempertahankan
hidup masing-masing orang berbeda. Pengagungan rasio yan menjadi cirikhas
dunia modern sepertinya telah menjadi sebuah efek jelas kejatuhan sehingga
manusia menjadi sedemikian rumit mempertahankan iman mereka pada masa ini.
Manusia berusaha sedemikian rupa dengan rasio mereka untuk memecahkan setiap
persoalan yang ada di dalam dunia termasuk juga melawan kematian. Namun
kembali lagi, keterbatasan manusia merupakan bukti efek kejatuhan. Bagaimana
mungkin mereka melakukan segala sesuatu tanpa landasan kepercayaan, tanpa
iman atau sebaliknya. Di zaman Post Modern ini, fakta-fakta hidup, fenomenafenomena masa kini mebuat kita diperhadapkan pada keputusan-keputusan sulit
dan serba dilematis. Setiap orang hadir dengan pembelaan kasus mereka masingmasing dan secara rasio, ini sah. Hukum dan gereja masa kini bahkan sudah
melegalkan beberapa fenomena yang dulu dikecam baik oleh agama maupun
budaya. Tapi masalahnya, bukankah setiap orang bertanggungjawab atas
kehidupannya sendiri? Pemikiran zaman postmodern ini semakin berkembang.
Ruang pribadi semakin diperlebar. Lingkungan sosial masyarakat, tekhnologi,
sepertinya juga mendukung paradigma ini. Kepedulian bukan hanya kepada
sesama, terhadap Tuhan pun terkesan hambar. Setiap orang mempunyai
kebenarannya masing-masing, tidak boleh dipaksa oleh orang lain dan tidak boleh
memaksa orang lain. Tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang bisa memaksa
manusia untuk tunduk. Hukum pun yang mempunyai pengertian mengikat dan
memaksa bagi setiap penganutnya sepertinya malah sudah kehilangan gigi sama
sekali. Jika ada paksaan, itu berarti telah terjadi pelanggaran HAM. Dan setiap
orang sedang sangat “peduli” dengan istilah ini, “Perjuangan HAM”. Entah HAM
ini sebenarnya milik siapa? Tidak ada kebenaran mutlak, semua serba relatif,
liberal, individualis. Terserah orang mau bilang apa, terserah orang mau bertindak
bagaimana, karena yang paling penting adalah “saya”. Pertanyaannya ada berapa
banyak “Saya” di dunia ini? Apakah ini juga merupakan efek kejatuhan? Jika
50–

benar, dunia sedang sangat membutuhkan penebusan.
‘What Does It Mean To Be Human?’ : The Central Question Of Old Testament

59

Theology?
Sampai saat ini ada begitu banyak orang yang memberi perhatiannya bagi
perkembangan teologi, khususnya orang awam, masih mempertanyakan tentang
bagaimana merelevansikan PL dalam dunia saat ini. Teks PL yang ditujukan
kepada komunitas Yahudi merupakan salah satu kendalanya. Jika dilihat dari sudut
populasi Indonesia yang kebanyakan apatis terhadap Yahudi, pengaplikasiannya
bisa menimbulkan salah paham. Kristen di Indonesia kebanyakan masalah sudah
memiliki cap Israel dan akhirnya dicap kafir. Lalu bagaimana Kristen Indonesia
mengaplikasikan

PL

dalam

kehidupan

sehari-hari?

Dalam

pendahuluan

pembahasannya tentang pengertian bagaimana menjadi manusia, Rogerson
mengutip Gesternberg yang menyatakan bahwa fakta Alkitab merupakan fakta
yang bebas sehingga perlu berreinterpretasi terhadap kehidupan masa lalu demi
implikasinya bagi masa sekarang. Karena itu diperlukan hermeneutik yang tepat
dalam setiap studi PL agar dapat ditarik aplikasi yang tepat pula. Perlu akademis
namun juga praktis mengingat adanya bentangan konteks situasi budaya, waktu,
pra-pemahaman, antara Israel pada zaman PL dan kita di masa sekarang.
Jangankan Indonesia, Israel yang sekarang pun pasti berbeda dengan Israel yang
dulu. Senada dengan pendahuluan di atas, menjawab pengertian tentang manusia
pun perlu juga studi akademis PL secara kritis, hermeneutik literal dan orientasi
terhadap budaya agar ditemukan definisi yang baik secara implisit maupun
eksplisit. Kaum tradisional kritis mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang
memiliki daya cipta, mampu melihat hal-hal yang salah dan menemukan
kebenaran dari dalamnya. Bagi kaum liberal, manusia adalah makhluk yang
memiliki kemampuan untuk memperbudak orang lain. Untuk menjawab
pertanyaan tentang siapa manusia, Rogerson lebih banyak melandaskan
pemikirannya pada Habermas. Bagi Habermas, menjadi manusia adalah menjadi
makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengakumulasikan segala hal yang ada
di sekitarnya untuk suatu tujuan tertentu. Manusia hidup di tengah pesatnya
perubahan sosial, ekonomi, tekhnologi, dan politik. Untuk itu diperlukan dasar
rasio yang kuat. Bagi Habermas, menjadi manusia merupakan keadaan saling
ketergantungan antar satu manusia dengan manusia lain yang didasari oleh
kemampuan berkomunikasi satu sama lain. Di dalam komunikasi itu terdapat
konsep abstrak, kemampuan menulis, atau melewati budaya dan berbagai bentuk
pengetahuan lain dari generasi ke generasi. Manusia yang sukses adalah manusia

yang

mampu

menjadikan

elemen-elemen

ini

sebagai

pendukung

bagi

kesuksesannya. Caranya adalah melalui komunikasi yang rasional. Kehidupan
pada saat ini sangat kompleks. Masyarakat tidak lagi hidup dalam satu komunitas
budaya, kerja, kepercayaan, dan latar belakang, semua serba heterogen dan
bertabrakan satu sama lain. Perkembangan sosial dan ekonomi beserta segala
kompleksitas permasalahan di dalamnya perlu dikomunikasikan secara rasional
jika tidak ingin tabrakan yang terjadi berefek parah.
Berdasarkan pemikiran Habermas ini, ada dua elemen penting komunikasi yaitu
“communicative life-world” dan “System”. Untuk dapat berkomunikasi dengan
kehidupan dunia, seseorang perlu terlibat secara langsung dengan dunia dan
fenomena-fenomena yang ada di dalamnya. Kompleksnya masalah dunia
menunjukkan kompleksnya communicative life-world. Bukan hanya sekedar teori,
praktisnya pun kompleks. Sementara itu, system yang dimaksud adalah integrasi
sosial seperti latihan kekuasaan, pertukaran pernikahan, perkembangan hukum,
pertukaran keuangan, dll. Kedua hal ini tidak saling berkaitan secara langsung.
Manusialah subyek yang bertanggungjawab untuk mendialogkan sistem dan
komunikasi praktis yang ada. Agar setiap potensi ini dapat dimaksimalkan dengan
baik, sesama manusia harus saling berkomunikasi, dan untuk itu perlu tujuan. PL
bagi Rogerson sebenarnya telah menampilkan bentuk ideal komunikasi antar Allah
dan sesama manusia, namun komunikasi ini menjadi kacau karena dosa. Allah
membangun ulang komunikasi ini dalam bentuk penyembahan kepada-Nya. Tapi
dari pihak manusia, tidak ada jalan lain agar komunikasi ini menjadi harmonis
kembali tanpa pengakuan dosa terlebih dahulu.
Bagi saya pribadi, komunikasi memang bisa menjadi jalan keluar dari setiap
permasalahan yang ada di dunia. Tapi tidak hanya sebatas itu saja. Dua orang yang
sedang bertengkar hebat, bisa saja dikatakan sedang melakukan komunikasi. Tapi
mereka tidak sedang menyelesaikan masalah, mereka sedang memperpanjang
antrian masalah. Orang menjalin komunikasi karena mereka memiliki kepentingan
atau tujuan atau motivasi. Untuk dapat menyelesaikan masalah, manusia memang
perlu komunikasi dan untuk itu butuh kerendahan hati. Allah dengan rendah hati
mau membangun kembali komunikasi dengan manusia. Tanpa rendah hati Allah,
bisa bayangkan bagaimana hubungan ini bisa terjalin kembali? Menjadi manusia
tidak cukup hanya karena seseorang bisa berkomunikasi baik dengan sesamanya
atau dengan lingkungan dan memaksimalkan semua potensi yang ada di sekitarnya

sehingga ia sukses. Menjadi manusia adalah menjadi rendah hati agar komunikasi
yang ia lakukan tidak berakhir dengan kepentingan pribadi dan akhirnya merusak
di sana-sini. Meskipun ada bagian tertentu yang kurang disetujui oleh Rogerson, ia
memakai pemikiran Habermas dalam caranya menjelaskan tentang manusia karena
cara yang Habermas gunakan ternyata mampu membantu memberi penjelasan
terperinci bagi pertanyaan tentang natur dan takdir manusia. Selain itu, ia juga
memakai pemikiran De Wette dalam tulisannya tentang komunikasi. Sayangnya
dalam kolom ini, Rogerson sendiri sepertinya lupa memberikan pandangan
60–

pribadinya sendiri tentang apa itu manusia.
Discourse and Biblical Ethics

67

Lagi-lagi Rogerson mengkaji ide Habermas dalam tulisannya. Kali ini ia mengkaji
tentang etika wacana yang dibuat oleh Habermas tentang kesadaran pribadi
terhadap pentingnya berpikir dan bertindak secara komunikatif sesuai dengan rasio
agar dapat diterima oleh semua orang. Rogerson mengakui bahwa tipe etika yang
diajukan oleh Habermas ini bersifat universal, kolektif, kognitif namun tetap
berlawanan dengan relativitas, individualitas dan emotif.

Mengutip tulisan

Rogerson tentang etika wacana milik Habermas, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan antaralain bahwa etika wacana ini hanya memberi gambaran ideal
tentang norma bukan sebuah tindakan praktis. Norma ini dapat berubah dari waktu
kewaktu sesuai dengan konteksnya, sehingga dalam penerapannya tidak boleh
terlepas dari situasi dan orang-orang yang terlibat. PL dengan demikian merupakan
gambaran ideal hukum. Namun demikian tidak bisa diaplikasikan seluruhnya,
karena perbedaan situasi dengan masa kini. Setiap orang di zaman sekarang bisa
dengan bebas memilih apakah ia akan bertindak secara etis atau tidak dengan
berpijak pada PL. Habermas sendiri mencoba menggabungkan etika, pandangan
Kristen dan filsafat dalam upayanya menginterpretrasikan hukum PL. Dalam hal
ini ia tetap menghargai tapi berusaha untuk mengkritisi PL tanpa maksud untuk
mendeskreditkan hukum-hukum PL melainkan memformulasikan pernyataan Allah
itu demi aplikasi yang positif. Ada banyak cerita Alkitab yang jika dilihat dimasa
kini merupakan hal yang ilegal, namun dianggap sebagai suatu kewajaran di masa
PL. Cerita atau peristiwa negatif yang terpampang dalam tulisan Alkitab inilah
yang perlu diberi pencitraan positif. Lebih dari itu, sebuah peraturan diberlakukan
jika mendapat persetujuan umum. Bagi Habermas, sebuah peraturan itu baru bisa
diberlakukan jika telah mendapat persetujuan umum. Dengan demikian, sejelek

apapun sebuah peraturan di mata kita pribadi, tapi jika sudah disetujui umum,
maka peraturan itu legal. Idealnya, hukum PL bertujuan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran. PL juga memberi perhatian besar pada orang-orang yang
tertindas dan hidup dalam kemiskinan. Ide ini diterima disepanjang zaman, sampai
saat ini banyak orang sedang terus berusaha menegakkan keadilan dan kebenaran
dan pembelaan kepada kaum miskin dan tertindas. Hanya masalahnya, pengertian
adil dan benar dalam setiap zaman berbeda, siapa subyek, siapa obyek, dan
bagaimana harus bertindak adil dan benar itu saja sudah abstrak. Zaman sekarang,
sesuatu itu menjadi adil atau benar tidak lagi tergantung pada hukum yang berlaku,
tetapi pada apa yang saya pikirkan dan hukum hanya alat untuk memperkuat posisi
saya. Yang ada hanyalah kepentingan pribadi dan golongan bukan publik.
Pandangan tentang pentingnya umat seperti yang muncul dalam kehidupan umat
Israel hanyalah sebuah utopia. Ide tentang “Mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi” sudah lama tenggelam dan mulai berbalik arah.
Lalu, siapa sekarang yang dimaksud dengan miskin dan tertindas? Lagi-lagi,
67–

zaman sudah berubah menjadi sangat berbeda.
Ethical Experience In The Old Testament: Legislative Or Communicative

79

Rationality?
Seperti di bagian-bagian awal buku ini, bab ini pun menaruh perhatiannya para
jurang konteks yang ada antara masa PL dan saat ini sehingga sulit untuk
menjembatani masing-masing zaman. Kembali lagi diingatkan pemahaman bahwa
hukum dalam PL ini terbagi menjadi tiga jenis, sipil, seremonial, dan moral. Dan
yang bisa dikaitkan ke zaman sekarang adalah hukum moral. Dalam bab ini juga
lagi-lagi dipakai etika wacana untuk usaha menjembatani perbedaan ini. Namun
pada topik kali ini, Rogerson mengemukan saran bahwa sebaiknya, hukum-hukum
ini jika tetap ingin disebut sebagai hukum yang bersifat universal, maka perlu
beradaptasi dengan keadaan di zaman di mana ia berada, sekarang atau di segala
zaman. Karena bila tidak beradaptasi, hukum ini hanya tinggal sejarah. Seperti
pada bab sebelumnya, etika wacana mencari satu prinsip yang dapat diterima
secara universal. Karena menurut Habermas, hanya norma yang disadari oleh
semua orang secara umum yang dapat menjadi bagian dalam praktik wacana. Etika
wacana percaya bahwa pasti ada satu prinsip yang diterima secara universal
meskipun di tengah zaman yang serba relatif ini. Apapun itu, jika seseorang
melakukan tindakan melanggar prinsip ini maka ia akan merasa bersalah. Namun

apa itu? Seyla Benhabib mengemukakan dua kemungkinan prinsip yang bisa
disetujui secara universal, yaitu kepedulian universal terhadap orang lain dan
pembalasan yang sederajat atau kesukarelaan untuk melihat sesuatu berdasarkan
perspektif orang lain. Prinsip ini umumnya mengarah kepada kepedulian terhadap
orang-orang lain yang menderita. Tindakan ilahi merupakan dasar bagi norma etika
yang benar namun butuh kesediaan untuk menjadikannya wacana praktik. Jika
gagal, maka hukuman merupakan konsekuensi logis terhadap kegagalan beretika.
Bagi yang mampu menilai arti positif sebuah penghukuman, mereka akan berkata
bahwa penghukuman itu awal dari pertobatan. Ada beberapa kejadian unik dalam
perjalanan PL yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan inilah yang coba dikupas
dalam bab ini. Pengalaman beretika dalam PL. Contoh yang ditarik adalah
pengalaman Abraham dan Sarah istrinya kemudian pengalaman Ishak dan Ribka,
istrinya ketika mereka disebut sebagai saudara oleh suaminya. Abraham dan Ishak
jelas-jelas sudah berbohong, namun entah mengapa mereka bisa saya disebut
sebagai pembohong-pembohong yang beruntung. Abraham juga mendapat
pembelaan karena ia dianggap tidak sepenuhnya berbohong walaupun ia sempat
berbohong. Yang aneh adalah berkat tetap diberikan bagi seorang pembohong.
Saya merasa ada ketidakadilan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh
nenek moyang Israel, juga tidak adil bagi Abimelekh dan Firaun. Tapi ini terjadi
karena saya juga memandangnya dari segi etika masa kini. Kejadiannya pasti akan
berbeda jika saya ada di zaman mereka. Sarah dan Ribka sedang melindungi dua
orang laki-laki yang memang harus membangun satu umat besar kepunyaan Allah.
Sementara Abimelekh dan Firaun bertugas untuk memberi makan kedua orang
pilihan Allah ini. Semua terjadi karena Allah, bukan karena mereka berdua.
Pembukaan kitab Kejadian juga membawa kita kepada satu bentuk kepedulian atau
tanggung jawab besar terhadap ciptaan Allah dan meminta kita untuk bertindak
secara etis bagi ciptaan Allah ini. Sampai saat ini berbagai upaya dilakukan demi
kepedulian terhadap bumi oleh orang-orang yang peka terhadap perkembangan
bumi saat ini. Sayangnya, hanya segelintir juga dari orang-orang yang peka
terhadap keadaan ini yang mau bertindak etis bagi bumi bukan sekedar wacana
etis. Kejahatan bangsa Israel membuat mereka harus mengalami konsekuensi
berupa penjajahan, peperangan dan berakhir pada pembuangan. Berkali-kali
bangsa Israel diperhadapkan dengan peristiwa ini tapi tetap saja hal yang sama
terulang. Allah menghukum mereka melalui tangan bangsa-bangsa lain, sehingga

mereka bertobat. Anehnya, bangsa lain yang kemudian dihukum oleh Allah karena
sudah membuat Israel menderita. Allah sendiri yang berperang bagi Israel, padahal
dibagian awal, Allah sendiri juga yang memakai bangsa-bangsa itu untuk memberi
pelajaran bagi Israel. Akhirnya ketika mereka akan dimasukkan ke pembuangan,
para nabi sudah memperingatkan mereka tentang pembuangan ini, namun mereka
tidak mau mendengar. Pembuangan mendatangkan tekanan dan penderitaan pada
masa pembuangan, di sinilah mereka berbalik lagi kepada Allah. Memang tidak
heran jika dikatakan diawal bahwa hukuman itu membawa kepada pertobatan.
Yang mengherankan buat saya justru Allah. Lagi-lagi, itu karena saya
81–

memandangnya dari perspektif saya, generasi postmodern.
The Old Testament and The Debate About Nuclear Disarmament

87

Hukum ke-6 dari Dasa Titah berbunyi “Jangan Membunuh”. Hukum PL juga
memberikan tanggungjawab bagi setiap penganutnya untuk melindungi orang lain
yang lemah dan melawan yang kuat. Namun sepertinya telah terjadi pelanggaran
terhadap hukum ini. Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa Allah sendiri
mengizinkan adanya pembunuhan massal. Bukan hanya mengizinkan, Allah
bahkan menjadi Pemimpin yang memerintahkan terjadinya dan melakukan sendiri
dalam pemusnahan massal saat terjadi perang. Berdasarkan hal itu, bukankah
pemusnahan massal melalui nuklir bisa dibenarkan?
Manusia diciptakan untuk memerintah di bumi sebagai pelayan Allah. Dengan
diciptakan segambar dengan Allah, manusia dikenai tugas untuk melaksanakan
kedaulatan Allah di dalam dunia. Untuk itu ada pemerintah yang Allah sediakan
juga bagi dunia. Sistem monarki ini dibentuk selain karena adanya desakan
manusia, ternyata ada sisi baik dan buruknya juga. Pemerintah sebagai wakil Allah
bertugas menentukan arah sebuah komunitas atau umat yang dia pimpin, apapun
organisasi yang dia pimpin. Selain itu, pemerintah tetap adalah pelayan Allah.
Sebagai anggota dari suatu komunitas, sudah seharusnya kita tunduk di bawah
perintah penguasanya. Kepatuhan terhadap pemerintah sama dengan kepatuhan
rakyat terhadap Allah. Sebagai pelayan Allah dalam dunia, bagaimana mungkin
pemerintah bisa melakukan pemusnahan massal? Pemerintah memang merupakan
penguasa di dunia, namun mereka tetap harus bertanggungjawab kepada Allah.
Setiap keputusan salah yang dibuat oleh pemerintah akan memberi pengaruh bagi
bangsa sepenuhnya. Pemerintah juga menentukan perjalanan iman umat Allah. Jika
pemimpin takut akan Allah, rakyat pun akan takut Allah. Kerohanian pemimpin

menentukan bagi perjalanan iman suatu bangsa. Jika pemimpin menolak perintah
Allah, maka bangsa ini tidak lagi menjadi bangsa yang kudus. Allah adalah
penguasa dari segala sesuatu yang ada. Bangsa lain bisa saja kuat dan mampu
memusnahkan Israel dengan kekuatan mereka, tapi Allah lebih dari itu. Karena itu
kepatuhan pertama justru seharusnya adalah kepada Allah. Allahlah pemberi
kekuasaan dan kekuatan kepada manusia. Allah berkuasa untuk menghancurkan
dan membangun kembali. Dengan demikian, Israel sebagai umat harus menjaga
loyalitas mereka sebagai suatu bangsa dalam ketaatan kepada Allah dan tidak
menyeleweng kepada ilah lain. Jika mereka menyeleweng, mereka akan tahu
konsekuensinya. Selain itu, takut akan Allah ini akan membawa bangsa Israel
kepada harapan tentang masa depan dan harmonisasi di antara bangsa-bangsa
88–

karena mereka tunduk kepada perintah Allah dan hukum-Nya.
Using The Bible In Debate About Abortion

99

Aborsi merupakan masalah yang masih sering diperdebatkan untuk pengambilan
keputusan etisnya. Setiap orang yang mengambil keputusan ini tentu memiliki
alasannya masing-masing. Sebagai orang Kristen, kita juga dituntut untuk
menjawab tentang masalah ini berdasarkan Alkitab. Sayangnya, ternyata tidak ada
teks khusus yang menyinggung soal aborsi. Selain itu, aborsi merupakan istilah
yang baru belakangan ini muncul di dunia kedokteran. Sedangkan antara dunia
medis modern dan pemahaman Alkitab tidak ada kaitannya. Penulis Alkitab tidak
tahu tentang istilah-istilah yang baru belakangan ini muncul di dunia medis
modern. Walaupun ada beberapa konsep medis yang sudah diketahui sejak dulu
dengan nama yang berbeda. Ada bukti yang mengkonotasikan bahwa aborsi sudah
dikenal oleh orang-orang Timur Tengah kuno dan Asyur. Penulis PL memang tidak
menuliskan kata-kata aborsi dalam tulisan mereka. Namun sempat menyinggung
tentang pembunuhan anak-anak kecil. Selain itu sepertinya tentang kematian anakanak yang masih ada dalam kandungan sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka.
Lebih dari itu, Alkitab sepertinya lebih menekankan kepada kehidupan, walau
dalam beberapa kasus perang Allah sepertinya melegalkan pembunuhan. Allah
sendiri berperan dalam pembentukan bayi yang ada dalam kandungan dan
mempersiapkan mereka untuk suatu tujuan tertentu. Manusia sebagai gambar Allah
menunjukkan indikasi bahwa manusia sebagai pelayan Allah dalam dunia, Allah
berepresentasi dalam diri manusia. Interpretasi ini menunjukkan bahwa
kemampuan manusia itu unik, dan manusia diciptakan untuk mendengar dan

menjawab suara Allah. Jadi bagaimana mungkin gambaran Allah yang tersimpan
dalam rahim seorang ibu dibunuh? Tapi bagaimana jadinya jika bayi yang
dikandung itu terletak di luar rahim ibu? Alih-alih bingung menanggapi kasus
aborsi, Rogerson mengalihkan sementara kasus ini pada penebusan manusia untuk
menemukan jalan keluar dari masalah ini. Penebusan dilakukan sebagai bukti kasih
Allah kepada dunia. Dasar penebusan adalah kasih. Ada banyak orang yang belum
lahir secara rohani dan bisa saja mati di pertengahan jalan tanpa sempat lahir baru,
dan untuk orang-orang inilah Allah datang menebus mereka. Jadi demi alasan
keselamatan dan dasar cinta kasih suatu tindakan dapat diambil. Tapi perlu
diperhatikan ada dua tipe janin dalam kandungan. Ada janin yang belum lahir
karena memang belum waktunya, ada yang meninggal atau tidak bisa bertumbuh
dalam kandungan karena faktor-faktor tertentu, namun ada janin yang sengaja
dihentikan proses pertumbuhannya dalam rahim ibu karena memang dia tidak
diinginkan. Alasan pertama dan kedua masih disertai cinta kasih, tapi untuk kasus
ketiga, ini murni pembunuhan. Dan segala sesuatu bagi bayi ini yang dilakukan
tanpa cinta kasih adalah pembunuhan. Yang percaya, mari berpikir lebih dalam,
100

kita ada di pihak yang mana?
The Use Of Old Testament With Reference To Work And Unemployment



Ada begitu banyak masalah yang menjadi bahan pergumulan gereja saat ini.

108

Alkitab masih berupaya untuk mencari jalan keluar terbaik bagi masalah-masalah
yang ada. Di dunia industri modern saat ini, pengangguran masih menjadi masalah
pelik. Selalu ada efek positif dan negatif dari dari setiap kejadian. Di zaman
sekarang,, bekerja dan tidak bekerja sepertinya tidak ada bedanya. Orang yang
bekerja memiliki masalahnya sendiri, orang yang tidak bekerja malah menjadi
masalah bagi orang banyak. Apa nilai positif dari orang yang bekerja? Harga diri.
Orang yang bekerja akan lebih dihargai dari pada pengangguran. Tapi ada yang
lebih dapat meningkatkan harga diri seseorang, kekayaan. Ada orang yang tidak
bekerja tapi punya kekayaan warisan dalam jumlah besar, tetap mempunyai harga
diri tinggi. Seseorang bekerja untuk menghasilkan kekayaan, kekayaan berguna
untuk meningkatkan harga diri seseorang. Akibatnya orang terlalu sibuk bekerja
dan menjadi terasing dari banyak orang lain. Pendidikan dipakai sebagai alat untuk
meningkatkan penghasilan. Akibatnya orang-orang kaya memanfaatkan tingginya
angka pengangguran untuk bisa mendapatkan tenaga kerja dengan biaya murah.
Masalahnya adalah ada beberapa tipe pengangguran. Ada sebagian orang yang

menganggur karena memang mereka malas, ada yang menganggur karena mereka
belum mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan masih menunggu pekerjaan,
dan ada yang menganggur karena mereka memang tidak bisa bekerja karena
memiliki keterbatasan. PL juga memperlihatkan tentang hakitat pekerja dan
pengangguran, dan para ahli harus mencari implikasi etisnya bagi dunia pekerjaan
masa kini. Israel merupakan masyarakat yang agraris. Umumnya mereka bekerja
bagi diri mereka sendiri. Namun Alkitab mencatat bahwa Allah memerintahkan
mereka untuk memiliki kepedulian terhadap orang-orang miskin. Tidak ada kaitan
khusus antara PL dengan kehidupan industri modern dan kehidupan masa kini.
Namun dari pengalaman PL dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah pada dasarnya
menginginkan manusia itu bekerja. Bukan hanya untuk meningkatkan harga diri
atau demi tujuan ekonomi, melainkan karena meneladani tindakan Allah. Karena
Allah adalah Allah yang bekerja. Hanya masalahnya tidak semua orang
seberuntung itu. Memang ada orang yang karena sesuatu dan lain hal harus
kehilangan harta warisan mereka berupa tanah dan harus hidup miskin. Karena itu
mereka hanya dapat menjadi budak bagi sesamanya. Ada juga orang-orang asing
yang menjadi gelandangan tanpa rumah dan perlu dibantu. Hati Allah adalah hati
kasih. Israel yang tadinya adalah bangsa budak dibebaskan oleh Allah dan masuk
dalam “struktur anugerah” Allah. Karena itu, Allah mau agar mereka juga
melakukan hal yang sama. Berbagi karunia itu bagi sesamanya yang miskin dan
lemah. Kepedulian mereka juga sampai kepada hewan-hewan pekerja dan
tanahnya. Para pemiliknya tidak boleh memaksakan hewan pekerja mereka dan
tanah mereka untuk terus bekerja bagi mereka demi kekayaan sebesar-sebesarnya.
Hal ini mungkin terlihat sepele, tapi tetap harus dilakukan. Bukan karena Allah
tidak ingin mereka menjadi kaya, namun karena Allah ingin agar mereka
bergantung sepenuhnya kepada Allah. Allah mau Israel menjadi model bagi dunia
agar dunia datang kepada Allah dan mau bergantung sepenuhnya juga pada Allah.
Namun sayang, bangsa Israel gagal menjadi model yang baik bagi dunia. Lalu
bagaimana agar dari model yang gagal ini bisa ditarik implikasi etisnya ke dunia
zaman sekarang? Rendah hati. PL bukan buku yang menyediakan peraturan bagi
masyarakat industri modern, kepedulian terhadap sesama itu perlu latihan.
Pekerjaan yang kita miliki, kekayaan yang kita miliki semata-mata karena kasih
karunia Allah. Dan kita yang sudah masuk dalam “struktur anugerah” itu harus
berlatih terus untuk mempedulikan orang lain di sekitar kita yang mungkin saja

tidak bisa bekerja, bukan malas bekerja. Membagikan karunia Allah kepada
mereka yang lemah, membutuhkan pertolongan, dan tangan-tangan yang terbuka
dengan penuh kasih menyambut mereka sebagaimana Allah telah terlebih dahulu
109

menyambut kita.
Welfare: Some Theoretical Reflections



Saya kurang mengerti apa pesan penting yang muncul dari judul artikel ini dimuat

112

oleh Rogerson. Buat saya, artikel ini tidak penting. Apa hanya sekedar membahas
diskusi tentang kesejahteraan di Inggris? Dengan Mengutip Bayley, ia
menggambarkan keadaan sejahtera dimana individu dapat bertumbuh dewasa,
berpikir dengan pikirannya sendiri, bertindak bebas tanpa intervensi siapapun,
namun tetap bertanggungjawab atas segala resiko yang ia timbulkan sendiri akibat
tindakannya itu. Pernyataan tentang kesejahteraan ini melahirkan apa yang disebut
dengan ketergantungan kesejahteraan. Ketergantungan ini digambarkan sebagai
jebakan ketergantungan-kesejahteraan dan kekurangan yang ditransmisikan.
Untuk lebih menjelaskan maksud dari kata-kata ini, mereka yang dimaksud dalam
golongan ini adalah orang-orang yang memiliki ketergantungan dengan orang lain
bagi kesejahteraan mereka. Mereka ini buat saya lebih tepat jika dikatakan
bersimbiosis apapun bentuknya, bisa mutualisme, komensalisme atau malah
parasitisme. Mereka seolah sejahtera, namun kesejahteraan mereka tidak berasal
dari dalam diri mereka tapi karena menumpang pada kesejahteraan orang lain,
sifatnya semu. Inilah jebakannya. Pandangan orang masing-masing tentang
kesejahteraan berbeda. Ada yang mengatakan karena karirnya baik, ia sejahtera.
Karena uangnya banyak dia sejahtera, karena orang-orang di sekitarnya baik dia
hidup sejahtera, dll. Semua contoh itu adalah sistem. Setiap sistem memiliki
subsistemnya masing-masing. Rogerson sepertinya ingin merefleksikan masalah
kesejahteraan ini dengan berpangkal dari tindakan sosial dan teori sistem. Agar
dapat melahirkan kesejahteraan, setiap sistem harus bekerja seimbang. Saya pikir,
sejahtera ini tidak bisa lepas dari emosi. Menurut saya, saya adalah orang yang
sejahtera karena pikiran saya sendirilah yang menentukannya. Orang lain bisa saja
membuat saya tidak sejahtera, masalah-masalah bisa saja membuat saya tidak
sejahtera, tapi kalau saya memutuskan untuk tetap sejahtera apapun kondisinya
saya akan sejahtera. Pikiran yang baik atau positif itu dipengaruhi oleh keadaan
hormonal. Kalau semua sistem tubuh bekerja dengan baik dan seimbang, maka itu
berpengaruh bagi hormon manusia. Agar produksi hormon ini baik, maka

seseorang harus sehat. Agar seseorang sehat, segala sesuatunya harus seimbang
antara apa yang masuk dan apa yang keluar. Dengan demikian, kesejahteraan
113

adalah keseimbangan.
The Enemy In The Old Testament



Dalam sejarah orang-orang Yahudi pada masa PL, sering terjadi peperangan

120

dengan negara-negara musuh. Apa itu musuh? Menurut Lang’s, mereka adalah
orang-orang tidak sebangsa, berbeda politik dan tidak boleh dinikahi. Bangsabangsa ini dikuatirkan akan membawa bangsa Israel kepada penyembahan kepada
ilah-ilah lain. Karena itu, bangsa-bangsa ini harus dimusnahkan. Rogerson menilai
bahwa pendapat ini memiliki kelemahan, karena di antara permusuhan itu terselip
beberapa kisah yang berlawanan. Musa memiliki istri asal Midian, Elia di tolong
oleh janda Sarfat dan kisah Naaman. Lang’s menilai musuh dari sudut historis dan
teologis, namun Rogerson mengambil Mazmur dengan pendekatan religinya
sebagai pedomannya tentang pendefinisian kata musuh. Menurut Rogerson, secara
politis bangsa-bangsa masih bisa disatukan, demikian juga secara sosial dan
perkawinan. Namun dalam hal religi, terutama penyembahan kepada Tuhan,
mereka tetap adalah musuh. Dalam Mazmur tersirat harapan tentang suatu keadaan
ideal di masa depan dimana tidak ada lagi kejahatan dan ketidakadilan. Raja
merupakan orang yang bertanggungjawab untuk membawa keadilan ini dalam
pemerintahannya. Harapan rakyat ada pada raja. Musuh itu tidak mutlak berasal
dari orang-orang di luar Israel, tapi bisa jadi adalah orang-orang yang ada dalam
lingkungan hidup mereka. Musuh itu bahkan bisa muncul dari dalam diri sendiri.
Keinginan untuk melawan Allah dan menyembah ilah lain membuat Israel masuk
dalam penderitaan hebat. Allah mengizinkan mereka terpukul kalah oleh musuh
agar mereka kembali bergantung pada Allah. Pertobatan mereka merupakan awal
dari pemulihan mereka. Pemazmur memiliki kerinduan agar keadilan Allah
dipertahankan. Jika musuh menang, maka hari itu pasti adalah hari yang paling
kelam dalam sejarah kehidupan orang-orang yang berserah kepada Allah. Untuk
lebih jelas adalah orang yang tidak mencintai kebenaran pantas disebut musuh.
Kita tidak berada dalam dunia realita seluruhnya. Musuh yang paling berbahaya
justru tidak kasat mata yang tersimbol dalam kelemahan, dan kehancuran adalah
akar dari permusuhan. Diakhir tulisannya pada bab ini Rogerson mengakui bahwa
penjelasan tentang musuh belum sepenuhnya memuaskan. Karena PL sebenarnya
sedang mengajak kita untuk menghentikan semua permusuhan yang ada di dalam

121

dunia, kasih.
The Family and Structures Of Grace In The Old Testament



Menurut Rogerson, ada kesulitan untuk menjelaskan tentang keluarga dalam

133

masyarakat Israel kuno. Menurut saya tidak cukup sulit, dua buku terdahulu dari
Wright dan Dell telah menjelaskan juga tentang keluarga dalam masyarakat Israel.
Buku-buku lain juga banyak yang membahas tentang keluarga dalam mayarakat
Israel, hanya pendekatannya saja yang berbeda. Tapi buku ini akan
menjelaskannya berdasarkan sosial dan arkeologi agar diperoleh pemahaman
sosial historis di masa Israel kuno dengan menekankan pada struktur karunia.
Dalam kitab-kitab Yahudi tersirat bahwa sistem perkawinan dalam masyarakat
Israel terkenal dengan poligaminya meski kebiasaan ini berubah pada akhir
pembangunan Bait Allah yang kedua menjadi monogami. Poligami dalam PL
bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Di kalangan bangsawan, poligami sudah
seperti sebuah identitas bagi keperkasaan mereka. Selain itu, perkawinan
dikalangan raja-raja juga berfungsi untuk mempererat hubungan dan kerjasama
antar kerajaan. Para hakim juga biasanya memiliki banyak istri dan anak, dan
mereka tinggal di suatu desa khusus. Tapi tetap, orang-orang ini bertanggungjawab
penuh untuk melindungi seluruh rakyat Israel. Dalam keluarga, tidak ada jaminan
bahwa tidak ada konflik di antara mereka. Tapi keluarga bertanggungjawab penuh
untuk melindungi individu. Darisini jugalah muncul istilah tentang Go’el, penebus.
Secara sosial, ada beberapa pengertian tentang keluarga. Ada yang disebut
keluarga batil atau keluarga inti yaitu mereka yang tinggal dalam satu rumah dan
keluarga besar, atau mereka yang masih ada hubungan silsilah namun tidak
serumah. Untuk mempertahankan warisan, pernikahan sesama keluarga besar tidak
dilarang, namun perlu mengikuti struktur silsilah keluarga. Ada beberapa wanita
yang tidak boleh dinikahi dan ada yang boleh. Sistem ini sepertinya lebih
menguntungkan kaum pria, karena adanya sistem poligami tersebut. Secara sosial
historis, keluarga dalam masyarakat Israel kuno diidentifikasikan berdasarkan
kepemilikan tanah mereka. Tanah merupakan warisan dari para leluhur mereka.
Mengikatkan

mereka

dengan

nenek

moyangnya

dan

menjadi

identitas

kekeluargaan mereka. Sayangnya, struktur sosial yang sudah diatur sedemikian
rupa ini menjadi runtuh karena tekanan ekonomi. Karena itu, kembali lagi, struktur
anugerah mengambil peranan penting di tengah kegagalan Israel dalam
mempertahankan

identitas

kekeluargaan

mereka.

Para

nabi

terus

mengumandangkan kepedulian bagi sesama manusia. Selain itu, wanita juga mulai
mendapat arti positif di mata orang-orang Yahudi. Setiap pergantian masa,
keluarga memiliki makna barunya di kalangan Israel. Keluarga pada masa
Abraham, sebelum penempatan, setelah pendudukan Kanaan, masa Hakim-hakim,
raja-raja, dst berbeda konsep. Meski tidak terlalu jauh, namun ada hal baru dalam
pengertian mereka tentang keluarga.

Dengan demikian diperoleh sebuah

pengertian baru tentang keluarga yaitu mereka yang dipanggil menjadi orangorang kudus walau tidak sedarah. Musuhpun bisa dianggap sebagai saudara.
135

Semua orang masuk dalam struktur anugerah Allah.
Exegesis And World Order



Rogerson menjelaskan pentingnya eksegese dalam upaya penerapannya ke masa

143

sekarang. Tujuannya adalah untuk menyadarkan bahwa memang ada bagianbagian tertentu dalam PL yang terlalu berat jika diaplikasikan ke masa sekarang.
Kalaupun harus diterapkan, tetap dibutuhkan referensi spesifik agar dapat
dipertanggungjawabkan dan ditinjaklanjuti bersama-sama. Sayangnya, apapun
usaha yang sudah dilakukan, upaya untuk mengaitkan antara hasil eksegese ke
dalam peraturan dunia sepertinya tetap menemui jalan buntu. Kaum tradisional
terkesan ragu-ragu dalam proyek mereka ini. Karena itu Rogerson memakai
pendekatan materialis dalam upaya eksegesenya. Bukan karena ia telah menjadi
salah satu dari kaum materialis, namun karena pendekatan mereka ini bersifat lebih
obyektif. Mereka menggunakan materi spesifik dan berasal dari bahan mentah.
Interpretasi tetap merupakan hal yang penting karena dapat mendialogiskan teks
dengan keadaan saat ini. Hanya sayangnya, intepretasi ini kebanyakan sarat oleh
muatan pribadi interpreternya atau pembuat temanya. Dalam liturgi gereja,
biasanya sudah setiap minggu sudah ditetapkan tema khotbah dan garis besar
pikiran rerdaktur. Karena itu eksegese yang seharusnya dilakukan malah
dikesampingkan. Selain itu kaum materialis juga lebih mementingkan tindakan
daripada kumpulan teori tanpa aplikasi. Sayangnya, jika yang diaplikasikan adalah
pikiran redaktur atau sang interpreter, apakah ini perlu tetap diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari? Para kaum materialis umumnya melakukan pendekatannya
melalui sistem kesukuan dalam masyarakat Israel, kehidupan budaya mereka,
penderitaan mereka, dan harapan-harapan mereka tentang masa depan. Selain itu
yang terpenting adalah mereka terbuka terhadap ide bahwa kehidupan Israel
sebagian besar ternyata telah terpengaruh dengan perubahan kegiatan ekonomi dan

sosial. Jadi masalah-masalah yang dibahas sudah tidak benar-benar murni
berkaitan dengan kehidupan seperti bayangan ideal kaum tradisional. Sehingga
hasilnya lebih obyektif. Perlu untuk melihat teks dari berbagai segi kehidupan
yang mungkin mempengaruhi latarbelakang munculnya teks. Dengan demikian
kita tidak asal menuduh bahwa masalah yang terjadi dalam PL itu tidak rohani,
teks itu tidak pantas karena memuat hal-hal yang tidak masuk di akal, porno,
ngawur, dsb. Kita selalu melihat dari sisi di mana kita berdiri, kita selalu
memandang dari kacamata kita, tidak pernah beralih dan tidak pernah mencoba
sejenak meminjam kacamata orang lain. Jika demikian, jangan pernah
memaksakan orang lain berdiri di tempatmu dan atau memakai lensa yang kita
pakai untuk dipakai oleh orang lain kalau lensa itu nyata-nyata tidak cocok. Lihat
saja tempat di mana kamu berdiri atau jenis lensa apa yang sedang kamu pakai.
Eksegese yang dilakukan memang tidak sepenuhnya bisa diterapkan sebagai
hukum atau peraturan dalam kehidupan masa kini. Seperti yang berulang-ulang
dikatakan bahwa konteks kita berbeda. Tapi dari hasil eksegese ini diperoleh
gambaran jelas tentang kehidupan pada masa PL sehingga kita tidak menimbulkan
interpretasi “Mana Suka”. Seperti tulisan Rogerson, Kristen sekarang hidup dalam
dua tuntutan zaman sekaligus. Di satu pihak ia harus hidup serius dalam dunia
realitas namun di lain pihak ia harus tetap menghadirkan Kerajaan Allah. Dengan
demikian, tugas utama bagi kita saat ini adalah tetap hidup dalam dunia dimana
kita berada tapi tetap menghadirkan Kerajaan Allah dengan menjadi penyalur kasih
Allah bagi dunia. Itulah yang dinamakan “stuktur anugerah”.
Buku ini berisi teori d